Jangan coba-coba menyembunyikan sesuatu dari Abang. Apapun itu, kita tidak pernah saling tertutup." Kali ini tatapan mata Alvin teramat sangat tajam pada Rindi.
Rindi akhirnya memperlihatkan sebuah bungkusan plastik yang disembunyikannya di balik punggung. Ia memberikan bungkusan itu dengan tangan gemetar karena yakin sebentar lagi akan mendapat amukan dari abangnya. "Maafin Rindi, Bang. Rindi tidak bermaksud berbuat jahat. Rindi hanya ingin memberi pelajaran kepada mereka berdua," ujar Rindi sambil tertunduk. Alvin mengambil bungkusan itu dari tangan Rindi. Ia mengalihkan tatapan tajamnya dari bungkusan itu ke wajah adiknya yang masih tertunduk. "Hufffhhhh! Kamu kok kayak ketakutan gitu sih? Biasa aja kali." Alvin tertawa sambil mengusap-usap rambut adiknya "Kalau perlu kamu kasih mereka pelajaran yang lebih parah dari ini!" "Maksud Abang?" "Kenapa Abang harus marah kamu memberi pelajaran kepada seorang penghianat? Abang justru senang karena sekarang kamu bukan lagi seorang perempuan cengeng karena dibutakan oleh cinta." "Serius Abang nggak marah?" Rindi memegang tangan Alvin dengan wajah serius. "Bukannya dulu Abang selalu memarahiku kalau membalas kejahatan teman-teman di sekolah?" "Itu karena kamu tidak tahu cara memberi pembalasan pada temanmu yang jahat. Dan juga pembalasanmu itu hanya akan membuat Papa dipanggil ke sekolah." "Lalu ini?" "Untuk kasus kali ini tuh beda. Kamu emang harus balas dendam atas penghianatan Malik. Kamu boleh melakukan apa saja kalau itu memang bisa membuat hatimu bahagia." Rindi berhambur memeluk Alvin. Ia terharu karena sekarang abangnya itu sudah mengizinkan ia untuk balas dendam pada orang-orang yang menyakitinya. "Abang justru bangga sama kamu. Sekarang kamu bukan lagi adik Abang yang cengeng. Bukan lagi adik Abang yang hanya bisa menangis kalau sedang patah hati hingga mukanya sembab," ujar Alvin sambil melepaskan usapan tangannya di kepala Rindi. "Rindi pasti akan balas apa yang sudah dilakukan oleh Mas Malik. Dia harus membalas penghianatannya. Pengorbanan Rindi yang sudah meninggalkan Papa selama 5 tahun demi dia, harus terbalaskan." Rindi berkata dengan senyum mengembang. "Nah, gitu dong. Baru namanya perempuan hebat." Rindi melirik roji yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia berpamitan pada Alvin untuk masuk ke dalam kamar. "Kayaknya sekarang mereka sudah selesai dengan adegan panasnya." Rindi tersenyum seraya membuka laptop. Ia ingat betul seperti apa percintaan yang sering dijalaninya bersama Malik. Paling lama mereka bercinta lima menit saja. Karena Malik terlalu cepat sehingga sebenarnya Rindi tidak puas. Lima menit bercinta saja membuat Malik lemas dan tidak bertenaga lagi. "Tuh kan. Ternyata mereka malah sudah mandi." Rindi semakin tersenyum ketika melihat keduanya yang tengah mengenakan bathrope. "Ya ampun, Sayang. Kok badan aku tiba-tiba bentol gini sih?" Karin memperlihatkan bagian kulitnya yang bentol-bentol kecil. "Eh iya loh. Kok bisa bentol gini ya?" Malik memutar-mutar tubuh istrinya yang polos karena sudah dilepas bathrope-nya. "Muka Mas juga merah gitu." Karin memegangi wajah Malik yang terlihat merah. Keduanya menggaruk bagian tubuh mereka yang terasa gatal. Bahkan Karin berkali-kali memaki Malik karena Malik tak bisa membantunya untuk meredakan rasa gatal itu. "Mampus. Ini tuh