Wajah mamahnya Hasbi sedikit tercengang mendengar penjelasan Sabrina. "Jangan bohong, Sabi." "Untuk apa aku berbohong, Ma. Tidak ada untungnya. Jika Mama berminat dengan harta gono-gini, silahkan Mama urus dengan Mas Hasbi." Sabrina dengan nada penuh penegasan.Wanita paruh baya itu tampak membatu dalam beberapa saat. 'Kalau semua itu benar, lalu kemana uangnya?' batin sang mertua. Dia kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya."Ini surat undangan untuk kamu. Jika berkenan, datanglah ke acara pesta pernikahan adik Hasbi." Sang mertua meletakan surat undangan pernikahan anaknya di atas meja. Kemudian dia pamit tanpa basa-basi lagi. Sementara Sabrina masih terduduk lesu di sofa ruang tamu. Hari ini dia jadi tak bersemangat padahal jadwal mengajar kembali dimulai. Dengan memaksakan diri, langkahnya tergesa-gesa menuju gerbang sekolahan. Sabrina ke sekolah dengan menggunakan ojeg online. Membuat beberapa pasang mata menyipitkan pandangan padanya."Tumben pake ojeg online," ucap
"Sepertinya ada orang, Ma." Jaka menimpali. Jeni kemudian segera beranjak dari tempat duduk melangkah dengan cepat ke luar kamar Jaka. Bersamaan dengan itu, Sabrina juga segera keluar dari kediamaan Jaka dengan langkah secepat kilat."Tidak ada siapa-siapa kok," desis Jeni sendirian. Dia langsung menemui security. Lalu ia melangkah ke depan."Apa tadi ada orang masuk?" tanya Jeni pada security di gerbang utama."Tidak ada orang lain, Bu. Kecuali Bu Sabrina yang baru saja pergi," jawab pria berseragam layaknya satpam rumah.Jeni mengernyitkan dahi. "Kok Sabrina pergi lagi. Kenapa ya?" Wanita itu merasa aneh. Dia kembali ke kamar Jaka untuk memberitahukan kedatangam Sabrina yang tak mereka ketahui."Jak, kata security barusan ada Sabrina. Tapi dia langsung pergi lagi," lapor wanita paruh baya itu pada anaknya.Jaka nampak berpikir. Entah mengapa dia merasa ada yang tidak beres dengan kedatangan Sabrina."Tidak apa-apa, Ma. Mungkin Sabrina ada keperluan lain yang mendesak. Aku akan mene
Malam ini Sabrina akan menelepon Jaka untuk memastikan. Dia merasa sungkan mengingat harga motor yang disinyalir cukup mahal. Benda pipih itu sudah ditempelkan pada telinga."Ya, Sabi. Bagaimana paketnya? Sudah kamu terima?" Suara Jaka terdengar riang dalam sambungan telepon."Kamu berlebihan, Jak. Harusnya tak usah berikan barang terlalu mahal pada Sesil. Khawatir dia jadi manja." "Apa! Untuk, Sesil. Bagaimana maksud kamu?" Jaka malah bertanya seperti tak paham."Iya, motor yang kamu berikan untuk Sesil terlalu mahal. Lagian motor Sesil yang lama masih bagus loh," celoteh Sabrina."Sabi, bukan Sesil. Tapi—"Sabrina tak membiarkan Jaka menyelesaikan kalimatnya. "Sudahlah, Jak. Aku sudah tahu kok hubungan kalian. Kakak macam apa aku ini. Hari gini baru tahu kalau ternyata kamu dan Sesil menjalin hubungan. Aku mendukung kalian. Janji ya, jangan buat Sesil sedih," potongnya. Sabrina senyum-senyum sendiri. Dia mendukung Jaka dan Sesil karena sudah tahu kalau pria yang sedang berbincang l
