Hari ini ternyata jualannya masih banyak yang membeli, benarlah kata pepatah. Masalah bukan untuk diratapi. Namun, harus dihadapi.
Sudah jam tiga sore, dan pasar mulai sepi dari para penjual juga pengunjung, Marni memberekan etalase dan membersihkan alat-alat jualan dan merapihkannya, lalu pulang dijemput suaminya."Bu, Juragan mengirim satu ekor kambing barusan kerumah, kata Vina, untuk akikahnya bayi Dara katanya," ungkap Danu saat di jalan."Kok aku jadi curiga sama Juragan! Rasanya berlebihan menanggapi dan memberi perhatian atas lahirnya bayi dari Dara ini, Bu," lanjutnya."Tadi Juragan juga menghampiriku di pasar Pak. Dan aku baru tahu jika ternyata Ivan masih kerabatnya! Mungkin itu alasannya."Marni tak mau curiga pada Juragan Heri, karena rasanya tak mungkin dan tak masuk akal. Namun, setelah ia timbang kembali, ucapan suaminya ada benarnya juga."Tapi ada benarnya juga pak. Kurasa kita harus menyecar Dara d"Dara cantik sekali Bu Marni," ucap Bu Ratna yang tengah merias wajah Dara.Marni mendampinginya dengan Syifa di gendongan. Ia mentatap wajah sendu sang putri dengan seksama. Kasihan dia, terjerumus dalam nista dosa terdalam, melakukan zina dalam waktu lama dan yang Marni sesali adalah ia sebagai ibu yang tak peka. Andai Marni mampu mencegahnya, sudah pasti Dara mau mengerti. Andai setiap omongan Vina juga ia telaah dengan benar pada saat itu. Mungkin hari ini adalah hari paling bahagia bagi semua. Tapi kini, ada sedikit getir di hatinya melihat gadis yang ia lahirkan enam belas tahun lalu itu hendak melepas lajang."Sudahlah, Bu," bisik Vina, seraya mengusap-usap punggung ibunya. Sepertinya Vina faham betul dengan apa yang tengah dirasakan oleh sang ibu, kesedihan dan kekecewaan itu tergambar jelas meski kini harusnya menjadi hari bahagia."Bu, sebaiknya Syifa titip di rumah Wa Sari agar tak repot, dan terdengar menangis saat tamu dari keluarga Ivan
Dara, Dara, Dara, Dara.Namanya tengah menjadi buah bibir satu kampung saat ini, jadi bahan gibahan tetangga. Mereka menghakiminya yang melahirkan tepat seletah lamaran. Dan statusnya yang tentu masih gadis, pastinya menggemparkan.Mereka tak tahu penderitaan gadis itu yang awalnya terjerat dalam lingkaran kekuasan Juragan Heri, yang seolah membungkamnya tuk tak bersuara hingga sekarang.**"Nak, bapak terlanjur ada penumpang ini, gimana? Apa kamu mau tunggu sebentar? Atau naik ojek lain saja?" ujar bapaknya, yang mangkal di bawah gedung pasar suatu hari saat Dara hendak pulang seperti biasa. Selepas dzuhur Dara pulang duluan dari pasar setelah dari pagi buta ia membantu ibunya memasak dan berjualan. Dan Dara selalu diantar bapaknya saat pulang kerumah."Jarak kerumah saya hampir satu jam loh, Mang," ujar penumpangnya Danu ."Ya, sudah, Pak, aku naik angkot saja tak apa," kata gadis itu dan berlalu. Dara takut j
WARNING bab ini mengandung bacaan dewasa. Ada beberapa dialog vulgarnya. Mohon tidak dibaca anak di bawah umur.Saat tiba di rumah, ternyata Vina belum pulang, hanya ada Damar yang tengah menantinya.Sejek kejadian itu Dara merasa kemaluannya perih dan terasa sakit tuk beberapa hari. Ingin sekali bicara pada ibunya dan Vina sang kaka. Namun, ancaman Jaya selalu bergema di kepala membuatnya takut dan mencoba melupakannya saja.Untuk sekian lama Dara takut jika berjalan sendirian, ia merasa hidupnya kini dalam ancaman. Ia menyesal telah terlibat dengan putra penguasa yang membuatnya tak berdaya.Hingga tiba suatu saat, Dara bertemu pemuda bernama Jajang di pasar, membuat hari-harinya yang suram perlahan berganti cerah lagi oleh pria berkulit hitam manis tersebut. Dia dan ibunya selalu memesan sarapan pada ibunya Dara, dan ibunya menyuruh Dara tiap pagi tuk menghantar pesanannya Jajang.Makin lama Dara makin dekat dengan Jajang. Jajang bai
