“Hah, Daddy selalu saja berkilah. Aku sampai bosan mendengar alasanmu yang itu-itu saja.”Martin menyindir George dengan tatapan remeh. Pria itu sudah setengah kesal menghadapi ayahnya. Dia tahu, kalau George selalu membanggakan Hugo dibanding dirinya. “Bukan seperti itu, Son. Hanya saja…,” balas George, tapi menggantung ucapannya. “Hanya apa, Dad? Aku sudah lelah mengalah dengan Damian sialan itu! Sudah saatnya aku mendapatkan hakku sebagai putra di keluarga Cornelius ini!” bentak Martin tanpa sengaja. Mendengar hal itu, George mengusap wajahnya dengan kasar. “Dengarkan aku, Son. Ak–“ (ucapan pria itu terpotong karena kedatangan Melda secara tiba-tiba).“Kue jahenya sudah siap!” pekik Melda. Mata wanita itu kemudian meneliti dua orang pria yang saling berpandangan dengan intens, hingga membuatnya membuka suara kembali, “Hei, ada apa dengan kalian berdua?”George pun segera memutuskan pandangan dari sang putra, lalu tatapannya beralih pada istrinya. “Tidak ada apa-apa, Sayang. Bena
“Anak siapa itu, Hugo?!”Hugo dan Angel refleks terlonjak karena mendengar suara George. Kemudian, pria itu pergi ke pojok ruangan dan menjelaskan mengenai apa yang terjadi. “Bisakah pelankan suaramu dulu, Dad? Ada orang sakit di sini,” sergah Hugo.“Aku tidak peduli dengan itu. Sekarang, jelaskan padaku semua apa yang telah terjadi sebenarnya!” tuntut George. Namun, Hugo malah bergeming. Mulutnya serasa memiliki lem yang menempel begitu eratnya. Dia tidak mungkin memberi tahu semuanya. Bisa-bisa, George dan Melda akan langsung datang kemari. Orang tua Hugo masih belum merelakan kepergian Elea. Mereka bahkan sering kali mengingat tingkah laku dari wanita tersebut. Apalagi, Elea digadang-gadang memiliki kemiripan dengan adik Melda yang telah lama meninggal. “Hugo, jawab pertanyaanku!” ucap George yang berhasil memecahkan lamunan sang putra. Hugo pun berdeham pelan. “Aku tidak bisa memberitahu apa pun untuk saat ini. Aku akan kembali besok seperti yang kau mau. Aku tutup dulu,” jaw
Tepat pukul 4 sore, Hugo memutuskan kembali ke hotel tempat dirinya menginap. Dia sengaja tidak menunggu Elea sampai terbangun karena dirinya tahu kalau wanita itu akan memberontak. Belum lagi, pascatrauma yang dialami Elea belum sembuh sempurna. Hugo tidak mau memperparah hal tersebut. “Selamat sore, Tuan. Maafkan saya karena tidak mampu untuk mendapat–“ (ucapan Jay terpotong karena seseorang menyerobotnya). “Ck, lupakan saja. Aku tidak mau membahasnya lagi. Toh, kerja sama itu tidak ada apa-apanya,” potong Hugo cepat. Kemudian, pria itu mulai melepas jas hitam yang membungkus tubuh kekarnya. Dengan sigap, Jay meraih jas tersebut dan hendak membawanya untuk dicuci. Namun sebelum dirinya beranjak, sebuah suara membuat pria itu refleks berhenti. “Besok, aku akan kembali ke Los Angeles … bersama Elea.”Mendengar itu, Jay sontak menoleh ke arah Hugo. Wajahnya menyiratkan kebingungan yang kentara. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul di otaknya. “Bagaimana bisa? Apa Anda su
