Lima tahun kemudian...
Tahun demi tahun telah terlewati. Namun, pencarian Hugo tidak membuahkan hasil. Selama itu pula, dia hanya menjadi orang yang gila kerja sampai membesarkan perusahaannya berkali-kali lipat. Akan tetapi, semua itu masih terasa hambar baginya.Hugo memang terkenal sekeras batu. Namun, semua orang tidaklah tahu bahwa hati kecilnya masih mengharapkan seseorang yang telah dia sakiti secara fisik maupun batin. Selama ini, dia hanya hidup berdampingan dengan lembah penyesalan."Tuan, 10 menit lagi kita akan sampai di perusahaan Glory Company," ucap Jay yang berhasil menarik kesadaran Hugo. Saat ini, mereka berdua berada di London dan sedang melakukan perjalanan ke perusahaan kliennya.Hugo pun hanya mengangguk kecil, lalu membuang pandangannya ke arah jendela. Netra hitam legamnya meneliti pemandangan sekitar. Tidak ada yang menarik menurutnya, hingga pandangannya menangkap segerombolan anak kecil di depan gapura sebuah sekolah. Mereka terlihat riuh sekali. Tak sedikit dari anak-anak tersebut saling mendorong ke tepi jalan."Ck, berhenti di depan sekolah itu! Di mana para guru, sampai membiarkan anak didiknya bermain di pinggir jalan seperti ini? Aku harus memberi mereka peringatan," decak Hugo kesal.Sang supir menurut saja dan mobil pun berhenti tepat di depan gapura sekolah khas taman kanak-kanak. Hugo langsung turun dari mobil untuk membubarkan kerumunan anak-anak yang menghadang jalan tadi. Namun, aktivitasnya itu harus terhenti karena melihat 2 anak yang saling adu mulut."Semua orang tahu kalau kalian itu anak haram! Dan lihat adikmu, dia juga jelek sekali. Warna matanya seperti burung gagak!" ejek Mike pada seorang gadis yang pipinya sudah basah karena air mata. Ejekkan itu mengundang gelak tawa dari anak-anak yang lain."Jangan coba-coba mengejek adikku! Kami juga bukan anak haram!" balas Axel dengan lantang. Setelah mengatakan itu, Mike pun langsung meninju pipi Axel dengan kuat sampai dia terhuyung ke belakang."Kakak, hentikan! Angel tidak apa-apa, biarkan saja mereka," pinta Angel sambil membantu saudara kembarnya berdiri.Namun sayang, Axel malah menulikan telinganya. Setelah dia berdiri dengan sempurna, anak lelaki itu malah mendorong tubuh Mike kuat, lalu mencekik lehernya. Hugo yang melihat itu langsung terkejut dan ingin melerai. Sayangnya, seorang guru tiba-tiba datang dan membuatnya mengurungkan niat."Axel, apa yang kau lakukan?! Lepaskan Mike sekarang juga!" ucap Ms. Morgan dengan lantang. Axel pun segera melepaskan tangannya. Sementara itu, Mike langsung terbatuk-batuk."Axel, ada apa ini sebenarnya? Kenapa kau mencekik temanmu?!" imbuh Ms. Morgan sambil membantu Mike berdiri."Dia mencekik leherku, Ms. Morgan. Padahal, aku tidak melakukan apa pun padanya," kilah Mike sebelum Axel membuka suaranya.Tangan anak tersebut langsung mengepal kuat. "Tidak, Ms. Morgan, dia pembohong! Dia mengatai adikku jelek dan menyebut kami anak haram!" sergah Axel cepat."Cukup, aku tidak ingin mendengar alasan apa pun lagi! Axel, cepat minta maaf pada Mike!" putus Morgan secara sepihak.Mendengar itu, Axel langsung menggelengkan kepalanya cepat. Dalam hati kecilnya, dia merutuki semua orang yang berlaku tidak adil padanya dan juga saudari kembarnya. Selama ini, tidak ada orang yang mau membela mereka hanya karena tidak memiliki orang tua yang lengkap. Namun, apakah hanya alasan itu saja yang membuat kedua anak tersebut harus dikucilkan seperti ini?Di tengah panasnya drama antara Axel dan