“Axel…Angel!”
Miranda berteriak sembari melambaikan tangan pada kedua anak Elea. Si kembar pun menoleh dan membalas lambaian tersebut dengan senyuman.“Nenek!” balas Angel. Lalu, gadis cilik itu berlari kecil ke arah bibi Elea.Berbeda dengan Angel, Axel malah diam saja dan hanya berjalan santai dengan raut wajah datar. Namun, Miranda tidak merasa kaget ketika putra Elea berbuat seperti itu. Dirinya berpikir bahwa anak tersebut memiliki pikiran yang lebih dewasa dan realistis dibandingkan saudarinya.“Baiklah semuanya, ayo kita naik ke mobil. Hari ini, Nenek akan mengajak kalian makan siang di luar,” ajak Miranda dan dibalas sorakan oleh Angel seorang.Mereka bertiga pun segera naik ke mobil dan benda tersebut melaju menembus jalanan kota London yang terlihat senggang siang ini. Selama di perjalanan, keadaan mobil tidak hening sama sekali. Ada sesosok malaikat cantik yang bernyanyi dengan riangnya sambil melihat ke arah jendela.Beberapa detik kemudian, nyanyiannya itu malah berubah menjadi pekikan nyaring. Saat mobil yang ditumpangi Miranda dan kedua anak Elea melewati hotel ternama di London, netra hitam milik Angel tak sengaja melihat seseorang yang dikenalnya. Seorang pria yang dikaguminya sejak kemarin.“Itu paman tampan yang kemarin!” ujar Angel sambil menunjuk ke arah luar.Perkataannya itu sangat membuat Miranda penasaran. “Ha? Paman tampan siapa yang kau maksud itu, Sayang? Jangan sampai mommymu tahu kalau kau suka dengan pria tua,” godanya.Mendengar penuturan dari sang nenek barusan, bibir Angel langsung mengerucut. “Ih, Angel bukan suka yang seperti itu. Lagi pula, paman itu juga belum terlihat tua. Sangat tampan dan cocok menjadi daddyku,” celetuknya.Axel yang sedari tadi diam pun, langsung melempar tatapan tajam ke arah adiknya, “Dia sangat tidak cocok untuk menjadi kandidat itu. Dan yang terpenting, kita juga tidak butuh yang namanya daddy.”Miranda melunturkan senyumnya seketika. Netra ambernya kemudian menatap sendu ke arah kedua anak Elea lewat kaca spion. Belum lagi dengan raut wajah Angel yang menunjukkan kesedihan. Hatinya langsung seperti teriris belati.“Kakak menyebalkan! Aku benci!” teriak Angel tiba-tiba. Namun, Axel malah acuh tak acuh. Dia paling tidak suka jika ada yang membahas soal ayah.“Aduh, jangan bertengkar ya, Anak-anak. Tidak ada masalahnya jika kalian punya pikiran atau pendapat yang berbeda. Tapi ingat, jangan sampai salah tempat dan situasi dalam menggagaskan hal tersebut,” nasihat Miranda.Beberapa saat setelah itu, mobil yang mereka tumpangi akhirnya sampai di tempat tujuan. Hari ini Miranda ingin mengajak Axel dan Angel makan di restoran Italia. Angel pun kembali bersemangat setelah perang dingin dengan saudara kembarnya.Mereka bertiga berjalan beriringan saat masuk ke restoran dan duduk di meja yang berada di dekat jendela. Setelah itu, pramusaji pun datang dan memberikan menu untuk ketiganya. Miranda memesan spaghetti, Angel memesan pasta, dan Axel memesan daging stik.Sembari menunggu pesanan datang, Miranda pun berinisiatif mengajak kedua cucunya berbincang. “Bagaimana keadaan kalian di sekolah tadi? Apa semuanya baik-baik saja?” tanyanya.“Baik, Nek!”“Tidak,”Axel dan Angel berkata serempak. Namun, lagi-lagi pendapat mereka berbeda. Miranda pun jadi bingung setengah mati.“Ah, baiklah. Axel, apa yang kau lakukan di sekolah tadi?” tanya wanita itu kembali.“Melihat orang-orang sedang melakukan drama murahan” jawab Axel singkat.Mendengar itu, Miranda hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian, tatapannya beralih pada Angel, “Lalu, kalau Angel?”