"Kok malah minta uang sama aku? Kan kamu punya uang sendiri?" ujar Malik kesal. "Hallo. Yang mau makan 'kan kamu. Jadi kamulah yang harus beli," sahut Karin tanpa menurunkan tangannya. Malik merogoh dompet di saku celananya. Lalu memerintahkan Karin untuk segera memesan makanan karena perutnya yang sudah terasa lapar. "Ya sudah, kamu mandi saja dulu. Nanti kita pikirkan bagaimana caranya supaya jabatan kamu bisa naik lagi," ujar Karin tersenyum.Malik menuruti perkataan Karin. Lelaki itu segera masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan menenangkan pikirannya. Karin yang melihat Malik masuk ke dalam kamar, segera merogoh ponselnya. "Sayang, Mas Malik diturunkan dari jabatannya." Begitulah pesan yang dikirimkan Karin melalui ponselnya itu. "Kok bisa?""Katanya dia diturunkan jabatan karena tidak datang meeting tadi siang.""Bukannya sudah biasa seperti itu?""Iya benar. Tapi sekarang perusahaan diambil alih anak Pak Jodi. Jadi beliaulah yang menurunkan jabatan Mas Malik.""
Bab 1"Rindi, itu bukannya Mas Malik, ya?" Rindi yang sedang fokus menatap lurus ke jalan, seketika mengalihkan pandangannya ke arah jari telunjuk sahabatnya. Mata perempuan itu melebar sempurna ketika melihat di mobil yang berada di sebelah mobil mereka. Terlihat jelas wajah suaminya sedang bermesraan dengan seorang perempuan. "Mas Malik? Siapa perempuan itu?" Rindi menggigit bibir bawahnya dan segera mengambil ponsel yang ada di dalam tasnya. Perempuan itu segera menghubungi sang suami untuk memastikan apakah suaminya berbohong atau tidak. "Assalamualaikum, Mas? Lagi di mana?" tanya Rindi. Ia berusaha berbicara dengan nada santai agar tidak terdengar kaku dan bergetar. "Waalaikumsalam, Sayang. Lagi di kantor lah. Lagi kerja. Emangnya kenapa?" Malik menyahut di seberang telepon. "Beneran lagi di kantor?""Ya benarlah. Kalau nggak di kantor, Kamu pikir aku di mana?""Akuuu ....""Udah ya. Aku masih banyak kerjaan nih." Malik memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Rindi m
Bab 2"Kamu tunggu saja di rumahmu," ujar Rindi memutuskan sambungan telepon. Rindi meraih kunci mobil dan mengambil semua barang-barang pentingnya. Ia memasukkan barang-barang itu ke dalam tas besar dan segera pergi meninggalkan rumah. "Seperti janji kita, jika kamu berani selingkuh, maka aku akan membuangmu beserta kenangan kita," ujar Rindi menatap Poto pernikahannya. Ia buru-buru membawa mobil meninggalkan halaman rumahnya. Sesampai di halaman sebuah cafe, Rindi menghubungi seseorang. "Pak, saya sudah di depan cafe bersama mobilnya."***"Rindi. Kamu kok nggak bangunin aku sih?" Malik yang baru saja terbangun dari tidurnya sangat terkejut ketika melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi. "Loh, kok Rindi nggak ada?"Lelaki itu mengusap rambutnya dengan kasar karena pagi ini ada meeting penting di kantornya. Sedangkan Rindi tidak membangunkannya. Bahkan batang hidung perempuan itu pun tidak kelihatan."Rindi! Rindi! Kamu di mana?" Malik terus berteriak memanggil Rind