Mike, tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan dari seseorang. Siapa lagi kalau bukan Hugo. Pria itu berhasil menyita perhatian semua orang."Wah, aku tidak menyangka bahwa ada guru yang seadil dirimu. Bagaimana bisa kau melindungi seorang pelaku bullying? Aku menduga, dulu kau pasti jadi salah satu bagian dari pelakunya, Ms," ujar Hugo seraya berjalan mendekat ke arah Axel."Mohon maaf, Tuan. Anda siapa sebenarnya?" tanya Morgan dengan dingin.Hugo menghela napas kecil. "Hanya seseorang yang lewat karena melihat gerombolan anak kecil bermain di pinggir jalan. Lalu, aku datang ke sini dan mendengar ada seorang anak berumur 5 tahun sedang mengolok-olok gadis dengan sebutan burung gagak dan juga anak haram. Bukan begitu, Mike?" tanyanya dengan senyum sinis.Mendengar hal itu, Mike pun langsung menunduk. Dia tertangkap basah kali ini. Ketakutannya itu bertambah saat Hugo menyetel sebuah rekaman suara saat dirinya mengolok-olok Angel tadi."Saranku, panggil saja orang tuanya ke sekolah sekarang. Jika tidak, biar aku saja sendiri yang menyampaikannya. Kebetulan, setelah ini aku akan pergi ke perusahaan milik ayahnya," imbuh Hugo kembali."Ti–tidak, Paman. Jangan adukan ini pada ayahku. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi," balas Mike yang sedari tadi diam saja. Anak itu bahkan sudah menangis sekarang.Aura otoriter dan kekuasaan dari Hugo sangatlah tajam. Semua anak yang berada di sana sangat takut, kecuali Angel. Gadis cilik itu malah tersenyum manis. Dia sedari tadi sibuk memandangi wajah Hugo yang tampan dan kharismatik.Beberapa saat kemudian, netra keduanya pun bertemu. Mereka berdua memiliki warna bola mata yang sama. Hugo cukup tertegun saat melihatnya, begitu pun Angel. Namun, pria itu segera memutus pandangannya karena tiba-tiba merasakan ada yang aneh."Terima kasih, Paman karena sudah menolong kami," ucap Angel pelan, tapi masih bisa di dengar oleh Hugo. Kemudian, gadis itu menyikut Axel yang sedari tadi memasang raut wajah cemberut ke arah pria yang sudah menolongnya."Kak...," bisik Angel.Axel menghela napasnya kasar. "Terima kasih," ujarnya dingin pada Hugo. Bibir pria itu pun langsung tertarik ke atas dengan samar. Dia kemudian berpamitan karena sedang dikejar waktu.***"Mommy, kami pulang!" teriak Angel saat sudah membuka pintu.Sang ibu yang sedang berada di dapur pun terkejut, lalu segera menghampiri kedua anaknya yang baru saja pulang sekolah. Senyum kecilnya seketika terbit. Namun, hal itu tidak bertahan lama setelah melihat ada memar di pipi putranya."Axel, apa yang telah terjadi padamu, Sayang? Kenapa pipimu memar seperti itu?" tanya Elea khawatir. Lalu, wanita itu segera mengambil es batu dari kulkas untuk mengompres pipi sang putra.Axel bergeming dan tidak menjawab pertanyaan dari ibunya barusan. Bahkan, dia diam saja saat Elea menaruh kain berisi es batu ke pipinya. Mulutnya sudah terlalu malas untuk mengadukan hal yang sama setiap harinya. Soal burung gagaklah, soal bullylah, atau soal anak haram."Mommy, tadi Kakak dipukul sama Mike. Tadi bu guru juga memarahi Kakak. Untung saja ada paman tampan yang menolong kita. Dia membela kami di depan semua orang," timpal Angel tiba-tiba.Mendengar aduan putrinya, hati Elea terasa sakit. Dia sangat sedih saat tahu anak-anaknya jadi korban pembullyan lagi. Wanita itu sudah sering mengadukannya ke pihak sekolah. Namun, mereka malah tidak peduli dan menganggap hal itu hanya bercandaan semata.Namun, Elea tidak pernah menunjukkan kesedihannya itu di depan