"Duduk Bu," titah Vina seraya menggeser kursi makan yang terdapat di dapur mereka.
"Minum dulu," lanjutnya dengan mengulurkan segelas teh hangat pada ibunya.
"Vina, maafkan ibu, Nak," ucap Marni tak mampu menahan gejolak rasa bersalah pada putrinya.
"Selama ini kamu ibu sisihkan karena di anggap pembangkang. Tahukah kamu Vina? Dulu ibu berpikiran bahwa Dara adalah kebanggaan karena selalu menuruti ibu dan tak pernah banyak permintaan, sedangkan kamu ..., selalu ingin sekolah, banyak mengikuti kegiatan belajar, mengaji masih berjalan, menjadikan kamu jarang di rumah dan bantu ibu merapihkan isinya. Dara hanya berkutat dengan pekerjaan rumah dan membantu ibu berjualan di pasar. Ternyata dia bermain dengan dunianya yang ibu pikir baik-baik saja itu," ucapnya penuh penyesalan.
Vina hanya menunduk lesu tak seperti biasanya, dia akan lantang bersuara dan selalu menyergah ibunya.
"Sudah, Bu, lupakan dulu penyesalan itu. Kita harus pikirkan bagaimana cara mengetahui bapak dari bayinya Dara?" jawab Vina dengan tenang.
"Kita harus kuat dan bersatu dalam mengambil tindakan tuk Dara kedepan, Mar," sela Teh Sari.
Marni pun mengangguk dan mencoba tuk baik-baik saja. Marni lihat Danu--suaminya tengah duduk di tepi pintu keluar dengan sebatang rokok di tangan. Pandangannya menerawang tak tentu arah.
"Mas, Dara 'kan selalu pulang duluan sebelum aku, dan Mas yang antar. Apa selama ini Mas tak pernah melihat dan menemukan hal aneh pada Dara?" tanya Marni pada suaminya.
Mas Danu melirik Vina dengan tatapan aneh.
Lalu menarik napas kasar dan menghembuskannya. Dia membuang puntung rokoknya yang telah pendek tak bisa disesap kembali, lalu menghampirinya, vina, juga Teh Sari di meja makan.
"Dara selalu menolak untuk kujemput saat di pasar. Dia pura-pura saja turun dari gedung pasar dan menemuiku di parkiran, padahal dia selalu memilih jalan kaki dan menyuruhku untuk mengojeg saja. Awalnya kurasa baik-baik saja Marni, karena watak dara yang memang selalu berhemat, bahkan sekolahpun dia tak mau 'kan? Dengan alasan takut membebani kita." Danu menjeda kalimatnya sejenak lalu melanjutkannya.
"Namun, belakangan,... sebelum Dara bertemu Ivan, aku pernah memergoki Dara tengah bermesraan di belakang pasar dengan lelaki yang tak kukenal. Dan aku tak pernah berpikir bahwa Dara melangkah sejauh itu dari kita. Saat telah bersama Ivan, aku pernah memergoki Vina yang tengah memarahi Dara dengan Ivan di kamarnya. Vina waktu itu bilang hanya memergoki Dara tengah berciuman dan aku percaya saja," lanjutnya penuh sesal.
"Sekarang jelaskan pada kami tentang hari itu, Vin!" tatapan Danu beralih pada putrinya.
Vina menunduk seperti ketakutan lalu dengan segera ia menguasai diri dan berkata.
"Gak ada yang aku tutupi kok, Pak. Memang cuma itu yang kudapati waktu itu."
Vina ini memang pintar berbicara, bahkan dia terkesan kuat walau harus berdebat dengan orang tuanya jika sudah punya kemauan atau pendapat ... dia akan lantang membela dirinya. Berbeda dengan Dara yang selalu bilang 'iya' dan 'maaf' saat diberi tahu oleh orang tuanya.
