Bagian 70
PoV Lestari
Hari bahagia Mbak Vinka malah menjadi hari paling menyedihkan yang pernah kualami dalam hidup. Sepanjang aku berada di rumahnya yang sangat besar untuk ukuran penduduk desa seperti kami, aku hanya bisa makan hati dan menahan tangis. Mencoba untuk cuek saat pertanyaan demi pertanyaan terlontar ke arahku.
Acara lamaran selesai tepat pukul 21.30 malam. Ada sesi foto-foto keluarga di mana aku sengaja menghindari hal tersebut dan lebih memilih untuk mencuci piring sisa makan para tamu undangan yang segunung.
Sembari menulikan telinga dan membutakan mata, aku terus memasang wajah cuek, seolah tak peduli dengan ucapan para bibi maupun paman yang tak hentinya menanyakan kapan aku akan menyusul kakak sepupuku.
&nbs
Bagian 71PoV Lestari “Kamu serius ingin ke kota lagi besok, Nduk?” Bapak tampak terkejut dengan ucapanku sepulang dari rumah Pakdhe Narto. Kami berlima berkumpul di ruang tamu sebelum pergi tidur. Aku yang mengumpulkan mereka semua dengan alasan ingin ngobrol-ngobrol dulu. “Lho, Mbak Tari kan belum sehari di sini. Masa harus pulang lagi ke kota?” Eva tampak kecewa. Gadis itu terlihat murung wajahnya. Gadis yang duduk melantai di sampingku tersebut langsung memeluk tubuh ini. Kupeluk balik dia. Si Evi yang juga duduk di samping kiri, lalu ikut memeluk. Keduanya mengapitku dengan dekapan erat yang penuh kasih sayang. Diam-diam mataku beralih pada Mamak dan Bapak yang juga duduk melantai di depan kami. Keduanya seperti tengah menyimpan
Bagian 72PoV Lestari Empat jam perjalanan kami tempuh dengan menaiki mobil milik Mas Tama yang nyaman dan tak bikin mabuk sedikit pun ini. Suasana hatiku langsung berubah drastis saat bersama mereka. Yang tadinya galau sekaligus muram, sekarang malah sangat semangat. Bahagia sekali. Aku bagai tengah melupakan sesaat beban yang menghimpit. Sampai aku tak sadar, bahwa aku tengah hamil janin yang kini bapak biologisnya tengah mendekam di rumah sakit akibat kecelakaan hebat. Kami berempat tiba di depan halaman rumah berarsitektur gaya minimalis dengan warna cat kombinasi hitam dan putih. Asri sekali pikirku. Halamannya setengah ditumbuhi oleh rumput jepang yang dipangkas rapi. Banyak sekali tumbuhan di depan rumah. Berbagai bunga mekar dan berkembang sehat dalam pot-pot berwarna putih. Ada tanaman bonsai kamboja dan flamboyan, bunga
Bagian 73PoV Lestari Selesai sesi curhat, aku lalu mengganti pakaian, sedang Mama keluar dan katanya akan menungguku di dapur. Mau masak-masak bersama Mama bilang. Tak menunggu waktu lama, aku langsung bertukar pakaian dengan one set homedress berwarna merah muda dan tak lupa mengenakan hijab bergo instan. Tekatku ingin selalu menutup aurat di rumah ini. Mencoba untuk menjadi insan yang lebih baik lagi. Dosaku sudah terlalu banyak. Hanya dengan cara ini aku bisa perlahan mencegah diri untuk menambah dosa-dosa baru. Kutata pakaian dari ransel ke dalam lemari pakaian di kamar ini. Aku teringat dengan beberapa pakaian yang masih tertinggal di kontrakan. Lain kali aku akan main ke sana dan mengambil semua barang-barangku yang masih tersisa.&nbs
Bagian 74PoV Lestari Lagi-lagi aku hanya bisa bungkam. Takut melontarkan komentar. Ya, takut dianggap lancang atau kurang sopan. Jadinya aku hanya dia sembari mengulas senyuman tipis saja ke arah Mama. “Goreng tepungnya sampai kriuk, bisa nggak?” Mama menuangkan tepung tersebung ke dalam sebuah wadah beling. Beliau menyiapkan dua wadah. Satu yang sudah diisi dengan air, satunya lagi hanya berisi dengan tepung. “Bisa, Ma. Tari saja yang goreng. Mama duduk aja.” “Masa Mama duduk terus? Yang harusnya duduk kan, kamu. Kamu kan, lagi hamil.” Aku hanya mengulas senyuman saja. Iya, y
