Jika sudah seperti ini tidak ada yang bisa Irsya lakukan. Biarkan hal ini menjadi urusan kedua sahabat itu. Ia tak mau terlalu ikut campur atau lebih tepatnya Irsya diam dengan maksud ingin membantu Rara agar Ica bisa hadir, tapi ia tidak mau memaksa kehendak Ica. Apalagi jika alasannya karena pekerjaan. Irsya tidak mau gadis itu mengabaikan tanggung jawabnya hanya untuk hadir di acara orang tuanya.
“Pulang dulu, Ca, assalamualaikum,” ucap Irsya seorang karena Rara sudah berlari menuju mobil terlebih dahulu.“Hati-hati ya, Kak, waalaikumsalam,” balas Ica.Irsya hanya tersenyum membalas ucapan Ica dan bergegas masuk mobil. Kemudian Ica melambaikan tangan.Rumah bernomor 12A merupakan peninggalan satu-satunya dari kedua orang tua Ica. Walaupun rumah ini tidak berlalu besar dan hanya ada dua kamar tidur saja, tetapi rumah ini selalu membawa kebahagiaan untuk keluarganya dan kini hanya dirinya seorang. Namun, suasana rumah selalu mengantarkannya pada suasana dulu saat kedua orang tuanya masih ada. Terkadang Ica rindu pada masa-masa ia dan ayah bundanya menghabiskan waktu bersama menunggu panggilan indah dari Allah SWT pada seluruh hambanya untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Ica selalu menyakini bahwa Allah SWT selalu memberikan jalan yang terbaik untuknya dan sekarang pasti ayah bundanya sudah bahagia di akhirat.Semua keluarga dari kedua orang tuanya sudah menawarkan agar Ica ikut tinggal bersama mereka, tetapi tidak di kota ini. Kedua orang tua Ica memang tidak berasal dari kota ini namun, setelah pernikahannya mereka kembali ke sini karena tuntutan pekerjaan sang ayah. Itulah alasan Ica tidak mau meninggalkan rumah yang terdapat banyak kenangan indah di antara mereka.Walaupun ia tidak ikut tinggal bersama saudara. Namun, setiap kali ada kesempatan pasti Ica akan berkunjung ke sana untuk bersilaturahmi. Ica juga akrab dengan semua sepupunya baik dari keluarga ayah maupun bundanya.Setelah menunaikan sholat ashar, Ica langsung berlanjut membereskan rumah. Mulai dari menyapu, mengepel, membersihkan debu-debu, dan lain sebagainya. Ia sudah terbiasa dengan semua kegiatan ini sehingga ia selalu gesit dalam mengerjakannya.Setiap hari Ica selalu membiasakan untuk menyalakan murotal al-quran di rumahnya. Sembari ia menjahit atau melakukan hal apapun, ia juga bisa menambah hafalan al-qurannya. Menurutnya menghafal dengan metode mendengarkan lebih efektif untuk Ica terapkan."Alhamdulillah beres, saatnya lanjut jahitan,” kata Ica.Sambil menunggu waktu maghrib sekarang Ica tengah mengerjakan pesanan yang akan ia antar besok pagi sebelum menemui kakak tingkat tadi siang dan melakukan observasi.Mengingat pesanan yang harus dirinya selesaikan. Ica tak tahu butuh waktu berapa lama untuknya merampungkan semua jahitan ini. Inilah akibat jika ia tidak memanajemen waktu dengan baik. Itu mengapa manajemen waktu sangatlah penting. Walaupun terkadang tidak berjalan mulus, tapi setidaknya waktu yang kita punya lebih efektif."Ayok, Ca. Semangat!" serunya lantang. Sepertinya malam ini akan menjadi malam dengan lemburan terpanjang untuknya.Menjahit adalah hobi yang Ica jadikan sebagai ladang usaha saat ini atau mungkin saja untuk masa-masa yang akan datang. Selain Ica suka menjahit di sisi lain ia juga bisa menghasilkan uang, kenapa tidak? Itu menguntungkannya bukan?Sebelumnya bunda Ica memang seorang penjahit rumahan seperti dirinya sekarang dan Ica banyak belajar dari beliau. Saat dirinya memasuki umur 12 tahun, di sini lah momen pertama Ica mulai mempraktikan apa yang setiap hari ia lihat. Kemudian saat Ica duduk di bangku kelas 8 SMP dari situ lah ia