"Vin, bapak mohon jangan tutupi apapun lagi yang kamu ketahui tentang Dara!" teriak Danu mulai lantang.
"Pak-Bu, sekarang, lebih baik Ibu hampiri dan rebut ponsel Dara yang dari tadi dia mainkan. Vina rasa dia tengah mengabari Bapak dari bayi itu, bahwa dia telah melahirkan," sergah Vina mengalihkan pembicaraan.
"Benar Mar, dari tadi Dara terus memaikan ponselnya seperti sibuk berbalas pesan," sela Teh Sari kemudian.
"Vina, bapak rasa kamu tahu rahasia Dara yang lain tolong bicara Bapak tunggu!" Danu bersikukuh.
Namun Vina tetap pada pendiriannya bahwa dia tak tahu menahu tentang Ayah bayinya Dara.
"Ah aku pusing Mar, setelah mengubur ari-ari aku ingin istirahat dulu sebentar!" seru Danu. Kemudian dia bergegas menyambar ari-ari yang telah siap dikubur di dalam sebuah kendi.
Vina dan Teh Sari pun pergi hendak menemani Dara di ruang tengah. Marni sendiri dan pikirannya kembali ramai dengan pertanyaan.
Tunggu, Danu bilang pernah memergoki Dara dengan seorang pria tak ia kenal di belakang pasar? Apa dia pelakunya? Mencoba mengingat semua langganannya yang memang suka mengganggu Dara walau dia tak pernah menanggapi, bisa saja salah satunya itu yang menghamili Dara. Ivan ... lagi-lagi Marni merasa Ivan tahu ....
Gegas Marni bangkit dan menghampiri Vina.
"Vin sini Ibu ingin bicara lagi," bisiknya dan menuntun tangan Vina.
"Bu ...!" seru Dara dengan sendu. Tak ia hiraukan dan melewatinya begitu saja. Entahlah Marni tengah tak karuan hendak memperlakukannya seperti apa sekarang.
"Vin, panggil Ivan sekarang suruh kesini!" titahnya.
"Bu, apa kita sudah siap jika Ivan tahu Dara melahirkan?"
"Panggil! Ibu mau bicara sekarang juga tak ada waktu, cepat atau lambat dia akan tahu juga 'kan?" sergahnya.
"Baiklah, Bu, akan Vina hubungi sekarang," jawab Vina dengan terpaksa.
Hari sudah menjelang siang. Belum ada satupun makanan yang melewati kerongkongan tuk memenuhi perutnya. Bahkan Marni lupa pada Mak Eem. Namun ada Teh Sari yang mengurusi ini semua. Para tetangga yang datang tak ia temui satupun.
"Marni," Sapa seseorang memecah lamunan.
"Emak ...."
"Emak karek ngadenge bieu, nat meuni poho ka indung ker kapapaitan teh," (Emak baru denger barusan, kok bisa lupa sama ibu sedang dapat musibah gini,) ucap Emak dengan suara serak di usia senjanya.
Ah ... iya bahkan Marni lupa pada Emak yang setiap pagi selalu Dara urusi di rumahnya yang terhalang lima rumah dari kediamannya ini. Emak sudah tua renta dia hidup sendiri di rumahnya dan tak mau diajak satupun anaknya tuk menetap bersama. Hanya mengandalkan cucu-cucunya yang bergiliran menemainya menginap dan mengurusinya setiap pagi. Dan yang paling rajin adalah Dara. Setiap pulang dari pasar ba'da zuhur, Dara akan merapihkan rumah hingga sore, lalu malamnya menemani neneknya itu.
Tapi semenjak berpacaran dengan Ivan. Dara jarang sekali menemani Emak dan selalu di gantikan Tanti anak Teh Tuti kakak tertua Marni yang rumahnya berbeda RT.
Tanti? Apakah dia tahu ... ah dia ada di ruang tengah tadi menemani Dara. Akan Marni panggil dan menyecarnya dengan banyak pertanyaan. Mengingat dia seusia dengan Dara, Bisa saja mereka sering curhat berdua.