“Aku akan mempertemukanmu dengannya nanti. Dia masih istirahat sekarang.” Mata Hugo masih mengawasi Axel dengan intensnya. Sementara itu, Axel yang ditatap seperti itu pun langsung menunduk seketika. Dia tiba-tiba menjadi takut sekali dengan Hugo. Padahal, terakhir kali dirinya bertemu, dia tidak merasakan hal ini. Menurutnya, aura yang ditunjukkan oleh pria itu sekarang sangatlah menyeramkan. Hugo lantas berdiri dan hendak beranjak keluar dari ruangan. Namun sebelum pergi, dia mengatakan sesuatu yang cukup menohok perasaan Axel. “Jangan jadi anak laki-laki yang cengeng!”Setelah mendengar itu, Axel pun menjadi terdiam seribu bahasa. Bahkan, saat Pamela menuntunnya kembali ke ranjang, dia tidak memberontak sama sekali. Namun, jiwa dalamnyalah yang memberontak.“Tuan Muda, ayo sudah waktunya min–“ (ucapan Pamela terpotong karena seseorang menyelanya). “Ak–aku mau pulang. Aku tidak suka di sini. Aku takut …” lirih Axel. Namun, dia tidak menangis sekarang. Entah apa yang terjadi. Sep
“Tidak! Kau pasti tidak akan melakukan itu. Kau pasti bohong!”Elea meracau tak karuan. Bahkan sekarang, air matanya sudah turun tanpa diundang. Dia merasa bahwa kehidupan sudah tidak lagi memberinya keadilan. Sementara itu, melihat Elea yang menangis, hati Hugo langsung tersentil. Dia tidak tega saat mendapati wanita yang dicintainya menitihkan air mata. Dia ingin sekali mendekap tubuh lemah Elea sekarang. “Kenapa kau selalu tega padaku? Apa salahku padamu? Apa tidak cukup dengan kepergianku dulu? Atau aku harus meregang nyawa terlebih dahulu untuk membuat hidupmu tenang?!” sergah Elea. Hugo yang hendak melangkah pun langsung mengurungkan niatnya. Pria itu cukup tertegun dengan perkataan Elea barusan. Bagaimana bisa wanita tersebut mengatakan hal tak masuk akal seperti itu? Jangankan meninggal, Hugo saja sudah dibuat gila saat kepergian Elea. “Ketenanganku bukan soal kepergianmu. Ketenanganku adalah disaat kau kembali lagi padaku,” timpal Hugo yang akhirnya mampu untuk berucap.
Peluh mengucur deras dari dahi sampai ke pelipis Miranda. Wanita paruh baya itu baru saja mendapat telepon kalau Elea dan kedua anaknya kecelakaan. Dia sebenarnya tengah menahan amarah karena pihak rumah sakit tidak langsung menghubunginya. Alhasil, dirinya telat beberapa jam untuk mengetahui keadaan keponakannya. “Di mana korban kecelakaan di lampu merah kemarin?” tanya Miranda pada seorang perawat di meja resepsionis. Namun bukannya menjawab, perawat yang bernama lily itu malah terlihat kebingungan. “Korban kecelakaan kemarin? Maaf, Nyonya. Apakah Anda kerabat dekat dari korban?” tanya Lily memastikan. Mendengar itu, Miranda refleks menganggukkan kepala. “Ya, aku adalah Bibi dari Elea, wanita yang jadi korban kemarin,” jelasnya. “Maafkan saya, Nyonya. Tapi, Nyonya Elea beserta kedua anaknya sudah keluar dari rumah sakit ini sejak kemarin malam,” terang Lily dan berhasil membuat raut keterkejutan yang jelas di wajah Miranda. “Si–siapa yang membawa keponakanku? Seperti apa ciri-c
“Da–ddy.”Axel mencoba memanggil Hugo dengan sebutan yang tak pernah dia ucapkan selama hidupnya. Alhasil, suaranya pun terbata-bata layaknya anak yang baru saja belajar bicara. Sejujurnya, Axel ingin bertanya pada Hugo, mengapa dirinya harus memanggil pria itu dengan sebutan daddy? Apa ibunya akan menikah dengan Hugo? Memikirkan itu, kepala Axel jadi pusing sendiri. Jika benar itu terjadi, maka habislah riwayatnya. Mungkin, dia tidak akan bisa lagi hidup dengan tenang. Pasti Hugo akan sering mengaturnya dan tidak membiarkannya bebas. “Apa yang kau pikirkan, Boy?” tanya Hugo dan membuyarkan lamunan Axel. Kemudian, pria itu menurunkan anak tersebut dengan perlahan ke kursi kosong yang ada di samping Elea. “Tidak ada, Pa–ah, maksudku Daddy,” jawab Axel. Mendengar jawaban tersebut, Hugo merasa puas. Namun berbeda dengan dirinya, Elea justru membulatkan matanya sedikit. Dia merasa terkejut karena putranya begitu cepat untuk memanggil Hugo dengan sebutan daddy. Menurutnya, itu adalah