baru permulaan, tahu. Kalian akan merasakan sakit yang lebih dari ini!" Rindi menatap laptop dengan penuh kebencian. Ia sebenarnya masih ingin menyaksikan kesakitan yang dirasakan oleh Malik dan Karin. Namun tiba-tiba Alvin masuk ke dalam kamarnya sambil membawa sebuah Map. "Ini data Pak Jodi. Di sana lengkap tertulis pendidikannya, pekerjaannya, bisnisnya, dan apa-apa saja yang dia sukai jika bertemu dengan relasi bisnis. Jadi kamu bisa mengkondisikan dirimu ketika bertemu dengannya," ujar Alvin. Rindi menerima map tersebut dan membukanya perlahan. "Hmmm. Ternyata pak Jodi itu seumuran sama Papa ya? Udah tua juga. Benaran Om-om ini mah. Hebat banget dia bisa mengembangkan perusahaan bahkan membuka cabang baru di usianya yang udah tua," ujar Rindi seraya meneliti karir demi karir yang tengah digeluti oleh Pak Jodi. "Esok pagi jadwal kamu bertemu dengan Pak Jodi. Jadi kamu harus mengetahui apa-apa saja yang dia sukai dan tidak. Jangan sampai dia jadi ilfil sama kamu dan mencabut janjinya pada Papa," ujar Alvin sambil menepuk bahu Rindi. Rindi pun menutup layar laptopnya dan mempelajari data dari Pak Jodi. Ia bertekad untuk membuat Pak Jodi bersedia mengajarkannya sampai benar-benar bisa memegang tampuk perusahaan papanya. *** "Hati-hati di jalan. Kalian berdua bersikap sopanlah pada Pak Jodi. Dia juga orang yang baik," ujar Pak Chandra pada kedua anaknya. Rindi dan Alvin berpamitan hendak mengadakan pertemuan dengan Pak Jodi. "Pokoknya aku harus meyakinkan Pak Jodi agar dia bersedia mengajariku perusahaan ini dan menjalin kerjasama dengan perusahaan yang ada di kota Jambi." Rindi menoleh pada abangnya yang sedang fokus menyetir. "Ya harus dong." "Soalnya aku harus bisa masuk ke perusahaan Pak Jodi agar bisa memberi pelajaran kepada Malik dan Karin." "Makanya kamu harus semangat untuk mendapatkan perhatian dari Pak Jodi." Alvin memarkirkan mobilnya di halaman sebuah cafe yang cukup terkenal. Keduanya segera masuk ke dalam cafe tersebut dan menghampiri sebuah ruangan yang sudah dipesan oleh Pak Jodi. "Silakan menunggu. Pak Jodi-nya belum datang," ujar salah seorang waiters di cafe tersebut. Rindi sebenarnya merasa kesal karena ternyata pak Jodi tidak datang tepat waktu. Namun ia harus tetap menunggu dengan sabar karena benar-benar membutuhkan Pak Jodi untuk misinya. "Nah tuh asisten Pak Jodi datang." Alvin langsung menarik tangan Rindi agar berdiri dan menghampiri seorang laki-laki. "Maaf, Pak. Pak Jodi tiba-tiba ada meeting dengan klien dari Prancis." Lelaki itu menghampiri Rindi dan Alvin. "Lah, kok?" "Tapi tenang saja, beliau sudah mengutus seseorang untuk menggantikannya datang ke sini." Asisten Pak Jodi melanjutkan ucapannya. Ia menunjuk pada seorang laki-laki muda memakai jas rapi, berbadan tegap dengan kulit putih bersih yang tengah membuka kacamatanya. Pemuda itu tersenyum menghampirinya Rindi dan Alvin. "Halo, Alvin. Apa kabar?" Rindi terperangah ketika sosok tampan itu sudah berdiri tegap di hadapannya dengan senyum menawan. "Dia siapa, Bang?" bisiknya pada Alvin."Nona Rindi Vella Rosdella. Ada yang salah dengan saya?" Pemuda itu mengibas-ngibaskan tangannya di hadapan Rindi. "Dek. Kok malah bengong aja sih?" Alvin mencubit pinggang Rindi dengan kuat sehingga adiknya itu tersentak dari lamunan. "Maaf, Pak." Rindi menangkupkan kedua tangannya di hadapan