“Tadi aku menggambar dan mewarnai bersama Mia. Mia menggambar pemandangan yang indah. Gambarnya bagus sekali,” balas Angel sambil memuji temannya.Miranda pun mengulum senyum. “Oh, ya? Lalu, Angel menggambar apa? Bisa kau tunjukkan pada Nenek?” tanyanya.Dengan semangat, Angel segera membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah kertas berukuran F4. Kemudian, dia memberikan benda tersebut pada neneknya. Ditambah dengan sebuah senyuman lebar yang terukir di bibirnya. Miranda yakin bahwa gambaran Angel memiliki makna tersendiri.Sedetik kemudian, tatapan wanita itu mendadak kosong. Pada kertas yang dipegangnya, terdapat sebuah gambar keluarga bahagia yang lengkap. Di sana Angel juga menulis tentang daddy, mommy, Axel, Angel, dan grandma.“Nenek kenapa? Gambar Angel jelek, ya?” tanya Angel dan membuyarkan pikiran Miranda.Kemudian, wanita itu tersenyum kecil dan menggeleng pelan. “Tidak, Sayang. Gambarnu tidak jelek. Hanya saja…maknanya terlalu dalam,” ungkapnya.Kening gadis cilik tersebut seketika mengerut. Dia tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh neneknya. Namun karena gambarannya disebut bagus, dia jadi tidak memikirkan hal itu.Akan tetapi, pikirannya malah melayang ke arah yang lebih jauh lagi. Dia sebenarnya sudah menahan selama beberapa tahun untuk tidak bertanya. Angel berpikir, neneknya tidak akan merasa masalah jika dirinya bertanya mengenai hal yang agak sensitif.“Nek, daddyku itu orang yang bagaimana?” celetuknya tiba-tiba.Setelah mengatakan itu, keheningan pun langsung melanda. Tidak ada yang membuka suaranya. Bahkan, saat makanan sudah datang, Miranda memilih untuk mengalihkan pembicaraan dan tidak menggubris pertanyaan Angel.Sejujurnya, wanita itu sangat tidak tega dengan anak Elea yang ingin tahu soal daddynya. Akan tetapi, dia tidak mau jadi seorang pengkhianat yang ingkar janji. Dulu, Elea pernah meminta Miranda untuk menyembunyikan informasi apa pun mengenai daddy Axel dan Angel.Miranda sangat mengenal pria itu. Jangankan dia, hampir seluruh orang di benua Amerika dan Eropa pun mengetahuinya.“Axel dan Angel menginap di rumah nenek ya nanti. Mommy kalian mungkin akan pulang malam karena ada meeting lagi nanti malam,” ucap Miranda. Setelah mengatakan itu, dia jadi terdiam seribu bahasa.Dua puluh menit kemudian, mereka bertiga sudah menyelesaikan acara makan siang dan melanjutkan perjalanan menuju rumah. Setelah sampai, Miranda langsung masuk duluan karena dia lupa mengecek dapur. Tinggallah Axel dan Angel saja yang masih di dalam mobil.Tangan gadis itu mulai terulur ke gagang pintu mobil. Namun, sebuah suara yang menusuk tiba-tiba membuatnya mengurungkan niat.“Bisakah kau tidak bertanya apa pun pada orang lain soal orang itu? Aku jengah mendengarnya,” gerutu Axel sambil menatap tajam punggung adiknya. Kemudian, dia menarik napas dalam dan melanjutkan perkataannya, “Anggap saja pria itu sudah mati dan lupakan saja! Kita tidak butuh dia.”Jarum jam sudah menunjukkan pukul 19:30 tepat. Rombongan Elea pun sudah tiba di tempat tujuan, yaitu Glorious Restaurant milik keluarga McKenzie. Malam ini, wanita itu memakai gaun panjang tanpa lengan berwarna navy yang membentuk lekuk tubuhnya. Sementara itu, Teresa memakai gaun panjang berwarna hitam. “Wah, lebih cepat dari perkiraanku. Selamat datang di restoranku, Nyonya Spencer dan Nona Tere,” sambut Helton di pintu masuk ruangan VIP. Kebetulan pria itu juga baru datang. “Terima kasih atas sambutanmu, Tuan McKenzie. Aku sangat menghargai waktu. Lebih baik datang cepat daripada terlambat,” jawab Elea seraya tersenyum kecil. Helton pun membalas senyuman tersebut. Mata hazelnya sedari tadi tak berhenti menatap wanita yang ada di depannya kini. Sungguh, Elea malam ini sangatlah cantik dan memesona. Aura elegannya sangat terasa sekali. “Baiklah, mari masuk, Nona-nona!” ajak Helton, lalu membukakan pintu untuk Elea dan Tere. Setelah pintu terbuka, mata amber milik Elea langsung t
