Mata Alena terus terpaku pada Harry untuk beberapa saat. Alisnya yang tertata rapi mulai bergerak diikuti bola matanya menyusuri wajah Harry. Bibirnya saling melepaskan seperti ingin mengatakan sesuatu. Harry menantikan Alena dengan perasaan yang sudah ingin meledak.
"Alen," panggil lelaki itu akhirnya, lembut menyapa Alena.
Bibir Alena gemetar. Sorot mata mulai menunjukkan perasaan bersalah, atas kejadian yang baru menimpah mereka.
"Itu salahku, Harry. Aku yang keras kepala. Kau kehilangan calon bayi karena aku," bisik Alena diiringi air bening hangat yang mulai luluh dari matanya.
Ketika mendengar kemarahan Harry tadi malam, Alena segera menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi. Kesedihan di dalam hati gadis itu memaksa diri untuk mengakui dia lah yang bersalah. Alena tak bisa mengendalikan perasaan bersalah itu sehingga membuatnya histeris dan shock. Beruntung Harry terus menjaganya dan membisikkan kata-kata lembut yang membuat hati Alena tersentu
Harry menyodorkan sendok berisi makanan ke depan mulut Alena, gadis itu melihatnya beberapa detik sebelum membuka mulut untuk bicara."Harry, perutku lah yang sakit. Tanganku masih cukup kuat untuk makan sendiri," ucap Alena.Sejujurnya Alena senang mendapat perhatian dari Harry. Tapi jika perhatian itu sudah sangat berlebihan, Alena jadi merasa sungkan terus mendapat pelayanan darinya. Harry sudah satu minggu tidak berangkat ke kantor demi menemani Alena, menjaga dan melayani katanya. Sangat berlebihan, bahkan pasangan suami istri saja tidak akan sebegitunya."Tapi aku ingin. Cepat buka mulutmu atau kubantu menyuap dengan mulutku." Harry menaikkan sebelah alisnya dengan ekspresi nakal khasnya itu.Alena mencebik. Dia dia membuka juga mulutnya."Aku masih berdarah dan kau sudah sangat nakal."Suapan ke tiga itu terhenti seketika. Harry melotot tak percaya dengan apa yang baru saja Alena katakan. Gadis ini sepertinya sudah l
"Ezra, itu kau?"Bibir Alena gemetar menyebut nama yang sudah melekat di ingatan. Sangat mengejutkan seperti dia sedang melihat keajaiban di depan mata. Alena melepaskan rangkulan tangan Harry yang bertengger di pundaknya."Ada apa, Alen?" tanya Harry, hatinya tak senang mendengar Alena memanggil nama lelaki di depan sana.Bahkan wajah Alena tampak sangat bahagia melihat lelaki itu. Mata gadis itu berkaca-kaca dan senyum terlukis indah di sana. Harry tak bisa menahan hatinya cemburu dengan tatapan memuja yang Alena berikan pada lelaki yang dipanggil Ezra.Namun beberapa detik berikutnya wajah Alena menjadi murung seperti orang yang baru saja kehilangan.Ada apa dengan Alena?"Alen," ulang Harry.Panggilan Harry tak lagi terdengar di telinga Alena. Dia sibuk saling menatap dengan Ezra yang hanya membalas dingin. Tatapan penuh cinta yang biasa Ezra berikan seperti sirna tak berbekas untuk Alena.Apa dia ke
Pagi itu Harry meminta ijin harus berangkat ke kantor. Pekerjaan sudah sangat menumpuk dan para rekan bisnis tak bisa menunggu lebih lama lagi. Harry merasa sungkan meninggalkan Alena, yang menurutnya belum benar-benar pulih."Alen, boleh aku berangkat ke kantor hari ini? Pekerjaan sudah tak bisa menungguku lagi. Tapi, aku tak tega meninggalkanmu di rumah." Dia menjedah sejenak untuk melihat ekspresi wajah Alena. "Tapi tidak. Aku bisa menghentikan kerja sama dengan mereka jika tak sabar menungguku."Mata Alena membulat. Dia tak menduga Harry bahkan rela merusak kerja samanya demi seorang Alena. Gadis itu tersenyum terlebih dulu sebelum meyakinkan Harry."Tak apa, Harry, pergi lah. Aku akan merasa sangat bersalah jika kau mengabaikan perusahaan demi diriku. Lagian aku sudah pulih. Kau harus mengurus perusahaan untuk masa depan anak-anak kita, oke," tutur Alena. "Ingat. Jika kau terus di rumah justru aku tidak senang. Aku tak mau hidup dengan lelaki pemalas."