Bagian 75PoV Lestari Makan siang di atas meja dengan menu hidangan yang berasal dari keterampilan tanganku sudah selesai. Mas Tomo tadi sempat menelepon Mama, mengatakan bahwa dia mendadak tak bisa pulang segera sebab ada urusan di luar. Untunglah kami tak menunggu kedatangannya dan langsung mulai makan. Kalau tidak, keburu perut yang lain kelaparan. Mas Tama masih terlihat kurang bersemangat. Aku tahu, mungkin hatinya sedang patah saat ini. Kasihan sebenarnya. Namun, aku pikir itu adalah yang terbaik. Sebab, Mama pun kurang sreg kepada Tiara. Menurut pandanganku, Tiara juga bukan tipikal yang sopan. Kurang ramah dan terkesan agak sombong. Maaf, bukan aku bermaksud buat lancang menilai orang lain. Diriku pun jelas tak lebih baik bila dibanding dengannya. &l
Bagian 76PoV Lestari Buru-buru aku membuang wajah. Menutupi rasa grogi dan salah tingkahku. Segera kubilas piring-piring yang telah disabuni dan menatanya di rak peniris yang berada di samping wastafel.“Oh, ya, Mas. Sore nanti, bisa kan, temani kami ke dokter kandungan?” Aku berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Agar suasana hening di antara kami bisa mencair. Lelaki itu tampak menoleh ke arahku. Diam-diam aku memperhatikannya lewat ekor mata. Jujur, aku belum berani untuk menatapnya lagi. “Iya. Bisa, tentu saja. Kita akan pergi ke dokter sore ini.” Jawaban Mas Tama terdengar datar. Aku lalu memberanikan diri untuk menatapnya. “Terim
Bagian 77 Tangisan Mas Rauf sangat pilu. Aku sebenarnya sungguh tak tega saat dr. Vadi mengatakan rencana pernikahan kami di hadapan mantan suamiku yang tengah terbaring tak berdaya. Namun, lebih baik dia mengetahui di awal daripada dia masih mengharapkan bisa kembali kepadaku. “Jangan menangis, Mas Rauf. Inilah takdir kita. Maaf, kami harus mengatakan kabar ini di saat kondisimu masih terbaring lemah. Namun, cepat atau lambat, kabar rencana pernikahanku ini memang harus kamu ketahui.” Aku berucap dengan suara yang lirih kepadanya. Kutarik napas dalam. Sungguh pilu ketika telinga ini mendengarkan isak tangis dari bibir pucat Mas Rauf yang kering. Mata cekung itu terus mengeluarkan air yang mengaliri pipi kurusnya. Dada Mas Rauf sampai naik turun sebab terisak-isak. Sebegitu sedihnya dia.&
Bagian 78 Bila cahaya hidayah telah menyapa, maka tak ada satu pun yang dapat menangkisnya. Keinginanku untuk mulai mengenakan hijab pagi itu sangat kuat. Meskipun awalnya merasa canggung, tetapi aku memantapkan hati untuk mengenakan penutup aurat tersebut. Sebuah gamis warna merah muda pun kukenakan untuk melengkapi penampilanku pagi ini. Ya, penyerahan surat resign. Memang hari ini aku masih dihitung cuti. Namun, Abah tak lagi sabaran untuk menyuruhku hanya di rumah saja. Siang ini beliau memang terbang ke Samarinda seorang diri. Makanya, pagi-pagi aku dipastikan sudah harus ke rumah sakit bersama dr. Vadi untuk menyerahkan surat pengunduran diri tersebut. Abah bilang, pokoknya dia bakalan tenang kalau sudah melihat aku dan anaknya pergi ke rumah sakit. Segitunya si Abah memang. Takut betul kalau aku dan dr. Vadi enggan berhen
