Bagian 73
PoV Lestari
Selesai sesi curhat, aku lalu mengganti pakaian, sedang Mama keluar dan katanya akan menungguku di dapur. Mau masak-masak bersama Mama bilang.
Tak menunggu waktu lama, aku langsung bertukar pakaian dengan one set homedress berwarna merah muda dan tak lupa mengenakan hijab bergo instan. Tekatku ingin selalu menutup aurat di rumah ini. Mencoba untuk menjadi insan yang lebih baik lagi. Dosaku sudah terlalu banyak. Hanya dengan cara ini aku bisa perlahan mencegah diri untuk menambah dosa-dosa baru.
Kutata pakaian dari ransel ke dalam lemari pakaian di kamar ini. Aku teringat dengan beberapa pakaian yang masih tertinggal di kontrakan. Lain kali aku akan main ke sana dan mengambil semua barang-barangku yang masih tersisa.
&nbs
Bagian 74PoV Lestari Lagi-lagi aku hanya bisa bungkam. Takut melontarkan komentar. Ya, takut dianggap lancang atau kurang sopan. Jadinya aku hanya dia sembari mengulas senyuman tipis saja ke arah Mama. “Goreng tepungnya sampai kriuk, bisa nggak?” Mama menuangkan tepung tersebung ke dalam sebuah wadah beling. Beliau menyiapkan dua wadah. Satu yang sudah diisi dengan air, satunya lagi hanya berisi dengan tepung. “Bisa, Ma. Tari saja yang goreng. Mama duduk aja.” “Masa Mama duduk terus? Yang harusnya duduk kan, kamu. Kamu kan, lagi hamil.” Aku hanya mengulas senyuman saja. Iya, y
Bagian 75PoV Lestari Makan siang di atas meja dengan menu hidangan yang berasal dari keterampilan tanganku sudah selesai. Mas Tomo tadi sempat menelepon Mama, mengatakan bahwa dia mendadak tak bisa pulang segera sebab ada urusan di luar. Untunglah kami tak menunggu kedatangannya dan langsung mulai makan. Kalau tidak, keburu perut yang lain kelaparan. Mas Tama masih terlihat kurang bersemangat. Aku tahu, mungkin hatinya sedang patah saat ini. Kasihan sebenarnya. Namun, aku pikir itu adalah yang terbaik. Sebab, Mama pun kurang sreg kepada Tiara. Menurut pandanganku, Tiara juga bukan tipikal yang sopan. Kurang ramah dan terkesan agak sombong. Maaf, bukan aku bermaksud buat lancang menilai orang lain. Diriku pun jelas tak lebih baik bila dibanding dengannya. &l
Bagian 76PoV Lestari Buru-buru aku membuang wajah. Menutupi rasa grogi dan salah tingkahku. Segera kubilas piring-piring yang telah disabuni dan menatanya di rak peniris yang berada di samping wastafel.“Oh, ya, Mas. Sore nanti, bisa kan, temani kami ke dokter kandungan?” Aku berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Agar suasana hening di antara kami bisa mencair. Lelaki itu tampak menoleh ke arahku. Diam-diam aku memperhatikannya lewat ekor mata. Jujur, aku belum berani untuk menatapnya lagi. “Iya. Bisa, tentu saja. Kita akan pergi ke dokter sore ini.” Jawaban Mas Tama terdengar datar. Aku lalu memberanikan diri untuk menatapnya. “Terim
Bagian 77 Tangisan Mas Rauf sangat pilu. Aku sebenarnya sungguh tak tega saat dr. Vadi mengatakan rencana pernikahan kami di hadapan mantan suamiku yang tengah terbaring tak berdaya. Namun, lebih baik dia mengetahui di awal daripada dia masih mengharapkan bisa kembali kepadaku. “Jangan menangis, Mas Rauf. Inilah takdir kita. Maaf, kami harus mengatakan kabar ini di saat kondisimu masih terbaring lemah. Namun, cepat atau lambat, kabar rencana pernikahanku ini memang harus kamu ketahui.” Aku berucap dengan suara yang lirih kepadanya. Kutarik napas dalam. Sungguh pilu ketika telinga ini mendengarkan isak tangis dari bibir pucat Mas Rauf yang kering. Mata cekung itu terus mengeluarkan air yang mengaliri pipi kurusnya. Dada Mas Rauf sampai naik turun sebab terisak-isak. Sebegitu sedihnya dia.&
