Tania terbangun di pagi hari dan Xander sudah tidak ada di kamarnya. Wanita itu masih berbaring di ranjang.Tatapannya mengarah pada langit-langit kamar. Mengingat kembali kejadian tadi malam.Tania merasa sangat takut saat itu. Takut sekali. Tapi kehadiran Xander yang langsung membuatnya merasa tenang. Berada didekat lelaki itu, Tania merasa dilindungi. Xander selalu datang di saat ia membutuhkan pertolongan.Jadi tidak salah jika Tania ingin selalu berada didekat lelaki itu bukan? Karena sekarang ia kembali takut. Ketukan yang terdengar di pintu membuat Tania menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Wanita itu berdiam di dalam sana. Bahkan ketika pelayan memanggil."Nona? Nona sudah bangun?"Tania tidak memberikan jawaban. Tapi kakinya bergerak-gerak di dalam selimut."Sarapannya sudah siap, Nona. Nona tidak mau turun? Tuan dan Nyonya sudah menunggu di bawah untuk sarapan bersama.""Tidak mau," gumam Tania dari dalam selimut. Wanita itu tidak menunjukkan wajahnya sama sekal
Tania menaikkan kakinya setelah pelayan membantunya melepaskan sepatu, berbaring di ranjang, dan lang memejamkan mata. Ia merasa lelah. Tidak hanya tubuh, tapi pikirannya juga.Tania lelah dengan apa yang terjadi. Ketakutan yang dirasakannya. Iris mata hazel itu terbuka kembali. Mengusap perutnya.Setidaknya sekarang, bayi di perutnya yang menjadi penguatnya. Bayi laki-laki yang akan menjaga ibunya nanti. Ya, jenis kelamin bayi Tania adalah laki-laki. Ia tidak sabar melihatnya. Menggendong dan memeluknya. Tania mengusap perutnya penuh sayang.Tania tersentak, langsung melarikan matanya ke arah jendela ketika mendengar suara ketukan. Tapi bukan dari sana suaranya. Itu suara dari ketukan pintu yang diketuk oleh pelayan yang ingin mengantarkan makanan ringan untuknya.Tania lagi-lagi menakutkan sesuatu yang tidak ada. Ia menggeleng. "Lupakan, Tania, lupakan," gumamnya berusaha menghilangkan pikiran buruk apapun yang ada di kepalanya. Ketakutannya. Karena ia yang stres akan memberikan pe
Tania bangun dari posisi tidurnya. Duduk diam dengan mata mengedip-ngedip lambat. Matanya terasa berat, tapi tidak bisa tidur. Tania menatap jam dinding yang jarum pendeknya berhenti di antara angka sepuluh dan sebelas. Ia kemudian menapakkan kakinya ke lantai. Lalu berjalan keluar dari kamar.Tania turun ke lantai bawah. Wanita dengan blus longgar semata kaki berwarna putih itu pergi ke dapur. Mengambil beberapa makan ringan dan membawanya ke sofa di ruang tamu. Ia duduk di sana sambil menonton televisi dengan volume suara kecil, karena takut menganggu Xander dan Sera yang pasti sudah tidur. Tania jiga tidak menyalakan lampu.Seraya memakan cemilannya, Tania mengganti saluran televisi. Mencari saluran yang disukainya. Bibirnya tersenyum melihat konser salah satu boyband Korea. Pertama kali melihatnya, Tania mulai suka dan tertarik dengan hal-hal yang berbau Korea. Apalagi dengan orang-orangnya yang cantik dan tampan."Nanti jika sudah lahir, aku ingin kau mirip sepertinya." Tania me
Sera merapikan kerah kemeja Xander setelah sebelumnya memakaikan dasinya. Lalu mengusap dada sebelah kanan yang terbalut kemeja biru itu dua kali. "Sudah.""Terima kasih." Seperti biasa, setelah Sera memasangkan dasinya, Xander akan mengucapkan terima kasih dengan kecupan di bibir."Sepertinya kau harus mulai belajar memakai dasimu sendiri, X," ucap Sera sembari membantu Xander memilihkan jas yang cocok dikenakan dengan kemeja birunya. "Tidak mau. Kenapa memangnya?" "Setelah bayi kita lahir, aku akan sibuk mengurusnya. Jadi kau harus belajar melakukan semuanya sendiri tanpaku." Xander mendesis pelan. "Tidak masalah. Aku bisa mencari perempuan lain yang bisa memasangkan dasiku," jawabnya kelewat santai dengan tujuan menggoda istrinya.Sera langsung memukul pelan dada Xander. "Awas saja kau sampai berani," ancamnya dengan mata melotot.Xander terkekeh. Ia menarik pinggang Sera, membaliknya untuk memeluknya dari belakang. "Mau sesibuk apapun dirimu, kau tetap harus ada waktu untukku."