si kembar. Dia selalu tersenyum dan menanggapi semuanya dengan tegas."Oh, ya? Siapa nama paman itu, Sayang?" tanya Elea mengalihkan.Angel yang sedang minum pun menghentikan aktivitasnya. Kemudian, dia melihat ke arah ibunya sambil berkata, "Aku tidak tahu namanya, Mom. Tapi, paman itu sangat tampan, mirip seperti Kakak. Dan punya warna mata hitam sepertiku."Perkataan dari Angel kemarin begitu membekas di benak Elea. Dia bahkan kurang tidur karena memikirkan hal tersebut semalaman. Alhasil, dia terlambat bangun pagi ini. Untung saja, sang putri segera membangunkannya."Nanti pulang sekolah, kalian dijemput oleh nenek, ya. Mommy sedang ada pekerjaan penting di kantor," ujar Elea saat sudah berada di dalam mobil.Angel dan Axel pun langsung mengangguk kecil sebagai tanda jawaban. Tidak ada satu pun yang membuka suaranya kembali selama di perjalanan. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hal tersebut berlangsung hingga mobil sampai di depan gerbang sekolah."Baik, selamat belajar, Anak-anak! Jangan nakal dan menurut pada guru, ya," pesan Elea pada Axel dan Angel yang hendak membuka pintu mobil."Dan satu lagi... Mommy harap pulang sekolah nanti tidak ada luka atau memar baru di tubuh Axel ataupun Angel. Maafkan Mommy, ya karena belum bisa memberi keadilan untuk kalian. Tapi tenang saja, Mommy akan berusaha mengurus semuanya dan memind
"Arggh, silau! Tutup tirai jendelanya...," rengek Hugo yang masih memejamkan matanya.Sementara Jay, langsung menatap malas ke arah pimpinannya yang seperti anak kecil itu. Sejujurnya, dia agak jengah menghadapi pria itu. Seenaknya sendiri, otoriter, dan juga keras kepala.Tadi pagi, Hugo bahkan melewatkan meeting penting bersama klien. Alhasil, dia pun kena peringatan dari Helton. Untung saja, pria itu mau memberinya kesempatan dengan meeting ulang di restoran malam ini."Tuan, lebih baik Anda segera bangun sekarang. Anda terkena peringatan dari Tuan Helton dan juga klien kita yang satunya lagi. Anda tidak mau merugi dalam kerja sama ini, kan?" ancam Jay.Perkataan dari pria itu barusan tampaknya berhasil memengaruhi Hugo. Buktinya, dia pun langsung terbangun sambil memegangi kepalanya. Netra hitamnya lantas menatap ke arah sang asisten dengan tajam."Sialan, kenapa kau tidak membangunkanku?!" umpat Hugo.Jay segera menarik napas dalam. "Saya sudah mencoba membangunkan Anda beberapa k
“Axel…Angel!”Miranda berteriak sembari melambaikan tangan pada kedua anak Elea. Si kembar pun menoleh dan membalas lambaian tersebut dengan senyuman.“Nenek!” balas Angel. Lalu, gadis cilik itu berlari kecil ke arah bibi Elea. Berbeda dengan Angel, Axel malah diam saja dan hanya berjalan santai dengan raut wajah datar. Namun, Miranda tidak merasa kaget ketika putra Elea berbuat seperti itu. Dirinya berpikir bahwa anak tersebut memiliki pikiran yang lebih dewasa dan realistis dibandingkan saudarinya.“Baiklah semuanya, ayo kita naik ke mobil. Hari ini, Nenek akan mengajak kalian makan siang di luar,” ajak Miranda dan dibalas sorakan oleh Angel seorang.Mereka bertiga pun segera naik ke mobil dan benda tersebut melaju menembus jalanan kota London yang terlihat senggang siang ini. Selama di perjalanan, keadaan mobil tidak hening sama sekali. Ada sesosok malaikat cantik yang bernyanyi dengan riangnya sambil melihat ke arah jendela.Beberapa detik kemudian, nyanyiannya itu malah berubah