Bagian 78 Bila cahaya hidayah telah menyapa, maka tak ada satu pun yang dapat menangkisnya. Keinginanku untuk mulai mengenakan hijab pagi itu sangat kuat. Meskipun awalnya merasa canggung, tetapi aku memantapkan hati untuk mengenakan penutup aurat tersebut. Sebuah gamis warna merah muda pun kukenakan untuk melengkapi penampilanku pagi ini. Ya, penyerahan surat resign. Memang hari ini aku masih dihitung cuti. Namun, Abah tak lagi sabaran untuk menyuruhku hanya di rumah saja. Siang ini beliau memang terbang ke Samarinda seorang diri. Makanya, pagi-pagi aku dipastikan sudah harus ke rumah sakit bersama dr. Vadi untuk menyerahkan surat pengunduran diri tersebut. Abah bilang, pokoknya dia bakalan tenang kalau sudah melihat aku dan anaknya pergi ke rumah sakit. Segitunya si Abah memang. Takut betul kalau aku dan dr. Vadi enggan berhen
Bagian 79 Bahagia sekali rasanya. Air mataku sampai menitik saking terharu. Mas Vadi, ah, ya … aku tak akan lagi menyebutnya dengan dr. Vadi lagi di sini. Bagiku, dia bukan dokter lagi, melainkan … kekasih hati. Maaf, jika aku terlalu berlebihan. Rasa bahagiaku betul-betul membuncah saat memandang sematan cincin bermata berlian yang sangat indah ini. “Makasih, Mas,” kataku sembari mengusap air mata dengan telunjuk. “Sama-sama. Kamu suka?” tanyanya dengan suara yang lembut. Aku mengangguk antusias. Tentu saja aku sangat suka. Tak peduli berapa harganya, yang membuat barang ini sangat bermakna adalah cara pemberiannya. Mendadak, jauh dari kesan romantis, te
Bagian 80 Mas Vadi memutuskan untuk tidak menyampaikan salam perpisahan kepada seluruh staf rumah sakit. Katanya mending nanti saja saat menyebar undangan. Ya, aku sih, oke-oke saja. Lagian, ini tengah jam kerja. Kehadiran kami yang keliling ruangan atau setidaknya berkabar kepada staf yang dikenal, kemungkinan bisa mengganggu aktifitas kesibukan mereka. Mending langsung pulang untuk menjemput Ibu untuk keliling mencari ruko, begitu ucap Mas Vadi. Kami berdua pun kembali masuk ke mobil sedan miliknya, setelah menyalami dua tukang parkir yang kebetulan tengah berjaga. Mang Ahmad dan Pak Dikin. Dua tukang parkir lama yang memang kami kenali. Wajah mereka tampak agak sedih saat kami katakan bahwa kami tidak lagi bekerja di sini terhitung mulai sekarang. “Yah, Pa
Bagian 81 Aku yang sudah berpikir macam-maca, lekas mengambil posisi rileks dengan menyandarkan punggung di jok. Kumundurkan lagi sandaran tempat duduk ini agar aku bisa bernapas dengan agak lega. Bukan kenapa-kenapa. Sepertinya asam lambungku naik sebab stres yang tiba-tiba melanda pasca mendengar kabar bahwa Nadya tengah berbaan dua. Tuhan, aku hanya minta agar jalan hijrahku tak berat-berat amat. Baru saja kukenakan hijab hari ini, cobaan langsung menerpa dengan cukup hebatnya. Kehadiran Nadya yang sekonyong-konyong minta ditemui, tentu saja sanggup membuat jiwaku terguncang. “Ris, kamu mau kan, kalau kita menemui Nadya sebentar saja di rumahnya? Kasihan dia.” Mas Vadi mencoba terus tawar menawar denganku. Dia pasti tahu kalau aku ini sulit untuk menerima kenyataan bahwa sang mantan masih terus meminta belas kasihan