Dada Hasbi tampak kembang kempis mengatur napas yang memburu keras. Dia kemudian meninggalkan lokasi saat semua mata menatapnya nanar. Pria itu bahkan tak menjawab pertanyaan Miranda yang mengekorinya sampai ke ruang ganti di gedung pernikahan itu."Kamu kenapa sih, Mas? Kamu membuat malu diri sendiri. Kamu lupa kalau sedang di tengah-tengah pesta pernikahan?" Miranda masih memberondong beberapa pertanyaan pada suaminya.Namun, pria itu masih saja membisu. Dia meluruhkan tubuhnya di atas sofa dengan raut wajah lesu."Tinggalkan aku sendiri, Mira," pinta Hasbi nampak ketus."Kamu kenapa sih, Mas? Aneh banget sih!" gerutu Miranda. Ia merasa ada yang aneh pada suaminya."Aku hanya sedang kelelahan saja. Hanya ingin duduk istirahat sejenak. Kamu kembali ke tengah-tengah pesta." Hasbi memerintah lagi pada istrinya. Dia membaringkan tubuh di atas sofa itu kemudian berusaha memejamkan mata. Meredam sedikit hawa panas yang sempat membakar dada."Kamu tuh aneh, Mas." Miranda akhirnya pergi unt
"Apa! Saya akan segera ke sana sekarang!" Balasana dari ponsel Sabrina. Driver taksi online itu lumayan jujur. Dia rela menunggu seseorang yang barusaja ditelepon lewat ponsel Sabrina.Nama kontak yang ditelepon tadi bertuliskan 'suamiku' driver itu berpikir hanya suami wanita itu yang pantas dihubunginya.Hasbi, adalah orang yang telah dihubungi driver taksi. Meski masih dalam keadaan sibuk dalam pesta pernikahan sang adik, Hasbi langsung menuju rumah sakit harapan saat itu juga. Dengan mengendarai mobil orang tuanya, pria bertubuh gempal itu nampak tergesa-gesa menuju rumah sakit. "Sabi, apa yang terjadi denganmu?" Hasbi nampak khawatir bertanya-tanya dalam hati. Sesekali ia mengusap wajah kasar penuh rasa bersalah. Bagaimana pun Sabrina sudah menetap di dalam hatinya meski pun perasaan itu kini telah terbagi dua dengan Miranda.Tak butuh waktu lama, Hasbi kini sudah sampai di depan instalasi gawat darurat di rumah sakit sejahtera."Apakah anda driver taksi yang menelepon saya tad
"Sabi, tolong jangan egois. Aku akan temani sampai kamu selesai operasi. Setelah itu, aku akan pergi." Hasbi terkekeh. Mantan suami Sabrina tak kuasa meninggalkan wanita yang pernah menjadi bagian dari hidupnya, harus melewati rasa sakit itu sendirian. Meski pun tanpa dia sadari kalau rasa sakit itu berawal darinya.Sementara di rumah orang tuanya, Sesil dan Jaka kelimpungan mencari kunci rumah. Mereka baru saja tiba namun tak bisa masuk karena Sabrina mengunci pintunya."Mba Sabi, kemana sih. Kok aneh banget pergi gak bilang-bilang." Sesil berdecak kesal sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ini bahkan sudah pukul delapan malam."Coba kamu ingat-ingat. Dimana biasanya Sabi menyimpan kunci pintu," saran Jaka. Dia tak bisa pergi sebelum memastikan Sesil masuk ke dalam rumahnya.Adik Sabrina itu sepertinya ingat satu hal setelah mendengar saran dari Jaka. Dia segera naik mengangkat vas bunga kecil yang ada di teras. Benar saja dia menemukan kunci rumah di bawahnya."Nah kan
Hasbi mendongak mendengar itu. "Itu uang tabungan kita, Mira. Mengapa kamu anggap aku bagai berhutang?!" Setengah emosi pria bertubuh gempal itu manimpali."Uang itu sudah kamu berikan padaku, artinya sudah menjadi milikku, Mas. Kamu harus ganti. Aku tidak mau tahu!" Miranda memaksa. "Ya sudah iya. Aku akan ganti setelah mendapat kerjaan nanti." Hasbi langung meninggalkan istrinya ke ruangan yang lain. Kepalanya terasa berat dengan beban yang menumpuk diatasnya.Rupanya, Miranda mengekori di belakangnya. Dia turut serta duduk di dekat Hasbi, di ruang makan. "Semakin hari kebutuhan semakin bertambah, Mas. Sampai kapan kamu akan menjadi pengangguran. Kita tak akan bisa melewati hidup hanya dengan cinta, anak kita pun masih butuh banyak biaya," cerocos Miranda yang tak dihiraukan oleh Hasbi. Pria itu tetap dengan aktivitas sarapannya. Isi benaknya masih terlalu berat dengan beban ditambah dengan ocehan-ocehan Miranda."Sudah cukup, Mira. Jangan banyak bicara. Aku pusing mendengarnya."
