“Aku tidak perduli bagaimana statusmu sekarang. Dan pun, aku tidak akan mengurusi urusanmu apapun itu— dan ya ….” Kinara menjeda ucapannya, menghela nafas untuk menetralkan degup jantungnya. “Hubunganmu dengan Mas Aarav adalah keponakan bukan? Jadi, anggap diriku dengan hal semestinya. Bukan lagi sebagai teman lamamu yang pernah jatuh cinta, melainkan orang baru yang harus saling menghargai dan menghormati.” Setelah mengatakan hal tersebut Kinara berlari masuk ke dalam rumah, sekarang urusannya dengan Devan sudah selesai, tidak ada hubungan apapun lagi menyangkut masalalu, karena yang lebih penting dari sekarang adalah masa depan. Dan masa depan Kinara jelas ada pada suaminya–Aarav, tidak ada yang lain. Namun berbeda dengan Devan, pria itu mengepalkan kedua tangannya erat. Merasa direndahkan? Tentu saja! “Cih, dia sudah mulai berani?” tanyanya terkekeh sinis, tatapan matanya masih setia menatap Kinara yang sudah menghilang diambang pintu. “Kau berani sebab Aarav yang menjadi suamim
“... Kak Devan.”Lusi menundukkan kepalanya, berpaling dari tatapan Devan yang tampak seperti ingin membunuhnya. Sedang Kinara mengernyit, dia masih menatap Devan yang tengah berjalan ke arahnya. Namun, pikirannya berubah kala melihat sang adik tampak ketakutan, gadis itu hanya menunduk dengan jari tangan yang ia mainkan. “Kenapa ini? Kenapa kalian melihatku seperti hantu saja?” Devan berdiri di hadapan keduanya, tatapannya silih berganti antara Kinara dan Lusi. Kinara memutar matanya malas. “Kau kan yang mengganggu adikku?” tanya Kinara to the point. Devan tersenyum tipis, ikut mendudukan dirinya di samping Kinara. Refleks, Kinara sedikit menggeser kursinya, tidak ingin berdekat-dekat dengan pria itu. “Aku tidak memarahinya, hanya menegurnya saja,” jawab Devan dengan santai. Saking santainya ia mengambil buah apel yang tersimpan di atas meja—depannya.“Kemarin adikmu membawa beberapa teman ke rumah ini. Mungkin perkara ini hal yang sepele tapi, coba kamu pikir, apa ada tamu yang
Di atas ranjang seorang lelaki tampak tidak nyaman dalam tidurnya. Ia sedari tadi berguling ke kanan-kiri, tidak bisa tidur. “Ish! Kenapa dari tadi susah sekali untuk tidur?” tanyanya mendengus kesal. Dia Aarav, tidak bisa tidur sebab pikirannya merindukan Kinara. Mungkin tidur dengan Kinara sudah menjadi kebiasaan, menjadikan ia mudah tidur kala tubuh menempel di atas ranjang, apalagi jika menempel pada Kinara. Namun, karena Kinara tidak ada di sampingnya membuatnya ia uring-uringan tak jelas. Sebelum itu, saat Aarav baru pulang dari kantor ia sudah disuguhi Kinara yang sudah tertidur. Bukan di atas king size melainkan di bawah lantai. Ditambah Lusi yang juga ada di sana membuat Aarav heran dibuatnya. Rasa lelah sehabis pulang terasa hilang tatkala menatap sang istri yang tertidur pulas. Terlihat cantik. Ah, istrinya memang selalu cantik, Aarav akui itu. Aarav berjongkok, mengelus kepala Kinara yang selalu tertutup hijab. Pelan, ia mencium kening Kinara, kemudian beralih menciu
“Kinar, kamu?”“Kinar udah tau Mas … Mas masih mau menyembunyikannya?” tanya Kinara membuat Aarav menggeleng. Di luar perkiraan, Aarav dengan sigap menarik Kinara ke dalam pelukan. Perasaan yang ia rasakan hari ini benar-benar bercampur aduk. Entah harus mengatakan apa tapi … “Benar. Aku cinta kamu Kinar. Aku—-” Aarav tidak bisa berkata-kata selain merasakan pelukan hangat ini. Merasakan gejolak hati yang kini berbunga-bunga dibuatnya. Seakan di dalam perutnya berterbangan kupu-kupu, terasa tergelitiki namun juga mendebarkan. “Kinar juga cinta Mas Aarav kok.” Kinara membalas memeluk Aarav, bibirnya melengkung ke atas, tidak percaya bahwa pernyataan cinta itu akhirnya keluar juga dari mulut Aarav. Setelah hari itu Kinara tahu kalau Aarav memang mencintainya. Maka saat itu ia berjanji akan membuat Aarav menyatakan cinta padanya, tapi tak disangka, waktu secepat itu memutarkan semuanya. Rasa cinta yang terpendam itu akhirnya tersalurkan juga. Ada rasa bahagia yang dirasa Kinara, ada