Bab 3Rindi hanya tersenyum mendengar perkataan Dinda. Perempuan itu memutar posisi laptopnya agar dilihat oleh sang sahabat. "Ya ampun, Rin. Kapan kamu pasang cctv-nya?" Dinda terbelalak melihat apa yang ada di layar laptop tersebut. "Kamu nggak perlu tanya kapan aku memasangnya. Yang pasti kita hanya perlu menunggu kapan mereka mulai beraksi," sahut Rindi sambil tersenyum dan menggenggam erat laptop yang ada di pangkuannya. Keduanya sama-sama menyaksikan adegan di layar laptop itu dengan penuh kebencian. Terlebih Rindi yang merasa teramat sangat sakit hati karena ranjang yang digunakan oleh Malik dan Karin adalah ranjang pernikahannya dengan Malik. "Sekarang Rin. Pas Mereka lagi asik-asiknya." Dinda langsung menutup layar laptop tersebut karena tidak sanggup lagi melihat pemandangan yang ada di sana. Ia membuka pintu mobil dan mengajak Rindi untuk segera masuk ke dalam rumah. Sementara itu, Malik dan Karin benar-benar sedang terbuai asmara. Keduanya sedang terbuai di atas awan
Bab 4"Aku mau pulang ke rumah orang tuaku aja," sahut Rindi tertunduk."Pulang ke rumah orang tuamu? Yakin? Kenapa nggak tinggal di sini aja. Kalau emang nggak betah tinggal di rumahku, kita bisa membeli rumah baru untukmu. Toh tabunganmu masih banyak 'kan?" Dinda menghampiri Rindi dan mengambil koper sahabatnya itu. "Pulang ke kampung bukan solusi yang baik. Apa kamu sudah siap jika nanti ditanyakan oleh papamu tentang pernikahanmu dengan Malik? Belum lagi nanti ocehan para tetangga di sana?" Gadis itu mendudukkan Rindi di sofa dan meminta Rindi untuk menenangkan diri terlebih dahulu. "Aku sudah tidak sudi lagi melihat wajah Mas Malik. Aku tidak sudi bertemu dengannya suatu saat. Jadi lebih baik aku pulang kampung saja.""Tapi bagaimana kalau ....""Orang tuaku pasti akan mengerti. Dan aku tidak akan pernah peduli dengan apapun perkataan para tetangga. Tekadku sudah bulat."Dinda menarik nafas dalam-dalam mendengar perkataan Rindi. Ia tak bisa menahan sahabatnya itu karena Rini pu
Bab 5"Tapi Om Jodi adalah seorang pebisnis yang handal. Perusahaan miliknya berkembang pesat di kota Jambi. Bahkan ia tidak hanya memiliki perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit saja. Tapi sekarang dia punya perusahaan yang bergerak di bidang industri." Alvin duduk di hadapan Rindi sambil menyatukan kedua tangannya. "Abangmu benar. Perusahaan Jodi yang berpusat di ibukota Jambi yang bergerak di bidang industri saat ini sedang berkembang pesat. Bahkan perusahaan itu adalah perusahaan industri terbesar di Sumatera," ujar Pak Candra. Lelaki itu mengusap-usap rambut Putri semata wayangnya. "Bersyukur dia mau mengajarimu mengelola perusahaan. Mengingat dia sangat sibuk," tambahnya lagi."Perusahaan industri terbesar di pulau Sumatera? Bukannya perusahaan yang terbesar di Sumatera itu adalah perusahaan Aiden?" Alis Rindi saling tertaut mendengar penjelasan dari ayahnya. "Kamu mengenali perusahaan itu?" Pak Candra dan Alvin bertanya secara bersamaan. "Itu ... Perusahaan di mana
"Aku juga nggak tahu. Ayo kita masuk sekarang," ujar Malik seraya menggandeng tangan Karin agar segera masuk.Mereka lebih terkejut lagi karena ternyata pintu rumah itu tidak dikunci. "Kayaknya rumah kita kemalingan deh," ujar Karin dengan perasaan cemas. Perempuan itu buru-buru masuk ke dalam rumah dan memeriksa barang-barang apa saja yang diambil oleh Maling. "TV masih ada. Kulkas juga masih ada," ujarnya setengah bergumam. "Nggak mungkin dong malingnya membawa barang elektronik berat seperti itu. Pasti mereka membawa barang-barang yang lebih mudah dibawa," sahut Malik. "Astaga perhiasanku!""Uang tabunganku!" Sepasang kekasih itu berhambur masuk ke dalam kamar untuk mengecek barang-barang berharga mereka di dalam kamar. Keduanya menghela nafas lega karena ternyata di dalam kamar Itu semuanya masih ada. "Berarti nggak ada maling masuk rumah ini. Lalu siapa yang membuka pintu kamar dan pintu rumah?" Karin menoleh ke arah Malik dengan perasaan heran. "Mas juga nggak tahu sih.