"Jak, apa yang terjadi di luar?" Suara pelan Sabrina bertanya usai pria itu mengintai sesuatu dari balik celah pintu ruangannya.Jaka telah melihat Hasbi dan Miranda di depan ruangan kamar Sabrina. Jaka juga menerka kalau pasangangan suami istri tadi tengah bertengkar. Dia kemudian kembali ke dekat ranjang Sabrina."Aku melihat Hasbi dan Miranda bertengkar di depan pintu," jawab Jaka seraya menghela napas kesal. Pria itu selalu merasa kesal setiap kali melihat wajah mantan suami Sabrina."Untuk apa mereka bertengkar di depan kamar ini, Jak?" Dahi Sabrina mengkerut. Dia bertanya lagi.Namun, Jaka hanya menaikan kedua bahu bersamaan dengan kedua alisnya."Entahlah, sepertinya saya akan memindahkan kamu ke ruangan yang lain," pikir Jaka dengan sarannya."Untuk apa?" Sabrina lagi-lagi bertanya."Agar mantan suami kamu tak mengganggu lagi," jawab Jaka dengan alasannya.Sabrina berpikir dalam beberapa saat kemudian dia menganggukan kepala. Wanita itu merasa kalau saran Jaka ada benarnya. Di
Suatu hari Jaka memanggil Sabrina dan anak-anaknya di ruang keluarga. Di sana juga ada Jeni yang turut serta hadir. Jaka meminta pada Sabrina untuk bersiap-siap karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru.Awalnya Sabrina terlihat ragu menerima tawaran suaminya, akan tetapi ia menyanggupi karena Jaka memaksa dan tak mau ditolak ajakannya.Hingga akhirnya dua kendaraan roda empat akan melaju menuju pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa pakaian baru. Dua mobil itu berisi Jaka, Sabrina, Jeni dan empat anak termasuk suster yang turut serta mendampingin. Mereka akan belanja bersama terutama untuk keperluan ulang tahun Aksa yang tinggal menghitung hari.Sabrina nampak berjalan seiringan dengan Jaka setelah sampai di pusat perbelanjaan. Jaka meminta Sabrina memilih apa pun yang diinginkan. Wanita mana yang tak bahagia dengan perlakuan suami seperti Jaka. Sabrina bagaikan satu-satunya wanita paling beruntung di dunia."Sayang, kamu pilih apa pun yang kamu but
"Kenapa, Ma?" Sabrina segera bertanya. Tentu ia masih terkajut dengan jawaban mertuanya."Tapi bohong. Mama setuju dong. Masa iya Mama gak setuju," ralat Jeni yang rupanya hanya bercanda saja.Seketika Sabrina dan Aksa menghela napas lega secara bersamaan."Ya ampun, Mama. Sungguh aku sampai kaget. Aku pikir Mama benar-benar gak setuju." Sabrina mengusap dadanya. Tak disangka kalau mertuanya senang bergurau."Omah, Aksa juga kaget," timpal Aksa masih memasang wajah terkejutnya.Gegas Jeni memeluk Aksa. "Maaf, Sayang. Omah bercanda. Omah 'kan sayang sama Aksa, masa iya gak setuju. Kita akan rayakan ulang tahun Aksa dengan meriah ya. Pokonya kita akan happy-happy," sambutnya. Jeni tampak menampilkan wajah bahagianya kali ini."Terima kasih, Omah. Aksa sayang sekali sama Omah," ucap Aksa yang kembali memeluk Jeni."Omah juga sayang sama, Aksa," balas Jeni.Melihat itu, Sabrina semakin melebarkan senyumannya. Ia semakin dibuat bahagia dengan keadaan di rumah mewah itu."Terima kasih ya, M