“Calm down, Dude. Aku pikir tidak baik jika membahas hal tersebut sekarang. Benar kan, Nyonya Spencer?” Helton mencoba untuk mengalihkan topik. Dia takut bahwa Elea akan tersinggung karena pertanyaan barusan. Selama dia mengenal wanita itu, dirinya tidak pernah tahu soal suaminya. Bahkan, banyak kabar bilang bahwa Elea tidak punya suami. Sementara itu, napas Elea mulai terasa sesak. Entah kenapa dunia ini sempit sekali. Dia tidak ingin seorang pun tahu soal kehidupan anaknya, khususnya Hugo. Wanita itu takut jika pria tersebut akan bertindak nekat setelah ini. “Ah, iya. Apakah aku boleh izin ke kamar mandi sebentar?” tanya Elea tiba-tiba untuk menghindari perdebatan yang akan terjadi. “Tentu saja. Silahkan,” balas Helton. Setelah mengatakan itu, Elea pun langsung pergi ke luar menuju toilet yang berada di ujung lorong. Dia mengunci dirinya di dalam toilet untuk meredakan perasaannya. Takut, sedih, marah, dan kenangan masa lalu bercampur aduk menjadi satu. “Bagaimana ini? Kenapa
“Oh, ya ampun, El. Selamat pagi, masuklah dulu,” sapa Miranda saat melihat Elea berada di depan rumahnya. Pagi ini, wanita itu ingin menjemput putra dan putrinya. Dia sudah berjanji untuk mengajak mereka berjalan-jalan ke taman. Ya, bisa dibilang sebagai family time. “Terima kasih, Bi. Ngomong-ngomong, apa si kembar merepotkanmu kemarin?” tanya Elea sambil melangkahkan kaki ke arah dapur, mengikuti Miranda. Mendengar hal tersebut, langkah wanita paruh baya itu seketika berhenti. Kemudian, dia menghadap ke arah Elea dengan tatapan sendu. Raut wajahnya juga mendadak berubah. “Mereka tidak merepotkan, El. Hanya saja…,” ujar Miranda sambil menggantung ucapannya, lalu meneruskannya kembali, “Angel menanyakan soal daddynya.”Napas Elea langsung tercekat. Dia sudah menebak akan ada hari di mana si kembar akan menanyakan soal pria itu. Akan tetapi, entah mengapa ketakutan tiba-tiba merasuki jiwanya. Terlebih lagi, kejadian kemarin masih membuatnya syok. Sementara itu, Miranda melihat per
“Tuan, ini adalah foto yang dikirimkan oleh seorang pengawal yang saya suruh. Dia melihat Nyonya El bersama dua orang bocah di taman.”Jay memberikan selembar foto yang ada di tangannya pada Hugo. Tadi pagi, dia menyuruh bawahannya untuk mengikuti Elea pergi. Dia agak terkejut saat mengetahui wanita itu sudah memiliki anak, kembar lagi. Sementara itu, wajah Hugo terlihat menegang saat melihat potret yang tersaji. Bahkan, tanpa sadar dia sudah meremas foto yang dipegangnya. Hatinya berdenyut sakit saat mengetahui fakta besar barusan. Dia tidak menyangka kalau Elea bisa secepat itu melupakannya. “Ke mana suaminya?” tanya Hugo dingin. Mendengar hal itu, tubuh Jay langsung meremang. Suasana di kamar hotel saat ini tiba-tiba jadi tidak mengenakkan. Apakah setelah ini akan ada acara banting-bantingan barang kembali?“Sa–saya belum menyelidiki soal itu, Tuan. Tapi, menurut informasi dari pengawal, Nyonya menjemput anak-anaknya di rumah bibinya. Saya berpikir, ayah si kembar tidak ada,” te