Bersambung ....
Tak membuang waktu Marni segera memanggil Tanti dan berbicara padanya di dapur berdua saja, sementara Emak disuruhnya tuk menemani Dara dan Teh Sari di depan."Tan, langsung saja, ya, bibi mau nanya, kamu tahu bapak dari bayi yang dilahirkan Dara?" tanya Marni dengan memperhatikan wajahnya dengan seksama.Tanti tampak gugup, ia memaikan jemarinya dan menunduk."Tidak, Bi, jika tahu sudah Tanti beri tahu dari dulu!" serunya.Ah ... lagi-lagi Marni merasa dibuat geram dengan tingkah bocah di depannya, menanyai Dara ... hanya diam seribu bahasa. Vina, banyak berkelit, dan kini Tanti. Marni yakin dia tahu sesuatu. Namun seperti ketakutan tuk berbicara padanya."Tan, jangan takut, bibi gak akan bilang siapa-siapa. Atau gini deh, kamu tahu gak siapa saja lelaki yang dekat dengan Dara? Bibi memang selalu bersama saat di pasar, tapi setelah di rumah 'kan kebanyakan tidurnya di ruma
Marni cukup terhenyak mendengar penuturan Ivan. Ia tak menyangka pemuda di hadapannya tidak gentar meski kenyataan pahit terjadi di depan mata."Dengar, Van, kamu itu masih muda dan bisa mencari yang lebih baik dari Dara. Mohon jangan gegabah, menikah itu bukan permainan, Nak," ucapnya menanggapi Ivan yang terlihat tenang."Ada Ivan, kapan datang?" sela Danu yang muncul dari balik kamar baru bagun dari tidurnya."Barusan, Pak, belum lama."Danu kemudian pamit hendak membersihkan diri dahulu, sebelum bercengkrama lebih lanjut dengan Ivan."A, kalo nikah sama Kak Vina aja gimana?" seloroh Dara membuat Marni tersentak.Mulut Marni menganga, mendengar penuturan Dara yang terkesan memandang pernikahan adalah main-main belaka. Wajar saja, dia memang masih remaja."Dek, kamu ini ... memang yah, aduh ... makanya sekolah, ngaji deh terusin, asal b
Vina Yulianti. Itulah nama yang Marni dan sang suami berikan pada putri sulung mereka. Dulu, Vina selalu mempermasalahkan namanya yang berbeda dari kedua adiknya. Dara dan Damar. Mereka di beri nama dengan awalan huruf D sama dengan Bapaknya, Danu.Bahkan Vina sempat berpikir jika Vina ini anak pungut, perihal pemberian nama yang berbeda tersebut. Namun, seiring waktu semakin ua dewasa, Vina tak lagi memikirkan hal sepele seperti itu. Bahkan Vina sering dicaci maki oleh ibunya karena berbeda dengan adiknya Dara, yang pendiam dan penurut. Vina memang selalu membangkang karena tak terima dengan pemikiran ibu dan bapaknya yang masih primitif.Dalam bergaul, menurut mereka Vina keterlaluan, karena memiliki banyak teman yang sering datang dari berbagai kalangan, juga banyaknya teman lelaki yang menurut mereka tak pantas. Dara seorang yang pendiam dan bisa dibilang memiliki teman yang sedikit, hanya di sekitar rum