"Bu Marni, mohon maaf Bu, kebayanya tak ada yang cukup di badan Dara anak ibu, jadi sebaiknya pake gamis saja dan pakai hijab," ujar bu Ratna, tukang rias ternama yang juga tetangga satu kampung dengan Bu Marni."Loh loh kenapa Bu? Ini kan acara lamaran bukan pengajian!" sergah Bu Marni sedikit tak terima dengan usul Bu Ratna.Iya, hari ini adalah hari lamaran bagi Dara anak perempuan Bu Marni yang nomer dua.
"Vina jawab ibu!" teriaknya dengan air mata yang mulai bercucuran."Dara, apa iya kamu mau melahirkan?" lanjutnya pada Dara.Vina hanya menunduk, sedangkan Dara makin meringis-ringis seperti menahan sakit."Damar keluar Nak. Tunggu di kamarmu saja yah," ucap suaminya dengan tenang. Pada Damar yang masih kecil dan tak layak mendapati pemandangan ini di depan matanya.Sungguh Marni tak tahu hendak melakukan apa sekarang, kata yang hendak diucapkan rasanya berbenturan saking banyaknya pertanyaan."Sudah, Bu tanyanya nanti saja tolong Dara dulu sekarang," ucap Vina yang mulai bangkit memegangi adiknya yang tengah kesakitan. Marni dan suaminya saling tatap. Banyak tanya hingga tak tahu hendak berbuat apa."Kak tolong buka celana dalamku kak! Aku merasa ada yang merangsak keluar di kemaluanku," gertak Dara mengagetkan.Seketika Vina melakukanny
"Lalu siapa kira-kira yang menghamili Dara Vin?" sesalnya dengan derai air mata."Bu, sebaiknya kita tunggu keadaan mereda tuk mengetahui siapa bapak dari bayinya Dara. Sekarang ..., Vina mikirin hari besok yang pasti akan berat bagi keluarga kita," ucap Vina dengan wajah lelah."Kamu benar Vin. Namun, ibu masih tak habis pikir kenapa ibu bisa kecolongan seperti ini oleh Dara.""Jika Ibu mau mengingat sembilan bulan kebelakang ... mungkin akan banyak ucapan orang atau kejadian sebagai petunjuk tentang ini Bu, tapi kurasa karena rasa percaya ibu pada Dara, membutakan mata dan hati Ibu tuk menerima. Malah Ibu selalu saja mengurusiku yang tak selalu sesuai inginnya Ibu," tutur Vina penuh penyesalan.Seketika mata Marni membulat mendengar ucapan Vina. Namun, Marni pun merasa ucapan putrinya kali ini benar. Apakah ini hukuman karena ia selalu suudzon pada Vina?Marni menarik napas kas
Marni dan Mak Eem berpandangan heran. Seketika Dara bersuara yang menggetarkan jiwa mendengarnya."Bu, mungkin benda yang keluar saat aku di kamar mandi tadi adalah ari-ari itu.""Lalu kamu kemanakan?" tanyanya geram."Tadinya akan kubuang ke kloset dan menyiramnya. Namun, mengganjal karena kebesaran, yasudah aku masukin tempat sampah," ucapnya pelan dan terkesan polos."Buru teangan, Marni bisi ku ucing!" (Cepat cari Marni tar sama kucing) ucap Mak Eem seketika.Marni pun berlari mencari keberadaan ari-ari tersebut dan menemukannya di tong sampah dalam kamar mandi."Aya?" (Ada) tanya Mak Eem, yang menghampirinya.Marni mengangguk dan keluar menerobos badan Mak Eem yang berdiri di balik pintu kamar mandi. Seketika tubuhnya lunglai bagai tak bertulang, malam ini sungguh amat mengerikan dan kuharap ini hanya mimpi seram belaka.