mulai ketat mengasah bakatnya. Terkadang dirinya juga membantu menyelesaikan pekerjaan bundanya sampai akhir usia beliau.Awal Ica memutuskan untuk meneruskan usaha ini ia tidak membutuhkan modal banyak karena memang sudah tersedia lengkap. Dirinya hanya perlu membeli peralatan menjahit yang sudah habis, seperti benang, manik-manik, renda, dan lain sebagainya.Mengawali dengan belajar secara otodidak, Ica tak percaya bisa sampai pada titik sekarang ini. Ica sangat bersyukur karena sekarang usaha ini sangat bermanfaat untuknya. Ia selalu yakin jika hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha. Sebarapa besar usahamu sebesar itu pula hasil yang akan kamu dapatkan.“Ayo, Ca, selesaiin secepatnya karena besok gak boleh sampai telat,” ucapnya pada diri sendiri.Allahu akbarAllahu akbarSuara adzan sudah berkumandang, tak terasa kini sudah memasuki waktu maghrib. Ica merapikan peralatan menjahitnya dan berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelah itu ia melaksanakan sholat maghrib di musolah yang berada dalam rumahnya.Selesai khusyu berdoa kepada Sang Khalik. Ica kemudian beranjak menuju kamar untuk mencari ponsel miliknya, ia baru ingat kalo ponselnya belum ia charger. Segera Ica menghubungkannya dengan stop kontak. Jangan sampai kejadian seperti tadi siang terulang lagi karena besok dirinya akan ke suatu tempat yang belum ia ketahui di mana tempat itu berada dan seperti apa keadaan di sana. Ica mempercayakan sepenuhnya pada pria itu.Sebelum kembali menjahit, Ica memutuskan untuk membuat materi untuk besok agar lebih terstuktur dan tidak membuang banyak waktu nantinya.Tok tok tok“Assalamualaikum,” ucapan salam dari seseorang.Jika sampai mengetuk pintu rumah berarti itu orang yang dekat dengannya karena gerbang rumah selalu Ica tutup dan semua orang akan menggunakan bel rumah terlebih dahulu tidak berani masuk sampai pintu rumah. Segera Ica memakai rok panjang dan jilbabnya karena memang di rumah ia selalu memakai baju lengan panjang. Di rumah ini dirinya tinggal sendiri, itulah kenapa Ica memilih untuk berjaga-jaga semisal ada tamu. Jadi, ia tidak tergesa-gesa menyiapkan semuanya. Berbeda saat masih ada kedua orang tuanya di sini.Ica membuka pintu rumah dan melihat siapa yang berkunjung.“Waalaikumsalam,” balasnya.Saat orang di depannya berbalik. “Kak Irsya?” Matanya menelusuri ke sekitar rumah.Irsya yang menyadari tingkah Ica segera buka suara, “kakak ke sini sendirian, disuruh Rara buat jemput kamu.”Bukankah tadi dirinya sudah bilang tidak bisa ikut? Lalu kenapa Irsya tetap ke rumahnya?“Kan Ica ...”“Kakak tunggu di sini, jangan lupa pake gaun yang tadi Rara bawa,” kata Irsya memotong dan Ica hanya menurut, percuma saja dirinya menolak. Biarkan ini menjadi urusannya dengan Rara, di sini Irsya hanyalah korban.Hanya dengan polesan bedak tabur dan lipblamnya, Ica sudah terlihat sangat cantik memakai gaun warna putih dengan perpaduan biru tua dan pasmina oversize yang senada. Setelah dirasa sudah selesai dengan penampilannya, Ica menghampiri Irsya di bangku depan rumah.“Ayo, Kak,” katanya sembari mengunci pintu rumah.Irsya menutup ponselnya dan beralih menatap Ica. Irsya tertegur melihat penampilan sahabat adiknya itu.“Ayo.” Segera Irsya berjalan terlebih dahulu ke arah mobil membukakan pintu belakang untuk Ica. Mereka menjaga agar tidak menimbulkan fitnah karena mereka berdua bukan mahrom.Sepanjang perjalanan hanya ada suara mesin mobil yang mengiringinya. Ica dan Irsya hanya saling terdiam dengan pikirannya masing-masing. Mereka memang jarang bertemu dikarenakan Irsya yang kuliah di luar kota dan hanya pulang sebulan sekali itupun jika tidak ada tugas. Jadi, setiap kali Ica dan Irsya disatukan dalam satu situasi seperti sekarang pasti akan ada kecanggungan di antara mereka.