Hasbi mendongak mendengar itu. "Itu uang tabungan kita, Mira. Mengapa kamu anggap aku bagai berhutang?!" Setengah emosi pria bertubuh gempal itu manimpali."Uang itu sudah kamu berikan padaku, artinya sudah menjadi milikku, Mas. Kamu harus ganti. Aku tidak mau tahu!" Miranda memaksa. "Ya sudah iya. Aku akan ganti setelah mendapat kerjaan nanti." Hasbi langung meninggalkan istrinya ke ruangan yang lain. Kepalanya terasa berat dengan beban yang menumpuk diatasnya.Rupanya, Miranda mengekori di belakangnya. Dia turut serta duduk di dekat Hasbi, di ruang makan. "Semakin hari kebutuhan semakin bertambah, Mas. Sampai kapan kamu akan menjadi pengangguran. Kita tak akan bisa melewati hidup hanya dengan cinta, anak kita pun masih butuh banyak biaya," cerocos Miranda yang tak dihiraukan oleh Hasbi. Pria itu tetap dengan aktivitas sarapannya. Isi benaknya masih terlalu berat dengan beban ditambah dengan ocehan-ocehan Miranda."Sudah cukup, Mira. Jangan banyak bicara. Aku pusing mendengarnya."
"Jak, apa yang terjadi di luar?" Suara pelan Sabrina bertanya usai pria itu mengintai sesuatu dari balik celah pintu ruangannya.Jaka telah melihat Hasbi dan Miranda di depan ruangan kamar Sabrina. Jaka juga menerka kalau pasangangan suami istri tadi tengah bertengkar. Dia kemudian kembali ke dekat ranjang Sabrina."Aku melihat Hasbi dan Miranda bertengkar di depan pintu," jawab Jaka seraya menghela napas kesal. Pria itu selalu merasa kesal setiap kali melihat wajah mantan suami Sabrina."Untuk apa mereka bertengkar di depan kamar ini, Jak?" Dahi Sabrina mengkerut. Dia bertanya lagi.Namun, Jaka hanya menaikan kedua bahu bersamaan dengan kedua alisnya."Entahlah, sepertinya saya akan memindahkan kamu ke ruangan yang lain," pikir Jaka dengan sarannya."Untuk apa?" Sabrina lagi-lagi bertanya."Agar mantan suami kamu tak mengganggu lagi," jawab Jaka dengan alasannya.Sabrina berpikir dalam beberapa saat kemudian dia menganggukan kepala. Wanita itu merasa kalau saran Jaka ada benarnya. Di
Cukup lama berselancar di akun sosial media miliknya, jemari Sabrina kemudian meninggalkan komentar-komentar pedas yang membuat dadanya panas."Sesil, tolong kamu ke bagian administrasi. Aku penasaran dengan jumlah yang telah dibayar Jaka. Aku akan membayarna nanti," titah Sabrina pada Sesil yang segera dilaksanakan. Adik kandung Sabrina itu bergegas keluar kamar untuk ke bagian administrasi sesuai dengan perintah kakaknya.Tak sampai setengah Jam Sesil kembali usai mendapatkan kabar lengkap."Bagaimana?" Sabrina langsung bertanya tak mau menunggu lama lagi."Ini salinannya, Mba." Sesil menyodorkan salinan administrasi yang telah lunas di bayar sampai satu minggu nanti.Angka dalam salinan biaya rumah sakit itu memang mencapai puluhan juta. Tapi ternyata ada dua nama yang telah membayar biaya itu, yakni Jaka Dirgantara dan Hasbi Adytama. Bola mata Sabrina membola. Mengapa ada kucuran dana yang turut andil dalam biaya operasinya senilai sepuluh juga yang dibayar Hasbi.Sabrina kemudian