"Duduk Bu," titah Vina seraya menggeser kursi makan yang terdapat di dapur mereka."Minum dulu," lanjutnya dengan mengulurkan segelas teh hangat pada ibunya."Vina, maafkan ibu, Nak," ucap Marni tak mampu menahan gejolak rasa bersalah pada putrinya."Selama ini kamu ibu sisihkan karena di anggap pembangkang. Tahukah kamu Vina? Dulu ibu berpikiran bahwa Dara adalah kebanggaan karena selalu menuruti ibu dan tak pernah banyak permintaan, sedangkan kamu ..., selalu ingin sekolah, banyak mengikuti kegiatan belajar, mengaji masih berjalan, menjadikan kamu jarang di rumah dan bantu ibu merapihkan isinya. Dara hanya berkutat dengan pekerjaan rumah dan membantu ibu berjualan di pasar. Ternyata dia bermain dengan dunianya yang ibu pikir baik-baik saja itu," ucapnya penuh penyesalan.Vina hanya menunduk lesu tak seperti biasanya, dia akan lantang bersuara dan selalu menyergah ibunya."Sudah
WARNING bab ini mengandung bacaan dewasa. Ada beberapa dialog vulgarnya. Mohon tidak dibaca anak di bawah umur.Saat tiba di rumah, ternyata Vina belum pulang, hanya ada Damar yang tengah menantinya.Sejek kejadian itu Dara merasa kemaluannya perih dan terasa sakit tuk beberapa hari. Ingin sekali bicara pada ibunya dan Vina sang kaka. Namun, ancaman Jaya selalu bergema di kepala membuatnya takut dan mencoba melupakannya saja.Untuk sekian lama Dara takut jika berjalan sendirian, ia merasa hidupnya kini dalam ancaman. Ia menyesal telah terlibat dengan putra penguasa yang membuatnya tak berdaya.Hingga tiba suatu saat, Dara bertemu pemuda bernama Jajang di pasar, membuat hari-harinya yang suram perlahan berganti cerah lagi oleh pria berkulit hitam manis tersebut. Dia dan ibunya selalu memesan sarapan pada ibunya Dara, dan ibunya menyuruh Dara tiap pagi tuk menghantar pesanannya Jajang.Makin lama Dara makin dekat dengan Jajang. Jajang bai
Dara, Dara, Dara, Dara.Namanya tengah menjadi buah bibir satu kampung saat ini, jadi bahan gibahan tetangga. Mereka menghakiminya yang melahirkan tepat seletah lamaran. Dan statusnya yang tentu masih gadis, pastinya menggemparkan.Mereka tak tahu penderitaan gadis itu yang awalnya terjerat dalam lingkaran kekuasan Juragan Heri, yang seolah membungkamnya tuk tak bersuara hingga sekarang.**"Nak, bapak terlanjur ada penumpang ini, gimana? Apa kamu mau tunggu sebentar? Atau naik ojek lain saja?" ujar bapaknya, yang mangkal di bawah gedung pasar suatu hari saat Dara hendak pulang seperti biasa. Selepas dzuhur Dara pulang duluan dari pasar setelah dari pagi buta ia membantu ibunya memasak dan berjualan. Dan Dara selalu diantar bapaknya saat pulang kerumah."Jarak kerumah saya hampir satu jam loh, Mang," ujar penumpangnya Danu ."Ya, sudah, Pak, aku naik angkot saja tak apa," kata gadis itu dan berlalu. Dara takut j