“Oh, ya ampun. Kalian sangat menggemaskan sekali! By the way, Bibi punya hadiah untuk kalian.”Anne memekik seraya memberikan paper bag yang dibawanya tadi pada Angel. Tanpa pikir panjang, gadis tersebut pun menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Namun, Axel malah merasa bertambah janggal. Perasaannya tiba-tiba mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. “Orang ini sangat mencurigakan,” batinnya.“Wah, ada boneka dan mobil-mobilan! Kakak, ini untukmu,” pekik Angel sambil memberikan sebuah mobil-mobilan berwarna hitam pada Axel. Sayangnya, anak lelaki 5 tahun itu malah menepis tangan sang adik. “Aku tidak mau menerima barang dari orang yang tidak kukenal. Siapa tahu dia mau berbuat jahat lewat barang tersebut,” tuduh Axel. Seluruh orang yang berada di sana pun langsung terkejut, terutama Anne. Wanita itu tidak menyangka akan mendapat penolakan yang mengerikan seperti ini. Namun bukannya marah, pikirannya malah menerawang ke arah lain. Alhasil, bibirnya agak sedikit tertarik ke atas.
Mulut Jay langsung ternganga saat mendengar penuturan dari Hugo. Dia tidak mengerti kenapa pria itu sangat gegabah sekali. Bagaimana kalau kedoknya ketahuan dan berakhir di kepolisian? Bisa gawat!“Apa yang kau lakukan sebenarnya?” tanya Jay yang sudah merasa jengah. Hugo refleks melipat tangannya di depan dada. Lalu, matanya melirik ke arah sang asisten. “Ah, aku hanya ingin tahu rupa anak-anak sialan dari Elea. Siapa tahu juga, kita dapat bonus untuk mengetahui siapa ayah dari mereka,” ungkapnya. Mendengar itu, Jay lantas menepuk keningnya seraya berkata, “Kalau misal anak-anak itu tidak ada ayahnya, mereka sudah bisa dipastikan adalah anakmu.”Sayangnya, Hugo malah tertawa sumbang saat mendengar penuturan dari Jay. Egonya tidak percaya dengan hal tersebut. Namun, hati kecilnya malah berkata sebaliknya. “Kau gila? Elea bilang anakku itu sudah mati! Mereka pasti bukan anakku!” sergah Hugo. “Ck, jangan berkata yang tidak-tidak. Kita harus memastikannya terlebih dahulu untuk mengam
“Ah, maafkan aku, Cantik. Paman tidak tahu soal hal itu. Ngomong-ngomong, namamu siapa?”Sang pria misterius mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia merasa tidak enak karena sudah membuat suasana hati Angel buruk. Namun ajaibnya, gadis cilik itu masih bisa tersenyum dengan manisnya. “Tidak masalah, Paman. Namaku Angel. Lalu, Paman namanya siapa?” tanya Angel sambil mengusap pelan air matanya yang hendak turun. Pria yang ditanyai itu tersenyum kecil. Lalu, matanya menatap Angel dengan lekat, “Namaku Jay.”Mulut mungil Angel ber-oh ria. “Apa nama lengkap Paman adalah Jayden?” tanyanya lagi. Jay pun terkekeh geli seraya menggelengkan kepalanya. “Tidak, mengapa kau bisa menduga seperti itu?” balasnya. “Karena di kelasku ada anak yang bernama Jayden. Dia sering kali menggangguku dan mengolok-olokku,” ungkap Angel lirih. Mendengar itu, Jay hendak berinisiatif mengelus puncak kepala gadis itu dengan pelan. Namun, hal tersebut diurungkannya karena tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ya, siapa lag
“Halo?” Elea kembali bertanya pada sang penelepon. Tiga menit sudah berlalu cepat. Namun, orang yang menelepon Elea tak kunjung memberi jawaban. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba panggilan ditutup secara sepihak. Alis Elea langsung tertaut sempurna. Mata ambernya menatap ngeri ke arah layar ponsel. “Mommy, ada apa?” tanya Angel yang ikut kebingungan saat melihat raut wajah sang ibu. Namun, lagi-lagi Elea mencoba menyembunyikan segalanya. “A–ah, tidak apa-apa, Sayang. Hanya orang yang salah sambung. By the way, bagaimana kalau hari ini kita pergi ke toko Bibi Alissa saja? Dia bilang kalau sedang membuat kue muffin blueberry,” ajak Elea mengalihkan pembicaraan. Netra Angel seketika berbinar. Kemudian, gadis cilik itu melompat-lompat kegirangan sambil menarik tangan ibunya. “Ayo, Mom! Aku sudah tidak lama pergi ke toko kue Bibi Alissa. Nanti kita kehabisan muffinnya…” rengek Angel. Elea pun terkekeh geli. Lantas, wanita itu segera menyuruh kedua anaknya untuk segera bersiap-siap.