Saat itu Hasbi dibuat dilema. Ia tak akan pernah melepaskan Miranda karena ada Aksa yang membuatnya berat. Pun dengan Miranda yang sejujurnya tak akan rela ditinggalkan Hasbi yang selama ini dianggapnya ATM berjalan."Jangan pergi meninggalkan aku. Aku memilihmu itu berarti aku sangat menyayangimu." Hasbi berbisik di dekat telinga Miranda. Dia masih memeluk erat tubuh Miranda seperti tak akan merelakan wanita itu pergi."Kamu sudah berbohong, Mas. Kamu membohongiku hanya untuk Sabrina." Nada bicara Miranda masih saja terdengar emosi."Maafkan aku, Mira. Semua itu aku lakukan dengan terpaksa karena kasihan dengan Sabrina yang hampir mati. Aku terpaksa, Mira. Sungguh, aku tak berniat membohongimu." Hasbi masih berusaha meyakinkan Miranda.Usaha Hasbi pun tak sia-sia. Miranda akhirnya luluh hingga bisa memaafkan sang suami dengan syarat,"Oke aku maafkan. Asalkan kamu ganti nomor ponsel lalu mereset isi ponselnya. Kamu juga tak boleh berhubungan dengan Sabrina. Sekali saja kamu berkhiana
Sabrina mematung dalam keterkejutannya. Salah satu pria asing yang berbincang dengan Jaka yang menyebutkan CEO handal pada sahabatnya. Sabrina mendengarnya dengan jelas.Setelah beberapa menit dalam pengintainya tiba-tiba seseorang menyergap Sabrina."Kamu mau maling ya!" tuduh seorang wanita nampak mencurigai Sabrina dari gerak-geriknya. "Ti-tidak kok!" Tentu saja Sabrina membantah. "Saya melihat gerak-gerik anda sangat mencurigakan. Anda masuk ke restaurant kami tanpa memilih kursi apalagi memesan makanan. Saya melihat kalau anda tengah mengintai sesuatu di restaurant saya. Saya akan laporkan anda ke kantor polisi!" Wanita itu meraih pergelangan tangan Sabrina."Lepas! Saya bukan maling ya!" bantah Sabrina. Ia berusaha melepaskan genggaman tangan wanita berpakaian layaknya manager."Anda bisa jelaskan di kantor polisi nanti, karena saya memiliki bukti rekaman cctv dari tingkah anda yang mencurigakan." Wanita itu tetap berusaha menarik tangan Sabrina yang akan dibawanya ke kantor po
Sabrina menunggu kalimat Jaka. "Kalau apa?" tanyanya.Hening dalam beberapa detik. "Kalau aku tidak terima saat Hasbi dan Miranda menghinamu tadi," jawab Jaka tanpa berani membalas tatapan Sabrina. Dia tetap fokus ke jalan raya dengan kedua tangan di atas setir mobil."Maafkan aku ya. Selama ini aku selalu saja merepotkanmu." Sabrina menurunkan tatapan mengingat dia selalu merepotkan Jaka."Sutt! Jangan bicara seperti itu. Sudahlah jangan dibahas lagi. Aku tekankan sekali lagi, aku tetaplah Jaka yang seperti biasa kamu kenal. Lupakan tentang apa ith CEO. Tidak pernah terbesit untuk membahas jabatan." Jaka menyudahi topik yang sepertinya hanya akan membuat mereka jadi canggung.Sore itu, Jaka membawa Sabrina ke rumahnya terlebih dahulu. Ia masih ingat kalau mamanya ingin bertemu dengan Sabrina."Masuk yu," ajak Jaka. Mereka baru saja sampai di depan rumah."Aku tak enak sama Tante Jeni." Sabrina memasang wajah ragu"Apaan sih kamu. Sejak kapan merasa tidak enak?" sindir Jaka. Ia tampak
"Sudah jangan bahas soal itu deh. Sepertinya kurang cocok. Soalnya Sabrina wanita perfect idaman semua pria," timpal Jaka melerai sekakigus memanas-manasi Hani.'Halah. Perfect apanya. Jaka belum tahu saja kalau Sabrina itu wanita mandul,' geram Hani dalam hati."Iya dong. Saya percaya sama Jaka. Meski pun saya belum jauh mengenal Sabrina, tapi sudah bercerita banyak." Jeni tersenyum ramah."Cerita apa saja, Tante?" Sabrina dibuat penasaran."Ada deh pokonya. Yang pasti kamu adalah calon menantu idaman," puji Jeni. Ukiran senyuman riang masih saja menggaris di bibirnya.Mendengar pujian yang keluar dari mulut Jeni, mamanya Hasbi langsung tersendat makanan sampai batuk. "Uhuk uhuk!" "Jeng Hani, kenapa? Minum dulu." Jeni segera menyodorkan segelas air minum ke hadapan Hani."Sorry, Jeni. Sepertinya saya harus segera pulang karena ini sudah sore," pamit Hani. Isi dadanya terasa panas dan tak mampu dikendalikan."Mau saya antar, Tante? Kebetulan saya juga akan mengantar Sabrina." Sekedar