Mendengar cerita Sabrina, seketika Jeni tercengang. "Lalu, apa yang Raisa sampaikan sama kamu, Sabi?" tanyanya penasaran."Raisa mengucapkan terima kasih padaku, Ma. Dia berterima kasih karena aku tela merawat dan menjaga Abang Yusuf dengan baik." Sabrina kembali menjelaskan.Isi dada Jeni terasa bergetar mendengar itu. "Pasti Raisa merasa tenang di alam sana. Kamu telah menjaga Yusuf dengan baik. Mama yakin Raisa bangga padamu, Sabi."Sabrina menurunkan tatapan. Ia masih ingat dengan jelas wajah Raisa kala itu. "Semoga saja ya, Ma. Aku tidak menganggap Abang Yusuf anak tiri kok. Meski pun dia tak lahir dari rahimku, aku menyayanginya bagai anak kandung sendiri," tuturnya."Karena kamu memang wanita baik, Sabi. Mama sungguh bangga bisa mendapatkan menantu seperti kamu. Jaka memang tak pernah salah mencintai kamu," balas Jeni. Sabrina hanya bisa menyodorkan senyuman saat sang mertua memujinya.Sampai saat ini dunia Sabrina memang terasa lebih berwarna dari biasanya. Anak-anaknya berpa
Satu bulan kemudian keluarga Dirgantara nampak disibukan dengan persiapan pernikahan Sesil yang tinggal menghitung hari.Adik Sabrina itu nampak disibukan dengan segala macam persiapan menjelang pernikahannya. Hingga Sabrina pun harus turun tangan dalam membantu adik kandungnya itu.Hingga tiba pada saat ijab kabul pernikahan terucap dengan lantangnya oleh pria yang Sesil cintai. Pernikahan telah sah dilangsungkan dan Sesil telah diperistri kekasihnya. Satu hari usai pernikahan, Sesil dan suaminya langsung terbang ke bali untuk bulan madu selama satu minggu. Tentu suasana saat ini semakin membuat Sabrina lega dan bahagia karena tugasnya menjaga Sesil kini telah berpindah pada suami Sesil.Sabrina kian merasa bahagia dengan keluarga saat ini. Ia juga bahagia dengan kesibukannya saat ini sebagai ibu rumah tangga untuk empat anak-anaknya.Pagi ini bahkan Sabrina nampak sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah Aksa. Sabrina juga selalu menemani Aksa sarapan di ruang makan bersama Jaka yang j
Sabrina dan Jaka mengukir senyuman yang lebar tatkala melihat Sesil dan Jeni berpelukan. Keluarga yang nyaris sempurna setelah beberapa kali terpa ujian."Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Ijah melapor pada majikannya yang tengah bercengkerama."Oh iya. Terima kasih, Jah," ucap Jeni.Ijah tersenyum. "Sama-sama, Nyonya," balasnya kemudian berlalu setelah tugasnya selesai.Sementara Jeni segera mengajak keluarganya untuk segera makan malam, "Ayo kita makan malam bersama dulu yu."Serentak Sabrina, Aksa, Jaka dan Sesil mengangguk secara bersamaan sebagai pertanda mengiyakan ajakan Jeni barusan. Gegas mereka beranjak dari tempat duduk beralih menuju ruang makan.Di atas meja makan sudah tersaji aneka makanan yang lezat hasil dari masakan Ijah. Pembantu rumah tangga itu memang spesial memasak untuk malam ini. Melihat keluarga majikannya yang akur dan bahagia, ia merasa sangat senang.Ijah, Siti dan Iyem yang berada di ruangan sebelah ruang makan nampak tersenyum melihat kebersamaan
Sabrina akhirnya membiarkan Aksa tetap ikut bersama Sesil. Ia juga paham sebab tak ada yang menemani Sesil di rumahnya. Sabrina kembali masuk ke mobil suaminya.Sementara Aksa satu mobil bersama Sesil akan kembali ke rumahnya. Suasana hati Aksa sedikit membaik setelah ditenangkan oleh Sabrina tadi. Air matanya sudah surut namun ia memilih tetap diam dalam perjalanan pulang tanpa banyak bicara.Sesekali sebelah tangan Sesil mengusap rambut tebal Aksa. Sulit dijelaskan, tapi dia sudah menyayangi Aksa. Aksa memang terlahir dari orang tua yang tak lain adalah mantan suami Sabrina tapi Sesil tak lagi mempermasalahkan itu. Ia sudah menyayangi Aksa dengan sebenar-benarnya.'Ya Tuhan, anak kecil di dekatku sungguh malang. Dia tak menginginkan kesedihan ini terjadi. Izinkan hamba untuk selalu menjaga dan merawatnya sampai dewasa nanti,' harap Sesil dalam hati.Harapan yang sama yang tengah diucapkan Sabrina saat ini. Dalam perjalanan pulang bersama suaminya, Sabrina masih memikirkan perasaan A