Jangan coba-coba menyembunyikan sesuatu dari Abang. Apapun itu, kita tidak pernah saling tertutup." Kali ini tatapan mata Alvin teramat sangat tajam pada Rindi. Rindi akhirnya memperlihatkan sebuah bungkusan plastik yang disembunyikannya di balik punggung. Ia memberikan bungkusan itu dengan tangan gemetar karena yakin sebentar lagi akan mendapat amukan dari abangnya. "Maafin Rindi, Bang. Rindi tidak bermaksud berbuat jahat. Rindi hanya ingin memberi pelajaran kepada mereka berdua," ujar Rindi sambil tertunduk. Alvin mengambil bungkusan itu dari tangan Rindi. Ia mengalihkan tatapan tajamnya dari bungkusan itu ke wajah adiknya yang masih tertunduk. "Hufffhhhh! Kamu kok kayak ketakutan gitu sih? Biasa aja kali." Alvin tertawa sambil mengusap-usap rambut adiknya "Kalau perlu kamu kasih mereka pelajaran yang lebih parah dari ini!" "Maksud Abang?""Kenapa Abang harus marah kamu memberi pelajaran kepada seorang penghianat? Abang justru senang karena sekarang kamu bukan lagi seorang pere
"Kok malah minta uang sama aku? Kan kamu punya uang sendiri?" ujar Malik kesal. "Hallo. Yang mau makan 'kan kamu. Jadi kamulah yang harus beli," sahut Karin tanpa menurunkan tangannya. Malik merogoh dompet di saku celananya. Lalu memerintahkan Karin untuk segera memesan makanan karena perutnya yang sudah terasa lapar. "Ya sudah, kamu mandi saja dulu. Nanti kita pikirkan bagaimana caranya supaya jabatan kamu bisa naik lagi," ujar Karin tersenyum.Malik menuruti perkataan Karin. Lelaki itu segera masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan menenangkan pikirannya. Karin yang melihat Malik masuk ke dalam kamar, segera merogoh ponselnya. "Sayang, Mas Malik diturunkan dari jabatannya." Begitulah pesan yang dikirimkan Karin melalui ponselnya itu. "Kok bisa?""Katanya dia diturunkan jabatan karena tidak datang meeting tadi siang.""Bukannya sudah biasa seperti itu?""Iya benar. Tapi sekarang perusahaan diambil alih anak Pak Jodi. Jadi beliaulah yang menurunkan jabatan Mas Malik.""
"Kamu beneran nggak tahu kebiasaan buruk suamimu dengan urusan pekerjaan?" Deva menatap serius pada Rindi. "Aku bener-bener nggak ngerti?""Ternyata Malik itu sering banget terlambat datang meeting ke kantor. Berbagai alasan yang selalu dia sampaikan kepada Faisal. Salah satunya tidak enak badan." Deva pun akhirnya meluruskan pembicaraannya. "Nggak mungkin. Selama ini setiap kali ada meeting penting, Mas Malik selalu minta dibangunkan pagi sama aku. Jam 07.00 juga dia sudah berangkat ke kantor."Deva terkekeh mendengar perkataan Rindi. "Aku serius, Dev." "Aku percaya kok sama kamu. Yang membuat aku tidak habis pikir, kenapa perempuan smart seperti kamu bisa dibohongi oleh laki-laki seperti Malik." Deva menggelengkan kepalanya sambil menatap miris pada Rindi. "Selama ini, setiap kali sebelum meeting dia pasti pergi ke suatu tempat yang membuatnya merasa nyaman dan bahagia. Di sanalah dia mengulur waktu untuk datang ke kantor.""Berarti Mas Malik punya selingkuhan lain? Secara Kari