Bagian 15 “Sayang, hari ini masak apa?” Mas Vadi tiba-tiba mengejutkanku. Aku yang tengah sibuk dengan gulai kepala ikan, mendadak kaget luar biasa. Apalagi ketika lelaki tampan itu memeluk tubuhku dari belakang dan melayangkan kecupan mesranya di leher. “Ih, geli,” kataku mengelak sambil merasa kurang percaya diri karena seharian belum mandi. Dari pagi hingga tengah hari, aku cukup sibuk dengan urusan domestik. Berberes rumah, mencuci pakaian, belanja ke pasar, dan masak makan siang untuk suami. Semua kulakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun. “Masa? Kutambah ya, ciumannya,” kata Mas Vadi manja sambil mengeratkan pelukannya. “Mas, aku belum mandi, lh
Bagian 14 “Gejalanya mirip dengan almarhummah Umma dulu,” bisik Mas Vadi lagi. Aku terhenyak luar biasa. Tertegun diriku untuk beberapa saat sambil menatap Ibu dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ya Allah … Ibu. Rasanya aku sangat sedih mendengar apa yang diungkap oleh suamiku. Sebagai seorang perawat yang pernah PKL di rumah sakit jiwa saat semester lima dulu, aku pun kerap melihat orang-orang yang depresi berat dengan gejala yang sama seperti ini. Menarik diri, tidak berminat dengan apa pun, dan terlihat enggan mengurus tubuh. Nafsu makan beliau pun menurun drastis. Ibu, apakah kencintaannya akan harta telah membuat dia menjadi begini? “Bu, ayo kita berberes. Ikuti kata-kata Risa,” Mas Vadi kini meringsek maju. Lelaki itu berusaha
Bagian 13 “Oh, tidak, Mbak Nadya. Mbak Nadya … apakah masih mau ke Samarinda untuk bekerja sama dengan kami di rumah sakit?” tanyaku dengan agak menyimpan keraguan yang besar. Astaga, apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa malah pertanyaan itu yang terlontar di mulut? “Maaf Mbak Risa. Aku sedang fokus membuka bisnis klinik estetika dan salon kecantikan. Rencananya bulan depan aku juga akan menikah dengan seorang dokter spesialis kulit. Dokter Hendrawan. Vadi pasti kenal. Nanti undangannya aku kirimkan via WhatsApp tidak apa-apa, kan?” Deg! Aku langsung merasa menjadi manusia yang sangat konyol detik itu juga. Bodoh! Keputusanku untuk berbasa basi dan mengajaknya ke sini sungguh sangat kusesali sebagai hal yang paling konyol. Astaga,
Bagian 12 Makan malam kali ini aku sungguh tak berselera. Deretan hidangan lezat di atas meja sungguh tak menggugah sedikit pun. Seperti mati rasa. Terlebih saat ingat utang sepuluh milyar yang ditinggalkan Abah. Makanan semewah ini membuat jiwaku sungguh tersiksa oleh rasa bersalah yang besar. Mas Vadi tengah memikirkan tumpukan beban, kami malah berenak-enakan begini. Ya Allah! “Ris, makan dulu. Kenapa melamun terus?” Ibu yang duduk di seberangku menegur. Aku tertegun sesaat. Mengangkat muka dan menatapnya sekilas. “Nggak apa-apa, Bu.” Senyumku kecil. Pertanda aku tengah tak ingin banyak bicara. “Makan, Ris. Kamu dari siang sedikit makannya.” Mas Vadi yan
Bagian 11 “Ris, kamu sabar ya, Nak. Ibu yakin kalau kamu akan segera sembuh.” Ibu memelukku saat kami tiba di rumah. Sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis. Sekantung obat-obatan yang diresepkan oleh dokter Timoti tiba-tiba menjadi momok menakutkan bagiku. Mungkin ini memang bukan masalah yang sangat serius bagi sebagian orang. Namun, bagiku sungguh ini menjadi beban sekaligus pukulan telak. Terlebih saat Abah meninggal gara-gara mempermasalahkan momongan dalam pernikahan aku dan Mas Vadi. “Iya, Bu.” Aku hanya menjawab singkat. Menyeka air mata dan menyeret langkah gontai menuju kamar sambil dirangkul oleh Ibu. Saat di depan pintu, aku masuk tanpa ingin ditemani lagi olehnya. “Aku mau istirahat.”