Sementara Sabrina yang baru sampai di rumahnya dengan membawa tantang berisi makanan langsung disambut bahagia oleh Sesil. Adik kandung Sabrina itu sekarang sudah akur dengan Sabrina, mengingat biaya kuliahnya saja kakaknya yang tanggung."Mba Sabi, bawa apa itu?" Belum sempat Sabrina duduk, Sesil sudah menodongnya dengan pertanyaan"Ini ada kiriman dari calon mertua kamu," jawab Sabrina seraya meletakan rantangnya di atas meja."Maksudnya?" Sesil menatap haru wajah kakaknya."Masa nggak paham sih, itu makanan dari mamanya Jaka. Dah ya, Mba mau mandi dulu." Sabrina segera berlalu.Sesil yang tak bisa menunda makanan yang katanya dari calon mertua, segera menyanyap dengan lahap. Tak lupa dia juga sempat mengirimkan pesan pada Jaka sebatas ucapan terima kasih atas kirimannya.***"Tuh 'kan, Sesil salah tafsir lagi." Jaka menepuk keningnya usai membaca pesan yang masuk dari adik Sabrina. Ia juga tampak mengacak-acak rambutnya disaat rasa bimbang kembali menghantui."Sesil tak kalah canti
Suatu hari Jaka memanggil Sabrina dan anak-anaknya di ruang keluarga. Di sana juga ada Jeni yang turut serta hadir. Jaka meminta pada Sabrina untuk bersiap-siap karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru.Awalnya Sabrina terlihat ragu menerima tawaran suaminya, akan tetapi ia menyanggupi karena Jaka memaksa dan tak mau ditolak ajakannya.Hingga akhirnya dua kendaraan roda empat akan melaju menuju pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa pakaian baru. Dua mobil itu berisi Jaka, Sabrina, Jeni dan empat anak termasuk suster yang turut serta mendampingin. Mereka akan belanja bersama terutama untuk keperluan ulang tahun Aksa yang tinggal menghitung hari.Sabrina nampak berjalan seiringan dengan Jaka setelah sampai di pusat perbelanjaan. Jaka meminta Sabrina memilih apa pun yang diinginkan. Wanita mana yang tak bahagia dengan perlakuan suami seperti Jaka. Sabrina bagaikan satu-satunya wanita paling beruntung di dunia."Sayang, kamu pilih apa pun yang kamu but
"Kenapa, Ma?" Sabrina segera bertanya. Tentu ia masih terkajut dengan jawaban mertuanya."Tapi bohong. Mama setuju dong. Masa iya Mama gak setuju," ralat Jeni yang rupanya hanya bercanda saja.Seketika Sabrina dan Aksa menghela napas lega secara bersamaan."Ya ampun, Mama. Sungguh aku sampai kaget. Aku pikir Mama benar-benar gak setuju." Sabrina mengusap dadanya. Tak disangka kalau mertuanya senang bergurau."Omah, Aksa juga kaget," timpal Aksa masih memasang wajah terkejutnya.Gegas Jeni memeluk Aksa. "Maaf, Sayang. Omah bercanda. Omah 'kan sayang sama Aksa, masa iya gak setuju. Kita akan rayakan ulang tahun Aksa dengan meriah ya. Pokonya kita akan happy-happy," sambutnya. Jeni tampak menampilkan wajah bahagianya kali ini."Terima kasih, Omah. Aksa sayang sekali sama Omah," ucap Aksa yang kembali memeluk Jeni."Omah juga sayang sama, Aksa," balas Jeni.Melihat itu, Sabrina semakin melebarkan senyumannya. Ia semakin dibuat bahagia dengan keadaan di rumah mewah itu."Terima kasih ya, M
