“Di mana Gunawan?” Toni bertanya pada salah satu pengawal yang berjaga di cafenya. Dia sedang berjalan menuruni tangga. Ada jadwal pertemuan dengan pengurus cafenya di Batam siang ini.“Tuan Gunawan sedang keluar, Tuan,” jawabnya sambil menunduk.“Keluar? Sejak kapan?” Toni menghentikan langkahnya. Dia tampak terkejut dengan jawaban yang dia terima.“Begitu cafe tutup, Tuan.”Toni mengernyitkan keningnya. “Jam empat pagi?? Ke mana dia?” tanya Toni lirih pada dirinya sendiri.“Katakan padanya untuk menelepeonku segera, setidaknya aku menunggu kabar darinya nanti malam. Aku juga berharap tugasnya sudah selesai.” Toni memberi perintah pada penjaga yang dia tidak tahu namanya itu.“Baik, Tuan.”Toni kembali melanjutkan langkahnya. Dia menarik tangannya, melihat jam yang melingkar di sana. Pukul sepuluh. Masih ada satu setengah jam lagi sebelum janji temunya. Sepertinya dia akan mampir sebentar di butik Mary. Sudah lama dia tidak ke sana.Di dalam mobil, pikiran Toni masih saja dibayangi w
Toni sudah selesai dengan pertemuannya. Bisnisnya yang di Batam bisa dipastikan akan segera berdiri dan berkembang. Pemilik lahan itu juga berbaik hati memberikan nama seorang arsitek yang cukup terkenal di sana. Dia bahkan berani menjain kualitas bangunan dan keindahannya. Toni pun sepakat. Kini dia hanya perlu mengurus perijinannya saja dan bisnis siap beroperasi.Kini, pria pendiam itu sudah berada di bandara, bersiap ke Surabaya. Bandara Soetta memang tidak pernah sepi. Ribua orang berlalu lalang di depan Toni, tapi pria itu benar-benar tidak menggubrisnya. Mata dan pikirannya fokus pada ponsel di tangannya. Dia membaca dan mempelajari laporan cafenya untuk kemarin dan laporan dari Gunawan sudah dia terima meski belum lengkap. Dia juga mengintip beberapa pilihan dekorasi yang akan dia tunjukkan pada arsitek di Batam.Suara pengumuman bagi penumpang ke Surabaya terdengar. Toni segera bersiap setelah mengabari anak buahnya yang ada di Surabaya untuk menjemputnya di bandara satu jam
Erik menatap pantulan dirinya di cermin. Malam ini, dia tampak sangat tampan. Pria itu memakai kaos polo warna merah marun dan celana pendek. Badannya tinggi. Rambutnya yang pendek hanya dia beri gel dan disisir seadanya. Jam tangan melingkar di tangan kanannya. Setelah yakin penampilannya cukup oke, dia keluar dari kamarnya tepat saat Mei juga keluar.Mei sempat kehilangan fokus selama beberapa detik melihat bagaimana kerennya Erik saat ini. Dan terima kasih pada deheman Erik yang bisa membuat kesadaran Mei kembali.Begitu sadar, Mei cukup terkejut menyadari Erik sudah berdiri tepat di depannya. Senyumnya tercetak indah dan membuat Mei menyadari kalau bibir Erik ternyata cukup menggoda. Tenggorokan Mei sontak terasa kering. Dia cukup kesulitan menelan ludahnya.“Ehm.” Mei berdehem, membasahi tenggorokannya yang sekering gurun Sahara.“Kenapa?” tanya Erik. Suaranya begitu dalam dan seksi. Dan sialnya lagi, Mei juga baru menyadarinya. Sial!“Ka-kau ternyata sudah siap.” Mei tidak bisa
Netra Erik terus saja memperhatikan apa yang terjadi pada Mary. Wanita itu sepertinya sudah sangat mabuk hingga dia tidak bisa berjalan dengan benar meski sesekali dia melihat Mary memberontak dan berkata kasar. Erik melihatnya dibopong oleh dua orang pria berbadan kekar.Erik berinisiatif mendekat. dia merasa ini saat yang tepat baginya untuk mendekati Mary. Dia bisa langsung menginterogasinya tanpa perlu berpura-pura menggodanya dan tertarik padanya. Baginya, tidak ada wanita yang bisa membuatnya tertarik seperti Mei.“Permisi, aku teman wanita ini. Kenapa dia?” tanya Erik. Sahabat Mei itu sudah berdiri di depan dua pria yang menggotong Mary.“Dia sangat mabuk,” jawab salah satu dari mereka sambil mendengus keras.“Dan kelakuannya sangat mengganggu. Dia terus saja marah dan mengumpati siapa saja,” tambah yang lainnya. “Kau mau membawanya? Ambil saja! Kami sudah malas berurusan dengan wanita ini. Selalu saja membuat rusuh!”Dan dalam sekejap, Mary sukses berada di tangan Erik tanpa h