“Ayo, Ca,” kata Irsya yang sudah membukakan pintu mobil. Setelah keluar dari mobil, gadis itu terdiam seperti memikirkan sesuatu.“Kak, tapi Ica malu,” ucapnya.Meskipun sering hadir di acara keluarga Rara, tapi selama ini hanya acara antar keluarga saja, tidak seperti sekarang. Yang sepertinya ini acara formal dengan rekan kerja orang tua Rara. “Malu kenapa? Kita kan keluarga,” ujar Irsya mencoba meyakinkan Ica, “udah ditungguin papah sama mama loh, Ca.”Baiklah. Tak ada lagi hal yang bisa ia gunakan untuk pergi dari acara ini. Ica berjalan beriringan dengan Irsya masuk ke dalam hotel menuju ruang acara berlangsung. MEWAH, satu kata yang mewakili tempat ini setelah Ica masuk ke dalam sana. Dekorasi dengan dominan warna gold yang terlihat elegan menghiasi ruangan ini. “Caa,” sapa Rara. Kemudian berdiri dari duduknya menyambut Ica.Banyak pasang mata yang tertuju padanya dan Irsya
Dari tempatnya duduk ia terus memperhatikan gerak-gerik seseorang yang sedari tadi tidak bisa ia alihkan dan selalu menuntun matanya untuk terus menatap pada gadis itu.“Abi, tau gak keluarga yang di meja sana?” tanyanya pada pria paru baya di depannya.“Itu keluarga Pak Herman dan Bu lita. Mereka yang menggelar acara ini.”Pria itu hanya mengangguk tidak berniat merespon lagi.“Ada apa?” tanya wanita yang dipanggilnya umi sedikit meledek.“Kakak suka sama salah satu gadis di sana, ya?” lanjut wanita itu lagi.Sedari tadi dirinya tidak memperhatikan perkataan uminya karena pandangannya terus memperhatikan interaksi dari keluarga Herman. Obrolan mereka terlihat sangat hangat menurutnya.Melihat gadis itu beranjak dari tempatnya segera ia akan menyusul namun, tangannya dicekal uminya terlebih dahulu.“Mau ke mana?”“Cari angin sebentar setelah itu balik lagi, Mi. Assalamualaikum.” Dirinya berjalan cepat mengejar Ica yang keluar ruangan.Ica terus berjalan keluar dari hotel berbintang it
Alarm sudah berkali-kali bunyi sejak tadi namun, belum juga dimatikan oleh pemiliknya. “Eemmm,” eram seseorang bergerak untuk mematikan alarm dan melihat jam dengan wajah yang masih berat. “Astaghfirullah udah subuh,” ucap Ica saat mengetahui jika dirinya telat bangun tahajjut. Sebegitu lelahkah ia semalam sampai tidur sepulas itu. Setelah sampai rumah, Ica kembali melanjutkan pekerjaannya dan baru selesai jam 1 dini hari. Ini pertama kalinya Ica mengerjakan pesanan sampai selarut ini, biasanya hanya sampai jam 22.00 WIB paling malam ia tidur. Karena Ica masih kuliah jadi ia harus bisa mengatur pola tidurnya agar tidak mengganggu waktu kuliah di pagi harinya, tetapi kali ini ia melanggar peraturan yang dirinya buat sendiri. Selesai membersihkan diri dan dilanjut menunaikan sholat shubuh. Sekarang Ica sedang menata pesanan yang akan ia antarkan. Alhamdulillah tadi malam dirinya bisa menyelesaikan semua pesanan yang tertunda sehingga hari ini Ica bisa fokus pada tugas yang diberikan o
Mereka mulai melakukan penelitian ke beberapa narasumber sesuai dengan rencana awal. Mereka bertanya, menyimak, dan mencatat informasi yang disampaikan setiap narasumber. Kali ini Alfa dan Ica bekerja sama dengan sangat baik. Tidak disangka proses wawancara selesai lebih cepat dari perkiraan mereka sebelumnya. Jadi saat ini mereka berdua hanya perlu membuat makalah saja. Alfa memang pintar dalam melilih tempat untuk bahan observasi. Dia memilih tempat yang di dalam lingkungan tersebut terdapat banyak para pengepul barang bekas, tapi berbeda rumah produksinya. Sehingga mereka dapat mencari banyak informasi di berbagai sumber tanpa harus berpindah ke tempat lain yang mana itu akan memakan banyak waktu. Tidak terasa jam sudah menunjukkan waktu dhuhur. “Sholat dulu ya, Kak,” kata Ica, “Ayo, Mai,” ajak Ica pada Humaira. Saat di perjalanan tadi gadis itu meminta Ica untuk memanggilnya Mai saja agar tidak terlalu panjang Mereka bertiga pun beranjak menuju masjid terdekat. Beberapa wakt