pemuda itu. "Pak? Emangnya saya seperti bapak-bapak ya?" Lelaki itu melirik sambil menarik meja yang ada di hadapannya. "Kamu tuh gimana sih, masa Deva dipanggil Pak?" Alvin juga ikut berbisik di telinga adiknya. "Deva?""Ternyata Rindi sudah nggak ingat lagi sama aku." Lelaki yang bernama Deva itu menyunggingkan senyumnya di hadapan Rindi. "Emangnya kita pernah ketemu? Di mana?" Rindi menatap Alvin dan Deva bergantian. "Deva ini anaknya Pak Jodi yang bungsu. Masa kamu lupa sih? Kita pernah bertemu dengan Deva ketika ikut Papa merayakan ulang tahun pernikahan Pak Jodi dengan istrinya. Waktu itu kamu sedang dimabuk asmara sama Malik." Alvin menyahut dengan nada malas. "Masa sih? Pas yang
"Gimana dong, Bang? Pasti Mas Malik heran mengapa kita ada di sini?" Rindi kebingungan karena Malik yang berjalan masuk ke dalam cafe. "Astag. Ini tuh ruangan VIP. Kita yang di dalam saja yang bisa melihat luar sana." Alvin langsung menepuk keningnya sambil terkekeh. "Udah kayak orang goblok kali ini."Rindi pun demikian. Ia menyadari ketololannya yang terlalu takut pada Malik. Padahal posisi mereka aman karena berada di ruang VIP yang kacanya tidak tembus pandang dari luar. "Dia siapa?" tanya Deva dengan alis saling tertaut."Bukan siapa-siapa," sungut Rindi.Deva menyadari perubahan wajah Rindi yang terlihat tidak baik-baik saja. Ia memilih diam dan tidak bertanya lebih banyak lagi. Fokusnya pun kembali pada pembicaraan awal."Siapa tadi yang kamu bilang ada penghianat di kantor Papa?" Tanya Alvin mencairkan suasana."Nah itu. Papaku mengatakan kalau kemungkinan besar pengkhianat itu ada di keluarga kalian," sahut Deva. "Keluarga? Maksudnya? Bukannya keluarga Papa tidak ada yang
"Ikut aku," ujar Rindi. Ia berjalan menuju salah satu sudut ruangan."Perempuan emang ribet. Makanya sampai sekarang aku males pacaran," ujar Deva seraya melirik ke arah Rindi yang sedang berbicara serius dengan anak buahnya. "Rindi sebenarnya nggak ribet. Malah dia perempuan yang hebat dan tegar. Hanya saja dia sudah disakiti oleh seorang laki-laki, jadi dia tantrum gitu deh," sahut Alvin. Beberapa saat kemudian, anak buah Deva berpamitan pada bos-nya untuk pergi ke toilet. "Kamu suruh dia ngapain?" Deva menatap Rindi dengan tatapan penuh selidik. "Nggak kerjaan yang membahayakan 'kan?" "Sayang banget sama anak buahnya. Ya enggaklah." Rindi menarik kursi dan kembali duduk di hadapan Deva. "Kapan kita akan belajar lagi?" Tanyanya lagi seraya menopang kedua tangannya di bawah dagu. Hal itu membuat Deva tiba-tiba merasa gugup. Ia merasa ada sesuatu yang menjalar hangat di dalam darahnya. "Dev, kok malah bengong?" Alvin menyenggol Deva yang duduk di sampingnya. Deva tergagap. "K
"Udah, temui aja dia." Lia tersenyum sambil kembali menutup pintu. Rindi merapikan rambutnya yang berantakan. Ia keluar kamar dan segera menemui Deva. "Ngapain kamu ke sini?""Aku minta maaf. Aku nggak ada niat buat melukai perasaanmu dengan menyebutkan soal ....""Buat apa minta maaf. Emang kenyataannya Aku seorang janda 'kan?""Ya tapi maksud aku nggak kayak gitu, Rin ....""Serah deh."Deva mendekati Rindi dan memberikan seikat bunga mawar berwarna kuning padanya. "Sebagai seorang teman, Aku nggak mau kamu lama ngambeknya." Ia berkata sambil meraih tangan Rindi. "Teman? Bukannya kita cuma sebatas relasi bisnis, ya?" Rindi mencebikkan bibirnya. "Relasi bisnis sekaligus teman. Emangnya kamu nggak mau berteman sama aku?" tanya Deva tanpa melepas senyum di bibirnya.Rindi sebenarnya hendak menarik tangannya dari Deva dan menolak bunga pemberian pemuda itu. Namun ia tidak bisa menolak ketika papanya datang malah menghampiri mereka. "Deva anak yang baik. Nggak ada salahnya kamu ber