"Mau ke mana kamu? Mau minggat?" Malik baru saja hendak berdiri dari tempat duduknya ketika tiba-tiba seseorang menghampirinya. "Saya izin pulang sebentar," sahut Malik santai. "Tidak saya izinkan.""Emangnya kamu siapa?""Saya kepala divisi pemasaran yang baru. Saya diperintahkan oleh Pak Deva agar mengawasi para karyawan yang kerjaannya sering pulang cepat," ujar lelaki bernama Ridho itu dengan sinis."Jadi kamu yang menggantikan posisiku? Kamu sogok berapa Pak Deva?"Ridho yang mendengar perkataan Malik merasa sakit hati. Lelaki itu hendak melayangkan bogem mentah di wajah Malik. Namun ia urungkan karena khawatir perbuatannya akan menuai keributan."Saya tidak pernah menyogok Pak Deva. Saya sendiri juga tidak kenal dengan dia. Tapi sepertinya Pak Deva melihat kinerja saya yang memang bagus selama ini." Ia berkata setengah berbisik di telinga Malik. "Saya memang karyawan yang kinerjanya bagus selama ini. Hanya saja ditutupi oleh kebohongan seorang atasan," lanjutnya lagi sambil
"Ah, iya, Maaf." Deva langsung melepaskan genggaman tangannya yang cukup kuat pada Malik. Ia tersenyum simpul ketika Malik memperkenalkan dirinya sebagai seorang kepala divisi pemasaran yang paling handal. "Terima kasih untuk penjelasan anda tentang kinerja anda selama bekerja di perusahaan Papa saya. Sayang sekali, sekarang perusahaan ini dialihkan pada saya, jadi semua kebijakan akan memakai aturan yang telah saya putuskan tadi." Deva berdiri dari tempat duduk dan merapikan dasinya. Lelaki itu mengitari Malik yang terlihat kebingungan mendengar ucapan Deva. "Saya sudah memutuskan akan menggantikan posisi anda sebagai kepala divisi pemasaran dengan karyawan yang lain. Mengingat kelalaian anda yang tidak mengikuti meeting pagi tadi. Padahal meeting itu sangat penting," ujar Deva dengan tegas. Malik yang mendengar perkataan Deva langsung berdiri di hadapan pemuda itu. "Saya sedang tidak enak badan, Pak Deva. Kondisi saya benar-benar lemas," ujarnya seraya memperlihatkan wajah lema
"Sepertinya Pak Malik tidak bisa datang. Soalnya sampai sekarang ponselnya tidak bisa dihubungi," ujar asisten Pak Jodi yang sekarang sudah menjadi asisten Deva. Deva tersenyum miring mendengar perkataan asisten itu. Ia duduk di kursi kebesarannya dan menatap karyawan itu satu per satu. "Apa selama ini Papa saya terlalu lalai sehingga bisa membiarkan karyawan yang tidak bisa hadir pada saat meeting? Persis seperti kejadian hari ini?" Tanya Deva dengan tatapan tajam. Seluruh karyawan tertunduk. "Mungkin selama Papa memegang perusahaan ini, dia tidak tahu kelakuan karyawannya. Tapi mulai sekarang, saya yang akan mengkondisikan orang-orang yang ada di perusahaan ini," tambah Deva lagi. Suasana meeting yang tadi hangat berubah menjadi kaku ketika Deva mengatakan poin-poin yang akan ia buat untuk perubahan di perusahaan itu. "Sementara untuk karyawan yang ketahuan menjalin hubungan, tidak ada ceritanya akan diberi surat peringatan saja. Tapi akan saya pecat langsung dari pe
"Aku nggak meminta bahu itu untuk menyanggah badanku.""Tapi tanpa bahu ini, kamu pasti akan ditemani oleh ...." Deva tersenyum miring seraya memindai tempat tersebut. Rindi langsung teringat pada hantu jadi-jadian yang dibuat Bu Retno."Rese banget sih!" Ia bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan Deva. Namun lelaki itu mengikuti langkah Rindi. "Kamu ngapain sih? Kayak anak kecil aja ngintilin aku terus.""Aku 'kan pacar kamu." Deva mencondongkan tubuhnya di hadapan Rindi. Rindi langsung terpaku mendengar ucapan Deva. Perempuan itu memutuskan berlari meninggalkan Deva menuju mushola. Deva berjalan santai mengikuti Rindi yang berlari dengan cepat. Ia tahu perempuan itu pasti akan melaksanakan ibadah salat subuh. "Deva juga ikut salat?" Rindi mengernyitkan keningnya ketika telah selesai mengambil wudhu dan mendapati Deva yang juga sudah selesai mengambil air wudhu. "Tumben ada pemuda yang rajin salat."Mereka sama-sama masuk ke dalam mushola dan melaksanakan ibadah salat sub