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 19:30 tepat. Rombongan Elea pun sudah tiba di tempat tujuan, yaitu Glorious Restaurant milik keluarga McKenzie. Malam ini, wanita itu memakai gaun panjang tanpa lengan berwarna navy yang membentuk lekuk tubuhnya. Sementara itu, Teresa memakai gaun panjang berwarna hitam. “Wah, lebih cepat dari perkiraanku. Selamat datang di restoranku, Nyonya Spencer dan Nona Tere,” sambut Helton di pintu masuk ruangan VIP. Kebetulan pria itu juga baru datang. “Terima kasih atas sambutanmu, Tuan McKenzie. Aku sangat menghargai waktu. Lebih baik datang cepat daripada terlambat,” jawab Elea seraya tersenyum kecil. Helton pun membalas senyuman tersebut. Mata hazelnya sedari tadi tak berhenti menatap wanita yang ada di depannya kini. Sungguh, Elea malam ini sangatlah cantik dan memesona. Aura elegannya sangat terasa sekali. “Baiklah, mari masuk, Nona-nona!” ajak Helton, lalu membukakan pintu untuk Elea dan Tere. Setelah pintu terbuka, mata amber milik Elea langsung t
“Calm down, Dude. Aku pikir tidak baik jika membahas hal tersebut sekarang. Benar kan, Nyonya Spencer?” Helton mencoba untuk mengalihkan topik. Dia takut bahwa Elea akan tersinggung karena pertanyaan barusan. Selama dia mengenal wanita itu, dirinya tidak pernah tahu soal suaminya. Bahkan, banyak kabar bilang bahwa Elea tidak punya suami. Sementara itu, napas Elea mulai terasa sesak. Entah kenapa dunia ini sempit sekali. Dia tidak ingin seorang pun tahu soal kehidupan anaknya, khususnya Hugo. Wanita itu takut jika pria tersebut akan bertindak nekat setelah ini. “Ah, iya. Apakah aku boleh izin ke kamar mandi sebentar?” tanya Elea tiba-tiba untuk menghindari perdebatan yang akan terjadi. “Tentu saja. Silahkan,” balas Helton. Setelah mengatakan itu, Elea pun langsung pergi ke luar menuju toilet yang berada di ujung lorong. Dia mengunci dirinya di dalam toilet untuk meredakan perasaannya. Takut, sedih, marah, dan kenangan masa lalu bercampur aduk menjadi satu. “Bagaimana ini? Kenapa
“Oh, ya ampun, El. Selamat pagi, masuklah dulu,” sapa Miranda saat melihat Elea berada di depan rumahnya. Pagi ini, wanita itu ingin menjemput putra dan putrinya. Dia sudah berjanji untuk mengajak mereka berjalan-jalan ke taman. Ya, bisa dibilang sebagai family time. “Terima kasih, Bi. Ngomong-ngomong, apa si kembar merepotkanmu kemarin?” tanya Elea sambil melangkahkan kaki ke arah dapur, mengikuti Miranda. Mendengar hal tersebut, langkah wanita paruh baya itu seketika berhenti. Kemudian, dia menghadap ke arah Elea dengan tatapan sendu. Raut wajahnya juga mendadak berubah. “Mereka tidak merepotkan, El. Hanya saja…,” ujar Miranda sambil menggantung ucapannya, lalu meneruskannya kembali, “Angel menanyakan soal daddynya.”Napas Elea langsung tercekat. Dia sudah menebak akan ada hari di mana si kembar akan menanyakan soal pria itu. Akan tetapi, entah mengapa ketakutan tiba-tiba merasuki jiwanya. Terlebih lagi, kejadian kemarin masih membuatnya syok. Sementara itu, Miranda melihat per
“Tuan, ini adalah foto yang dikirimkan oleh seorang pengawal yang saya suruh. Dia melihat Nyonya El bersama dua orang bocah di taman.”Jay memberikan selembar foto yang ada di tangannya pada Hugo. Tadi pagi, dia menyuruh bawahannya untuk mengikuti Elea pergi. Dia agak terkejut saat mengetahui wanita itu sudah memiliki anak, kembar lagi. Sementara itu, wajah Hugo terlihat menegang saat melihat potret yang tersaji. Bahkan, tanpa sadar dia sudah meremas foto yang dipegangnya. Hatinya berdenyut sakit saat mengetahui fakta besar barusan. Dia tidak menyangka kalau Elea bisa secepat itu melupakannya. “Ke mana suaminya?” tanya Hugo dingin. Mendengar hal itu, tubuh Jay langsung meremang. Suasana di kamar hotel saat ini tiba-tiba jadi tidak mengenakkan. Apakah setelah ini akan ada acara banting-bantingan barang kembali?“Sa–saya belum menyelidiki soal itu, Tuan. Tapi, menurut informasi dari pengawal, Nyonya menjemput anak-anaknya di rumah bibinya. Saya berpikir, ayah si kembar tidak ada,” te