"Kalau kamu nggak kuat pedas, maka kamu harus mengajarkan aku jurus pamungkas bagaimana caranya menjadi seorang pengusaha sukses seperti kamu. Selain itu, kamu harus berpura-pura menjadi kekasihku." Rindi tersenyum manis di hadapan Deva. "Tapi kalau aku yang nggak kuat pedas, maka aku akan bayar kamu selama mengajarkanku mengelola perusahaan. Dan aku akan traktir kamu makan setiap hari selama setahun," tambahnya lagi. Deva hanya tersenyum mendengar perkataan Rindi. "Nggak salah? Sekuat-kuatnya perempuan makan pedas, tidak akan kuat menyanggupi level tertinggi di penjual seblak itu," ujarnya ambil menyunggingkan senyum pada Rindi. "Kita belum mencoba 'kan?""Ayo kita coba.""Deal taruhannya!" Keduanya berjabat tangan."Apa kamu tidak keberatan berpura-pura menjadi pacar seorang JANDA?""No problem!"Keduanya pun segera masuk ke dalam mobil menuju penjual seblak terenak di Kabupaten itu. "Saya pesan seblak dengan level tertinggi sebanyak 2 porsi," ujar Deva seraya mendekati penjual
"Gila. Ini kok pedas banget ya? Padahal minggu lalu untuk level tertinggi tidak sepedas ini," gumam Deva sambil menyeka keringat yang menetes di pelipisnya. Ia melirik Rindi yang sangat cepat menghabiskan seblak yang ada di mangkoknya. "Kuat banget Rindi makan pedas?" Deva menatap serius pada Rindi yang sedikitpun tidak melirik ke arahnya. Ia terkejut ketika tiba-tiba sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya. "Alvin?""Deva, aku minta tolong banget. Kamu harus membantu misi Rindi untuk memberi pelajaran kepada mantan suaminya. Tolong biarkan dia menang dalam taruhan itu." Begitulah pesan yang dikirimkan oleh Alvin pada ponsel Deva. Deva menatap Rindi yang semakin bersemangat. "Sebenarnya Rindi seorang perempuan yang cantik dan cerdas. Hanya saja dia berstatus seorang janda," gumamnya seorang diri. "Tapi tidak masalah. Toh tidak semua orang tahu tentang pernikahan Rindi. Jadi statusnya pun bisa disembunyikan," tambahnya lagi dengan senyum mengembang. Deva kembali meraih mangkuk
"Ya ampun. Kamu dari mana emangnya? Kasihan banget sampai muntah begitu?" Karin tersenyum sinis pada Rindi.Rindi segera membersihkan mulutnya dan berdiri tegap di hadapan Malik dan Karin. "Bukan urusan kalian. Lagi pula, Aku sudah tidak punya urusan lagi dengan kalian," sahutnya kesal. Karin dan Malik tertawa terbahak-bahak. Mereka berdua semakin mendekati Rindi. "Sebentar lagi kami akan segera menikah. Kamu harus datang ke pernikahan kami ya. Sekalian juga nanti datang pada acara tasyakuran anak kami," ujar Malik yang tengah mengusap perut Karin dengan mesra."Dia tuh nggak mungkin berani datang dong, Sayang. Secara pesta pernikahan kita akan dilangsungkan di kota Jambi. Sedangkan dia hidup susah dan pasti tidak punya pakaian bagus untuk datang ke gedung hotel," sahut Karin. Rindi hanya menyunggingkan senyum mendengar perkataan sepasang kekasih itu. Ia memilih melenggang pergi meninggalkan Malik dan Karin. Namun Karin tiba-tiba meraih tangan Rindi agar tetap berada di sana. "Ma