Wajah Mei memerah setelah melihat rekaman video Mary dan Erik. Air mata sudah menumpuk di pelupuk matanya. Dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar bagaimana dalamnya perasaan Mary untuk suaminya. Bahkan setelah Albert meninggal, Mary masih menyimpan perasaan itu.Mei merasa dadanya sakit dan sesak. Rasanya dia tidak sanggup lagi melihat lanjutan rekaman itu.“Sudah, Mei, jangan dilanjutkan!” Erik merebut ponselnya dari tangan Mei. Sungguh dia tidak sanggup melihat Mei bersedih. Ditambah lagi, Mama Alan itu menagisi pria lain yang sudah meninggal. Erik cemburu!! Gilanya lagi, dia cemburu pada seorang pria yang sudah meninggal!!“Tidak, Erik!! Aku ingin melihat semuanya! Dia akan mengatakan sesuatu yang lain, bukan??” Tangan Mei mencoba meraih ponsel Erik, tapi dia kalah cepat. Erik langsung berdiri dan menyimpan ponselnya di dalam saku.“Kau jahat, Erik!!” Mei menatap Erik tajam. Bafasnya memburu hingga dadanya naik turun. Tangannya terkepal sempurna.“Kau sudah berjanji tidak
Kak, apa kau tahu kalau Toni Kurniawan ada di Surabaya? – LilyBegitulah isi pesan yang dikirim Lily pagi ini. Mei yang baru saja selesai masak sarapan, cukup terkejut dengan isi pesan adiknya itu. Toni ke Surabaya? Untuk apa? Apa pria itu sedang mencari tahu dengan apa yang terjadi pada Bolet?Kapan kau melihatnya? Di mana? – MeiSatu menit, dua menit, Mei menunggu balasan pesan dari Lily tapi tidak juga muncul. Dia pun memutuskan untuk mandi terlebih dulu. Selesai mandi, dia kembali ke meja makan dengan badan yang sudah segar. Ternyata Erik sudah menunggunya di sana.“Apa kau tahu kalau Toni ke Surabaya?” Mei membuka obrolan sambil menyiapkan makan untuk mereka berdua. Mei membuat French toast dan kopi untuk menu sarapan kali ini.“Ke Surabaya? Siapa yang memberi tahumu?”“Tadi pagi Lily mengirimiku pesan. Tapi dia belum membalas waktu aku bertanya di mana dan kapan. Apa semalam Mary tidak mengatakan apa pun?”Erik menggeleng. “Dia hanya berkata kalau dia tidak mencintai Toni. Itu
Toni sedang berkendara menuju pelabuhan Perak. Dia harus segera bertemu dengan Bolet atau salah satu anak buahnya. Sopir yang diutus menjemputnya di Bandara Juanda malam ini hanyalah remahan yang tidak tahu apa pun tentang rencana-rencana rumit kelompoknya.Mata Toni terus tertuju pada jendela. Pikirannya rumit.“Apa benar Bolet tidak ada di markas?” pertanyaan Toni memecah keheningan setelah beberapa lama.“Benar, Bos!” jawab si sopir antusias. Dia begitu bersemangat karena diberi tugas menjemput bos besarnya dari Jakarta. Sopir itu masih begitu muda. Umurnya sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun. Wawan namanya. Wajahnya manis dengan kulit cokelat eksotis. Rambutnya sepanjang telinga, lurus. Seandainya saja dia bukan preman, banyak orang tua yang mau menjadikannya menantu.“Sudah berapa lama?” pandangan Toni beralih pada Wawan.Wawan melirik spion.“Bearapa lama Bolet tidak ke markas?” ulang Toni.“Mmm, tidak yakin, Bos. Mungkin tiga atau dua hari ini saya tidak bertemu Bos Bo
Toni terpaksa menjadwal ulang kepulangannya ke Jakarta karena dia baru mendapat informasi kalau Bolet ternyata benar-benar berada di penjara. Semalam, dia menginap di sebuah hotel yang sudah disiapkan Malik untuknya. Dan Toni berencana untuk menginap selama yang dia butuhkan.“Rupanya wanita itu tahu benar apa yang dia lakukan. Dia benar-benar menjebloskan Bolet ke penjara meski dengan tuduhan ringan, bukan pembunuhan. Dia tahu Bolet hanya pelaku, bukan dalang kecelakaan itu. Dia masih mencari pelaku sebenarnya.” Toni memainkan kuping cangkir kopinya. Pikirannya terus berputar, menghubungkan kepingan-kepingan puzzle yang muncul.Pagi ini, Toni akan mendatangi Bolet di penjara. Dia harus segera mencari tahu kebenarannya. Hanya Bolet yang tahu hal itu. Dia adalah saksi kunci.Dengan gerakan yang anggun, Toni menyesap kopinya hingga tandas. Setelah itu, dia berdiri, mengambil jaketnya, dan melangkah keluar kamar.Sebuah mobil telah menunggunya di lobi. Wawan setia mengantarnya ke mana pu