Bagian 10 Pagi itu juga, setelah sarapan, kami bertiga memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Ya, memeriksakan kondisi rahimku tentu saja. Meskipun ada rasa sakit di hati akan ucapan Ibu, aku tetap berusaha untuk terlihat tak apa-apa. Memang sulit. Namun, aku sedang tak ingin ribut apalagi memperpanjang masalah. Sepanjang perjalanan, aku yang duduk di samping Mas Vadi, hanya diam seribu bahasa. Tak menoleh ke arah Ibu, apalagi mengajaknya bicara. Rasa sakit yang kupendam memang sangat mempengaruhi mood. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Kami pun tiba di rumah sakit yang kini kepemilikannya telah diatasnamakan untukku. Ya, Saras Medika yang memiliki bangunan total ada dua lantai ini terlihat begitu ramai di bagian ruang pendaftaran. Hampir semua karya
Bagian 9 “Bu, jangan murung terus. Kita keluar, yuk? Kita jalan-jalan,” kataku kepada Ibu tepat pada hari ke-7 kepergian Abah. Pagi itu Ibu tampak masih lemah. Terbaring di tempat tidurnya dengan mata yang sembab. “Risa, Ibu masih butuh sendiri,” ucapnya sambil menatap kosong. Wanita yang mengenakan daster batik hitam dengan rambut yang digelung ke atas tersebut kini tampak makin lesu. Tubunya kurus. Wajahnya tak lagi berseri cantik seperti dulu. Bahkan tampak lebih tua dari biasanya. Beginikah bila seorang wanita telah ditinggalkan oleh belahan jiwanya? Aku naik ke atas ranjang. Duduk di samping tubuh Ibu yang tepat menghadap ke arahku. Kubelai rambutnya. Terasa lepek. Entah sudah berapa hari dia enggan keramas.&nb
Bagian 8 “Mas, gimana si Vida?” Aku buru-buru bertanya setelah hari berganti larut. Tahlilan sudah selesai. Berjalan dengan lancar, tapi tentu saja dengan drama dan segala keruwetannya pada beberapa jam sebelum acara. Biang keroknya? Siapa lagi kalau bukan Vida. “Dia minta harta.” Aku sudah menduga dari awal. Itu pasti masalahnya. Apalagi? “Berikan saja kalau begitu, Mas. Aku takut kalau dia datang lagi ke sini dan mengacaukan segalanya. Untung tadi Ibu memang tidak keluar kamar sampai acar baru dimulai. Kalau tidak, sudah pasti si Vida akan nekat.” Aku duduk di samping Mas Vadi. Bersandar di bahunya yang kekar. Lelaki yang masih mengenakan baju koko warna
Bagian 7 “Mohon maaf Dokter Vadi, Bu Risa. Kami sudah memaksimalkan usaha dan tindakan medis terbaik untuk Abah Haji. Namun, Allah berkehendak lain.” Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah kebanggaan rumah sakit kami, dr. Priyo, terlihat pucat pasi sekaligus gemetar taktakala menyampaikan kabar buruk itu. Aku seketika berteriak histeris di ruang IGD yang saat itu lumayan ramai dengan pasien. Ibu yang terus berada di ruang resusitasi tempat Abah ditangani pun terdengar meraung dari balik tirai sana. Tubuhku yang lunglai pun ditangkap oleh Mas Vadi. “Sudah, Ris. Ikhlaskan kepergian Abah.” Mas Vadi memelukku. Menenangkan badai air mata yang menyeruak tanpa bisa kuhentikan sama sekali. Kakiku benar-benar lemas. Dua kali aku mendapatkan kaba