Meski sudah membela diri sebisanya. Mereka tetap memarahi dan menuduhnya."Putri ibu dan bapak kan ada dua, Buk, bisa saja Dara yang mereka maksud," ucapnya membela diri."Dara itu gadis baik-baik, pendiam dan gak aneh-aneh. Kesehariannya hanya di pasar membantu ibu, lalu pulang merapihkan rumah dan malamnya terkadang menemani nenekmu. Itu saja! Mana mungkin dia keluyuran tidak jelas, Vina?"Vina menyerah dan pasrah. Ia kembalikan semua pada sang waktu, biar Dia yang menjawabnya. Mata dan hati kedua orang tuanya telah benar-benar tertutup oleh keluguan yang semu. Biarlah, bagaimanapun di sini Vina lah yang harus kuat menjalani.Hinga suatu hari, Vina membuka lemari baju Dara yang bersebelahan dengan lemarinya tanpa sengaja. Pembalut yang selalu ibu mereka belikan tiap bulan tersusun rapih ada lima bungkus di sana."Dek sini!" teriaknya pada Dara yang hendak be
Ini hari kedua yang dilewati keluarga Marni dengan kenyataan pahit di depan mata. Dan Marni bersyukur, tadi malam masih mampu terlelap dengan nikmat."Dara kasih ponselmu pada ibu sekarang, emari!" gertak Marni seraya mengulurkan tangan.Tak melawan, Dara memberikannya. Marni pun segera bangkit dari hadapannya tak ingin banyak bertatap. Entahlah ..., hatinya selalu perih saat dekat dan berhadapan dengan putrinya."Vin, kamu sekolah hari ini?" tanya Marni pada Vina yang baru saja selesai sholat shubuh."Sekolah, Bu, aku takut ketinggalan banyak pelajaran." "Yasudah, ibu juga mau berjualan. Kamu bilangin adikmu tuk menjaga anaknya sendiri, nanti wa Sari juga pasti menemani," perintah Marni.Vina menatapnya heran, seraya berjalan menuju dapur. Dan Marni mengikutinya."Bu lebih baik jangan dulu berjualanlah, Kasihan Adek. Lagian Ibu memangnya sudah siap menghadapi dunia luar?" tanyanya."Siap gak si
Hari ini ternyata jualannya masih banyak yang membeli, benarlah kata pepatah. Masalah bukan untuk diratapi. Namun, harus dihadapi.Sudah jam tiga sore, dan pasar mulai sepi dari para penjual juga pengunjung, Marni memberekan etalase dan membersihkan alat-alat jualan dan merapihkannya, lalu pulang dijemput suaminya."Bu, Juragan mengirim satu ekor kambing barusan kerumah, kata Vina, untuk akikahnya bayi Dara katanya," ungkap Danu saat di jalan."Kok aku jadi curiga sama Juragan! Rasanya berlebihan menanggapi dan memberi perhatian atas lahirnya bayi dari Dara ini, Bu," lanjutnya."Tadi Juragan juga menghampiriku di pasar Pak. Dan aku baru tahu jika ternyata Ivan masih kerabatnya! Mungkin itu alasannya." Marni tak mau curiga pada Juragan Heri, karena rasanya tak mungkin dan tak masuk akal. Namun, setelah ia timbang kembali, ucapan suaminya ada benarnya juga."Tapi ada benarnya juga pak. Kurasa kita harus menyecar Dara d
"Dara cantik sekali Bu Marni," ucap Bu Ratna yang tengah merias wajah Dara.Marni mendampinginya dengan Syifa di gendongan. Ia mentatap wajah sendu sang putri dengan seksama. Kasihan dia, terjerumus dalam nista dosa terdalam, melakukan zina dalam waktu lama dan yang Marni sesali adalah ia sebagai ibu yang tak peka. Andai Marni mampu mencegahnya, sudah pasti Dara mau mengerti. Andai setiap omongan Vina juga ia telaah dengan benar pada saat itu. Mungkin hari ini adalah hari paling bahagia bagi semua. Tapi kini, ada sedikit getir di hatinya melihat gadis yang ia lahirkan enam belas tahun lalu itu hendak melepas lajang."Sudahlah, Bu," bisik Vina, seraya mengusap-usap punggung ibunya. Sepertinya Vina faham betul dengan apa yang tengah dirasakan oleh sang ibu, kesedihan dan kekecewaan itu tergambar jelas meski kini harusnya menjadi hari bahagia."Bu, sebaiknya Syifa titip di rumah Wa Sari agar tak repot, dan terdengar menangis saat tamu dari keluarga Ivan
