Xander berjalan pelan dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Ia berjalan pelan di belakang Tania yang berjalan seperti siput dengan langkah sedikit pincang. Bahu wanita itu merosot turun. Tampak lesu sejak bertemu dengan pemilik club malam tadi."Lea."Xander memanggil, tapi Tania tidak mengindahkan panggilannya. Entah mendengarnya atau tidak, wanita itu tidak menoleh sama sekali dan terus berjalan.Xander berdecak. Ia melangkah lebar untuk menghampiri Tania. Langsung mengangkat wanita itu tanpa aba-aba. Menggendongnya dengan gaya bridal. Tania terkejut. Tangannya refleks melingkar di leher Xander karena takut jatuh. "A-apa yang kau lakukan? Turunkan aku," pintanya dengan kakinya digoyang-goyangkan."Diam. Kau akan jatuh!""A-aku bisa berjalan sendiri." Tania malu diperhatikan oleh orang-orang yang melewati mereka. "Dan aku akan melewatkan penerbanganku, karena menunggu jalanmu yang seperti siput."Tania memajukan bibir bawahnya. Ia tidak bisa berjalan cepat, karena lu
"Molly! Kembalikan bonekaku!" Tania berlari mengejar anjingnya yang membawa lari boneka beruang yang diberikan Jonathan dari permainan mesin capit. Anjing itu menggigit telinga bonekanya dan membawanya kabur.Tania berhenti sebentar ketika napasnya mulai tidak beraturan. Lalu mulai berlari lagi. "Molly–"Bruk!Tania terjatuh. Tetapi bukan di lantai yang keras. Ia menabrak seseorang dan terjatuh di atas tubuhnya. Di atasnya tubuh Xander.Terkejut, Tania langsung bangun. Berdiri dengan kesusahan. Wanita itu meletakkan tangannya di dada Xander. Mencoba berdiri. Lalu menjauhkan tangannya lagi saat sadar apa yang ia lakukan. Xander bangun lebih dulu, lalu menarik Tania berdiri. Ia menatapnya tajam. "Kenapa kau ceroboh sekali, Lea?" geramnya rendah. "Sifat ceroboh mu ini yang akan membahayakan dirimu sendiri dan bayimu. Apa kau tidak mengerti itu?""Maaf." Tania menundukkan kepalanya. "Aku hanya ingin mengambil bonekaku yang dibawa Mol–" Ia baru teringat Molly dan boneka yang dibawanya. Ia
Sera mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja. Menunggu dengan tidak sabar, kapan dirinya akan dipanggil ke atas panggung sana. Karena kiprahnya yang sangat peduli dengan penderita AIDS, Sera mendapatkan penghargaan pada AIDS Healthcare Foundation–lembaga yang menangani urusan HIV/AIDS di negeri Paman Sam. Acara yang sedang didatanginya saat ini.Sera ingin acara ini segera selesai dan pulang, karena tidak tahan dengan rasa sakit di perutnya yang tiba-tiba saja datang. Ia meringis tanpa suara."Ada apa?" tanya Xander yang menyadari perubahan raut istrinya. Ia menggenggam tangan Sera. "Kenapa tanganmu dingin sekali?" Ia merasakan dingin dari tangan istrinya menjalar ke tangannya.Sera membuka bibirnya. Ingin mengatakan pada Xander ketika ponsel lelaki itu yang ada di atas meja berkedip menyala.Xander menekan beberapa angka untuk membuka kunci di ponselnya. Wajahnya mengeras setelah melihat beberapa saat apa yang ditampilkan di layarnya. Sera juga sekilas melihatnya."Aku harus pergi. Tel