Pintu mobil ditutup setelah Sera dan Tania masuk ke dalamnya. Supir kemudian menjalankan mobilnya untuk pulang ke rumah. Tania menatap ke jalanan. Melihat pemandangan saat Sera memanggilnya. Wanita itu menoleh ke samping."Iya?" jawab Tania dengan senyum. Ia juga hanya tersenyum ketika mendapati Sera beberapa kali menatapnya dengan tatapan yang tidak dipahaminya. Tania tidak mencoba bertanya atau mengatakan apapun setelah melihat Sera dengan seorang lelaki di museum tadi. Apalagi dengan pembicaraan yang mereka bicarakan.Sera melirik supir di depan sebelum berkata. "Adrian adalah temanku saat kuliah. Aku dan dia tidak ada hubungan apapun," jelasnya dengan nada cukup pelan.Tania menanggapi dengan membuat bibirnya membentuk bulatan. Mengangguk-angguk. "Jangan mengatakannya pada Xander. Aku tidak mau dia salah paham," pinta Sera serius. Ia mengecek ponselnya untuk melihat pesan atau panggilan yang ternyata tidak ada.Tania mengangguk lagi dan Sera tersenyum. Tania kembali menatap kelu
Sesaat setelah matanya terbuka, Xander langsung berdecak. Menggerutu tidak jelas karena tidurnya yang sejak semalam tidak nyaman sama sekali. Bergerak sedikit saja tangannya langsung terasa nyeri.Mengambil tongkat di bawah ranjang, Xander kemudian berdiri. Berjalan dengan langkah pelan keluar dari kamar. Ingin mencari Sera. Entah di mana istrinya itu.Saat Xander membuka pintu, bertepatan dengan Tania yang juga membuka pintu. Melihat Xander, wanita itu langsung tercengang. Membuang muka. Xander keluar dengan bertelanjang dada. Meski sekilas, Tania jelas melihat bentuk kotak-kotak di perut lelaki itu, dengan otot yang menonjol di lengannya. Tania menelan ludah. "Kau melihat Sera?" tanya Xander santai. Tidak tahu jika bagian atas tubuhnya yang telanjang itu membuat Tania panas dingin."Tidak. Aku baru keluar dari kamar," jawab Tania dengan tatapan ke arah lain. Wanita itu berusaha tidak melihat Xander. Meski ia sudah pernah melihatnya. Mungkin bahkan lebih dari apa yang dilihatnya se
Tania menatap lukisan yang baru saja digantung oleh pelayan di atas perapian. Lukisan yang diketahuinya dibeli oleh Xander. Seorang kurir baru saja mengantarnya. Binar di matanya terlihat jelas melihat lukisan bayi laki-laki yang sangat lucu itu. Tania membalik tubuhnya. Menatap Xander yang duduk di sofa dengan tatapan penuh arti. Apakah lelaki itu sama tidak sabarnya menunggu anaknya lahir seperti dirinya? Karena itu membeli lukisan ini untuk bisa dipandangi setiap hari?Xander yang sadar ditatap oleh Tania hanya mengabaikan wanita itu. Raut wajahnya tampak santai, meski tahu arti tatapan Tania."Kenapa kau membeli lukisan itu?" tanya Tania setelah berada di depan Xander. Mulutnya gatal ingin bertanya."Maksudmu kenapa? Itu terserah padaku," balas Xander dengan alis terangkat naik. Nada suaranya sedikit ketus. Ia jelas tahu maksud pertanyaan Tania. Tapi kenapa Xander harus memberitahunya?Tania menggaruk rambutnya. "Kau...." Wanita itu menggantung ucapannya. Bingung sendiri ingin be
Tania hampir terjengkang karena Sera yang menariknya cukup kuat hingga ia kehilangan keseimbangan. Tapi ia bisa menguasai diri."Apa yang kau lakukan, Tania?! Cedera Xander bisa semakin parah karena ulahmu itu. Kau menekan tangannya, kau tahu?!" Sera memarahi Tania. Entah benar-benar takut cedera suaminya semakin parah, atau takut ketika suaminya semakin dekat dengan wanita itu. Posisi Xander dan Tania tadi cukup absurd. Orang yang melihatnya mungkin akan salah paham.Tania hanya menunduk dalam. Bahkan tidak mampu mengucapkan kata 'maaf' karena ini baru pertama kalinya Sera memarahinya. Ia cukup tidak percaya. Tania memang pernah mengatakan ia senang ketika dimarahi Sera, karena tandanya wanita itu memperhatikannya. Tapi ini lain. Tania melihat tatapan benci di matanya. Atau hanya perasaannya saja?"Kenapa kau banyak tingkah sekali? Tidak bisa diam saja?""Sera," panggil Xander dengan nada rendah. Mengisyaratkan Sera untuk berhenti. "Pergilah! Jangan berkeliaran didekat Xander!""Ma
Butuh waktu kurang lebih satu bulan untuk Tania benar-benar pulih dari luka tembak yang dialaminya. Dan selama itu, hanya saat inilah yang paling ditunggu Tania. Bertemu dengan ayah kandungnya.Xander selalu beralasan akan membawanya menemuinya jika kondisinya sudah pulih. Dan baru sekarang dia melakukannya. Tania sempat marah karena Xander dan orang tuanya yang menyembunyikan ini darinya. Meski Tania sendiri yang berkata tidak ingin mengetahui siapa ayah kandungnya. Tapi jika dia memang sudah sangat dekatnya, tapi tetap ingin bertemu."Kau yakin ingin bertemu dengannya?" tanya Xander sembari menggenggam jemari Tania. Berjalan bersama ke tempat di mana Abraham ditahan.Tania mengangguk yakin. "Kau tahu apa yang dia lakukan padamu bukan? Kenapa masih saja ingin bertemu dengannya?" Tania hanya tersenyum menanggapinya."Maaf, tapi Tuan Abraham tidak ingin dikunjungi oleh siapapun." Penjaga tahanan menyampaikan ucapan dari Abraham ketika dia memberitahu ada yang ingin menemuinya.Raut w
"Mommy, di mana Xander?" Tania bertanya pada Angeline yang tengah menyuapinya. Xander tidak berkata akan pergi atau apa padanya. Tapi dia tidak terlihat sejak dua jam lalu. "Xander sedang bersama Lio," jawab Angeline, yang tentu saja berbohong. Lio sedang tidur di ruangan lain. Dijaga oleh babysitter. Sementara Xander pergi keluar. Menemui Abraham di kantor polisi.Angeline mengetuk Abraham yang berani-beraninya mencelakai anaknya sendiri. Lelaki itu memang tidak memiliki perasaan sama sekali. Tapi tidakkah dia sedikit saja merasa kasihan pada darah dagingnya? Dia memang lelaki jahat.Angeline berharap Tanai tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Karena dia pasti akan menyesal nantinya. Menyesal memiliki darah yang sama dengan orang yang berniat membunuhnya. Angeline tidak ingin putrinya tahu."Mommy, sudah." Tania menolak ketika Angeline kembali ingin menyuapkan bubur ke mulutnya."Ya sudah. Ini minumnya." Angeline meletakkan mangkuk berisi bubur yang tinggal beberapa suapan. Lalu
"Kondisimu sudah semakin membaik. Sebentar lagi kau mungkin bisa pulang."Tania menyengir. Menampilkan deretan giginya yang putih bersih. "Aku kasihan melihatnya. Dia menangis saat aku sakit. Jadi aku harus cepat sembuh supaya dia tidak menangis lagi," ucapnya sembari melirik Xander yang berdiri didekat ranjang dengan tangan bersidekap.Xander mendengus. Sementara Tania dan dokter yang tengah memeriksanya tertawa. Tania langsung menghentikan tawanya, karena jahitan di punggungnya. Sementara sang dokter, karena Xander memberikan tatapan tajam padanya."Aku keluar dulu ya. Kau bisa memanggilku jika membutuhkan sesuatu."Tania mengangguk. Lalu mengucapkan terima kasih sebelum dokter itu keluar dari ruangannya."Kau menghancurkan reputasiku, kau tahu?" Xander berkata kesal. Ia memberikan pelototan kecil sebelum mengambil perban di atas nakas.Tania mengernyit, sebelum kemudian terkekeh kecil. "Kau malu ya, Daddy?" godanya. Xander yang terkenal tegas dan garang, menangis. Xander menggeram
Xander melangkah masuk ke dalam ruangan yang ditempati Tania. Istrinya akhirnya dipindahkan ke ruangan lain. Tubuhnya sudah tidak lagi ditempeli dengan berbagai alat penunjang hidup. Dia bahkan sudah membuka matanya sekarang. Tania tengah menatap Xander dengan mata sayunya. Bibir pink alaminya tampak pucat. Sementara bahunya dililit dengan kain kasa. Dengan lemah, wanita itu mencoba tersenyum pada Xander."Xander...."Xander menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak. "Sakit sekali ya?" ucapnya menyerupai bisikan. Meski sudah sadar, Xander tahu Tania tidak baik-baik saja. Dia masih kesakitan. Tania tampak seperti ingin berbicara. Tapi terlalu lemah untuk melakukannya. Satu kata saja sudah cukup sulit.Xander membelai rambut Tania. Menggeleng. "Tidak perlu bicara apa-apa dulu. Tidurlah. Kau butuh banyak istirahat.""Dimana baby Lio? Apa dia tidak mencariku?" tanya Tania dengan nada sangat pelan. Napasnya terengah. Xander harus benar-benar mendengarkan dengan baik. "Hm
Xander membopong tubuh lemah Tania keluar. Berjalan cepat memasuki pelataran rumah sakit. Para dokter dan perawat sudah bersiap. Membawa Tania ke ruang operasi untuk segera ditangani."Maaf, Tuan. Tapi Anda diizinkan untuk ikut masuk."Xander mengepalkan tangan. Menghembuskan napas berat, dia tidak membantah. "Selamatkan istriku apapun yang terjadi," ucapnya sebelum pintu ruangan tertutup.Xander duduk di kursi depan ruangan itu. Tangannya terkepal kuat. Raut emosi menumpuk di wajahnya. Penampilan Xander sudah berantakan. Kemeja putihnya sudah bercampur dengan warna merah. Xander sudah sangat siap membunuh orang.Lelaki itu. Jangan harap Xander akan melepaskannya. Jika sampai Tania kenapa-kenapa, ia pastikan Abraham Denovan akan mendapatkan perlakuan yang setimpal.Xander menoleh ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat. Alex dan Angeline berjalan cepat menghampirinya. Lio berada di gendongan Angeline. Tangisnya terdengar kencang.Xander berdiri dan ingin mengambil putranya
Xander mengeratkan mantel hijau tebal di tubuh Tania, sebelum merangkul pinggangnya dan berjalan bersama keluar mansion."Mommy dan Daddy?" Tania menoleh sekilas ke belakang untuk melihat apakah mereka sudah siap atau belum. Lio juga bersama mereka."Mommy dan Daddy akan menyusul. Kita ke bendara lebih dulu."Tania mengangguk. Xander membukakan pintu mobil, dan Tania masuk ke dalam. Ketika lelaki itu juga akan masuk, Christian datang. Xander menatap Tania. Memberitahukan dengan gerakan bibir sebelum berjalan sedikit menjauh dari mobil. Ada sesuatu yang tidak beres. Terlihat dari ekspresi Christian."Tuan, Abraham menghilang.""Maksudmu?" Xander mengernyit."Posisinya masih bisa dilacak sekitar tiga puluh menit yang lalu. Tapi setelah itu dia menghilang. Dia meninggalkan mansionnya dan pergi entah ke mana," jelas Christian. Xander memang meminta Christian untuk mengawasi Abraham. Setelah dia membuat kejutan besar yang sudah pasti menghancurkan karirnya, Abraham tidak akan tinggal dia
Xander sudah sampai di mansion. Ia menghentikan langkah saat berpapasan dengan Alex di lorong lantai empat. Xander melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya."Daddy belum tidur?" tanyanya."Kau berbicara apa dengannya?" Xander mengernyit. Tapi kemudian ia paham maksud pertanyaan Alex. Daddynya pasti sudah tahu semuanya. Xander tidak perlu menjelaskan lagi."Hanya memberi peringatan pada Abraham Denovan," jawab Xander santai.Alex menghela napas berat. "Daddy tahu kau pasti sangat marah dengan apa yang dilakukan laki-laki itu pada Tania. Daddy juga sangat marah saat mengetahuinya," ucapnya. "Tapi kau jangan menjadi gegabah seperti ini."Alex sangat ingin menemui Abraham dan menghajarnya secara langsung ketika ia mengetahui ketika lelaki itu hampir mencelakai putrinya. Tapi Alex tahu ia tidak bisa gegabah."Pamanmu Robert, mengenal Abraham dengan baik. Dia pernah mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Lawannya adalah Abraham." Alex memulai ceritanya. "Abraham orang yang tida
"Apa saja yang kau lakukan di sana?"Tania merengut. "Aku tidak yakin kau tidak tahu. Para bodyguard mu pasti sudah memberitahumu kan?""Benar. Tapi aku ingin mendengarnya sendiri darimu." Dan mengetahui apa yang kau rasakan saat bertemu dengan ayah kandungmu. Lanjutnya dalam hati.Tania dan Angeline baru saja pulang dari acara amal. Meski bodyguard sudah memberitahukan semuanya. Tapi ia ingin Tania sendiri yang memberitahu."Di sana ramai sekali. Banyak orang yang memberikan amal," cerita Tania. Lalu wajahnya yang tampak biasa sebelumnya berubah cemberut. "Tapi karena ada wartawan juga, aku jadi tidak suka.""Kenapa?" Xander memberikan tanggapan. Ia mendongak menatap istrinya."Banyak orang yang jadi pamer tahu. Mereka berlomba memberikan uang paling banyak untuk amal. Lalu menceritakannya di depan kamera. Seharusnya kan tidak boleh seperti itu. Jika memang ikhlas ingin beramal ya beramal saja. Kenapa harus dipamer-pamerkan?"Xander tersenyum melihat bibir Tania yang maju ke depan ke
"Setelah sukses dengan menjadi anggota dewan di Spanyol, Bulgaria, dan Inggris, Abraham Denovan akhirnya kembali negaranya untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden pada pemilihan presiden yang akan datang. Nama lelaki kelahiran 1965 itu begitu cemerlang dalam dunia perpolitikan. Sikap tanggung jawab dalam menjalankan setiap tugasnya tidak bisa diragukan.""Namun, baru-baru ini berhembus kabar miring tentangnya. Belum dipastikan kebenarannya, tapi Abraham Denovan diduga suka bermain dengan perempuan malam, meski telah memiliki seorang istri. Dia juga memiliki seorang anak dari salah satu teman tidurnya itu. Anak itu–""Mommy."Angeline langsung mematikan layar televisi yang menampilkan berita itu ketika Tania memanggil. Wajahnya yang semula datar berganti menjadi senyuman saat Tania berjalan mendekat."Mommy." Tania duduk di sebelah Angeline. "Mommy sedang apa?"Angeline menggeleng. "Mommy melihat berita. Tapi karena tidak menarik, Mommy jadi malas melihatnya," jawabnya. "Di mana Lio