"Dara cantik sekali Bu Marni," ucap Bu Ratna yang tengah merias wajah Dara.Marni mendampinginya dengan Syifa di gendongan. Ia mentatap wajah sendu sang putri dengan seksama. Kasihan dia, terjerumus dalam nista dosa terdalam, melakukan zina dalam waktu lama dan yang Marni sesali adalah ia sebagai ibu yang tak peka. Andai Marni mampu mencegahnya, sudah pasti Dara mau mengerti. Andai setiap omongan Vina juga ia telaah dengan benar pada saat itu. Mungkin hari ini adalah hari paling bahagia bagi semua. Tapi kini, ada sedikit getir di hatinya melihat gadis yang ia lahirkan enam belas tahun lalu itu hendak melepas lajang."Sudahlah, Bu," bisik Vina, seraya mengusap-usap punggung ibunya. Sepertinya Vina faham betul dengan apa yang tengah dirasakan oleh sang ibu, kesedihan dan kekecewaan itu tergambar jelas meski kini harusnya menjadi hari bahagia."Bu, sebaiknya Syifa titip di rumah Wa Sari agar tak repot, dan terdengar menangis saat tamu dari keluarga Ivan
Hari ini ternyata jualannya masih banyak yang membeli, benarlah kata pepatah. Masalah bukan untuk diratapi. Namun, harus dihadapi.Sudah jam tiga sore, dan pasar mulai sepi dari para penjual juga pengunjung, Marni memberekan etalase dan membersihkan alat-alat jualan dan merapihkannya, lalu pulang dijemput suaminya."Bu, Juragan mengirim satu ekor kambing barusan kerumah, kata Vina, untuk akikahnya bayi Dara katanya," ungkap Danu saat di jalan."Kok aku jadi curiga sama Juragan! Rasanya berlebihan menanggapi dan memberi perhatian atas lahirnya bayi dari Dara ini, Bu," lanjutnya."Tadi Juragan juga menghampiriku di pasar Pak. Dan aku baru tahu jika ternyata Ivan masih kerabatnya! Mungkin itu alasannya." Marni tak mau curiga pada Juragan Heri, karena rasanya tak mungkin dan tak masuk akal. Namun, setelah ia timbang kembali, ucapan suaminya ada benarnya juga."Tapi ada benarnya juga pak. Kurasa kita harus menyecar Dara d
Ini hari kedua yang dilewati keluarga Marni dengan kenyataan pahit di depan mata. Dan Marni bersyukur, tadi malam masih mampu terlelap dengan nikmat."Dara kasih ponselmu pada ibu sekarang, emari!" gertak Marni seraya mengulurkan tangan.Tak melawan, Dara memberikannya. Marni pun segera bangkit dari hadapannya tak ingin banyak bertatap. Entahlah ..., hatinya selalu perih saat dekat dan berhadapan dengan putrinya."Vin, kamu sekolah hari ini?" tanya Marni pada Vina yang baru saja selesai sholat shubuh."Sekolah, Bu, aku takut ketinggalan banyak pelajaran." "Yasudah, ibu juga mau berjualan. Kamu bilangin adikmu tuk menjaga anaknya sendiri, nanti wa Sari juga pasti menemani," perintah Marni.Vina menatapnya heran, seraya berjalan menuju dapur. Dan Marni mengikutinya."Bu lebih baik jangan dulu berjualanlah, Kasihan Adek. Lagian Ibu memangnya sudah siap menghadapi dunia luar?" tanyanya."Siap gak si
Meski sudah membela diri sebisanya. Mereka tetap memarahi dan menuduhnya."Putri ibu dan bapak kan ada dua, Buk, bisa saja Dara yang mereka maksud," ucapnya membela diri."Dara itu gadis baik-baik, pendiam dan gak aneh-aneh. Kesehariannya hanya di pasar membantu ibu, lalu pulang merapihkan rumah dan malamnya terkadang menemani nenekmu. Itu saja! Mana mungkin dia keluyuran tidak jelas, Vina?"Vina menyerah dan pasrah. Ia kembalikan semua pada sang waktu, biar Dia yang menjawabnya. Mata dan hati kedua orang tuanya telah benar-benar tertutup oleh keluguan yang semu. Biarlah, bagaimanapun di sini Vina lah yang harus kuat menjalani.Hinga suatu hari, Vina membuka lemari baju Dara yang bersebelahan dengan lemarinya tanpa sengaja. Pembalut yang selalu ibu mereka belikan tiap bulan tersusun rapih ada lima bungkus di sana."Dek sini!" teriaknya pada Dara yang hendak be