“Mommy! Mommy!”Angel berteriak sambil menangis karena tak melihat keberadaan Elea sama sekali di kamar. Teriakannya tersebut berhasil membuat Axel ikut terbangun. “Hei, ada apa denganmu?” tanya Axel yang masih mencoba mengumpulkan kesadarannya. Angel mengusap air matanya kasar. “Mom–Mommy tidak ada, Kak. Apa Mommy meninggalkanku?” balasnya, tapi malah balik bertanya.Axel pun berdecak pelan dan turun dari ranjang. Anak tersebut mencoba untuk mencari keberadaan Elea di luar. “Tunggu di sini dan jangan ke mana-mana! Aku akan segera kembali,” pinta Axel pada sang adik. Lantas, Angel pun membalasnya dengan anggukan kecil. Axel membuka pintu dengan perlahan dan mulai keluar dari kamar. Dia kemudian celingak-celinguk seperti orang kebingungan. Ya, bagaimana tidak kebingungan, kalau di sekitar kamar mereka ada 7 pintu lain yang tertutup rapat. “Ck, ini rumah atau hotel sebenarnya? Kenapa pintu kamarnya banyak sekali?” gerutu Axel dalam hati. Namun, anak laki-laki tersebut tetap melanj
“Di mana Elea?” Hugo berjalan mendekat ke arah Aria yang hendak pergi ke dapur. Kemudian, wanita itu memberi salam dan membungkuk dengan hormat pada tuannya. “Nyonya Elea sedang berada di kamar bersama anak-anak. Tadi saya sudah mengatakan bahwa beliau akan berada di satu kamar bersama Anda. Namun, nyonya menolaknya,” jelas Aria. Mendengar itu, Hugo hanya mengangguk pelan. Lalu, dia pun berlalu dari hadapan sang pelayan tanpa mengatakan apa pun. Baginya, hal tersebut tidaklah penting dan buang-buang waktu. Setelah berjalan beberapa saat, akhirnya Hugo sampai di depan kamar anak-anak Elea. Tanpa berpikir panjang, pria itu langsung menyelonong masuk. Elea yang sedang menata barang pun sontak terlonjak. Mata ambernya seketika menatap tajam ke arah Hugo. “Apa kau tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu?” tanya Elea dengan kesal. Namun, Hugo tak menjawab pertanyaan tersebut. Dia malah balik bertanya. “Kenapa kau tidak mau tidur denganku?” serobotnya. Mulut Elea seketika menganga s
“Halo, bagaimana? Apa Elea sudah di mansion sekarang?” Hugo bertanya pada seseorang yang ada di seberang telepon. “Sudah, Tuan. Saya sudah menyuruh Tores untuk menjemput mereka tadi,” jawab Jay.Setelah mengatakan itu, tanpa aba-aba Hugo langsung menutup panggilannya. Pria tersebut lantas menyandarkan punggungnya ke kursi seraya menghela napas kasar. Sebenarnya, dia tadi ingin sekali menjemput Elea dan kedua anaknya. Hugo merasa rindu dengan mereka. Namun, ego dan dirinya sudah menyatu layaknya batang dengan akar. Sangat susah untuk terpisah. Di tengah kekalutannya, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu ruangan. Hugo langsung mengatur posisi menjadi siap sambil berkata, “Masuk!”Akhirnya, pintu pun terbuka dan menampilkan sosok Beatrice Migelda–sekretaris Hugo. Wanita itu mulai melangkahkan kaki jenjangnya untuk memasuki ruangan. Pakaian yang dikenakannya hari ini sangatlah tidak menunjukkan kesopanan sama sekali. Bagaimana bisa dia pergi ke kantor dengan mengenakan mini dres