"Ini hanya masalah sepele, Dev." Rindi memegangi tangan Deva dengan gelengan perlahan. "Perut aku sakit seperti diaduk-aduk loh. Kamu bilang ini masalah sepele? Aneh banget.""Iya, tapi masalahnya belum tentu tukang seblak itu yang sudah membubuhkan bubuk pedas di mangkokmu.""Kalau bukan penjual seblak itu, lalu siapa?" Rindi terdiam mendengar perkataan Deva. Bagaikan buah simalakama baginya. Antara membiarkan Deva melaporkan penjual seblak yang tidak bersalah itu atau dia mengakui kecurangannya. "Dev. Please deh. Mungkin penjualnya nggak sengaja nambahin bubuk pedas di dalam mangkok kamu. Di mana hati nuranimu sehingga tega melaporkan orang miskin seperti dia ke kantor polisi?" "Pokoknya aku nggak peduli. Aku akan laporkan dia ke kantor polisi!" Deva segera masuk ke dalam mobilnya. Rindi pun ikut masuk ke dalam mobil Deva. Ia merasa gelisah karena khawatir penjual seblak itu dimasukkan ke dalam penjara atas tuduhan Deva. "Kamu nggak punya bukti, Dev. Kamu nggak bisa melaporka
"Aku nggak meminta bahu itu untuk menyanggah badanku.""Tapi tanpa bahu ini, kamu pasti akan ditemani oleh ...." Deva tersenyum miring seraya memindai tempat tersebut. Rindi langsung teringat pada hantu jadi-jadian yang dibuat Bu Retno."Rese banget sih!" Ia bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan Deva. Namun lelaki itu mengikuti langkah Rindi. "Kamu ngapain sih? Kayak anak kecil aja ngintilin aku terus.""Aku 'kan pacar kamu." Deva mencondongkan tubuhnya di hadapan Rindi. Rindi langsung terpaku mendengar ucapan Deva. Perempuan itu memutuskan berlari meninggalkan Deva menuju mushola. Deva berjalan santai mengikuti Rindi yang berlari dengan cepat. Ia tahu perempuan itu pasti akan melaksanakan ibadah salat subuh. "Deva juga ikut salat?" Rindi mengernyitkan keningnya ketika telah selesai mengambil wudhu dan mendapati Deva yang juga sudah selesai mengambil air wudhu. "Tumben ada pemuda yang rajin salat."Mereka sama-sama masuk ke dalam mushola dan melaksanakan ibadah salat sub
"Dasar Cemen. Baru segitu aja udah pingsan," ujar Rindi yang tertawa melihat kelakuan Karin dan Malik di layar laptopnya. Deva langsung menutup mulut Rindi karena mereka masih berada di luar ruang ICU. Ada beberapa pasang mata yang menoleh ke arah mereka."Sorry, Dev. Soalnya aku nggak bisa nahan tawa. Lucu banget ngelihat mereka," ujar Rindi yang langsung mematikan layar laptopnya. Perempuan itu memasukkan laptop tersebut kembali ke dalam tas dan meletakkannya di salah satu pojok ruangan. "Kenapa kamu punya ide seperti ini? Kenapa nggak ide yang lain aja untuk ngerjain mantan suamimu itu?" tanya Deva. "Karena aku tahu mas Malik itu orangnya penakut. Dia nggak bakalan betah tinggal di rumah itu kalau tahu di rumah itu ada hantunya," sahut Rindi sambil terkekeh. "Terus kamu yakin kalau dia akan angkat kaki dari rumah mewah itu? Secara kan mereka sudah membayar sewa untuk 6 bulan kedepan," "Yakin dong. Paling lama esok pagi mereka pasti angkat kaki dari sana. Apalagi kalau nanti m