“Oh, ya ampun. Kalian sangat menggemaskan sekali! By the way, Bibi punya hadiah untuk kalian.”Anne memekik seraya memberikan paper bag yang dibawanya tadi pada Angel. Tanpa pikir panjang, gadis tersebut pun menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Namun, Axel malah merasa bertambah janggal. Perasaannya tiba-tiba mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. “Orang ini sangat mencurigakan,” batinnya.“Wah, ada boneka dan mobil-mobilan! Kakak, ini untukmu,” pekik Angel sambil memberikan sebuah mobil-mobilan berwarna hitam pada Axel. Sayangnya, anak lelaki 5 tahun itu malah menepis tangan sang adik. “Aku tidak mau menerima barang dari orang yang tidak kukenal. Siapa tahu dia mau berbuat jahat lewat barang tersebut,” tuduh Axel. Seluruh orang yang berada di sana pun langsung terkejut, terutama Anne. Wanita itu tidak menyangka akan mendapat penolakan yang mengerikan seperti ini. Namun bukannya marah, pikirannya malah menerawang ke arah lain. Alhasil, bibirnya agak sedikit tertarik ke atas.
“Mommy! Mommy!”Angel berteriak sambil menangis karena tak melihat keberadaan Elea sama sekali di kamar. Teriakannya tersebut berhasil membuat Axel ikut terbangun. “Hei, ada apa denganmu?” tanya Axel yang masih mencoba mengumpulkan kesadarannya. Angel mengusap air matanya kasar. “Mom–Mommy tidak ada, Kak. Apa Mommy meninggalkanku?” balasnya, tapi malah balik bertanya.Axel pun berdecak pelan dan turun dari ranjang. Anak tersebut mencoba untuk mencari keberadaan Elea di luar. “Tunggu di sini dan jangan ke mana-mana! Aku akan segera kembali,” pinta Axel pada sang adik. Lantas, Angel pun membalasnya dengan anggukan kecil. Axel membuka pintu dengan perlahan dan mulai keluar dari kamar. Dia kemudian celingak-celinguk seperti orang kebingungan. Ya, bagaimana tidak kebingungan, kalau di sekitar kamar mereka ada 7 pintu lain yang tertutup rapat. “Ck, ini rumah atau hotel sebenarnya? Kenapa pintu kamarnya banyak sekali?” gerutu Axel dalam hati. Namun, anak laki-laki tersebut tetap melanj
“Di mana Elea?” Hugo berjalan mendekat ke arah Aria yang hendak pergi ke dapur. Kemudian, wanita itu memberi salam dan membungkuk dengan hormat pada tuannya. “Nyonya Elea sedang berada di kamar bersama anak-anak. Tadi saya sudah mengatakan bahwa beliau akan berada di satu kamar bersama Anda. Namun, nyonya menolaknya,” jelas Aria. Mendengar itu, Hugo hanya mengangguk pelan. Lalu, dia pun berlalu dari hadapan sang pelayan tanpa mengatakan apa pun. Baginya, hal tersebut tidaklah penting dan buang-buang waktu. Setelah berjalan beberapa saat, akhirnya Hugo sampai di depan kamar anak-anak Elea. Tanpa berpikir panjang, pria itu langsung menyelonong masuk. Elea yang sedang menata barang pun sontak terlonjak. Mata ambernya seketika menatap tajam ke arah Hugo. “Apa kau tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu?” tanya Elea dengan kesal. Namun, Hugo tak menjawab pertanyaan tersebut. Dia malah balik bertanya. “Kenapa kau tidak mau tidur denganku?” serobotnya. Mulut Elea seketika menganga s