"Aku dan Aksa akan melayat, Mba. Aku akan mengantar Aksa. Kasihan kan," balas Sesil.Sabrina kembali dibuat dilema. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan Aksa bersedih sendirian. Anak itu telah kehilangan segalanya. Orang tua satu-satunya Aksa kini turut berpulang ke sisi Tuhan karena penyakit komplikasi yang diidap. Sabrina tak pernah menyangka dengan kehidupan mantan suaminya yang memilukan."Sil, aku juga ingin ikut melayat. Aku kasihan pada Aksa. Tapi aku akan minta izin Mas Jaka terlebih dahulu ya," kata Sabrina. Ia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya."Kita ketemu di rumah tahanan saja ya, Mba. Kasihan Aksa tak bisa menunggu lagi." Sesil kembali bicara."Iya, aku ingin bicara dengan Aksa terlebih dahulu " pinta Sabrina."Boleh, Mba." Dalam detik yang sama, sepertinya Sesil langsung memberikan ponsel pintarnya pada Aksa."Iya, Ibu." Suara Aksa terdengar bergetar berat."Aksa, dengarkan Ibu ya. Tetap tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Aksa dan Kak Sesil pergi
Sabrina sudah berdiri di depan rumah. Ia segera bertanya pada security di depan rumahnya."Mas, itu ambulance kemana?" tanya Sabrina pada pria berseragam layaknya security di rumahnya itu. Degup jantungnya masih sama, sebab suara sirine ambulance semakian mendekati arah rumahnya."Itu ada tetangga rumah sebelah yang meninggal, Non," jawab Security Sabrina.Seketika Sabrina menghela napas lega. "Saya pikir siapa. Kaget banget," desisnya. Akhirnya napas yang sempat tersengal kini mulai terasa lancar."Hanya tetangga, Non. Kabarnya meninggal karena kecelakaan," jelas security itu lagi."Ya sudah saya masuk lagi ya. Kabari saya kalau Mas Jaka pulang," pinta Sabrina."Siap, Non." Pria itu dengan tegasnya.Sabrina kemudian segera masuk kembali ke rumahnya. Ia masih belum juga tenang sebab belum mendapatkan kabar dari suaminya. Ia tak bisa menelepon Jaka lagi, sebab anak kembarnya minta ASI. Seperti biasa, Sabrina menyusui anak kembarnya secara bergantian. Ia selalu melakukan kewajibannya se
"Klinik yang di dekat toko, Mba. Duh kasihan sekali Aksa. Aku sampai gak tega melihatnya. Sedari tadi Aksa mengigau nama papanya terus," kata Sesil lagi."Ya Tuhan, kasihan sekali Aksa. Memangnya kamu gak pernah bawa Aksa nengokin papanya di penjara?" Sabrina bertanya lagi."Sudah, Mba. Ceritanya dua hari yang lalu Aksa ingin bertemu papanya di penjara, aku mengabulkan keinginan Aksa. Ternyata Mas Hasbi sakit Mba. Semenjak saat itu Aksa terus saja memikirkan papanya." Sesil menjelaskan."Mas Hasbi sakit apa memangnya?" Lagi-lagi Sabrina bertanya. Ia masih menempelkan ponsel pintar pada telinganya."Katanya komplikasi, Mba. Sakit paru-paru dan lambung kronis. Aksa sampai sedih melihat papanya. Saat ini ada di klinik tahanan tengah dirawat oleh perawat di sana," kata Sesil."Ya Tuhan, sungguh aku kasihan pada Aksa. Anak sekecil Aksa sudah memiliki banyak sekali beban. Sebenarnya aku ingin menemui Aksa sekarang, tapi keadaannya tidak memungkinkan, Sil," terang Sabrina pada adiknya."Kena