"Kurang kerjaan banget sih. Ya udah, kalau gitu kamu ke sini sekarang," balas Rindi melalui pesan whatsapp tersebut. Deva mengulum senyum membaca pesan yang dikirimkan oleh Rindi. Ia bergegas berganti pakaian dan meraih kunci mobil di atas nakas.Ia membawa mobil dengan kecepatan normal. Sesekali dirapikannya rambut sambil menoleh ke arah kaca spion. "Rapi amat? Emangnya mau ke mana?" tanya Rindi ketika Deva sudah ada di hadapannya. "Aku selalu rapi kok. Nggak pernah kusut," sahut Deva santai. Lelaki itu segera duduk di samping Rindi dan melirik ke arah ponsel Rindi yang sedari tadi menyala. "Nih laptop kamu," ujar Deva. Ia menyodorkan laptop pada Rindi."Kok bisa kamu bawa?""Tadi aku mampir dulu ke rumahmu dan meminta laptop ini pada Alvin."Rindi mengucapkan terima kasih karena Deva telah membantunya bergerak dengan cepat. Mereka pun mulai melihat layar laptop tersebut yang menghubungkan ke beberapa kamera yang ada di rumah sewa Malik dan Karin. "Tuh kayaknya Bu Retno sudah m
"Terserah kamu saja! Aku pusing terus-terusan berdebat!"Malik memutuskan untuk pergi dari rumah tersebut. Pikirannya terasa kacau akhir-akhir ini semenjak terusir dari Rindi. Ia tak menyangka kalau Rindi berbuat nekat dengan menjual rumah tersebut. "Aku harus mencari Rindi. Aku harus minta bagi hasil harta gono gini. Mengingat rumah itu dibeli setelah kami menikah," gumamnya seorang diri. Malik pun akhirnya memutuskan untuk mendatangi rumah sakit di mana ia bertemu dengan Rindi beberapa hari yang lalu. Ia berharap bisa mendapatkan jawaban di sana. "Pihak rumah sakit pasti tahu di mana alamat Rindi," gumamnya sambil melajukan mobil menuju rumah sakit. Sesampai di rumah sakit, Malik langsung menemui perawat jaga dan menanyakan tentang pasien bernama Rindi. "Nggak mungkin nggak ada! Jelas-jelas kemarin istri saya berobat ke sini." Malik mulai berdebat dengan perawat tersebut karena perawat itu bersikeras mengatakan kalau ia tidak menemukan nama pasien bernama Rindi. "Tidak ada unt
"Aku ke apartemen kamu?" Rindi mengerutkan keningnya. "Iyalah. Emangnya kamu nggak ada niat buat mengembalikan mobilku?" Rindi menggigit bibir bawahnya. Sebenarnya ia merasa tidak nyaman jika berada di apartemen seseorang. Apalagi Alvin mengatakan kalau Deva tinggal seorang diri di apartemen itu."Mau ngapain ke apartemen kamu? Aku bisa antar mobil di bawah aja 'kan?""Aku lapar. Kamu harus masakin sesuatu untuk aku.""Ya ampun, Dev. Di kota Jambi ini ada banyak makanan yang bisa delivery. Kamu tinggal pilih aja melalui aplikasi go-jek. Gak mesti nyuruh aku yang masak.""Suka-suka aku dong. Kan aku lagi kasih hukuman ke kamu.""Ih, nyebelin banget ini orang." Rindi menjauhkan ponsel sambil menghentak kakinya dengan kesal. "Kalau kamu nggak mau ke sini untuk masakin aku, Aku tidak akan pernah memaafkanmu," ujar Deva yang langsung memutuskan sambungan telepon.Rindi terperangah melihat sambungan telepon yang mati secara mendadak. Perempuan itu pun segera mendekati Alvin dan Lia. "Ba
Rindi membisikkan sesuatu pada Bu Retno. Ia menjelaskan dengan detail apa saja yang harus dilakukan oleh perempuan paruh baya itu. "Bagaimana? Anda tertarik?" Tanyanya sambil menaikturunkan alisnya. Bu Retno tersenyum mengembang seraya mengulurkan tangannya. "Saya bersedia bekerja sama dengan Nona. Mulai nanti malam saya akan beraksi," sahutnya. "Bagus! Kerjakan semua yang saya perintahkan. Jangan sampai terlewat," ujar Rindi seraya memberikan sebuah paper bag pada perempuan itu. "Udah paham bagaimana cara menaruhnya 'kan?""Paham, Nona.""Ini adalah uang DP untuk kerja Anda. Kalau nanti pekerjaan Anda bagus, maka saya akan membayar lebih mahal dari ini," ujar Rindi lagi yang langsung disambut uluran tangan Bu Retno. Ia menoleh ke arah rumah megah yang ditempati oleh Karin dan Malik. "Selamat bersenang-senang. Semoga kalian betah tinggal di sini," ujar Rindi seraya pergi meninggalkan rumah Bu Retno. Setelah kepergian Rindi, Bu Retno mendatangi rumah yang disewa oleh Malik dan Kar