Vina Yulianti. Itulah nama yang Marni dan sang suami berikan pada putri sulung mereka. Dulu, Vina selalu mempermasalahkan namanya yang berbeda dari kedua adiknya. Dara dan Damar. Mereka di beri nama dengan awalan huruf D sama dengan Bapaknya, Danu.Bahkan Vina sempat berpikir jika Vina ini anak pungut, perihal pemberian nama yang berbeda tersebut. Namun, seiring waktu semakin ua dewasa, Vina tak lagi memikirkan hal sepele seperti itu. Bahkan Vina sering dicaci maki oleh ibunya karena berbeda dengan adiknya Dara, yang pendiam dan penurut. Vina memang selalu membangkang karena tak terima dengan pemikiran ibu dan bapaknya yang masih primitif.Dalam bergaul, menurut mereka Vina keterlaluan, karena memiliki banyak teman yang sering datang dari berbagai kalangan, juga banyaknya teman lelaki yang menurut mereka tak pantas. Dara seorang yang pendiam dan bisa dibilang memiliki teman yang sedikit, hanya di sekitar rum
Marni cukup terhenyak mendengar penuturan Ivan. Ia tak menyangka pemuda di hadapannya tidak gentar meski kenyataan pahit terjadi di depan mata."Dengar, Van, kamu itu masih muda dan bisa mencari yang lebih baik dari Dara. Mohon jangan gegabah, menikah itu bukan permainan, Nak," ucapnya menanggapi Ivan yang terlihat tenang."Ada Ivan, kapan datang?" sela Danu yang muncul dari balik kamar baru bagun dari tidurnya."Barusan, Pak, belum lama."Danu kemudian pamit hendak membersihkan diri dahulu, sebelum bercengkrama lebih lanjut dengan Ivan."A, kalo nikah sama Kak Vina aja gimana?" seloroh Dara membuat Marni tersentak.Mulut Marni menganga, mendengar penuturan Dara yang terkesan memandang pernikahan adalah main-main belaka. Wajar saja, dia memang masih remaja."Dek, kamu ini ... memang yah, aduh ... makanya sekolah, ngaji deh terusin, asal b
Tak membuang waktu Marni segera memanggil Tanti dan berbicara padanya di dapur berdua saja, sementara Emak disuruhnya tuk menemani Dara dan Teh Sari di depan."Tan, langsung saja, ya, bibi mau nanya, kamu tahu bapak dari bayi yang dilahirkan Dara?" tanya Marni dengan memperhatikan wajahnya dengan seksama.Tanti tampak gugup, ia memaikan jemarinya dan menunduk."Tidak, Bi, jika tahu sudah Tanti beri tahu dari dulu!" serunya.Ah ... lagi-lagi Marni merasa dibuat geram dengan tingkah bocah di depannya, menanyai Dara ... hanya diam seribu bahasa. Vina, banyak berkelit, dan kini Tanti. Marni yakin dia tahu sesuatu. Namun seperti ketakutan tuk berbicara padanya."Tan, jangan takut, bibi gak akan bilang siapa-siapa. Atau gini deh, kamu tahu gak siapa saja lelaki yang dekat dengan Dara? Bibi memang selalu bersama saat di pasar, tapi setelah di rumah 'kan kebanyakan tidurnya di ruma