“Halo, bagaimana? Apa Elea sudah di mansion sekarang?” Hugo bertanya pada seseorang yang ada di seberang telepon. “Sudah, Tuan. Saya sudah menyuruh Tores untuk menjemput mereka tadi,” jawab Jay.Setelah mengatakan itu, tanpa aba-aba Hugo langsung menutup panggilannya. Pria tersebut lantas menyandarkan punggungnya ke kursi seraya menghela napas kasar. Sebenarnya, dia tadi ingin sekali menjemput Elea dan kedua anaknya. Hugo merasa rindu dengan mereka. Namun, ego dan dirinya sudah menyatu layaknya batang dengan akar. Sangat susah untuk terpisah. Di tengah kekalutannya, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu ruangan. Hugo langsung mengatur posisi menjadi siap sambil berkata, “Masuk!”Akhirnya, pintu pun terbuka dan menampilkan sosok Beatrice Migelda–sekretaris Hugo. Wanita itu mulai melangkahkan kaki jenjangnya untuk memasuki ruangan. Pakaian yang dikenakannya hari ini sangatlah tidak menunjukkan kesopanan sama sekali. Bagaimana bisa dia pergi ke kantor dengan mengenakan mini dres
“Ayo, pulang. Ini sudah larut malam.”Hugo mengajak Elea dan Axel untuk meninggalkan rumah sakit dan pergi ke mansion. Kebetulan, Angel juga sudah tidur. Namun, Elea malah pergi ke sofa sambil menggendong Axel. Dia tidak menghiraukan ucapan Hugo barusan. Hal ini membuat mood pria itu semakin bertambah buruk. “El …” panggil Hugo pelan. Namun, sang empunya yang dipanggil masih tidak menjawab. “Jika kau tidak mau pulang, terserah! Tapi, biarkan aku membawa Axel untuk pu–“ ucapan Hugo terpotong karena Elea tiba-tiba menatapnya dengan tajam. Wanita itu menaruh sebentar Axel yang sudah pulas ke atas sofa. Setelah itu, dia berjalan mendekat ke arah Hugo dengan langkah tegas. “Kenapa kau yang malah jadi sibuk sendiri dengan anak-anakku? Aku ibunya! Jangan berlagak sok jadi ayah ketika kau sendiri sebenarnya tidak mau menerima putra dan putriku!” sembur Elea. “Hentikan sandiwaramu sekarang juga!” imbuhnya lagi. Mendengar hal tersebut, rahang Hugo pun mengeras. Dia mengepalkan tangannya e
“Kemarilah, ikut aku!”Elea menggeret tangan Hugo dengan paksa. Dia kemudian membawa pria itu menuju ke luar ruangan supaya anak-anaknya tidak melihat hal yang tidak seharusnya mereka lihat. Sesampainya di tempat yang aman dan cukup sepi, barulah Elea meledakkan seluruh emosinya yang sempat tertahan. “Kenapa bisa aku sampai tertangkap oleh paparazi begitu?! Apa kau tidak memerintahkan pengawalmu dengan benar?!” berang Elea. Namun, kening Hugo malah mengernyit. Dia tidak tahu, kenapa wanita itu protes seperti tak terima begini? “Memang apa salahnya? Kau istriku,” balas Hugo singkat. Mendengar itu, emosi Elea semakin bertambah besar. Dia bahkan memukul lengan Hugo dengan keras tanpa sadar. Ya, meski itu tidak akan memberi efek apa pun padanya. “Aku bukanlah istrimu! Aku hanyalah wanita yang menjadi tawananmu!” sergah Elea. Lantas, wanita itu maju selangkah dan mengatakan sesuatu kembali, tepat di depan wajah Hugo. “Jikalau kau tidak mengancam dengan menggunakan anak-anakku, maka ak
“Putra? Kau!” Tanpa aba-aba lagi, George langsung melayangkan pukulan pada pipi kanan putranya. Sementara itu, Hugo yang tidak siap pun langsung tersungkur ke lantai. “George! Apa yang kau lakukan? Hentikan!” teriak Melda, lalu segera menghampiri sang putra yang tengah terduduk di lantai. Wanita itu pun membantunya untuk berdiri. Axel hanya bergeming saja melihat kejadian barusan. Lalu, netra ambernya tak sengaja bersitatap dengan netra hijau George. Anak tersebut tiba-tiba langsung berlari dan bersembunyi di balik punggung Hugo. “Hei, ada apa?” tanya Hugo kebingungan. “Aku takut …” cicit Axel pelan. Mendengar itu, Hugo jadi merasa tak enak sendiri. Akhirnya, dia pun berdiri dan langsung meraih sang putra ke dalam gendongannya. Pemandangan tersebut tak luput dari sorotan kedua orang tua Hugo. “Baiklah, mari kita pergi dari sini. Kita akan menjenguk adikmu ke rumah sakit,” ajak Hugo pada Axel, tapi masih bisa terdengar oleh telinga Melda. Wanita itu segera mencegat langkah Hugo
