"Tidak ada lagi kata-kata terpuruk dalam diriku, jika hati ini sudah berganti dengan batu, batu kerikil yang tajam bahkan sangat tajam. Siapapun yang memulai dia juga yang harus mengakhiri, dan itulah yang akan terjadi selanjutnya."~Entah kenapa Amira tidak bisa mengontrol emosinya jika mengingat kembali kejadian yang menimpa keluarganya.Terbesit di pikiran Amira kalau Darmi tidak berani mengatakan yang sebenarnya karena takut pada Tigor. "Apa, Bu Darmi masih takut dengan Tigor, ya? Apa ini ada sangkut pautnya dengan keluarga jahanam itu?" "Dia sebenarnya temen ibu waktu itu."Amira sedikit mengernyit heran mendengar kalimat itu. "Maksudnya Tigor temen, Bu Darmi?""Iya.""Gimana-gimana? Aku masih nggak ngerti, Bu."Wanita paruh baya itu menghembuskan napasnya secara perlahan untuk menghadapi situasinya saat ini. "Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untukmu mengetahui semuanya, Nak. Ibu juga sudah lelah berlarut-larut menyimpan rahasia antara kedua keluarga ini."Lagi-lagi Ami
Dendam itu belum cukup untukku. Aku ingin melihat satu persatu dari mereka lenyap di muka bumi ini. Itu sumpahku!"~"Semenjak pindahnya keluarga, kamu ke rumah baru, Rahmat sering tidak diam di rumah bahkan mereka sering bertengkar dan Rahmat, dia sering keluar rumah untuk bertemu dengan wanita jalang itu. Ibu pernah memergoki mereka sedang berduaan di rumah, kamu dan ….""A-apa? Ja-jadi bapak sering mengajak perempuan laknat itu masuk ke dalam rumahku?""I-iya, Hasna," ucapnya dengan gugup. Rasa bersalah menghinggapi di dadanya yang sudah terlanjur mengatakan yang sebenarnya."Bagaimana bisa? Kenapa kami tidak tahu bapak memasukkan wanita jalang itu ke dalam rumahku?""Kalo nggak salah waktu itu kalian tidak ada di rumah. Oh, ya waktu ibumu masuk rumah sakit kalau nggak salah.""Kurang ajar! Terlalu laknat mereka berdua. Ibuku sedang mempertaruhkan hidup dan matinya, mereka asyik bermain di belakang ibuku." Amira sangat geram mendengar cerita Darmi hingga kedua tangan wanita itu men
"Bukan hanya tak punya apa-apa lagi, tapi orang tuanya pun ikut lenyap dari muka bumi ini," sahut Amira."Ma-maksudnya bagaimana, Nak? Siapa yang lenyap?""Mama. Eh, bukan tapi Santi." Amira menyahutinya lagi."Innalillahi. Apa yang sudah, kamu lakukan untuk mereka, Nak?""Hanya permainan kecil kok, Bu" sahut Amira."Maksudnya?" Lagi-lagi Darmi belum paham dengan perkataan Amira."Maaf, Bu aku nggak bisa ceritakan. Intinya aku pernah bersumpah waktu itu untuk membalaskan dendamku pada pria jahanam itu. Selama aku masih hidup aku tidak akan membiarkan mereka hidup dengan tenang. Itulah sumpahku.""Tapi, Nak apa yang terjadi selama beberapa tahun ini denganmu? Semenjak, kamu meninggalkan rumah, kamu tidak pernah ngasih kabar pada ibu. Lalu hari ini, kamu datang ke rumah ini dengan penampilan, kamu yang sudah banyak perubahan. Ibu sampe nggak ngenalin, kamu tadi, loh. Bisakah, kamu menceritakan sedikit tentang kehidupan, kamu selama ini, Nak. Biar ibu tidak merasa bersalah terus menerus
"Lalu bagaimana denganku? Nggak nanyain balik gimana aku bahagia atau enggaknya?"~ "Aku mencintaimu, Amira. Aku ingin menikah denganmu. Kamu mau kan menikah denganku?" Dengan cepat Amira menganggukkan kepalanya. Sam tersenyum bahagia, lalu ia membentangkan tangannya seraya mendekatkan dirinya kepada Amira dengan bibir memuncungkan ke depan "Sam! Apa-apaan sih, kamu?" tanya Amira seraya mendorong pelan wajah Sam.Sam tersentak. "Astaghfirullah!" Sam terlihat sedikit linglung apa yang terjadi, sementara Amira menatapnya dengan tatapan bingung."Hei, kamu kenapa, sih?" Sam tak langsung memandanginya melainkan merenung sejenak ia terlihat linglung. "Apa itu tadi hanya khayalanku saja … astaga!" Ia menggerutu pada dirinya sendiri dalam hati, karena itu hanya khayalannya saja yang mungkin tak pernah akan terjadi untuk menyatakan cinta, ia pun memijat pelan pelipisnya sembari menghela napas panjang."Ada apa, Sam? Apa, kamu baik-baik saja?" tanya Amira cemas, lalu ia membuka jaket yang