“Ayo, pulang. Ini sudah larut malam.”Hugo mengajak Elea dan Axel untuk meninggalkan rumah sakit dan pergi ke mansion. Kebetulan, Angel juga sudah tidur. Namun, Elea malah pergi ke sofa sambil menggendong Axel. Dia tidak menghiraukan ucapan Hugo barusan. Hal ini membuat mood pria itu semakin bertambah buruk. “El …” panggil Hugo pelan. Namun, sang empunya yang dipanggil masih tidak menjawab. “Jika kau tidak mau pulang, terserah! Tapi, biarkan aku membawa Axel untuk pu–“ ucapan Hugo terpotong karena Elea tiba-tiba menatapnya dengan tajam. Wanita itu menaruh sebentar Axel yang sudah pulas ke atas sofa. Setelah itu, dia berjalan mendekat ke arah Hugo dengan langkah tegas. “Kenapa kau yang malah jadi sibuk sendiri dengan anak-anakku? Aku ibunya! Jangan berlagak sok jadi ayah ketika kau sendiri sebenarnya tidak mau menerima putra dan putriku!” sembur Elea. “Hentikan sandiwaramu sekarang juga!” imbuhnya lagi. Mendengar hal tersebut, rahang Hugo pun mengeras. Dia mengepalkan tangannya e
“Kemarilah, ikut aku!”Elea menggeret tangan Hugo dengan paksa. Dia kemudian membawa pria itu menuju ke luar ruangan supaya anak-anaknya tidak melihat hal yang tidak seharusnya mereka lihat. Sesampainya di tempat yang aman dan cukup sepi, barulah Elea meledakkan seluruh emosinya yang sempat tertahan. “Kenapa bisa aku sampai tertangkap oleh paparazi begitu?! Apa kau tidak memerintahkan pengawalmu dengan benar?!” berang Elea. Namun, kening Hugo malah mengernyit. Dia tidak tahu, kenapa wanita itu protes seperti tak terima begini? “Memang apa salahnya? Kau istriku,” balas Hugo singkat. Mendengar itu, emosi Elea semakin bertambah besar. Dia bahkan memukul lengan Hugo dengan keras tanpa sadar. Ya, meski itu tidak akan memberi efek apa pun padanya. “Aku bukanlah istrimu! Aku hanyalah wanita yang menjadi tawananmu!” sergah Elea. Lantas, wanita itu maju selangkah dan mengatakan sesuatu kembali, tepat di depan wajah Hugo. “Jikalau kau tidak mengancam dengan menggunakan anak-anakku, maka ak
“Putra? Kau!” Tanpa aba-aba lagi, George langsung melayangkan pukulan pada pipi kanan putranya. Sementara itu, Hugo yang tidak siap pun langsung tersungkur ke lantai. “George! Apa yang kau lakukan? Hentikan!” teriak Melda, lalu segera menghampiri sang putra yang tengah terduduk di lantai. Wanita itu pun membantunya untuk berdiri. Axel hanya bergeming saja melihat kejadian barusan. Lalu, netra ambernya tak sengaja bersitatap dengan netra hijau George. Anak tersebut tiba-tiba langsung berlari dan bersembunyi di balik punggung Hugo. “Hei, ada apa?” tanya Hugo kebingungan. “Aku takut …” cicit Axel pelan. Mendengar itu, Hugo jadi merasa tak enak sendiri. Akhirnya, dia pun berdiri dan langsung meraih sang putra ke dalam gendongannya. Pemandangan tersebut tak luput dari sorotan kedua orang tua Hugo. “Baiklah, mari kita pergi dari sini. Kita akan menjenguk adikmu ke rumah sakit,” ajak Hugo pada Axel, tapi masih bisa terdengar oleh telinga Melda. Wanita itu segera mencegat langkah Hugo
