"Di mana Alena!" bentak Harry lagi.
"Alena tidak di sini. Dia memang datang tapi kemudian pergi. Tuan Borisson, bukankah sepatutnya kami yang bertanya di mana Anda menyembunyikan Alena kami? Kalian memiliki hubungan, seharusnya Anda yang lebih tahu di mana Alena!" sahut Rona tak kalah kerasnya dengan suara Harry.
Bahkan jika Harry membunuh mereka, Rona tak akan sudi memberitahu di mana mereka menyembunyikan Alena. Jika Harry sampai mengetahuinya, tetap saja mereka akan dalam masalah besar. Seluruh negara ini juga tahu bagaimana sikap Harry Borisson yang terkenal dingin tak berperasaan. Harry tak akan melepaskan mereka.
"Kalian masih mengelak? Apa kalung berlian ini tidak cukup menjadi bukti bahwa kalian menyembunyikan Alena?" Pupil mata Harry membesar, tatapan tajam itu seperti seekor singa yang siap menerkam mangsa. Harry hampir tak bisa mengontrol emosinya sekarang.
Melihat Harry yang mulai tak terkendali, Lukas berinisiatif maju ke depan.
Gadis itu membuka pelan kelopak matanya yang sayu. Sangat lemah dia edarkan pandangan ke sekitarnya. Alena menyadari dirinya sudah tak lagi berada di ruang bawah tanah yang gelap dan dingin. Semua terlihat putih, bersih dan terang dari lampu di atasnya. Tubuhnya juga terasa hangat oleh selimut yang membungkus hingga dada. Alena merasa nyaman sejenak.Di mana ini? Dia mengerut kening untuk berpikir. Dia merasa seperti pernah melihat tempat itu, tapi ingatannya terlalu lemah untuk bekerja. Alena tak bisa memaksa pikiran itu untuk mengenali tempatnya berada.Alena menggerakkan kakinya berharap menemukan seseorang untuk ditanyakan. Sakit yang dia rasa di dalam dan bagian luar perut ketika akan mencoba bangkit. Alena tak menyerah, dia memaksa kaki menginjak lantai di bawah sana. Dingin lantai segera menyergap.Tentu ketakutan belum sepenuhnya hilang dari ingat. Suasana ruang bawah tanah dan siksaan yang dia dapatkan dari ibu dan kakak tiri masih sangat membekas di da
"Bagimana, Tuan? Bisa kita suntik Nona Alena sekarang?Harry masih sibuk menatap Alena di sana. Bukan hanya lampu tidur, gadis itu meraih benda apa pun yang terlihat matanya. Ruangan medis khusus itu sudah seperti kapal pecah dengan segala benda yang tercecer di atas lantai. Harry mengabaikan pertanyaan dari dokter yang sudah siap dengan suntikan di tangannya."Tuan Muda, berikan perintah Anda agar dokter segera bekerja."Lagi, Harry mendengar ucapan Lukas di sebelahnya. Dia hanya tak ingin menjawab perkataan mereka semua.Bahkan Alena mulai menyakiti diri dengan menjambak rambut panjangnya. Sungguh ironis, Harry tak bisa melihat Alena lebih tersiksa lagi."Cepat lah, Tuan Muda," ucap Lukas.Dengan berat Harry menganggung kepala lemas. Hati dan isi kepalanya bertolak belakang. Dia tak tega namun juga tak punya pilihan. Harry harus menenangkan Alena sebelum lebih menyakiti diri lagi.Dua dokter dibantu Lukas mulai mendekati Alena. Merek
Mata Alena terus terpaku pada Harry untuk beberapa saat. Alisnya yang tertata rapi mulai bergerak diikuti bola matanya menyusuri wajah Harry. Bibirnya saling melepaskan seperti ingin mengatakan sesuatu. Harry menantikan Alena dengan perasaan yang sudah ingin meledak."Alen," panggil lelaki itu akhirnya, lembut menyapa Alena.Bibir Alena gemetar. Sorot mata mulai menunjukkan perasaan bersalah, atas kejadian yang baru menimpah mereka."Itu salahku, Harry. Aku yang keras kepala. Kau kehilangan calon bayi karena aku," bisik Alena diiringi air bening hangat yang mulai luluh dari matanya.Ketika mendengar kemarahan Harry tadi malam, Alena segera menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi. Kesedihan di dalam hati gadis itu memaksa diri untuk mengakui dia lah yang bersalah. Alena tak bisa mengendalikan perasaan bersalah itu sehingga membuatnya histeris dan shock. Beruntung Harry terus menjaganya dan membisikkan kata-kata lembut yang membuat hati Alena tersentu