Pagi ini azan subuh sudah berkumandang. Kinara yang tertidur harus terbangun untuk segera menunaikan kewajiban 5 waktu. Kinara mengumpulkan terlebih dahulu kesadarannya. Berpikir bahwa apa yang semalaman terjadi diantara ia dan Aarav bukanlah mimpi. Dan ternyata benar … bahwa kemarin itu bukanlah mimpi, melainkan memang benar-benar nyata. Pipi Kinara tiba-tiba bersemua merah, mengigit bibir bawahnya untuk menghilangkan rasa bahagianya. Sampai selimut pun ia gigit untuk dijadikan pelampiasan akan perasaannya yang amat bahagia. Malam itu … Kinara memeluk lengan Aarav menuju kamar. Kedua pasutri itu saling merasakan perasaan yang sama-sama sulit diartikan. Sampai ketika keduanya masuk ke dalam kamar, Aarav dengan segera mengunci pintu tersebut, refleks Kinara dibuat tegang akan hal itu. “Mas, kok dikunci?”“Kenapa? Gak masalah kan?” Aarav berbalik. Sebelum itu pelukan mereka sudah terlepas membuat jarak diantara keduanya saling terpisah. Tidak jauh namun cukup membuat Kinara dibuat
“Kak, Lusi mau diantar sekolah sama kakak.”“Lusi mau diantar sekolah sama kakak.” Bukan sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan. Kening Kinara mengernyit. Lusi mengangguk. “Iya, Kak.”Kinara menghela nafas pelan. Dari malam Lusi tampak ingin dimanja, dan sekarang pun anak itu ingin dimanja lagi. Hari ini anak itu meminta Kinara untuk mengantarkannya sekolah, jelas membuat Kinara bingung untuk menjawab. Pasalnya, akhir-akhir ini Lusi sudah mulai mandiri, sekolah sering sendiri, apalagi sekarang sering diantar sopir suruhan Vanzo, menjadikan anak itu sudah terbiasa. Namun lagi, keinginannya seperti kemarin, ingin ditemani oleh kakaknya ini. “Baiklah, nanti kakak minta sama Mas Aarav dulu ya?”Lusi menggeleng atas jawaban Kinara. “Lusi gak mau sama Kak Aarav.” Lusi, gadis yang masih berada di kamar Aarav itu berucap. Menggeleng tak ingin, membuat Kinara yang mendengar tertoleh padanya. “Kenapa gak mau?”“Gpp, gak mau aja,” jawabnya mengedikkan bahu. Lusi menunduk, tak berani menatap
Di meja makan, Kinara duduk berdampingan dengan Aarav. Di samping kirinya ada Lusi, sedang di depannya ada Devan. Pria itu baru memunculkan batang hidungnya lagi. Namun Kinara tidak penasaran justru ia berdoa agar Devan segera hilang dari rumah ini, atau jika bisa hilang dari muka bumi ini. Agar hidupnya terasa tenang dari masalalu dahulu. Ia tidak ingin jika nanti pria itu berkata aneh-aneh pada Aarav. Selain pembohong pria itu juga sering membual. Banyak perkataannya yang tidak benar. Itu mengapa Kinara takut apabila laki-laki itu mengatakan hal yang tidak ada kebenarannya, entah pada Aarav atau Vanzo. Lihat saja sekarang? Pria itu bahkan sedari tadi melihat ke arahnya. Diam-diam lihat kemudian pura-pura fokus makan, lagi, pria itu melihat, detik berikutnya mengalihkan pandangan. Kinara kesal, Devan adalah lelaki yang harus ia jauhi! Jika tidak maka ia akan kena masalah. Sekarang, cinta yang baru bersemi ini masa harus kandas? Kinara menggeleng, itu tidak akan pernah terjadi! Ya,
Kinara merasakan perasaan tak enak. Pasalnya sekarang ia tengah bersama Vanzo. Selepas perdebatan pagi tadi pada akhirnya Aarav menurut, pergi ke kantor dengan Devan yang katanya akan bekerja di sana juga. Awalnya Aarav menolak. Meminta jawaban dari maksud Vanzo yang tiba-tiba memutuskan sesuatu secara sepihak, namun karena Kinara yang menenangkan pria itu membuat Aarav pada akhirnya menurut juga. Dan sekarang di sinilah Kinara berada, di sebuah taman yang luasnya beberapa hektare. Dibanyaki tumbuh-tumbuhan hijau, selain itu bunga-bunga bermekaran di sisi-sisinya. Indah, namun menakutkan. Tidak menakutkan bagaimana? Vanzo tiba-tiba membawanya ke sini? Mau apa coba? Seharusnya Kinara tidak berpikiran jauh ke sana, namun tidak memungkinkan hatinya juga merasakan firasat buruk. Namun, berusaha mungkin Kinara menghempaskan pikiran buruk itu. Lagipula tadi Aarav sudah mengancam kakeknya, mengancam untuk tidak menakut-nakuti istrinya ini.“Kalian sudah saling jujur?” tanya Vanzo membuka