"Kamu pengen aku jadi pacar kamu beneran?" sahut Deva terkekeh. "Nggak usah kepedean deh. Kamu tuh bukan tipe aku.""Jadi tipe kamu laki-laki seperti Malik?"Rindi terdiam mendengar perkataan Deva. Ia kembali jengkel pada lelaki itu. "Nggak usah bawa-bawa Malik deh." Rindi pun melangkah pergi meninggalkan Deva. Deva mengusap wajah dengan kasar setelah Rindi meninggalkannya. Baginya Rindi adalah perempuan yang unik. Yang karakternya tidak sama dengan perempuan lain. Sementara itu, Rindi kembali fokus pada layar ponselnya. Ia memilih duduk di tempat yang tidak berdekatan dengan Deva agar aktivitasnya mengintai keadaan rumah tidak akan terganggu. "Kira-kira anak buah Bang Alvin sudah tahu belum di mana Malik dan Karin akan pindah?" Rindi pun menghubungi anak buah abangnya yang tadi mengikuti Karin dan Malik. "Mereka menyewa sebuah rumah yang cukup megah," ujar anak buah Alvin di seberang telepon. "Rumah yang megah? Kamu yakin?" Alis Rindi saling tertaut mendengar ucapan anak buah
"Iya dong. Masa aku harus tinggal di kontrakan sederhana? Lagipula duit kamu 'kan banyak," sahut Karin seraya melipat kedua tangannya di dada. Malik terdiam. Ia tak punya niat untuk mencari kontrakan mewah mengingat tabungannya semakin menipis."Jadi kamu nggak mau cari kontrakan mewah? Ya udah, kalau gitu kita nggak usah nikah," ujar Karin seraya meninggalkan Malik seorang diri. Menyadari Karin yang pergi meninggalkannya, membuat Malik segera mengejar kekasihnya itu dan bersedia mencarikan kontrakan yang mewah. Mereka pergi meninggalkan rumah yang sudah dijual oleh Rindi dengan perasaan hampa. "Kamu tuh tolol banget sih! Bisa-bisanya rumah itu atas nama Rindi?" Karin menoleh pada Malik yang sedang fokus mengendarai mobil. "Soalnya dia yang beli rumah itu dulu. Aku sedang sibuk mengurusi kenaikan jabatan. Jadi semua surat-menyurat dan rumah itu dibeli atas nama dia," sahut Malik. "Seharusnya pas dia pergi dari rumah, kamu antisipasi dong. Bukannya malah membiarkan surat-menyurat
"Baiklah. Aku hubungi pembelinya sekarang!" Dinda segera memutuskan sambungan telepon. Rindi kembali duduk di bangku tunggu. Ia memeriksa ponsel yang juga tersambung ke kamera CCTV di rumah itu. Namun ia merasa tidak nyaman pada Deva yang terus memperhatikannya sedari tadi."Bang Alvin tunggu Papa di sini ya. Aku mau pergi sebentar," ujar Rindi. Ia sengaja pergi meninggalkan ruang tunggu ICU tersebut karena ingin melihat bagaimana reaksi Malik dan Karin yang sebentar lagi akan segera terusir dari rumah. Rindi sengaja memilih kantin dan duduk di salah satu pojok untuk memantau apa yang ada di dalam ponselnya. "Siapa kalian? Mau ngapain kalian ke sini?" Karin menatap heran pada beberapa orang laki-laki berbadan kekar yang sedang masuk ke dalam rumahnya secara paksa.Malik tak kalah terkejut. Lelaki itu berkali-kali meneriaki orang yang masuk ke dalam rumahnya dan meminta orang itu untuk keluar. "Kami diperintahkan oleh Bos kami untuk segera mengeluarkan pakaian kalian," ujar lelak