Stasiun televisi mulai memuat berita pernikahan Ezra dan Felisha. Tak heran, mengingat dia putra kedua dari keluarga Raves, yang juga cukup berada. Berbagai acara-acara menjelang pernikahan yang sesungguhnya bukan informasi penting yang harus ditonton masyarat, semua mulai diekspos.Feli tampak sangat senang di layar kaca. Dia terus saja menggandeng tangan Ezra menjawab pertanyaan demi pertanyaan dari reporter, tentang apa saja yang sudah mereka persiapkan. Alena sangat muak melihatnya."Kau sudah mengantuk?"Harry menghentikan langkah Alena yang akan beranjak ke dalam kamar. Gadis itu memutar punggungnya menatap Harry, dan tampak kesuraman di wajah cantiknya. Alena kemudian memaksa bibir untuk tersenyum agar Harry tidak curiga padanya."Ya, aku mengantuk, Harry. Aku ingin berbaring di kamar," bohong Alena. Harry tak perlu tahu bagaimana perasaan Alena, jadi dia mencoba tetap tegar.Sulit memang. Meski Ezra sudah berkata sangat ta
Alena sedang berada di ruang ganti bersama tiga pelayan yang membantunya mengenakan pakaian. Gadis itu berdiri seperti sebuah patung manekin yang pasrah diperlakukan. Sejak tadi dia sudah berkata akan mengenakan sendiri pakaiannya, tapi ketiga pelayan itu berkata Tuan Muda mereka akan marah jika membiarkan Alena mengenakannya sendiri. Sangat berlebihan, Alena merasa seperti di awal dia masuk ke rumah besar itu yang segalanya harus dilakukan pelayan."Apa ini?" tanya Alena dengan mata membola.Gaun yang dibawakan pelayan terlihat sangat indah dan berbeda dengan gaun yang biasa Alena pakaian sehari-hari. Alena juga baru kali ini melihat gaun itu, sebab tak pernah ada di dalam lemari."Ini gaun Anda, Nona."Ya, ya. Alena belum buta. Dia tahu itu gaun, tapi maksudnya, kenapa harus memakainya?Lihat saja. Gaun itu sangat cantik dan mewah. Bahannya yang lembut terasa sangat ringan menggelitik kulit Alena saat pelayan mengenakan padanya. Alen
Harry dan Alena masih sibuk dengan acara dadakan tanpa perencanaan itu. Para tamu yang tak pernah diundang pun berebut mengucapkan selamat untuk pasangan pengantin. Tak lupa dengan reporter juga mempertanyakan kenapa pernikahan mereka sangat mendadak."Bagaimana Tuan menjelaskan pernikahan ini? Saudara tiri Nona Alena berkata ini hanya sandiwara. Benarkah seperti itu, Tuan Borisson?"Alena merasakan telapak tangannya mulai basah, gugup oleh pertanyaan mereka. Bahkan di depan altar dia bisa bersikap santai, tapi saat seperti ini justru Alena menjadi berkeringat."Aku mencintainya sejak lama. Dan aku sengaja melamarnya tepat di hari ini agar segera bisa melangsungkan pernikahan. Bagi sebagian orang mungkin terdengar aneh, tapi bagi kami berdua, pernikahan ini adalah impian. Kami sudah mewujudkannya, dan kami sangat bahagia." Harry menggenggam tangan Alena erat untuk membuat gadis itu tetap percaya diri."Terima kasih untuk semua. Kami harus pergi berb
"Anakku sayang, akhirnya kau tiba."Amanda Borisson menyambut Harry yang baru saja tiba di pintu masuk rumah keluarganya. Harry membiarkan Amanda memeluk putra satu-satunya itu dan menciumnya di kedua pipi. Harry membalas perlakuan mamanya dengan memberi kecupan di kening wanita itu.Amanda sudah berusia akhir empat puluh, tapi kecantikan di wajahnya masih sangat sempurna. Belum lagi tubuhnya yang tinggi ramping membuatnya terlihat tidak seperti wanita yang sudah memiliki anak seusia Harry."Apa kau lapar? Kau ingin makan malam terlebih dulu?" cecar Amanda. Suaranya tampak tenang tidak seperti saat di telepon sore tadi."Ini sudah tengah malam, Ma. Tentu aku sudah mengisi perut lebih dulu."Mamanya lalu terkekeh mendengar jawaban Harry, tapi tampak jelas ada salah tingkah di gelagatnya."Ah, ya. Ini sudah malam. Kalau begitu mari mama antar ke kamar."Amanda menggandeng Harry menuju kamarnya di lantai tiga, kamar yang Harr
"Harry!"Lelaki yang namanya dipanggil itu menggeser kepala untuk mencari datangnya suara. Seorang gadis berlarian ke tempat Harry sedang duduk membaca buku di taman belakang. Gadis itu menabrak tubuh kekar lelaki itu dan memeluk erat leher Harry."Kapan kau tiba? Kenapa tak memberitahuku?" tanyanya, masih terus bergelayut di leher Harry."Natalie Dominiqe, leherku akan patah jika kau bergelayut seperti itu," ucap Harry melepaskan lehernya dari gadis itu."Nitty!" serga Natalie cepat."Oke lah, Nitty. Leherku bisa patah jika kau bergelayut. Jangan mengulanginya."Gadis yang lebih senang dipanggil Nitty itu memanyunkan bibirnya tak senang dan langsung menarik buku dari tangan Harry."Ayo masuk." Kali ini Nitty memeluk lengan Harry untuk mengajaknya masuk."Aku masih ingin di sini. Kau duluan saja, Nitty.""Yang benar saja? Apa kau menunggu pelayan itu agar mau ikut ke dalam?"Mata Ha