Dara, Dara, Dara, Dara.Namanya tengah menjadi buah bibir satu kampung saat ini, jadi bahan gibahan tetangga. Mereka menghakiminya yang melahirkan tepat seletah lamaran. Dan statusnya yang tentu masih gadis, pastinya menggemparkan.Mereka tak tahu penderitaan gadis itu yang awalnya terjerat dalam lingkaran kekuasan Juragan Heri, yang seolah membungkamnya tuk tak bersuara hingga sekarang.**"Nak, bapak terlanjur ada penumpang ini, gimana? Apa kamu mau tunggu sebentar? Atau naik ojek lain saja?" ujar bapaknya, yang mangkal di bawah gedung pasar suatu hari saat Dara hendak pulang seperti biasa. Selepas dzuhur Dara pulang duluan dari pasar setelah dari pagi buta ia membantu ibunya memasak dan berjualan. Dan Dara selalu diantar bapaknya saat pulang kerumah."Jarak kerumah saya hampir satu jam loh, Mang," ujar penumpangnya Danu ."Ya, sudah, Pak, aku naik angkot saja tak apa," kata gadis itu dan berlalu. Dara takut j
WARNING bab ini mengandung bacaan dewasa. Ada beberapa dialog vulgarnya. Mohon tidak dibaca anak di bawah umur.Saat tiba di rumah, ternyata Vina belum pulang, hanya ada Damar yang tengah menantinya.Sejek kejadian itu Dara merasa kemaluannya perih dan terasa sakit tuk beberapa hari. Ingin sekali bicara pada ibunya dan Vina sang kaka. Namun, ancaman Jaya selalu bergema di kepala membuatnya takut dan mencoba melupakannya saja.Untuk sekian lama Dara takut jika berjalan sendirian, ia merasa hidupnya kini dalam ancaman. Ia menyesal telah terlibat dengan putra penguasa yang membuatnya tak berdaya.Hingga tiba suatu saat, Dara bertemu pemuda bernama Jajang di pasar, membuat hari-harinya yang suram perlahan berganti cerah lagi oleh pria berkulit hitam manis tersebut. Dia dan ibunya selalu memesan sarapan pada ibunya Dara, dan ibunya menyuruh Dara tiap pagi tuk menghantar pesanannya Jajang.Makin lama Dara makin dekat dengan Jajang. Jajang bai
Dara, Dara, Dara, Dara.Namanya tengah menjadi buah bibir satu kampung saat ini, jadi bahan gibahan tetangga. Mereka menghakiminya yang melahirkan tepat seletah lamaran. Dan statusnya yang tentu masih gadis, pastinya menggemparkan.Mereka tak tahu penderitaan gadis itu yang awalnya terjerat dalam lingkaran kekuasan Juragan Heri, yang seolah membungkamnya tuk tak bersuara hingga sekarang.**"Nak, bapak terlanjur ada penumpang ini, gimana? Apa kamu mau tunggu sebentar? Atau naik ojek lain saja?" ujar bapaknya, yang mangkal di bawah gedung pasar suatu hari saat Dara hendak pulang seperti biasa. Selepas dzuhur Dara pulang duluan dari pasar setelah dari pagi buta ia membantu ibunya memasak dan berjualan. Dan Dara selalu diantar bapaknya saat pulang kerumah."Jarak kerumah saya hampir satu jam loh, Mang," ujar penumpangnya Danu ."Ya, sudah, Pak, aku naik angkot saja tak apa," kata gadis itu dan berlalu. Dara takut j
