Mary baru membuka matanya saat matahari sudah menampakkan sinarnya dengan terang. Bulu matanya yang lentik bergerak menghalau sinar mentari yang mencoba masuk ke matanya. Setelah bisa menyesuaikan diri, mata wanita itu pun terbuka sempurna.Mary merasa sedikit aneh karena tidak menemukan Toni di dekatnya. Biasanya pria itu akan menunggunya bangun sambil duduk di sofa dengan air hangat dan teh dan tangannya sibuk membuka ponsel.Kemana dia?Mary sangat ingin tahu, tapi sekarang dia lebih membutuhkan kamar mandi. Jadi dia akan melakukan ritual paginya juga membersihkan seluruh tubuhnya karena semalam berkeringat sangat banyak. Selesai mandi, Mary membuka lemari, mengambil satu baju yang selalu disiapkan Toni untuknya. Pilihan Mary jatuh pada dress simpel tanpa lengan yang anggun dengan panjang selutut. Mary menatap cermin di depannya. Dia tampak cantik dan anggun, sesuatu yang sangat disukai Toni. Dengan senyum terulas di bibirnya, Mary keluar dari kamar. Hanya ada dua kemungkinan keber
Mary berkendara menuju apartemen yang jarang dia tempati. Apartemen yang hanya dia gunakan saat ingin bermain-main dengan Gunawan.Dalam hati, Mary sudah tidak sabar ingin segera beremu Gunawan. Pria kepercayan Toni itu memang tidak semenarik bosnya, tapi Gunawan punya aura maskulin yang berbeda. Dan Mary ternyata menyukainya. Tidak peduli semalam dia sudah bermain dengan Toni, Mary masih saja mempunyai tenaga untuk Gunawan.Dua puluh menit kemudian, wanita itu sudah berdiri di depan apartemennya. Jarinya yang letik mengeluarkan kartu dari tasnya, menempelkannya di pintu hingga suara ‘Bip’ terdengar. Lalu terbukalah pintu unitnya.Aroma masakan yang wangi menyambut kedatangannya. Perutnya yang sudah terisi sandwich buatan Toni mendadak berteriak ingin kembali diisi. Dengan tidak sabar, Mary berjalan mendekati dapur. Di sana, dia melihat seorang pria berusia pertengahan tiga puluh hanya dengan celana pendek dan dada terbuka sedang sibuk bermain-main dengan pisau dan bahan makanan. Otot
“Di mana Gunawan?” Toni bertanya pada salah satu pengawal yang berjaga di cafenya. Dia sedang berjalan menuruni tangga. Ada jadwal pertemuan dengan pengurus cafenya di Batam siang ini.“Tuan Gunawan sedang keluar, Tuan,” jawabnya sambil menunduk.“Keluar? Sejak kapan?” Toni menghentikan langkahnya. Dia tampak terkejut dengan jawaban yang dia terima.“Begitu cafe tutup, Tuan.”Toni mengernyitkan keningnya. “Jam empat pagi?? Ke mana dia?” tanya Toni lirih pada dirinya sendiri.“Katakan padanya untuk menelepeonku segera, setidaknya aku menunggu kabar darinya nanti malam. Aku juga berharap tugasnya sudah selesai.” Toni memberi perintah pada penjaga yang dia tidak tahu namanya itu.“Baik, Tuan.”Toni kembali melanjutkan langkahnya. Dia menarik tangannya, melihat jam yang melingkar di sana. Pukul sepuluh. Masih ada satu setengah jam lagi sebelum janji temunya. Sepertinya dia akan mampir sebentar di butik Mary. Sudah lama dia tidak ke sana.Di dalam mobil, pikiran Toni masih saja dibayangi w
Toni sudah selesai dengan pertemuannya. Bisnisnya yang di Batam bisa dipastikan akan segera berdiri dan berkembang. Pemilik lahan itu juga berbaik hati memberikan nama seorang arsitek yang cukup terkenal di sana. Dia bahkan berani menjain kualitas bangunan dan keindahannya. Toni pun sepakat. Kini dia hanya perlu mengurus perijinannya saja dan bisnis siap beroperasi.Kini, pria pendiam itu sudah berada di bandara, bersiap ke Surabaya. Bandara Soetta memang tidak pernah sepi. Ribua orang berlalu lalang di depan Toni, tapi pria itu benar-benar tidak menggubrisnya. Mata dan pikirannya fokus pada ponsel di tangannya. Dia membaca dan mempelajari laporan cafenya untuk kemarin dan laporan dari Gunawan sudah dia terima meski belum lengkap. Dia juga mengintip beberapa pilihan dekorasi yang akan dia tunjukkan pada arsitek di Batam.Suara pengumuman bagi penumpang ke Surabaya terdengar. Toni segera bersiap setelah mengabari anak buahnya yang ada di Surabaya untuk menjemputnya di bandara satu jam