“Ca.” Ica menoleh saat seseorang memanggil namanya. Terlihat seorang pria tidak jauh dari mejanya lalu berjalan mendekat. “Kak Irsya,” lirihnya lalu berdiri dari duduknya. “Lagi nugas?” tanya Irsya. “Iya, Kak. Abis nugas terus mampir ke sini,” jawabnya. “Oh ya, duduk, Kak.” Ica keluar dari mejanya dan mempersilahkan Irsya untuk duduk di kursinya namun, pria itu justru mengambil kursi dari meja lain dan meletakkannya di sisi meja antara kursi Ica dan Alfa. “Kakak di sini aja.” Baru saja Ica akan duduk, seseorang menepuk bahunya. “Hai,” ucapnya dengan suara sedikit keras. Rara tersenyum kikuk mendapati ekspresi Ica yang kurang bersahabat karena mengagetkannya. Tanpa berucap apapun Ica bergeser duduk di kursi sampingnya, berhadapan dengan Humaira. Dan Rara duduk di kursi Ica sebelumya, berhadapan dengan Alfa dan Irsya di sisi meja antara mereka berdua. “Kenalin ini Kak Alfa dan ini adik Kak Alfa, Humaira,” Ica memperkenalkan mereka pada Irsya dan Rara. Mereka berempat pun berkena
“Sana, Mai, kamu aja yang masuk. Nih uangnya.” Alfa menyodorkan beberapa uang lembar kepada Humaira.Saat ini mereka bertiga berhenti terlebih dahulu di minimarket untuk membelikan pesanan umi Alfa yang tadi sudah mengingatkan anaknya itu agar tidak kelupaan.“Kan Kakak yang disuruh Umi,” tolak Humaira.“Tolong dong, Mai. Kakak ada keperluan nih,” bujuknya pada Humaira.“Biar aku aja yang ke masuk, Kak.” Ica menawarkan diri berhubung ada yang mau ia beli sekalian. “Kak Alfa sama Humaira tunggu di sini ya,” ucapnya lagi.Ica pun langsung turun dari mobil tanpa menunggu jawaban dari kakak beradik itu dan tidak menerima uang yang sudah Alfa sodorkan. Gadis itu terus berjalan masuk ke dalam minimarket. Setelah mengambil keranjang belanja dan akan mulai mengambil barang yang di beli tiba-tiba ia teringat sesuatu.“Ya Allah, tuh kan lupa nanya apa yang harus dibeli. Main turun-turun aja sih!” katanya dalam hati sambil mengetuk pelan jidatnya dengan jari telunjuk.Jika sudah begini tentunya
Beberapa hari ini hanya Ica gunakan untuk mengerjakan beberapa pesanan yang harus selesai sebelum dirinya disibukkan kembali dengan kegiatan kuliah. Rencananya besok Ica akan main ke rumah Rara sesuai janjinya kemarin lusa dan selama dua hari ini Rara selalu menyuruhnya untuk segera datang. Gadis itu tidak pernah kehabisan cara, contohnya Rara selalu memberikan berbagai macam penawaran agar Ica mau datang tanpa menunggu hari yang sudah ditetapkan, namun hal itu tidak berhasil. Jika ditanya, mengapa tidak Rara saja yang datang ke rumah Ica? Jawabannya tentu karena Ica sedang bekerja jadi ia tidak ingin mengganggunya namun, jika Rara menggoda dengan memberikan penawaran dan Ica datang berarti gadis itu memang sudah longgar.Sapuan angin malam yang menembus jaket coklatnya membuat malam ini terasa lebih dingin dari biasanya. Saat ini Ica sedang menuju minimarket untuk membeli beberapa kebutuhan. Sesampainya di minimarket Ica mulai berbelanja.“Udah cukup deh kayaknya.” Ica memeriksa kem