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 4 sore tepat. Hugo pun memutuskan untuk pergi ke mansion orang tuanya karena George tadi menyuruhnya ke sana. Tak lupa dengan sosok mungil Axel yang terus membuntutinya bak anak ayam di belakang. Sebenarnya, Hugo tadinya tidak ingin mengajak anak itu ke sana. Namun, jarak rumah sakit tempat Angel dirawat sangatlah jauh. Daripada membuang waktu banyak, dia berpikir lebih baik untuk mengajak Axel sekalian. Toh, nantinya semua orang juga akan mengetahui siapa anak itu. “Daddy, kita mau ke mana?” tanya Axel saat sudah berada di dalam mobil. Hugo memasang sabuk pengamannya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan dari anak tersebut. “Kita akan ke rumah orang tuaku.”Mendengar itu, kepala Axel pun hanya manggut-manggut saja. Lantas, mobil yang mereka tumpangi mulai melaju dan membelah jalanan kota yang terlihat senggang. Suasana hening pun tercipta di dalam sana. Namun, hal tersebut tidaklah bertahan lama setelah Hugo membuka suaranya. “Bukannya tang
Hugo pun hanya mengangguk dan melewati sekretarisnya tanpa berkata apa pun. Kemudian, pria itu memasuki ruangan yang bertuliskan “Chief Executive Officer”. Kening Axel seketika mengernyit karena ayahnya tidak mengetuk pintu terlebih dahulu. Setelah sampai di dalam, Hugo menurunkan Axel ke bawah. Anak tersebut langsung mendongak menatap ke arah pria itu. “Daddy kenapa tidak mengetuk pintu dahulu? Bukannya tidak sopan jika masuk ke ruangan atasan seperti itu?” tanya Axel. Dia sampai berpikir bahwa Hugo ini kurang belajar etika. Namun, saat mendengar pertanyaan barusan, pria itu malah tertawa. Cukup lama, sampai akhirnya dia berkata, “Boy, untuk apa aku harus mengetuk pintu saat masuk ke ruanganku sendiri?”Mata Axel seketika membulat. Dia terkejut karena baru tahu kalau Hugo adalah pemilik perusahaan la Victoire Cornel. Tidak heran kalau pria itu kaya sekali. Tinggi gedung perusahaannya saja hampir menyamai Menara Eiffel. “Jadi, Daddy yang punya ini semua? Kenapa tidak bilang dari t
“Da–ddy.”Axel mencoba memanggil Hugo dengan sebutan yang tak pernah dia ucapkan selama hidupnya. Alhasil, suaranya pun terbata-bata layaknya anak yang baru saja belajar bicara. Sejujurnya, Axel ingin bertanya pada Hugo, mengapa dirinya harus memanggil pria itu dengan sebutan daddy? Apa ibunya akan menikah dengan Hugo? Memikirkan itu, kepala Axel jadi pusing sendiri. Jika benar itu terjadi, maka habislah riwayatnya. Mungkin, dia tidak akan bisa lagi hidup dengan tenang. Pasti Hugo akan sering mengaturnya dan tidak membiarkannya bebas. “Apa yang kau pikirkan, Boy?” tanya Hugo dan membuyarkan lamunan Axel. Kemudian, pria itu menurunkan anak tersebut dengan perlahan ke kursi kosong yang ada di samping Elea. “Tidak ada, Pa–ah, maksudku Daddy,” jawab Axel. Mendengar jawaban tersebut, Hugo merasa puas. Namun berbeda dengan dirinya, Elea justru membulatkan matanya sedikit. Dia merasa terkejut karena putranya begitu cepat untuk memanggil Hugo dengan sebutan daddy. Menurutnya, itu adalah