Xander membuka pintu. Berjalan ke arah ranjang, di mana Sera berbaring dengan posisi membelakangi pintu. Ia naik dan berbaring di sebelahnya. Meletakkan tangan di perut Sera dan mengelusnya lembut.Sera yang memang belum tidur membuka mata. Tidak melakukan apapun hingga beberapa saat kemudian ia berbalik. Menghadap Xander."Masih sakit? Aku akan memanggil dokter untuk memeriksa mu."Sera menggeleng. Menatap Xander lamat. "Maaf sudah marah-marah tidak jelas padamu. Aku hanya sedang sensitif saja," ucapnya. Perasaannya menjadi lebih sensitif karena sedang datang bulan. Apalagi diikuti perutnya yang terasa sakit, membuatnya ingin melampiaskan kemarahannya saja. "Kau bisa mengatakan padaku jika memang sedang tidak menyukai sesuatu." Xander merasa Sera sedang memendam sesuatu, tapi tidak ingin disampaikannya. Sera mengangguk. Jujur ia merasa cemburu ketika Xander terlihat terlalu dekat dengan Tania. Padahal ia tahu suaminya memberikan perhatian padanya hanya karena bayi mereka. Tidak seh
Tania terbangun di pagi hari dan Xander sudah tidak ada di kamarnya. Wanita itu masih berbaring di ranjang.Tatapannya mengarah pada langit-langit kamar. Mengingat kembali kejadian tadi malam.Tania merasa sangat takut saat itu. Takut sekali. Tapi kehadiran Xander yang langsung membuatnya merasa tenang. Berada didekat lelaki itu, Tania merasa dilindungi. Xander selalu datang di saat ia membutuhkan pertolongan.Jadi tidak salah jika Tania ingin selalu berada didekat lelaki itu bukan? Karena sekarang ia kembali takut. Ketukan yang terdengar di pintu membuat Tania menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Wanita itu berdiam di dalam sana. Bahkan ketika pelayan memanggil."Nona? Nona sudah bangun?"Tania tidak memberikan jawaban. Tapi kakinya bergerak-gerak di dalam selimut."Sarapannya sudah siap, Nona. Nona tidak mau turun? Tuan dan Nyonya sudah menunggu di bawah untuk sarapan bersama.""Tidak mau," gumam Tania dari dalam selimut. Wanita itu tidak menunjukkan wajahnya sama sekal
Tania menaikkan kakinya setelah pelayan membantunya melepaskan sepatu, berbaring di ranjang, dan lang memejamkan mata. Ia merasa lelah. Tidak hanya tubuh, tapi pikirannya juga.Tania lelah dengan apa yang terjadi. Ketakutan yang dirasakannya. Iris mata hazel itu terbuka kembali. Mengusap perutnya.Setidaknya sekarang, bayi di perutnya yang menjadi penguatnya. Bayi laki-laki yang akan menjaga ibunya nanti. Ya, jenis kelamin bayi Tania adalah laki-laki. Ia tidak sabar melihatnya. Menggendong dan memeluknya. Tania mengusap perutnya penuh sayang.Tania tersentak, langsung melarikan matanya ke arah jendela ketika mendengar suara ketukan. Tapi bukan dari sana suaranya. Itu suara dari ketukan pintu yang diketuk oleh pelayan yang ingin mengantarkan makanan ringan untuknya.Tania lagi-lagi menakutkan sesuatu yang tidak ada. Ia menggeleng. "Lupakan, Tania, lupakan," gumamnya berusaha menghilangkan pikiran buruk apapun yang ada di kepalanya. Ketakutannya. Karena ia yang stres akan memberikan pe
Tania bangun dari posisi tidurnya. Duduk diam dengan mata mengedip-ngedip lambat. Matanya terasa berat, tapi tidak bisa tidur. Tania menatap jam dinding yang jarum pendeknya berhenti di antara angka sepuluh dan sebelas. Ia kemudian menapakkan kakinya ke lantai. Lalu berjalan keluar dari kamar.Tania turun ke lantai bawah. Wanita dengan blus longgar semata kaki berwarna putih itu pergi ke dapur. Mengambil beberapa makan ringan dan membawanya ke sofa di ruang tamu. Ia duduk di sana sambil menonton televisi dengan volume suara kecil, karena takut menganggu Xander dan Sera yang pasti sudah tidur. Tania jiga tidak menyalakan lampu.Seraya memakan cemilannya, Tania mengganti saluran televisi. Mencari saluran yang disukainya. Bibirnya tersenyum melihat konser salah satu boyband Korea. Pertama kali melihatnya, Tania mulai suka dan tertarik dengan hal-hal yang berbau Korea. Apalagi dengan orang-orangnya yang cantik dan tampan."Nanti jika sudah lahir, aku ingin kau mirip sepertinya." Tania me