Harry menyodorkan sendok berisi makanan ke depan mulut Alena, gadis itu melihatnya beberapa detik sebelum membuka mulut untuk bicara."Harry, perutku lah yang sakit. Tanganku masih cukup kuat untuk makan sendiri," ucap Alena.Sejujurnya Alena senang mendapat perhatian dari Harry. Tapi jika perhatian itu sudah sangat berlebihan, Alena jadi merasa sungkan terus mendapat pelayanan darinya. Harry sudah satu minggu tidak berangkat ke kantor demi menemani Alena, menjaga dan melayani katanya. Sangat berlebihan, bahkan pasangan suami istri saja tidak akan sebegitunya."Tapi aku ingin. Cepat buka mulutmu atau kubantu menyuap dengan mulutku." Harry menaikkan sebelah alisnya dengan ekspresi nakal khasnya itu.Alena mencebik. Dia dia membuka juga mulutnya."Aku masih berdarah dan kau sudah sangat nakal."Suapan ke tiga itu terhenti seketika. Harry melotot tak percaya dengan apa yang baru saja Alena katakan. Gadis ini sepertinya sudah l
"Ezra, itu kau?"Bibir Alena gemetar menyebut nama yang sudah melekat di ingatan. Sangat mengejutkan seperti dia sedang melihat keajaiban di depan mata. Alena melepaskan rangkulan tangan Harry yang bertengger di pundaknya."Ada apa, Alen?" tanya Harry, hatinya tak senang mendengar Alena memanggil nama lelaki di depan sana.Bahkan wajah Alena tampak sangat bahagia melihat lelaki itu. Mata gadis itu berkaca-kaca dan senyum terlukis indah di sana. Harry tak bisa menahan hatinya cemburu dengan tatapan memuja yang Alena berikan pada lelaki yang dipanggil Ezra.Namun beberapa detik berikutnya wajah Alena menjadi murung seperti orang yang baru saja kehilangan.Ada apa dengan Alena?"Alen," ulang Harry.Panggilan Harry tak lagi terdengar di telinga Alena. Dia sibuk saling menatap dengan Ezra yang hanya membalas dingin. Tatapan penuh cinta yang biasa Ezra berikan seperti sirna tak berbekas untuk Alena.Apa dia ke
Pagi itu Harry meminta ijin harus berangkat ke kantor. Pekerjaan sudah sangat menumpuk dan para rekan bisnis tak bisa menunggu lebih lama lagi. Harry merasa sungkan meninggalkan Alena, yang menurutnya belum benar-benar pulih."Alen, boleh aku berangkat ke kantor hari ini? Pekerjaan sudah tak bisa menungguku lagi. Tapi, aku tak tega meninggalkanmu di rumah." Dia menjedah sejenak untuk melihat ekspresi wajah Alena. "Tapi tidak. Aku bisa menghentikan kerja sama dengan mereka jika tak sabar menungguku."Mata Alena membulat. Dia tak menduga Harry bahkan rela merusak kerja samanya demi seorang Alena. Gadis itu tersenyum terlebih dulu sebelum meyakinkan Harry."Tak apa, Harry, pergi lah. Aku akan merasa sangat bersalah jika kau mengabaikan perusahaan demi diriku. Lagian aku sudah pulih. Kau harus mengurus perusahaan untuk masa depan anak-anak kita, oke," tutur Alena. "Ingat. Jika kau terus di rumah justru aku tidak senang. Aku tak mau hidup dengan lelaki pemalas."
Stasiun televisi mulai memuat berita pernikahan Ezra dan Felisha. Tak heran, mengingat dia putra kedua dari keluarga Raves, yang juga cukup berada. Berbagai acara-acara menjelang pernikahan yang sesungguhnya bukan informasi penting yang harus ditonton masyarat, semua mulai diekspos.Feli tampak sangat senang di layar kaca. Dia terus saja menggandeng tangan Ezra menjawab pertanyaan demi pertanyaan dari reporter, tentang apa saja yang sudah mereka persiapkan. Alena sangat muak melihatnya."Kau sudah mengantuk?"Harry menghentikan langkah Alena yang akan beranjak ke dalam kamar. Gadis itu memutar punggungnya menatap Harry, dan tampak kesuraman di wajah cantiknya. Alena kemudian memaksa bibir untuk tersenyum agar Harry tidak curiga padanya."Ya, aku mengantuk, Harry. Aku ingin berbaring di kamar," bohong Alena. Harry tak perlu tahu bagaimana perasaan Alena, jadi dia mencoba tetap tegar.Sulit memang. Meski Ezra sudah berkata sangat ta
Alena sedang berada di ruang ganti bersama tiga pelayan yang membantunya mengenakan pakaian. Gadis itu berdiri seperti sebuah patung manekin yang pasrah diperlakukan. Sejak tadi dia sudah berkata akan mengenakan sendiri pakaiannya, tapi ketiga pelayan itu berkata Tuan Muda mereka akan marah jika membiarkan Alena mengenakannya sendiri. Sangat berlebihan, Alena merasa seperti di awal dia masuk ke rumah besar itu yang segalanya harus dilakukan pelayan."Apa ini?" tanya Alena dengan mata membola.Gaun yang dibawakan pelayan terlihat sangat indah dan berbeda dengan gaun yang biasa Alena pakaian sehari-hari. Alena juga baru kali ini melihat gaun itu, sebab tak pernah ada di dalam lemari."Ini gaun Anda, Nona."Ya, ya. Alena belum buta. Dia tahu itu gaun, tapi maksudnya, kenapa harus memakainya?Lihat saja. Gaun itu sangat cantik dan mewah. Bahannya yang lembut terasa sangat ringan menggelitik kulit Alena saat pelayan mengenakan padanya. Alen