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 4 sore tepat. Hugo pun memutuskan untuk pergi ke mansion orang tuanya karena George tadi menyuruhnya ke sana. Tak lupa dengan sosok mungil Axel yang terus membuntutinya bak anak ayam di belakang. Sebenarnya, Hugo tadinya tidak ingin mengajak anak itu ke sana. Namun, jarak rumah sakit tempat Angel dirawat sangatlah jauh. Daripada membuang waktu banyak, dia berpikir lebih baik untuk mengajak Axel sekalian. Toh, nantinya semua orang juga akan mengetahui siapa anak itu. “Daddy, kita mau ke mana?” tanya Axel saat sudah berada di dalam mobil. Hugo memasang sabuk pengamannya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan dari anak tersebut. “Kita akan ke rumah orang tuaku.”Mendengar itu, kepala Axel pun hanya manggut-manggut saja. Lantas, mobil yang mereka tumpangi mulai melaju dan membelah jalanan kota yang terlihat senggang. Suasana hening pun tercipta di dalam sana. Namun, hal tersebut tidaklah bertahan lama setelah Hugo membuka suaranya. “Bukannya tang
Hugo pun hanya mengangguk dan melewati sekretarisnya tanpa berkata apa pun. Kemudian, pria itu memasuki ruangan yang bertuliskan “Chief Executive Officer”. Kening Axel seketika mengernyit karena ayahnya tidak mengetuk pintu terlebih dahulu. Setelah sampai di dalam, Hugo menurunkan Axel ke bawah. Anak tersebut langsung mendongak menatap ke arah pria itu. “Daddy kenapa tidak mengetuk pintu dahulu? Bukannya tidak sopan jika masuk ke ruangan atasan seperti itu?” tanya Axel. Dia sampai berpikir bahwa Hugo ini kurang belajar etika. Namun, saat mendengar pertanyaan barusan, pria itu malah tertawa. Cukup lama, sampai akhirnya dia berkata, “Boy, untuk apa aku harus mengetuk pintu saat masuk ke ruanganku sendiri?”Mata Axel seketika membulat. Dia terkejut karena baru tahu kalau Hugo adalah pemilik perusahaan la Victoire Cornel. Tidak heran kalau pria itu kaya sekali. Tinggi gedung perusahaannya saja hampir menyamai Menara Eiffel. “Jadi, Daddy yang punya ini semua? Kenapa tidak bilang dari t
“Da–ddy.”Axel mencoba memanggil Hugo dengan sebutan yang tak pernah dia ucapkan selama hidupnya. Alhasil, suaranya pun terbata-bata layaknya anak yang baru saja belajar bicara. Sejujurnya, Axel ingin bertanya pada Hugo, mengapa dirinya harus memanggil pria itu dengan sebutan daddy? Apa ibunya akan menikah dengan Hugo? Memikirkan itu, kepala Axel jadi pusing sendiri. Jika benar itu terjadi, maka habislah riwayatnya. Mungkin, dia tidak akan bisa lagi hidup dengan tenang. Pasti Hugo akan sering mengaturnya dan tidak membiarkannya bebas. “Apa yang kau pikirkan, Boy?” tanya Hugo dan membuyarkan lamunan Axel. Kemudian, pria itu menurunkan anak tersebut dengan perlahan ke kursi kosong yang ada di samping Elea. “Tidak ada, Pa–ah, maksudku Daddy,” jawab Axel. Mendengar jawaban tersebut, Hugo merasa puas. Namun berbeda dengan dirinya, Elea justru membulatkan matanya sedikit. Dia merasa terkejut karena putranya begitu cepat untuk memanggil Hugo dengan sebutan daddy. Menurutnya, itu adalah