Sera merapikan kerah kemeja Xander setelah sebelumnya memakaikan dasinya. Lalu mengusap dada sebelah kanan yang terbalut kemeja biru itu dua kali. "Sudah.""Terima kasih." Seperti biasa, setelah Sera memasangkan dasinya, Xander akan mengucapkan terima kasih dengan kecupan di bibir."Sepertinya kau harus mulai belajar memakai dasimu sendiri, X," ucap Sera sembari membantu Xander memilihkan jas yang cocok dikenakan dengan kemeja birunya. "Tidak mau. Kenapa memangnya?" "Setelah bayi kita lahir, aku akan sibuk mengurusnya. Jadi kau harus belajar melakukan semuanya sendiri tanpaku." Xander mendesis pelan. "Tidak masalah. Aku bisa mencari perempuan lain yang bisa memasangkan dasiku," jawabnya kelewat santai dengan tujuan menggoda istrinya.Sera langsung memukul pelan dada Xander. "Awas saja kau sampai berani," ancamnya dengan mata melotot.Xander terkekeh. Ia menarik pinggang Sera, membaliknya untuk memeluknya dari belakang. "Mau sesibuk apapun dirimu, kau tetap harus ada waktu untukku."
Butuh waktu kurang lebih satu bulan untuk Tania benar-benar pulih dari luka tembak yang dialaminya. Dan selama itu, hanya saat inilah yang paling ditunggu Tania. Bertemu dengan ayah kandungnya.Xander selalu beralasan akan membawanya menemuinya jika kondisinya sudah pulih. Dan baru sekarang dia melakukannya. Tania sempat marah karena Xander dan orang tuanya yang menyembunyikan ini darinya. Meski Tania sendiri yang berkata tidak ingin mengetahui siapa ayah kandungnya. Tapi jika dia memang sudah sangat dekatnya, tapi tetap ingin bertemu."Kau yakin ingin bertemu dengannya?" tanya Xander sembari menggenggam jemari Tania. Berjalan bersama ke tempat di mana Abraham ditahan.Tania mengangguk yakin. "Kau tahu apa yang dia lakukan padamu bukan? Kenapa masih saja ingin bertemu dengannya?" Tania hanya tersenyum menanggapinya."Maaf, tapi Tuan Abraham tidak ingin dikunjungi oleh siapapun." Penjaga tahanan menyampaikan ucapan dari Abraham ketika dia memberitahu ada yang ingin menemuinya.Raut w
"Mommy, di mana Xander?" Tania bertanya pada Angeline yang tengah menyuapinya. Xander tidak berkata akan pergi atau apa padanya. Tapi dia tidak terlihat sejak dua jam lalu. "Xander sedang bersama Lio," jawab Angeline, yang tentu saja berbohong. Lio sedang tidur di ruangan lain. Dijaga oleh babysitter. Sementara Xander pergi keluar. Menemui Abraham di kantor polisi.Angeline mengetuk Abraham yang berani-beraninya mencelakai anaknya sendiri. Lelaki itu memang tidak memiliki perasaan sama sekali. Tapi tidakkah dia sedikit saja merasa kasihan pada darah dagingnya? Dia memang lelaki jahat.Angeline berharap Tanai tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Karena dia pasti akan menyesal nantinya. Menyesal memiliki darah yang sama dengan orang yang berniat membunuhnya. Angeline tidak ingin putrinya tahu."Mommy, sudah." Tania menolak ketika Angeline kembali ingin menyuapkan bubur ke mulutnya."Ya sudah. Ini minumnya." Angeline meletakkan mangkuk berisi bubur yang tinggal beberapa suapan. Lalu