Erik menatap pantulan dirinya di cermin. Malam ini, dia tampak sangat tampan. Pria itu memakai kaos polo warna merah marun dan celana pendek. Badannya tinggi. Rambutnya yang pendek hanya dia beri gel dan disisir seadanya. Jam tangan melingkar di tangan kanannya. Setelah yakin penampilannya cukup oke, dia keluar dari kamarnya tepat saat Mei juga keluar.Mei sempat kehilangan fokus selama beberapa detik melihat bagaimana kerennya Erik saat ini. Dan terima kasih pada deheman Erik yang bisa membuat kesadaran Mei kembali.Begitu sadar, Mei cukup terkejut menyadari Erik sudah berdiri tepat di depannya. Senyumnya tercetak indah dan membuat Mei menyadari kalau bibir Erik ternyata cukup menggoda. Tenggorokan Mei sontak terasa kering. Dia cukup kesulitan menelan ludahnya.“Ehm.” Mei berdehem, membasahi tenggorokannya yang sekering gurun Sahara.“Kenapa?” tanya Erik. Suaranya begitu dalam dan seksi. Dan sialnya lagi, Mei juga baru menyadarinya. Sial!“Ka-kau ternyata sudah siap.” Mei tidak bisa
Netra Erik terus saja memperhatikan apa yang terjadi pada Mary. Wanita itu sepertinya sudah sangat mabuk hingga dia tidak bisa berjalan dengan benar meski sesekali dia melihat Mary memberontak dan berkata kasar. Erik melihatnya dibopong oleh dua orang pria berbadan kekar.Erik berinisiatif mendekat. dia merasa ini saat yang tepat baginya untuk mendekati Mary. Dia bisa langsung menginterogasinya tanpa perlu berpura-pura menggodanya dan tertarik padanya. Baginya, tidak ada wanita yang bisa membuatnya tertarik seperti Mei.“Permisi, aku teman wanita ini. Kenapa dia?” tanya Erik. Sahabat Mei itu sudah berdiri di depan dua pria yang menggotong Mary.“Dia sangat mabuk,” jawab salah satu dari mereka sambil mendengus keras.“Dan kelakuannya sangat mengganggu. Dia terus saja marah dan mengumpati siapa saja,” tambah yang lainnya. “Kau mau membawanya? Ambil saja! Kami sudah malas berurusan dengan wanita ini. Selalu saja membuat rusuh!”Dan dalam sekejap, Mary sukses berada di tangan Erik tanpa h
Wajah Mei memerah setelah melihat rekaman video Mary dan Erik. Air mata sudah menumpuk di pelupuk matanya. Dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar bagaimana dalamnya perasaan Mary untuk suaminya. Bahkan setelah Albert meninggal, Mary masih menyimpan perasaan itu.Mei merasa dadanya sakit dan sesak. Rasanya dia tidak sanggup lagi melihat lanjutan rekaman itu.“Sudah, Mei, jangan dilanjutkan!” Erik merebut ponselnya dari tangan Mei. Sungguh dia tidak sanggup melihat Mei bersedih. Ditambah lagi, Mama Alan itu menagisi pria lain yang sudah meninggal. Erik cemburu!! Gilanya lagi, dia cemburu pada seorang pria yang sudah meninggal!!“Tidak, Erik!! Aku ingin melihat semuanya! Dia akan mengatakan sesuatu yang lain, bukan??” Tangan Mei mencoba meraih ponsel Erik, tapi dia kalah cepat. Erik langsung berdiri dan menyimpan ponselnya di dalam saku.“Kau jahat, Erik!!” Mei menatap Erik tajam. Bafasnya memburu hingga dadanya naik turun. Tangannya terkepal sempurna.“Kau sudah berjanji tidak
Kak, apa kau tahu kalau Toni Kurniawan ada di Surabaya? – LilyBegitulah isi pesan yang dikirim Lily pagi ini. Mei yang baru saja selesai masak sarapan, cukup terkejut dengan isi pesan adiknya itu. Toni ke Surabaya? Untuk apa? Apa pria itu sedang mencari tahu dengan apa yang terjadi pada Bolet?Kapan kau melihatnya? Di mana? – MeiSatu menit, dua menit, Mei menunggu balasan pesan dari Lily tapi tidak juga muncul. Dia pun memutuskan untuk mandi terlebih dulu. Selesai mandi, dia kembali ke meja makan dengan badan yang sudah segar. Ternyata Erik sudah menunggunya di sana.“Apa kau tahu kalau Toni ke Surabaya?” Mei membuka obrolan sambil menyiapkan makan untuk mereka berdua. Mei membuat French toast dan kopi untuk menu sarapan kali ini.“Ke Surabaya? Siapa yang memberi tahumu?”“Tadi pagi Lily mengirimiku pesan. Tapi dia belum membalas waktu aku bertanya di mana dan kapan. Apa semalam Mary tidak mengatakan apa pun?”Erik menggeleng. “Dia hanya berkata kalau dia tidak mencintai Toni. Itu