Mendengar cerita Sabrina, seketika Jeni tercengang. "Lalu, apa yang Raisa sampaikan sama kamu, Sabi?" tanyanya penasaran."Raisa mengucapkan terima kasih padaku, Ma. Dia berterima kasih karena aku tela merawat dan menjaga Abang Yusuf dengan baik." Sabrina kembali menjelaskan.Isi dada Jeni terasa bergetar mendengar itu. "Pasti Raisa merasa tenang di alam sana. Kamu telah menjaga Yusuf dengan baik. Mama yakin Raisa bangga padamu, Sabi."Sabrina menurunkan tatapan. Ia masih ingat dengan jelas wajah Raisa kala itu. "Semoga saja ya, Ma. Aku tidak menganggap Abang Yusuf anak tiri kok. Meski pun dia tak lahir dari rahimku, aku menyayanginya bagai anak kandung sendiri," tuturnya."Karena kamu memang wanita baik, Sabi. Mama sungguh bangga bisa mendapatkan menantu seperti kamu. Jaka memang tak pernah salah mencintai kamu," balas Jeni. Sabrina hanya bisa menyodorkan senyuman saat sang mertua memujinya.Sampai saat ini dunia Sabrina memang terasa lebih berwarna dari biasanya. Anak-anaknya berpa
Satu bulan kemudian keluarga Dirgantara nampak disibukan dengan persiapan pernikahan Sesil yang tinggal menghitung hari.Adik Sabrina itu nampak disibukan dengan segala macam persiapan menjelang pernikahannya. Hingga Sabrina pun harus turun tangan dalam membantu adik kandungnya itu.Hingga tiba pada saat ijab kabul pernikahan terucap dengan lantangnya oleh pria yang Sesil cintai. Pernikahan telah sah dilangsungkan dan Sesil telah diperistri kekasihnya. Satu hari usai pernikahan, Sesil dan suaminya langsung terbang ke bali untuk bulan madu selama satu minggu. Tentu suasana saat ini semakin membuat Sabrina lega dan bahagia karena tugasnya menjaga Sesil kini telah berpindah pada suami Sesil.Sabrina kian merasa bahagia dengan keluarga saat ini. Ia juga bahagia dengan kesibukannya saat ini sebagai ibu rumah tangga untuk empat anak-anaknya.Pagi ini bahkan Sabrina nampak sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah Aksa. Sabrina juga selalu menemani Aksa sarapan di ruang makan bersama Jaka yang j
Sabrina dan Jaka mengukir senyuman yang lebar tatkala melihat Sesil dan Jeni berpelukan. Keluarga yang nyaris sempurna setelah beberapa kali terpa ujian."Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Ijah melapor pada majikannya yang tengah bercengkerama."Oh iya. Terima kasih, Jah," ucap Jeni.Ijah tersenyum. "Sama-sama, Nyonya," balasnya kemudian berlalu setelah tugasnya selesai.Sementara Jeni segera mengajak keluarganya untuk segera makan malam, "Ayo kita makan malam bersama dulu yu."Serentak Sabrina, Aksa, Jaka dan Sesil mengangguk secara bersamaan sebagai pertanda mengiyakan ajakan Jeni barusan. Gegas mereka beranjak dari tempat duduk beralih menuju ruang makan.Di atas meja makan sudah tersaji aneka makanan yang lezat hasil dari masakan Ijah. Pembantu rumah tangga itu memang spesial memasak untuk malam ini. Melihat keluarga majikannya yang akur dan bahagia, ia merasa sangat senang.Ijah, Siti dan Iyem yang berada di ruangan sebelah ruang makan nampak tersenyum melihat kebersamaan
Sabrina akhirnya membiarkan Aksa tetap ikut bersama Sesil. Ia juga paham sebab tak ada yang menemani Sesil di rumahnya. Sabrina kembali masuk ke mobil suaminya.Sementara Aksa satu mobil bersama Sesil akan kembali ke rumahnya. Suasana hati Aksa sedikit membaik setelah ditenangkan oleh Sabrina tadi. Air matanya sudah surut namun ia memilih tetap diam dalam perjalanan pulang tanpa banyak bicara.Sesekali sebelah tangan Sesil mengusap rambut tebal Aksa. Sulit dijelaskan, tapi dia sudah menyayangi Aksa. Aksa memang terlahir dari orang tua yang tak lain adalah mantan suami Sabrina tapi Sesil tak lagi mempermasalahkan itu. Ia sudah menyayangi Aksa dengan sebenar-benarnya.'Ya Tuhan, anak kecil di dekatku sungguh malang. Dia tak menginginkan kesedihan ini terjadi. Izinkan hamba untuk selalu menjaga dan merawatnya sampai dewasa nanti,' harap Sesil dalam hati.Harapan yang sama yang tengah diucapkan Sabrina saat ini. Dalam perjalanan pulang bersama suaminya, Sabrina masih memikirkan perasaan A