"Dara cantik sekali Bu Marni," ucap Bu Ratna yang tengah merias wajah Dara.Marni mendampinginya dengan Syifa di gendongan. Ia mentatap wajah sendu sang putri dengan seksama. Kasihan dia, terjerumus dalam nista dosa terdalam, melakukan zina dalam waktu lama dan yang Marni sesali adalah ia sebagai ibu yang tak peka. Andai Marni mampu mencegahnya, sudah pasti Dara mau mengerti. Andai setiap omongan Vina juga ia telaah dengan benar pada saat itu. Mungkin hari ini adalah hari paling bahagia bagi semua. Tapi kini, ada sedikit getir di hatinya melihat gadis yang ia lahirkan enam belas tahun lalu itu hendak melepas lajang."Sudahlah, Bu," bisik Vina, seraya mengusap-usap punggung ibunya. Sepertinya Vina faham betul dengan apa yang tengah dirasakan oleh sang ibu, kesedihan dan kekecewaan itu tergambar jelas meski kini harusnya menjadi hari bahagia."Bu, sebaiknya Syifa titip di rumah Wa Sari agar tak repot, dan terdengar menangis saat tamu dari keluarga Ivan
Hari ini ternyata jualannya masih banyak yang membeli, benarlah kata pepatah. Masalah bukan untuk diratapi. Namun, harus dihadapi.Sudah jam tiga sore, dan pasar mulai sepi dari para penjual juga pengunjung, Marni memberekan etalase dan membersihkan alat-alat jualan dan merapihkannya, lalu pulang dijemput suaminya."Bu, Juragan mengirim satu ekor kambing barusan kerumah, kata Vina, untuk akikahnya bayi Dara katanya," ungkap Danu saat di jalan."Kok aku jadi curiga sama Juragan! Rasanya berlebihan menanggapi dan memberi perhatian atas lahirnya bayi dari Dara ini, Bu," lanjutnya."Tadi Juragan juga menghampiriku di pasar Pak. Dan aku baru tahu jika ternyata Ivan masih kerabatnya! Mungkin itu alasannya." Marni tak mau curiga pada Juragan Heri, karena rasanya tak mungkin dan tak masuk akal. Namun, setelah ia timbang kembali, ucapan suaminya ada benarnya juga."Tapi ada benarnya juga pak. Kurasa kita harus menyecar Dara d
Ini hari kedua yang dilewati keluarga Marni dengan kenyataan pahit di depan mata. Dan Marni bersyukur, tadi malam masih mampu terlelap dengan nikmat."Dara kasih ponselmu pada ibu sekarang, emari!" gertak Marni seraya mengulurkan tangan.Tak melawan, Dara memberikannya. Marni pun segera bangkit dari hadapannya tak ingin banyak bertatap. Entahlah ..., hatinya selalu perih saat dekat dan berhadapan dengan putrinya."Vin, kamu sekolah hari ini?" tanya Marni pada Vina yang baru saja selesai sholat shubuh."Sekolah, Bu, aku takut ketinggalan banyak pelajaran." "Yasudah, ibu juga mau berjualan. Kamu bilangin adikmu tuk menjaga anaknya sendiri, nanti wa Sari juga pasti menemani," perintah Marni.Vina menatapnya heran, seraya berjalan menuju dapur. Dan Marni mengikutinya."Bu lebih baik jangan dulu berjualanlah, Kasihan Adek. Lagian Ibu memangnya sudah siap menghadapi dunia luar?" tanyanya."Siap gak si