"Dasar Cemen. Baru segitu aja udah pingsan," ujar Rindi yang tertawa melihat kelakuan Karin dan Malik di layar laptopnya. Deva langsung menutup mulut Rindi karena mereka masih berada di luar ruang ICU. Ada beberapa pasang mata yang menoleh ke arah mereka."Sorry, Dev. Soalnya aku nggak bisa nahan tawa. Lucu banget ngelihat mereka," ujar Rindi yang langsung mematikan layar laptopnya. Perempuan itu memasukkan laptop tersebut kembali ke dalam tas dan meletakkannya di salah satu pojok ruangan. "Kenapa kamu punya ide seperti ini? Kenapa nggak ide yang lain aja untuk ngerjain mantan suamimu itu?" tanya Deva. "Karena aku tahu mas Malik itu orangnya penakut. Dia nggak bakalan betah tinggal di rumah itu kalau tahu di rumah itu ada hantunya," sahut Rindi sambil terkekeh. "Terus kamu yakin kalau dia akan angkat kaki dari rumah mewah itu? Secara kan mereka sudah membayar sewa untuk 6 bulan kedepan," "Yakin dong. Paling lama esok pagi mereka pasti angkat kaki dari sana. Apalagi kalau nanti m
"Kurang kerjaan banget sih. Ya udah, kalau gitu kamu ke sini sekarang," balas Rindi melalui pesan whatsapp tersebut. Deva mengulum senyum membaca pesan yang dikirimkan oleh Rindi. Ia bergegas berganti pakaian dan meraih kunci mobil di atas nakas.Ia membawa mobil dengan kecepatan normal. Sesekali dirapikannya rambut sambil menoleh ke arah kaca spion. "Rapi amat? Emangnya mau ke mana?" tanya Rindi ketika Deva sudah ada di hadapannya. "Aku selalu rapi kok. Nggak pernah kusut," sahut Deva santai. Lelaki itu segera duduk di samping Rindi dan melirik ke arah ponsel Rindi yang sedari tadi menyala. "Nih laptop kamu," ujar Deva. Ia menyodorkan laptop pada Rindi."Kok bisa kamu bawa?""Tadi aku mampir dulu ke rumahmu dan meminta laptop ini pada Alvin."Rindi mengucapkan terima kasih karena Deva telah membantunya bergerak dengan cepat. Mereka pun mulai melihat layar laptop tersebut yang menghubungkan ke beberapa kamera yang ada di rumah sewa Malik dan Karin. "Tuh kayaknya Bu Retno sudah m
"Terserah kamu saja! Aku pusing terus-terusan berdebat!"Malik memutuskan untuk pergi dari rumah tersebut. Pikirannya terasa kacau akhir-akhir ini semenjak terusir dari Rindi. Ia tak menyangka kalau Rindi berbuat nekat dengan menjual rumah tersebut. "Aku harus mencari Rindi. Aku harus minta bagi hasil harta gono gini. Mengingat rumah itu dibeli setelah kami menikah," gumamnya seorang diri. Malik pun akhirnya memutuskan untuk mendatangi rumah sakit di mana ia bertemu dengan Rindi beberapa hari yang lalu. Ia berharap bisa mendapatkan jawaban di sana. "Pihak rumah sakit pasti tahu di mana alamat Rindi," gumamnya sambil melajukan mobil menuju rumah sakit. Sesampai di rumah sakit, Malik langsung menemui perawat jaga dan menanyakan tentang pasien bernama Rindi. "Nggak mungkin nggak ada! Jelas-jelas kemarin istri saya berobat ke sini." Malik mulai berdebat dengan perawat tersebut karena perawat itu bersikeras mengatakan kalau ia tidak menemukan nama pasien bernama Rindi. "Tidak ada unt