Hugo pun hanya mengangguk dan melewati sekretarisnya tanpa berkata apa pun. Kemudian, pria itu memasuki ruangan yang bertuliskan “Chief Executive Officer”. Kening Axel seketika mengernyit karena ayahnya tidak mengetuk pintu terlebih dahulu. Setelah sampai di dalam, Hugo menurunkan Axel ke bawah. Anak tersebut langsung mendongak menatap ke arah pria itu. “Daddy kenapa tidak mengetuk pintu dahulu? Bukannya tidak sopan jika masuk ke ruangan atasan seperti itu?” tanya Axel. Dia sampai berpikir bahwa Hugo ini kurang belajar etika. Namun, saat mendengar pertanyaan barusan, pria itu malah tertawa. Cukup lama, sampai akhirnya dia berkata, “Boy, untuk apa aku harus mengetuk pintu saat masuk ke ruanganku sendiri?”Mata Axel seketika membulat. Dia terkejut karena baru tahu kalau Hugo adalah pemilik perusahaan la Victoire Cornel. Tidak heran kalau pria itu kaya sekali. Tinggi gedung perusahaannya saja hampir menyamai Menara Eiffel. “Jadi, Daddy yang punya ini semua? Kenapa tidak bilang dari t
“Mommy! Mommy!”Angel berteriak sambil menangis karena tak melihat keberadaan Elea sama sekali di kamar. Teriakannya tersebut berhasil membuat Axel ikut terbangun. “Hei, ada apa denganmu?” tanya Axel yang masih mencoba mengumpulkan kesadarannya. Angel mengusap air matanya kasar. “Mom–Mommy tidak ada, Kak. Apa Mommy meninggalkanku?” balasnya, tapi malah balik bertanya.Axel pun berdecak pelan dan turun dari ranjang. Anak tersebut mencoba untuk mencari keberadaan Elea di luar. “Tunggu di sini dan jangan ke mana-mana! Aku akan segera kembali,” pinta Axel pada sang adik. Lantas, Angel pun membalasnya dengan anggukan kecil. Axel membuka pintu dengan perlahan dan mulai keluar dari kamar. Dia kemudian celingak-celinguk seperti orang kebingungan. Ya, bagaimana tidak kebingungan, kalau di sekitar kamar mereka ada 7 pintu lain yang tertutup rapat. “Ck, ini rumah atau hotel sebenarnya? Kenapa pintu kamarnya banyak sekali?” gerutu Axel dalam hati. Namun, anak laki-laki tersebut tetap melanj
“Di mana Elea?” Hugo berjalan mendekat ke arah Aria yang hendak pergi ke dapur. Kemudian, wanita itu memberi salam dan membungkuk dengan hormat pada tuannya. “Nyonya Elea sedang berada di kamar bersama anak-anak. Tadi saya sudah mengatakan bahwa beliau akan berada di satu kamar bersama Anda. Namun, nyonya menolaknya,” jelas Aria. Mendengar itu, Hugo hanya mengangguk pelan. Lalu, dia pun berlalu dari hadapan sang pelayan tanpa mengatakan apa pun. Baginya, hal tersebut tidaklah penting dan buang-buang waktu. Setelah berjalan beberapa saat, akhirnya Hugo sampai di depan kamar anak-anak Elea. Tanpa berpikir panjang, pria itu langsung menyelonong masuk. Elea yang sedang menata barang pun sontak terlonjak. Mata ambernya seketika menatap tajam ke arah Hugo. “Apa kau tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu?” tanya Elea dengan kesal. Namun, Hugo tak menjawab pertanyaan tersebut. Dia malah balik bertanya. “Kenapa kau tidak mau tidur denganku?” serobotnya. Mulut Elea seketika menganga s