Meski sudah membela diri sebisanya. Mereka tetap memarahi dan menuduhnya."Putri ibu dan bapak kan ada dua, Buk, bisa saja Dara yang mereka maksud," ucapnya membela diri."Dara itu gadis baik-baik, pendiam dan gak aneh-aneh. Kesehariannya hanya di pasar membantu ibu, lalu pulang merapihkan rumah dan malamnya terkadang menemani nenekmu. Itu saja! Mana mungkin dia keluyuran tidak jelas, Vina?"Vina menyerah dan pasrah. Ia kembalikan semua pada sang waktu, biar Dia yang menjawabnya. Mata dan hati kedua orang tuanya telah benar-benar tertutup oleh keluguan yang semu. Biarlah, bagaimanapun di sini Vina lah yang harus kuat menjalani.Hinga suatu hari, Vina membuka lemari baju Dara yang bersebelahan dengan lemarinya tanpa sengaja. Pembalut yang selalu ibu mereka belikan tiap bulan tersusun rapih ada lima bungkus di sana."Dek sini!" teriaknya pada Dara yang hendak be
Vina Yulianti. Itulah nama yang Marni dan sang suami berikan pada putri sulung mereka. Dulu, Vina selalu mempermasalahkan namanya yang berbeda dari kedua adiknya. Dara dan Damar. Mereka di beri nama dengan awalan huruf D sama dengan Bapaknya, Danu.Bahkan Vina sempat berpikir jika Vina ini anak pungut, perihal pemberian nama yang berbeda tersebut. Namun, seiring waktu semakin ua dewasa, Vina tak lagi memikirkan hal sepele seperti itu. Bahkan Vina sering dicaci maki oleh ibunya karena berbeda dengan adiknya Dara, yang pendiam dan penurut. Vina memang selalu membangkang karena tak terima dengan pemikiran ibu dan bapaknya yang masih primitif.Dalam bergaul, menurut mereka Vina keterlaluan, karena memiliki banyak teman yang sering datang dari berbagai kalangan, juga banyaknya teman lelaki yang menurut mereka tak pantas. Dara seorang yang pendiam dan bisa dibilang memiliki teman yang sedikit, hanya di sekitar rum
Marni cukup terhenyak mendengar penuturan Ivan. Ia tak menyangka pemuda di hadapannya tidak gentar meski kenyataan pahit terjadi di depan mata."Dengar, Van, kamu itu masih muda dan bisa mencari yang lebih baik dari Dara. Mohon jangan gegabah, menikah itu bukan permainan, Nak," ucapnya menanggapi Ivan yang terlihat tenang."Ada Ivan, kapan datang?" sela Danu yang muncul dari balik kamar baru bagun dari tidurnya."Barusan, Pak, belum lama."Danu kemudian pamit hendak membersihkan diri dahulu, sebelum bercengkrama lebih lanjut dengan Ivan."A, kalo nikah sama Kak Vina aja gimana?" seloroh Dara membuat Marni tersentak.Mulut Marni menganga, mendengar penuturan Dara yang terkesan memandang pernikahan adalah main-main belaka. Wajar saja, dia memang masih remaja."Dek, kamu ini ... memang yah, aduh ... makanya sekolah, ngaji deh terusin, asal b
Tak membuang waktu Marni segera memanggil Tanti dan berbicara padanya di dapur berdua saja, sementara Emak disuruhnya tuk menemani Dara dan Teh Sari di depan."Tan, langsung saja, ya, bibi mau nanya, kamu tahu bapak dari bayi yang dilahirkan Dara?" tanya Marni dengan memperhatikan wajahnya dengan seksama.Tanti tampak gugup, ia memaikan jemarinya dan menunduk."Tidak, Bi, jika tahu sudah Tanti beri tahu dari dulu!" serunya.Ah ... lagi-lagi Marni merasa dibuat geram dengan tingkah bocah di depannya, menanyai Dara ... hanya diam seribu bahasa. Vina, banyak berkelit, dan kini Tanti. Marni yakin dia tahu sesuatu. Namun seperti ketakutan tuk berbicara padanya."Tan, jangan takut, bibi gak akan bilang siapa-siapa. Atau gini deh, kamu tahu gak siapa saja lelaki yang dekat dengan Dara? Bibi memang selalu bersama saat di pasar, tapi setelah di rumah 'kan kebanyakan tidurnya di ruma