"Kondisimu sudah semakin membaik. Sebentar lagi kau mungkin bisa pulang."Tania menyengir. Menampilkan deretan giginya yang putih bersih. "Aku kasihan melihatnya. Dia menangis saat aku sakit. Jadi aku harus cepat sembuh supaya dia tidak menangis lagi," ucapnya sembari melirik Xander yang berdiri didekat ranjang dengan tangan bersidekap.Xander mendengus. Sementara Tania dan dokter yang tengah memeriksanya tertawa. Tania langsung menghentikan tawanya, karena jahitan di punggungnya. Sementara sang dokter, karena Xander memberikan tatapan tajam padanya."Aku keluar dulu ya. Kau bisa memanggilku jika membutuhkan sesuatu."Tania mengangguk. Lalu mengucapkan terima kasih sebelum dokter itu keluar dari ruangannya."Kau menghancurkan reputasiku, kau tahu?" Xander berkata kesal. Ia memberikan pelototan kecil sebelum mengambil perban di atas nakas.Tania mengernyit, sebelum kemudian terkekeh kecil. "Kau malu ya, Daddy?" godanya. Xander yang terkenal tegas dan garang, menangis. Xander menggeram
Xander melangkah masuk ke dalam ruangan yang ditempati Tania. Istrinya akhirnya dipindahkan ke ruangan lain. Tubuhnya sudah tidak lagi ditempeli dengan berbagai alat penunjang hidup. Dia bahkan sudah membuka matanya sekarang. Tania tengah menatap Xander dengan mata sayunya. Bibir pink alaminya tampak pucat. Sementara bahunya dililit dengan kain kasa. Dengan lemah, wanita itu mencoba tersenyum pada Xander."Xander...."Xander menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak. "Sakit sekali ya?" ucapnya menyerupai bisikan. Meski sudah sadar, Xander tahu Tania tidak baik-baik saja. Dia masih kesakitan. Tania tampak seperti ingin berbicara. Tapi terlalu lemah untuk melakukannya. Satu kata saja sudah cukup sulit.Xander membelai rambut Tania. Menggeleng. "Tidak perlu bicara apa-apa dulu. Tidurlah. Kau butuh banyak istirahat.""Dimana baby Lio? Apa dia tidak mencariku?" tanya Tania dengan nada sangat pelan. Napasnya terengah. Xander harus benar-benar mendengarkan dengan baik. "Hm
Xander membopong tubuh lemah Tania keluar. Berjalan cepat memasuki pelataran rumah sakit. Para dokter dan perawat sudah bersiap. Membawa Tania ke ruang operasi untuk segera ditangani."Maaf, Tuan. Tapi Anda diizinkan untuk ikut masuk."Xander mengepalkan tangan. Menghembuskan napas berat, dia tidak membantah. "Selamatkan istriku apapun yang terjadi," ucapnya sebelum pintu ruangan tertutup.Xander duduk di kursi depan ruangan itu. Tangannya terkepal kuat. Raut emosi menumpuk di wajahnya. Penampilan Xander sudah berantakan. Kemeja putihnya sudah bercampur dengan warna merah. Xander sudah sangat siap membunuh orang.Lelaki itu. Jangan harap Xander akan melepaskannya. Jika sampai Tania kenapa-kenapa, ia pastikan Abraham Denovan akan mendapatkan perlakuan yang setimpal.Xander menoleh ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat. Alex dan Angeline berjalan cepat menghampirinya. Lio berada di gendongan Angeline. Tangisnya terdengar kencang.Xander berdiri dan ingin mengambil putranya
Xander mengeratkan mantel hijau tebal di tubuh Tania, sebelum merangkul pinggangnya dan berjalan bersama keluar mansion."Mommy dan Daddy?" Tania menoleh sekilas ke belakang untuk melihat apakah mereka sudah siap atau belum. Lio juga bersama mereka."Mommy dan Daddy akan menyusul. Kita ke bendara lebih dulu."Tania mengangguk. Xander membukakan pintu mobil, dan Tania masuk ke dalam. Ketika lelaki itu juga akan masuk, Christian datang. Xander menatap Tania. Memberitahukan dengan gerakan bibir sebelum berjalan sedikit menjauh dari mobil. Ada sesuatu yang tidak beres. Terlihat dari ekspresi Christian."Tuan, Abraham menghilang.""Maksudmu?" Xander mengernyit."Posisinya masih bisa dilacak sekitar tiga puluh menit yang lalu. Tapi setelah itu dia menghilang. Dia meninggalkan mansionnya dan pergi entah ke mana," jelas Christian. Xander memang meminta Christian untuk mengawasi Abraham. Setelah dia membuat kejutan besar yang sudah pasti menghancurkan karirnya, Abraham tidak akan tinggal dia