"Aku dan Aksa akan melayat, Mba. Aku akan mengantar Aksa. Kasihan kan," balas Sesil.Sabrina kembali dibuat dilema. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan Aksa bersedih sendirian. Anak itu telah kehilangan segalanya. Orang tua satu-satunya Aksa kini turut berpulang ke sisi Tuhan karena penyakit komplikasi yang diidap. Sabrina tak pernah menyangka dengan kehidupan mantan suaminya yang memilukan."Sil, aku juga ingin ikut melayat. Aku kasihan pada Aksa. Tapi aku akan minta izin Mas Jaka terlebih dahulu ya," kata Sabrina. Ia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya."Kita ketemu di rumah tahanan saja ya, Mba. Kasihan Aksa tak bisa menunggu lagi." Sesil kembali bicara."Iya, aku ingin bicara dengan Aksa terlebih dahulu " pinta Sabrina."Boleh, Mba." Dalam detik yang sama, sepertinya Sesil langsung memberikan ponsel pintarnya pada Aksa."Iya, Ibu." Suara Aksa terdengar bergetar berat."Aksa, dengarkan Ibu ya. Tetap tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Aksa dan Kak Sesil pergi
Sabrina sudah berdiri di depan rumah. Ia segera bertanya pada security di depan rumahnya."Mas, itu ambulance kemana?" tanya Sabrina pada pria berseragam layaknya security di rumahnya itu. Degup jantungnya masih sama, sebab suara sirine ambulance semakian mendekati arah rumahnya."Itu ada tetangga rumah sebelah yang meninggal, Non," jawab Security Sabrina.Seketika Sabrina menghela napas lega. "Saya pikir siapa. Kaget banget," desisnya. Akhirnya napas yang sempat tersengal kini mulai terasa lancar."Hanya tetangga, Non. Kabarnya meninggal karena kecelakaan," jelas security itu lagi."Ya sudah saya masuk lagi ya. Kabari saya kalau Mas Jaka pulang," pinta Sabrina."Siap, Non." Pria itu dengan tegasnya.Sabrina kemudian segera masuk kembali ke rumahnya. Ia masih belum juga tenang sebab belum mendapatkan kabar dari suaminya. Ia tak bisa menelepon Jaka lagi, sebab anak kembarnya minta ASI. Seperti biasa, Sabrina menyusui anak kembarnya secara bergantian. Ia selalu melakukan kewajibannya se
"Klinik yang di dekat toko, Mba. Duh kasihan sekali Aksa. Aku sampai gak tega melihatnya. Sedari tadi Aksa mengigau nama papanya terus," kata Sesil lagi."Ya Tuhan, kasihan sekali Aksa. Memangnya kamu gak pernah bawa Aksa nengokin papanya di penjara?" Sabrina bertanya lagi."Sudah, Mba. Ceritanya dua hari yang lalu Aksa ingin bertemu papanya di penjara, aku mengabulkan keinginan Aksa. Ternyata Mas Hasbi sakit Mba. Semenjak saat itu Aksa terus saja memikirkan papanya." Sesil menjelaskan."Mas Hasbi sakit apa memangnya?" Lagi-lagi Sabrina bertanya. Ia masih menempelkan ponsel pintar pada telinganya."Katanya komplikasi, Mba. Sakit paru-paru dan lambung kronis. Aksa sampai sedih melihat papanya. Saat ini ada di klinik tahanan tengah dirawat oleh perawat di sana," kata Sesil."Ya Tuhan, sungguh aku kasihan pada Aksa. Anak sekecil Aksa sudah memiliki banyak sekali beban. Sebenarnya aku ingin menemui Aksa sekarang, tapi keadaannya tidak memungkinkan, Sil," terang Sabrina pada adiknya."Kena