Seharian diajak jalan-jalan oleh Alby membuat Khalifa merasakan capek, ingin segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Selepas diantar sampai rumah, Khalifa langsung menuju kamarnya, namun gerakan yang hendak masuk itu terurung sudah sesaat Khalifa mendengar sebuah suara di kamar Khanza. Terdengar Khanza seperti tengah berbicara dengan seseorang? Sebuah tawa bahkan terdengar cukup renyah. Khalifa mengerutkan alis. “Dengan siapa Khanza berbicara?” tanya Khalifa mencoba dekat pada pintu yang tertutup. Khalifa niatnya tidak ingin kepo hanya saja jiwa penasarannya semakin meronta-ronta, membuat Khalifa berani untuk mengintip. Khalifa diam-diam membuka pintu, cukup pelan sangat pelan, takut Khanza menyadarinya. Sesaat pintu itu sedikit dibuka Khalifa mengintip dengan salah satu matanya yang ia sipitkan, melihat ke dalam apa yang sebenarnya terjadi. Khalifa mencoba mengintip, namun yang ia lihat hanya punggung Khanza yang sedang membelakanginya. Perempuan itu tertawa entah menertawak
Jam 3 pagi seperti biasa Alby sudah bangun dengan rasa kantuk yang masih hinggap. Pagi ini dirinya harus pulang, tidak mungkin jika harus tidur di sini sampai pagi tiba. Masalahnya hubungan pernikahan ini jelas masih dirahasiakan dari Khanza, hal itu membuat Khalifa maupun Alby akan tetap berpura-pura sampai Khanza benar-benar sudah pulih dari ingatannya. Alby mulai mengumpulkan kesadarannya, apalagi melihat wajah Khalifa yang jelas membuat matanya kembali segar. “Aku pergi, nanti kita ketemu lagi. Muach!” Alby mencium kening serta kedua pipi Khalifa. Perempuan itu masih tertidur untuk itu tidak terganggu sama sekali. Alby menghela napas lantas bangun dari jaringannya, namun gerakannya terhenti saat tangan Khalifa justru menariknya. “Tetap di sini,” ucapnya melindur. Khalifa memeluk lengan Alby. “jangan pergi.”Alby tersenyum kecil, nyatanya istrinya ini mulai merasakan cinta sepertinya. Lihat saja? Alby bergerak menjauh saja langsung dilarang. “Aku harus pergi, sayang… udah wakt
Siang ini Khalifa sudah siap dengan pakaian yang ia kenakan. Sesuai janjinya bahwa hari ini ia akan bertemu dengan Gama. Ditempat biasa? Tentu saja ia sudah tahu tempatnya. Jangan tanyakan pasal Alby, pria itu sudah pergi 4 jam yang lalu. Tring! Suara ponsel Khalifa berbunyi menandakan ada pesan masuk. [Aku jemput ya?] Pesan itu dari Gama, Khalifa tau pasti Gama sudah pulang dari kampusnya. [Nggak usah. Aku bawa mobil sendiri.] send. [Hm, baiklah. Hati-hati tapi ya, jangan ngebut.] [Iya, siap Bos!] kirim Khalifa di akhiri dengan emot hormat. Khalifa terkekeh kecil lantas memasukan ponselnya ke dalam tas. Perempuan itu dengan cepat keluar kamar, berlari kecil dalam menuruni anak tangga. Namun ada satu hal saat Khalifa keluar dari dalam kamar, Khanza, perempuan itu melihat kepergian Khalifa dengan tatapan sulit diartikan. “Akhir-akhir ini Khalifa sering pergi, dan kepribadiannya … benar-benar berbeda dengan yang dahulu,” gumam Khanza mencoba mengingat jelas
“Habisin Alif, sedikit lagi itu,” ucap Alby saat melihat nasi yang masih tersisa di atas daun pisang. “Nggak mau, kenyang….” Khalifa tampak lesu, ia mengusap bibirnya dengan tissue. “Masa sih? Padahal kamu makan dikit sekali, sebagian dikasih ke aku lho.”“Tapi aku beneran udah kenyang, aku pengen ini aja!” Khalifa berbinar saat melihat ada salad buah. Setelah makan makanan khas orang Sunda, Khalifa dibuat kenyang, namun pula tidak tahan dengan godaan salad buah yang tersimpan. Ya, nyatanya keduanya saat ini tengah makan di sebuah rumah makan khas Sunda! Entah apa yang ada dalam pikiran Alby, pria itu tiba-tiba membawa Khalifa untuk makan di sana. Katanya, makan masakan Sunda itu berbeda, tidak seperti makan-makanan khas Jakarta, cukup membosankan. Jangan tanyakan apa keduanya datang ke tanah Jawa? Jelas tidak! Rumah makan khas Sunda masih terletak di kota Jakarta, tidak perlu jauh-jauh, karena banyak rumah makan berkhas Sunda di sini. “Sini punya kamu, aku habisin,” ucap Alby me
“Apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran Khanza? Kenapa dia tega melakukan ini semua?” tanya Alby tidak mengerti. Setelah kepergian Yuza keduanya kembalu duduk dengan pikiran yang sama-sama berkecamuk, terlebih untuk Khalifa, dirinya yang lebih memikirkan perkataan itu. “Alif, katakan padaku. Apa Khanza sejahat itu sama kamu? Sampai-sampai apa yang dikatakan Yuza? Membuatmu selalu merasakan penderitaan,“ tanya Alby benar-benar penasaran. “Alif, katakan juga, apa selama ini kamu benar-benar menderita atas ulahnya? Katakan padaku Alif, ayo.” Alby menggoyangkan lengan Khalifa, dipegangnya tangan itu menunggu jawaban Khalifa. “Dia sebenarnya baik, Kak. Hanya saja … aku juga nggak tau apa yang terjadi dengannya. Dia … membenciku.” “Tapi kenapa? Kalian saudara kan. Kenapa harus saling bertengkar seperti ini? Khalifa, andai jika pernikahan aku bersamanya terjadi kau tau apa yang aku rasa. Penyesalan… sungguh, aku benar-benar menyesal jika sampai menikahi Khanza. Aku baru tau bahwa
PENGANTIN PENGGANTI 30 HARI #69Derrttt DerrtttSuara dering ponsel terdengar cukup nyaring membangunkan seseorang yang saat ini tengah tertidur dengan pulas. Khalifa membuka matanya saat suara itu kian terdengar membuat dirinya sadar bahwa itu ponsel miliknya. Khalifa terbangun, hal yang pertama kali Khalifa lihat adalah wajah Alby yang tertidur pulas, tidak terganggu sama sekali dengan suara dering ponselnya. Tangan pria itu melingkar di pinggang Khalifa, memeluknya dengan erat. Khalifa tersenyum malu-malu, entah kenapa untuk akhir-akhir ini, Khalifa mulai terbiasa dengan perlakuan Alby terhadapnya. Apalagi saat rasa nyaman mulai hadir di relung hati Khalifa, ia merasakan senang, tenang nan bahagia apabila bersama Alby. Ah entahlah, perasaan apa itu? Khalifa tersadar dari rasa lamunannya, teringat satu hal yang membuatnya terbangun gegas Khalifa menoleh ke kiri, menatap ponselnya yang berada di atas nakas pinggirnya. Khalifa mengambil ponsel itu saat suara tersebut tidak lagi t
Khalifa memasuki halaman rumahnya dengan tergesa-gesa. Sampai di pintu utama ia langsung masuk setelah mengucapkan salam. “Bi Wawa?” Khalifa memanggil namun tak ada sahutan apapun. Memilih untuk melihat keadaan Khanza, Khalifa menaiki anak tangganya untuk sampai ke atas. Pintu Khanza tertutup rapat saat Khalifa sudah berdiri di depan kamarnya. Hendak mengetuk pintu namun Khalifa urungkan. “Apa yang akan aku lakukan jika aku masuk dan bertanya keadaan padanya?” gumam Khalifa. “aku bahkan tidak terlalu dekat dengan saudaraku sendiri. Bagaimana aku bisa sekhawatir ini?” Pikiran Khalifa mendadak berkecamuk. “Tidak. Lebih baik aku membiarkannya saja. Toh dia tidak akan membutuhkan aku. Selain itu … aku sendiri yang memang enggan untuk bertemu Khanza. Aku … aku membencinya!” Khalifa memilih abai, tidak peduli pada keadaan Khanza yang entah apa di dalam sana. Khalifa memilih pergi, kali ini tidurnya benar-benar terganggu membuat Khalifa merasakan ngantuk kembali. Namun, sesaat Khalifa i
Mata Khalifa mengerjap pelan saat cahaya matahari mulai masuk ke dalam retinanya. Perempuan itu menatap langit-langit atas saat matanya terbuka lebar. Namun, tatapannya harus terhenti saat ia merasakan tangannya yang tengah digenggam cukup erat, membuat Khalifa merunduk dalam menatap. Berkedip untuk beberapa saat, Khalifa melihat Alby yang ternyata tengah tertidur di samping perutnya, memeluk dengan tangan yang saling menggenggam. Wajah Alby yang mengarah padanya membuat Khalifa leluasa dalam menatapnya. Pria itu tidur dengan napas yang beraturan, lembut nan menenangkan. Tangan kiri Khalifa yang memang nganggur Khalifa gunakan untuk mengelus kepala Alby, pria itu tidak terusik sama sekali. Beberapa menit kemudian Alby mengerjapkan matanya saat usapan itu kian dirasa olehnya. Pria itu membuka mata, dan hal yang pertama kali Alby lihat adalah istrinya. “Khalifa?” Alby terperanjat, terbangun dengan tatapan menatap Khalifa. “alhamdulillah, akhirnya kamu udah sadar juga. Aku benar-ben
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug