Demi apapun yang ia lihat saat ini membuatnya ingin menghilang secepatnya sekarang. Sekejap pandangannya berubah kabur dan membuat tubuh Charisa kehilangan tenaga. Gadis itu kemudian meletakkan tangan kanannya di tembok menahan beban tubuhnya, kalau tidak mungkin tubuhnya akan ambruk. Shock sekaligus tidak percaya jika orang itu bisa berada di sini. Bahkan menemui orangtuanya.“Cha, kau tidak apa-apa?” tanya orang itu segera menghampiri untuk membantunya berdiri tegak.“Kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Charisa begitu emosional. Pria itu adalah Genta Dirmansyah.“Kau pasti terkejut, pertama ayo duduk dulu. Kau baru pulang kerja. Pasti lelah!” lirih Genta dengan lembut.Charisa mendorong tubuh Genta agar sedikit menjauh darinya.“Ayah, Ibu, kenapa orang ini bisa ke sini?” tanya Charisa. Dia curiga kalau ayah ibunya itu masih berusaha mencari tahu ayah Darren.“Cha, ayo kita bicarakan ini dengan baik-baik. Orang tua mu juga sama terkejutnya.” Genta benar-benar membuat kepala Charisa
Jean pulang ke rumah pribadinya yang ada di Tokyo Jepang setelah mengantarkan Charisa pulang ke rumahnya. Sudah hampir enam bulan dia berada di sini khusus mengawasi hotel Orbite di Jepang. Bisnis hotel keluarganya itu memang bukan main-main. Hotel Orbite dibangun di beberapa negara. Selain di Jakarta dan Tokyo, hotel mereka juga berdiri di LA dan London. Jean Ronan adalah satu-satunya pewaris asli Hotel Orbite, dia adalah anak tunggal dari Rachel Bella dan Lim Ronan. Ibunya merupakan putri semata wayang Emiko Izumi dengan Harry Marwis– pemilik HM Grup yang merupakan perusahaan terbesar ke dua di Indonesia, sedangkan Lim Ronan adalah keturunan campuran Indonesia Belanda dan Jepang yang berprofesi sebagai pebisnis kayu. Ayahnya Jean merupakan pendiri Hotel Orbite pertama kali. Berkat modal dari kakeknya Harry, ayahnya bisa mencapai kesuksesan sampai saat ini. Ibunya Rachel juga membawa pengaruh besar atas suksesnya hotel Orbite. Sayangnya, ibunya Jean meninggal karena penyakit kanker
Orang tua Charisa langsung mengintrogasinya setelah Darren diantar pengasuhnya pergi ke sekolah.“Cha, apa benar laki-laki itu yang menghamilimu lima tahun lalu?” tanya Hardian – ayahnya Charisa.“Kalau aku bilang bukan, apa kalian percaya?” tanya Charisa dengan sikap yang cuek.“Cha, jika dia benar ayah Darren, mau sampai kapan kau menyembunyikan itu pada Darren?” tanya Hardian lagi.“Iya Cha, kasihan Darren,” tambah Monika— ibunya Charisa.“Dia benar bukan ayahnya Darren Bu. Itu cuma salah paham saja. Aku dan Genta tidak ada hubungan apa-apa waktu itu.”“Lantas kenapa dia terlihat sangat yakin?” Hardian menilik putrinya yang terlihat tidak peduli kalau ini adalah urusan yang serius.“Sudahlah Ayah! Yang terpenting Ayah percaya padaku! Ayah kandung Darren bukan Genta. Kalian berdua lihat sendiri kan, mereka tidak mirip!” Charisa meyakinkan kedua orangtuanya.“Syukurlah! Ibu khawatir kalau itu terjadi. Ibu tidak tahu harus bagaimana jika Genta harus menjadi menantu Ibu,” sungut Moni
Jean mengikuti langkah Charisa masuk ke dalam sebuah toko mainan yang terbesar di kota ini. Charisa langsung menghampiri seorang pegawai di meja pelayanan konsumen untuk menanyakan mainan pesanannya.“Nona, pesanan Anda sudah siap. Tunggu sebentar saya panggil orang yang menyimpannya,” jawab pegawai itu dengan sopan.“Cha, apa kau mau membeli mainan untuk putramu?” tanya Jean sambil berbisik akrab dengannya. Charisa sedikit menjauh karena merasa risih.“Kau masih di sini. Kau sudah mengantarkanku ‘kan?” Charisa tanpa acuh dengan kehadiran Jean di dekatnya.“Nona ini pesanannya!” Karyawan tadi menyerahkan sebuah kado berukuran besar.“Cha, apa hari ini Darren ulang tahun?” tanya Jean penasaran karena melihat bungkusan kado.“Bukan urusanmu.” Charisa masih saja ketus.“Pasti dia ulang tahun hari ini. Kalau begitu —” Jean tiba-tiba sibuk menghampiri rak display mainan di toko itu. Dia mengambil semua mainan untuk anak laki-laki.“Apa yang kau lakukan?” protes Charisa melihat Jean mengump
Tanggal 12 Maret adalah ulang tahun Darren. Jean duduk di atas kursi, matanya terpaku pada kalender di dinding, menghitung-hitung dengan pikiran yang mulai kabur. Ia mencoba menelusuri kembali jejak waktu, memutar kembali kenangan lima tahun lalu—ketika ia dan Charisa pertama kali bertemu, ketika segalanya masih terasa lebih sederhana dan bebas dari pertanyaan-pertanyaan besar.Jean mulai menghitung dengan cermat, mengikuti alur pikirannya tentang jarak antara ulang tahun Darren dan kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup mereka. Kalau dihitung dengan usia kehamilan, ada kemungkinan — hanya mungkin, Darren adalah anaknya. Hatinya berdetak lebih cepat, dan tubuhnya terasa hangat membayangkan jika itu nyata. Tapi kalau ucapan Charisa benar kalau itu adalah putranya Genta, yang ada hanya rasa putus asa.Ia berusaha menepis pemikiran itu, tetapi semakin ia menghitung, semakin jelas bayangan itu menghantuinya. Jika Charisa memang benar pernah terlibat dengan Genta dengan selang waktu ya
Selama ini Jean selalu tertekan dengan sikap keras ayahnya. Apapun yang diucapkan ayahnya seperti titah paduka raja yang harus dia taati. Mungkin karena dari kecil Jean dituntut harus sempurna sebagai calon pewaris perusahaan besar milik ayahnya. Sikap keras ayahnya itu tentu saja membuat hidup Jean tidak bisa bebas seperti anak orang lain biasanya.Seiring bertambahnya usia, Jean mulai merasakan beban yang semakin menekan. Setiap keputusan yang dia buat selalu dikontrol oleh ayahnya. Bahkan, jurusan kuliah yang ia ambil adalah hasil keputusan ayahnya, bukan pilihannya sendiri. Jean menyukai seni dan desain gambar, tetapi baginya, itu hanyalah impian yang terlalu jauh karena ayahnya selalu berkata, “Seni tidak akan memberimu kehidupan yang mapan. Fokuslah pada hal yang nyata!”Setiap pagi bagi Jean dimulai dengan rutinitas yang sama—sarapan bersama ayahnya di ruang makan besar yang terasa dingin meski cahaya matahari menembus jendela. Ayahnya selalu duduk di ujung meja, dengan wajah s
Charisa menutup teleponnya dengan sedikit kasar, lalu membiarkannya tergeletak di meja. Ia menatap kamar Darren yang sudah gelap, memastikan putranya telah tertidur lelap setelah pesta ulang tahun yang melelahkan.Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Jean masih terngiang di telinganya. Ia menghela napas panjang, merasa sedikit bersalah karena telah bersikap dingin. Jean hanya menelepon untuk menanyakan Darren dan memastikan semuanya baik-baik saja. Itu bukan tindakan buruk, bahkan bisa dianggap perhatian.Tapi Charisa tahu alasan di balik sikapnya. Ia perlu membuat Jean berpikir dua kali untuk mendekatinya—dan terutama Darren. Semakin Jean mendekat, semakin besar kemungkinan dia menyadari kebenaran yang selama ini Charisa sembunyikan.Charisa berdiri dan mendekati meja riasnya, menatap bayangannya sendiri di cermin. “Apa aku terlalu kasar?” gumamnya pelan. Tapi kemudian ia menggeleng.Jean tidak boleh tahu. Ia tidak boleh melihat kemiripan Darren dengannya—mata yang sama, d
POV GentaSetelah Charisa menolaknya mentah-mentah, Genta memilih untuk bersabar dan menunggu momen yang tepat lagi untuk mendekati Charisa. Mungkin ia sangat terlambat menemui Charisa setelah lima tahun berlalu. Sebenarnya Genta tidak bisa melepas Charisa begitu saja. Karena cintanya pada Charisa tidak berubah meski banyak waktu terlewat. Andai saja lima tahun lalu itu dia segera cepat mengambil langkah untuk mempertahankan hubungan yang baru saja akan ia bina dengan Charisa. Tetapi keadaanlah yang tidak berpihak padanya. Yaitu pertunangannya dengan Irene.Ketika Charisa bertanya perihal Irene, dia belum bisa menceritakan apapun pada gadis yang ia cintai itu. Bukan karena dia ingin menutupi atau menyembunyikannya dari Charisa. Waktu itu dia belum bisa bertindak tegas membatalkan pertunangan balas budi itu. Ya pertunangan balas budi – karena sebenarnya dia terpaksa menjalin pertunangan dengan Irene karena merasa harus membalas budi keluarga Irene yang sudah membantunya membiayai pen
Charisa berjalan cepat memasuki gedung kantornya, berusaha mengendalikan gejolak emosinya. Pipinya masih terasa panas akibat perkataan Jean barusan. Ia tidak menyangka pria itu akan mengungkapkan perasaannya sejujur itu—dan lebih dari itu, Jean ingin mengakui Darren sebagai anaknya.Setelah masuk ke dalam lift, Charisa menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia harus fokus. Tidak boleh membiarkan kata-kata Jean mengganggu pikirannya saat bekerja. Namun, begitu pintu lift tertutup dan ia melihat pantulan dirinya di cermin lift, ia sadar bahwa ekspresinya masih kacau. Sorot matanya yang biasanya tajam tampak bimbang, dan bibirnya sedikit bergetar."Kenapa aku begini…?" gumamnya pelan.Dia mencoba menenangkan diri sebaik mungkin sebelum sampai di lantai kantornya. Hari ini entah kenapa beberapa hari ini dia merasa ada yang berbeda dengan hatinya. Entah kenapa setiap berada di dekat Jean, seperti ada kupu-kupu di atas perutnya. Ada rasa tergelitik tetapi rasa itu bercampu
Suara klakson yang saling bersahutan memecah keheningan, menyadarkan keduanya dari suasana yang membekukan itu. Jean tertegun sejenak, menyadari kalau mobilnya menghalangi kendaraan lain yang ingin parkir.Dengan cepat, dia menyalakan mesin mobilnya. "Kita pergi dulu dari sini," katanya, mencoba menyembunyikan ketegangan dalam suaranya. Charisa mengangguk tanpa sepatah kata pun, menyeka wajahnya yang basah oleh air mata.Pagi itu, udara masih sejuk, dengan matahari yang baru saja mulai naik ke langit. Jalanan tidak terlalu ramai, hanya beberapa kendaraan yang sesekali melintas. Angin semilir yang masuk melalui kaca jendela yang sedikit terbuka membawa aroma segar dedaunan basah, seolah mencoba menenangkan hati mereka yang bergolak.Namun, ketenangan itu segera terganggu saat mobil Jean mulai melambat. Charisa yang semula tenggelam dalam pemandangan luar langsung menoleh dengan kening berkerut. "Kenapa mobilnya melambat?" tanyanya, ada kekhawatiran yang muncul di suaranya.Jean melirik
“Charisa, apa sekarang kau masih menganggapku orang asing?” tanya Jean dengan tatapan intens padanya.Charisa menggigit bibirnya. Ada sesuatu dalam tatapan Jean yang berbeda kali ini. Tatapan yang seolah menembus ke dalam dirinya, menuntut jawaban yang tak bisa ia berikan. Ia ingin berpaling, ingin menghindari perasaan yang mulai menguasai hatinya, tetapi tubuhnya seakan terpaku di tempat.“Apalagi aku ini ayah kandungnya Darren. Apa kau tidak merasa kalau kita memang sudah ditakdirkan —”“Hentikan! Jangan lanjutkan!” Charisa buru-buru menutup telinganya. Ia tak ingin mendengar kata-kata Jean yang berbahaya itu. Kata-kata yang bisa meruntuhkan semua tembok yang susah payah ia bangun selama ini.Jean tak menyerah. Ia menepikan mobil dan mematikan mesinnya. Dalam keheningan yang tiba-tiba menguasai ruang sempit di antara mereka, tarikan napas berat Jean terdengar jelas. Charisa menelan ludah, dadanya berdebar tak menentu. Ia takut jika Jean bisa membaca kegugupannya.“Aku akan tetap ber
Charisa sudah cukup kesal dengan kedatangan Jean yang tiba-tiba di pagi hari. Namun, yang lebih mengejutkannya adalah ketika Jean dengan santai berkata, "Hari ini aku akan mengantar Darren ke sekolah."Charisa, yang sedang menyuapkan nasi, sontak tersedak. Dengan buru-buru ia meneguk air putih lalu menatap Jean tajam."Tidak perlu," ucapnya cepat sebelum siapapun sempat merespons.Jean mengangkat sebelah alisnya, tetap tenang seperti biasa. "Kenapa? Arah hotelku sejalan dengan sekolah Darren. Kita bisa sekalian berangkat bersama. Darren, kau tidak keberatan, kan?"Darren, yang asyik menikmati sarapannya, berkedip bingung. "Hmm, aku senang kalau Tuan Jean mengantarku. Kemarin saat diantar Mama dan Tuan Jean, teman-teman di sekolahku memuji."Charisa menoleh ke arah Darren, suaranya lebih lembut. "Masaru yang akan mengantarmu, Nak. Kita tidak bisa tiba-tiba mengubah rencana."Jean tersenyum tipis, meletakkan sendoknya dengan tenang. "Aku hanya menawarkan tumpangan, Charisa. Tidak perlu
“Arrrrrrgggh!” teriak Charisa. Tubuhnya mencoba meronta melepaskan diri dari Jean. Tiba-tiba tubuhnya terjatuh ke lantai. Kedua mata Charisa terbuka, seketika sekujur tubuhnya terasa nyeri. Dia berada di lantai dekat dengan tempat tidurnya. Wanita itu melihat sekelilingnya dan mulai menyatukan ingatan dan kesadarannya.Barulah sadar kalau ternyata dia baru saja bermimpi kalau Jean datang ke kamarnya. Charisa terdiam beberapa saat mencoba menenangkan dirinya setelah terbangun dari mimpinya.“Dasar bodoh Charisa, kenapa kau sampai membawa Jean ke dalam mimpi segala!” rutuk Charisa memijat keningnya yang berdenyut.“Apa gara-gara ciuman itu?” pikir Charisa. Ingatannya tentang kejadian itu sampai terbawa ke alam mimpi. Ini semua gara-gara Jean. Charisa bangun dari lantai dan duduk di pinggir tempat tidurnya. Dia termenung menyesalkan semua yang sudah menganggu pikirannya.“Charisa!” “Charisa! Apa kau sudah bangun?” Terdengar suara ibunya memanggil.“Ya Bu!” jawab Charisa sembari bergega
Di dalam kamarnya Charisa terlihat uring-uringan, dia tidak berhenti bolak balik di depan tempat tidurnya. Pesan yang ia kirim untuk Jean dan terkirim pada Genta belum sempat dibaca Genta. Charisa dengan segera menarik pesan itu tadi sebelum Genta dapat membacanya. Dia hanya bisa berharap kalau Genta belum sempat melihat pesannya itu. Kalau dia sempat melihat, sepertinya masalah akan bertambah satu. Genta pasti merasa kalau dia sudah memberi jawaban secara tidak langsung. Ini akan menjadi sebuah kesalahpahaman yang berbuntut panjang.Charisa menyentuh kembali bibirnya yang tadi sempat dicium Jean. Hatinya kembali berdebar mengingat momen itu. “Jean apa yang sudah kau lakukan padaku?” gumam Charisa sambil mengusap bibirnya dengan penuh rasa frustasi.“Apa dia pikir aku terlalu mudah untuk dia sentuh,” lirih Charisa menyesal yang seharusnya tadi bisa untuk menghindar. Kenapa tubuhnya tidak bisa ia pertahankan.“Kau bodoh!” Charisa menyalahkan dirinya sendiri. “Kau sempat menikmatinya
Charisa terdiam dalam sentuhan bibir Jean, tubuhnya terasa seperti terbebani oleh banyak perasaan yang tak bisa dijelaskan. Ketika bibir Jean menyentuhnya, ada kehangatan yang mengalir melalui tubuhnya, seakan-akan dunia di sekeliling mereka menghilang dan hanya ada keduanya. Charisa bisa merasakan detak jantung Jean yang berpadu dengan detak jantungnya, dan untuk sesaat, ia merasa seolah-olah mereka hanya dua jiwa yang saling terikat dalam kesunyian malam.Jean memegangnya dengan lembut, seolah-olah dia takut jika dia melepasnya, Charisa akan hilang begitu saja. Namun ketika kesadaran dan logikanya kembali, Charisa segera melepaskan dirinya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, namun hatinya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Keputusan itu muncul begitu cepat, hampir tanpa pertimbangan. Perasaan yang tiba-tiba datang begitu kuat, namun juga penuh dengan kebingungan. Ia menatap Jean dengan mata yang sedikit teralihkan, bingung dengan perasaan yang mengaduk di d
Charisa mencoba mengatur napasnya, berusaha untuk tetap tenang meskipun tubuhnya terasa lemas. Kehadiran Genta dengan ekspresi penuh amarah jelas menunjukkan bahwa sesuatu yang besar telah terjadi.“Aku pikir kita perlu bicara,” ujar Genta dengan nada dingin, meletakkan amplop cokelat itu ke atas meja Charisa.Charisa menatap amplop itu dengan tatapan bingung dan penuh waspada. “Apa ini?” tanyanya, suaranya nyaris bergetar.“Buka dan lihat sendiri,” balas Genta tanpa mengalihkan tatapannya.Dengan tangan gemetar, Charisa meraih amplop itu dan menarik keluar isinya. Sepasang mata cokelatnya membelalak saat melihat kertas hasil tes DNA di tangannya. Ia membaca isi dokumen itu dengan cepat, lalu mendongak menatap Genta.“Darimana kau mendapatkan ini?” tanya Charisa. Dia merasa kalau itu adalah perbuatan Jean.“Tidak penting bagaimana aku bisa mendapatkan ini,” jawab Genta dengan tegas, tapi dengan nada yang lebih mengarah ke perasaan kecewa. “Yang penting adalah, kenapa kau tidak pernah
“Nona Charisa ada paket datang. Sudah saya letakkan di atas meja Anda!” Kinara memberi tahu Charisa saat wanita itu datang.“Baik, terima kasih.” Charisa berjalan menuju ruangannya. Hatinya masih berada di dimensi lain. Perkataan Jean tadi berhasil membuatnya tidak fokus sepanjang perjalanan ke kantor. Charisa menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu ruangannya. Di atas meja kerjanya, sebuah kotak cokelat sederhana dengan pita biru tergeletak rapi. Ia menatapnya beberapa detik, lalu mengambil cutter untuk membukanya.Kotak itu berisi sebuah sepatu dengan desain mewah dari brand terkenal. Bersama dengan sepatu itu, terdapat selembar kartu kecil dengan tulisan tangan.“Waktunya melangkah dengan lembaran baru bersama orang yang benar-benar peduli denganmu. Charisa aku ingin berada di sampingmu dan melindungimu dan juga Darren”Charisa merasakan denyutan di dadanya. Ia tahu tulisan itu milik Jean. Kata-kata itu membuat pikirannya berputar. Apa yang sebenarnya diinginkan Jean darin