“Halo, bagaimana? Apa Elea sudah di mansion sekarang?” Hugo bertanya pada seseorang yang ada di seberang telepon. “Sudah, Tuan. Saya sudah menyuruh Tores untuk menjemput mereka tadi,” jawab Jay.Setelah mengatakan itu, tanpa aba-aba Hugo langsung menutup panggilannya. Pria tersebut lantas menyandarkan punggungnya ke kursi seraya menghela napas kasar. Sebenarnya, dia tadi ingin sekali menjemput Elea dan kedua anaknya. Hugo merasa rindu dengan mereka. Namun, ego dan dirinya sudah menyatu layaknya batang dengan akar. Sangat susah untuk terpisah. Di tengah kekalutannya, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu ruangan. Hugo langsung mengatur posisi menjadi siap sambil berkata, “Masuk!”Akhirnya, pintu pun terbuka dan menampilkan sosok Beatrice Migelda–sekretaris Hugo. Wanita itu mulai melangkahkan kaki jenjangnya untuk memasuki ruangan. Pakaian yang dikenakannya hari ini sangatlah tidak menunjukkan kesopanan sama sekali. Bagaimana bisa dia pergi ke kantor dengan mengenakan mini dres
“Ayo, pulang. Ini sudah larut malam.”Hugo mengajak Elea dan Axel untuk meninggalkan rumah sakit dan pergi ke mansion. Kebetulan, Angel juga sudah tidur. Namun, Elea malah pergi ke sofa sambil menggendong Axel. Dia tidak menghiraukan ucapan Hugo barusan. Hal ini membuat mood pria itu semakin bertambah buruk. “El …” panggil Hugo pelan. Namun, sang empunya yang dipanggil masih tidak menjawab. “Jika kau tidak mau pulang, terserah! Tapi, biarkan aku membawa Axel untuk pu–“ ucapan Hugo terpotong karena Elea tiba-tiba menatapnya dengan tajam. Wanita itu menaruh sebentar Axel yang sudah pulas ke atas sofa. Setelah itu, dia berjalan mendekat ke arah Hugo dengan langkah tegas. “Kenapa kau yang malah jadi sibuk sendiri dengan anak-anakku? Aku ibunya! Jangan berlagak sok jadi ayah ketika kau sendiri sebenarnya tidak mau menerima putra dan putriku!” sembur Elea. “Hentikan sandiwaramu sekarang juga!” imbuhnya lagi. Mendengar hal tersebut, rahang Hugo pun mengeras. Dia mengepalkan tangannya e
“Kemarilah, ikut aku!”Elea menggeret tangan Hugo dengan paksa. Dia kemudian membawa pria itu menuju ke luar ruangan supaya anak-anaknya tidak melihat hal yang tidak seharusnya mereka lihat. Sesampainya di tempat yang aman dan cukup sepi, barulah Elea meledakkan seluruh emosinya yang sempat tertahan. “Kenapa bisa aku sampai tertangkap oleh paparazi begitu?! Apa kau tidak memerintahkan pengawalmu dengan benar?!” berang Elea. Namun, kening Hugo malah mengernyit. Dia tidak tahu, kenapa wanita itu protes seperti tak terima begini? “Memang apa salahnya? Kau istriku,” balas Hugo singkat. Mendengar itu, emosi Elea semakin bertambah besar. Dia bahkan memukul lengan Hugo dengan keras tanpa sadar. Ya, meski itu tidak akan memberi efek apa pun padanya. “Aku bukanlah istrimu! Aku hanyalah wanita yang menjadi tawananmu!” sergah Elea. Lantas, wanita itu maju selangkah dan mengatakan sesuatu kembali, tepat di depan wajah Hugo. “Jikalau kau tidak mengancam dengan menggunakan anak-anakku, maka ak
“Putra? Kau!” Tanpa aba-aba lagi, George langsung melayangkan pukulan pada pipi kanan putranya. Sementara itu, Hugo yang tidak siap pun langsung tersungkur ke lantai. “George! Apa yang kau lakukan? Hentikan!” teriak Melda, lalu segera menghampiri sang putra yang tengah terduduk di lantai. Wanita itu pun membantunya untuk berdiri. Axel hanya bergeming saja melihat kejadian barusan. Lalu, netra ambernya tak sengaja bersitatap dengan netra hijau George. Anak tersebut tiba-tiba langsung berlari dan bersembunyi di balik punggung Hugo. “Hei, ada apa?” tanya Hugo kebingungan. “Aku takut …” cicit Axel pelan. Mendengar itu, Hugo jadi merasa tak enak sendiri. Akhirnya, dia pun berdiri dan langsung meraih sang putra ke dalam gendongannya. Pemandangan tersebut tak luput dari sorotan kedua orang tua Hugo. “Baiklah, mari kita pergi dari sini. Kita akan menjenguk adikmu ke rumah sakit,” ajak Hugo pada Axel, tapi masih bisa terdengar oleh telinga Melda. Wanita itu segera mencegat langkah Hugo