"Amira.""Iya, Sam ada apa?""A-aku mencintaimu, Amira" ungkap Sam pelan membuat Amira tersentak kaget, setelahnya ia tersenyum manis."Kamu lucu ya, Sam kalo lagi seperti ini. Gemes, deh." Sam kaget kala Amira mencubit kedua pipinya."Ja-jadi gimana? Kamu mau?""Hmm …."Lama Sam menunggu kepastian dariku, dan aku emang sengaja nggak mau untuk menjawab pertanyaannya itu."Amira? Gimana? Mau?""Hmmm.""Kok, hm, terus, sih.""Nungguin, ya?""Ah, kamu nggak asyik!""Udah, yuk pulang," sahutku membuat Sam tertunduk lemas. Bukan apa-apa kenapa aku enggan menjawab pertanyaan tersebut, karena diriku saat ini hanya fokus pada tujuan, dan belum membuka hatinya untuk siapapun termasuk teman semasa kecilku ini."Kenapa? Kamu baper, ya?" goda Sam."Mana ada!" jawabku yang dibalas dengan kekehan Sam."Udahlah, Sam. Jangan ganggu aku!"Aku dan Sam sama-sama tersenyum, lalu Sam melajukan roda empatnya meninggalkan tempat ini.Aku gak berani natap mata Sam, aku ngerasa tatapannya aneh. Malah sekaran
Seorang pria yang sudah tidak lagi muda namun kelihatan gaga dan sangat kuat itu baru saja turun dari mobil dan melangkahkan kakinya melewati halaman rumah yang cukup luas.Lelaki tua itu memang jarang sekali menempati rumah ini, bahkan bisa dibilang sudah sangat jarang setelah terjadinya perseteruan antara dirinya dengan anak dan juga menantunya. Beberapa tahun ini pria tua itu banyak menghabiskan waktunya di luar kota sekedar mencari ketenangan jiwanya yang separuh telah hilang, akibat kematian putri semata wayangnya.Sejak kejadian beberapa tahun lalu pria tua ini tidak pernah lagi mendengar kabar tentang cucu satu-satunya, sebab sang menantu selalu mengawasi dan melarang dirinya untuk bertemu dengan cucunya, apalagi saat mendengar kabar jika menantunya pindah dari rumah sebelumnya.Itulah kenapa ia enggan untuk menempati rumah ini, sebab banyak sekali kenang-kenangan yang tidak dapat ia lupakan walau kejadian itu sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu.Bahkan mungkin sang cu
1. APA SALAHKU, MAS?"Bro, gua cabut duluan, ya," ucap Tomi pada teman-teman kerjanya. Pria bertubuh tinggi tegap itu baru saja keluar dari kantor."Oke, Bro. Hati-hati dijalan entar nyasar lagi. Bukannya pulang ke rumah istri malah nyasar ke rumah … upss," ucap Hamdan sembari menutup mulut dengan satu tangan lalu mereka terkekeh setelah mengejek Tomi."Hahaha … bisa aja, Lo. Dah, ah, gua balik dulu."Kemudian pria bertubuh tinggi tersebut meninggalkan area parkir melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.Cittttt … Tomi menghentikan laju mobilnya secara mendadak ketika melihat wanita yang ia kenal berada di depan kantor. "Lho, itu bukannya….?"Gegas Tomi turun dari mobil. Kemudian berlari cepat ke arah wanita tersebut."Hei, kamu!"Wanita itu terkesiap lalu menoleh, wajahnya langsung memerah."Kamu ngapain ada disini, hah? Pake gendong bakul segala. Ini apa, jamu? Kamu jualan jamu?" tanya Tomi kaget, pandangannya tak lepas melihat wanita yang ada di hadapannya kini.Wanita itu diam
2. Hidup Namun Tak Bernyawa.Mendadak tangisan itu hilang, sepintas ada rasa takut yang menghantui pikiran Tomi melihat Hasna diam terkulai lemas di lantai. Dia takut kalau Hasna meninggal. "Hei, Hasna?" Tomi panik, lalu mencoba membangunkan istrinya dengan ujung jari kakinya. Namun si wanita itu tetap diam."Has, jangan bikin aku —" Tomi semakin di buat panik karena tidak ada jawaban dari Hasna. Ia menjauhi tubuh wanita itu. "Tidak … ini tidak mungkin."Rasa panik yang amat tinggi membuat Tomi frustasi. Ia takut kalo sang istri meninggal, dia juga takut akan dipenjara dan mengancam nama baik keluarganya."Aaaah …!" Ia memekik keras. Menggusar rambutnya sendiri. "Sialan wanita itu! Bisanya bikin susah saja." Tidak ingin membuang waktunya, ia pun berdiri melangkahkan kakinya menuju wanita yang kini entah bagaimana keadaannya."Aku harus membawa wanita ini ke suatu tempat dan membuangnya ke...," ucapnya."Itu ide yang sangat cemerlang, Tomi. Sekarang bawa wanita itu pergi dari sini