Xander sudah sampai di mansion. Ia menghentikan langkah saat berpapasan dengan Alex di lorong lantai empat. Xander melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya."Daddy belum tidur?" tanyanya."Kau berbicara apa dengannya?" Xander mengernyit. Tapi kemudian ia paham maksud pertanyaan Alex. Daddynya pasti sudah tahu semuanya. Xander tidak perlu menjelaskan lagi."Hanya memberi peringatan pada Abraham Denovan," jawab Xander santai.Alex menghela napas berat. "Daddy tahu kau pasti sangat marah dengan apa yang dilakukan laki-laki itu pada Tania. Daddy juga sangat marah saat mengetahuinya," ucapnya. "Tapi kau jangan menjadi gegabah seperti ini."Alex sangat ingin menemui Abraham dan menghajarnya secara langsung ketika ia mengetahui ketika lelaki itu hampir mencelakai putrinya. Tapi Alex tahu ia tidak bisa gegabah."Pamanmu Robert, mengenal Abraham dengan baik. Dia pernah mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Lawannya adalah Abraham." Alex memulai ceritanya. "Abraham orang yang tida
"Apa saja yang kau lakukan di sana?"Tania merengut. "Aku tidak yakin kau tidak tahu. Para bodyguard mu pasti sudah memberitahumu kan?""Benar. Tapi aku ingin mendengarnya sendiri darimu." Dan mengetahui apa yang kau rasakan saat bertemu dengan ayah kandungmu. Lanjutnya dalam hati.Tania dan Angeline baru saja pulang dari acara amal. Meski bodyguard sudah memberitahukan semuanya. Tapi ia ingin Tania sendiri yang memberitahu."Di sana ramai sekali. Banyak orang yang memberikan amal," cerita Tania. Lalu wajahnya yang tampak biasa sebelumnya berubah cemberut. "Tapi karena ada wartawan juga, aku jadi tidak suka.""Kenapa?" Xander memberikan tanggapan. Ia mendongak menatap istrinya."Banyak orang yang jadi pamer tahu. Mereka berlomba memberikan uang paling banyak untuk amal. Lalu menceritakannya di depan kamera. Seharusnya kan tidak boleh seperti itu. Jika memang ikhlas ingin beramal ya beramal saja. Kenapa harus dipamer-pamerkan?"Xander tersenyum melihat bibir Tania yang maju ke depan ke
"Setelah sukses dengan menjadi anggota dewan di Spanyol, Bulgaria, dan Inggris, Abraham Denovan akhirnya kembali negaranya untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden pada pemilihan presiden yang akan datang. Nama lelaki kelahiran 1965 itu begitu cemerlang dalam dunia perpolitikan. Sikap tanggung jawab dalam menjalankan setiap tugasnya tidak bisa diragukan.""Namun, baru-baru ini berhembus kabar miring tentangnya. Belum dipastikan kebenarannya, tapi Abraham Denovan diduga suka bermain dengan perempuan malam, meski telah memiliki seorang istri. Dia juga memiliki seorang anak dari salah satu teman tidurnya itu. Anak itu–""Mommy."Angeline langsung mematikan layar televisi yang menampilkan berita itu ketika Tania memanggil. Wajahnya yang semula datar berganti menjadi senyuman saat Tania berjalan mendekat."Mommy." Tania duduk di sebelah Angeline. "Mommy sedang apa?"Angeline menggeleng. "Mommy melihat berita. Tapi karena tidak menarik, Mommy jadi malas melihatnya," jawabnya. "Di mana Lio