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 4 sore tepat. Hugo pun memutuskan untuk pergi ke mansion orang tuanya karena George tadi menyuruhnya ke sana. Tak lupa dengan sosok mungil Axel yang terus membuntutinya bak anak ayam di belakang. Sebenarnya, Hugo tadinya tidak ingin mengajak anak itu ke sana. Namun, jarak rumah sakit tempat Angel dirawat sangatlah jauh. Daripada membuang waktu banyak, dia berpikir lebih baik untuk mengajak Axel sekalian. Toh, nantinya semua orang juga akan mengetahui siapa anak itu. “Daddy, kita mau ke mana?” tanya Axel saat sudah berada di dalam mobil. Hugo memasang sabuk pengamannya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan dari anak tersebut. “Kita akan ke rumah orang tuaku.”Mendengar itu, kepala Axel pun hanya manggut-manggut saja. Lantas, mobil yang mereka tumpangi mulai melaju dan membelah jalanan kota yang terlihat senggang. Suasana hening pun tercipta di dalam sana. Namun, hal tersebut tidaklah bertahan lama setelah Hugo membuka suaranya. “Bukannya tang
Hugo pun hanya mengangguk dan melewati sekretarisnya tanpa berkata apa pun. Kemudian, pria itu memasuki ruangan yang bertuliskan “Chief Executive Officer”. Kening Axel seketika mengernyit karena ayahnya tidak mengetuk pintu terlebih dahulu. Setelah sampai di dalam, Hugo menurunkan Axel ke bawah. Anak tersebut langsung mendongak menatap ke arah pria itu. “Daddy kenapa tidak mengetuk pintu dahulu? Bukannya tidak sopan jika masuk ke ruangan atasan seperti itu?” tanya Axel. Dia sampai berpikir bahwa Hugo ini kurang belajar etika. Namun, saat mendengar pertanyaan barusan, pria itu malah tertawa. Cukup lama, sampai akhirnya dia berkata, “Boy, untuk apa aku harus mengetuk pintu saat masuk ke ruanganku sendiri?”Mata Axel seketika membulat. Dia terkejut karena baru tahu kalau Hugo adalah pemilik perusahaan la Victoire Cornel. Tidak heran kalau pria itu kaya sekali. Tinggi gedung perusahaannya saja hampir menyamai Menara Eiffel. “Jadi, Daddy yang punya ini semua? Kenapa tidak bilang dari t
“Da–ddy.”Axel mencoba memanggil Hugo dengan sebutan yang tak pernah dia ucapkan selama hidupnya. Alhasil, suaranya pun terbata-bata layaknya anak yang baru saja belajar bicara. Sejujurnya, Axel ingin bertanya pada Hugo, mengapa dirinya harus memanggil pria itu dengan sebutan daddy? Apa ibunya akan menikah dengan Hugo? Memikirkan itu, kepala Axel jadi pusing sendiri. Jika benar itu terjadi, maka habislah riwayatnya. Mungkin, dia tidak akan bisa lagi hidup dengan tenang. Pasti Hugo akan sering mengaturnya dan tidak membiarkannya bebas. “Apa yang kau pikirkan, Boy?” tanya Hugo dan membuyarkan lamunan Axel. Kemudian, pria itu menurunkan anak tersebut dengan perlahan ke kursi kosong yang ada di samping Elea. “Tidak ada, Pa–ah, maksudku Daddy,” jawab Axel. Mendengar jawaban tersebut, Hugo merasa puas. Namun berbeda dengan dirinya, Elea justru membulatkan matanya sedikit. Dia merasa terkejut karena putranya begitu cepat untuk memanggil Hugo dengan sebutan daddy. Menurutnya, itu adalah