“Mau gak nikah sama kakak?” tanya Irsya.Apa Irsya baru saja melamarnya? Bagaimana hal ini bisa terjadi? Irsya sudah ia anggap sebagai Kakak sama seperti Rara sahabatnya. Ica bingung harus menjawab apa sekarang. Situasi seperti ini tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Emm ...” “Maaf kalo lancang,” kata Irsya lagi.“Ica gak tahu, Kak.” Ica masih tidak tahu harus menjawab apa.“Gak harus dijawab sekarang, tapi kakak minta tolong kalo ada hal yang mau ditanyakan, tanya aja ke kakak, Rara, atau mamah sama papah.”“Mereka tahu soal ini?” Tentu saja Ica menanyakan hal ini karena sebelumnya di antara mereka tidak ada yang memberi tahunya atau pun sekedar berbasa-basi ke arah sana. Ahh yang benar saja.Irsya menjawab, “tahu, kakak minta pendapat mereka terlebih dahulu sebelum kakak bicara sama kamu.”Perkenalan Irsya dan Ica sudah lama sama seperti ia mengenal Rara. Namun, intensitas kedu
Beberapa hari ini hanya Ica gunakan untuk mengerjakan beberapa pesanan yang harus selesai sebelum dirinya disibukkan kembali dengan kegiatan kuliah. Rencananya besok Ica akan main ke rumah Rara sesuai janjinya kemarin lusa dan selama dua hari ini Rara selalu menyuruhnya untuk segera datang. Gadis itu tidak pernah kehabisan cara, contohnya Rara selalu memberikan berbagai macam penawaran agar Ica mau datang tanpa menunggu hari yang sudah ditetapkan, namun hal itu tidak berhasil. Jika ditanya, mengapa tidak Rara saja yang datang ke rumah Ica? Jawabannya tentu karena Ica sedang bekerja jadi ia tidak ingin mengganggunya namun, jika Rara menggoda dengan memberikan penawaran dan Ica datang berarti gadis itu memang sudah longgar.Sapuan angin malam yang menembus jaket coklatnya membuat malam ini terasa lebih dingin dari biasanya. Saat ini Ica sedang menuju minimarket untuk membeli beberapa kebutuhan. Sesampainya di minimarket Ica mulai berbelanja.“Udah cukup deh kayaknya.” Ica memeriksa kem
“Sana, Mai, kamu aja yang masuk. Nih uangnya.” Alfa menyodorkan beberapa uang lembar kepada Humaira.Saat ini mereka bertiga berhenti terlebih dahulu di minimarket untuk membelikan pesanan umi Alfa yang tadi sudah mengingatkan anaknya itu agar tidak kelupaan.“Kan Kakak yang disuruh Umi,” tolak Humaira.“Tolong dong, Mai. Kakak ada keperluan nih,” bujuknya pada Humaira.“Biar aku aja yang ke masuk, Kak.” Ica menawarkan diri berhubung ada yang mau ia beli sekalian. “Kak Alfa sama Humaira tunggu di sini ya,” ucapnya lagi.Ica pun langsung turun dari mobil tanpa menunggu jawaban dari kakak beradik itu dan tidak menerima uang yang sudah Alfa sodorkan. Gadis itu terus berjalan masuk ke dalam minimarket. Setelah mengambil keranjang belanja dan akan mulai mengambil barang yang di beli tiba-tiba ia teringat sesuatu.“Ya Allah, tuh kan lupa nanya apa yang harus dibeli. Main turun-turun aja sih!” katanya dalam hati sambil mengetuk pelan jidatnya dengan jari telunjuk.Jika sudah begini tentunya
“Ca.” Ica menoleh saat seseorang memanggil namanya. Terlihat seorang pria tidak jauh dari mejanya lalu berjalan mendekat. “Kak Irsya,” lirihnya lalu berdiri dari duduknya. “Lagi nugas?” tanya Irsya. “Iya, Kak. Abis nugas terus mampir ke sini,” jawabnya. “Oh ya, duduk, Kak.” Ica keluar dari mejanya dan mempersilahkan Irsya untuk duduk di kursinya namun, pria itu justru mengambil kursi dari meja lain dan meletakkannya di sisi meja antara kursi Ica dan Alfa. “Kakak di sini aja.” Baru saja Ica akan duduk, seseorang menepuk bahunya. “Hai,” ucapnya dengan suara sedikit keras. Rara tersenyum kikuk mendapati ekspresi Ica yang kurang bersahabat karena mengagetkannya. Tanpa berucap apapun Ica bergeser duduk di kursi sampingnya, berhadapan dengan Humaira. Dan Rara duduk di kursi Ica sebelumya, berhadapan dengan Alfa dan Irsya di sisi meja antara mereka berdua. “Kenalin ini Kak Alfa dan ini adik Kak Alfa, Humaira,” Ica memperkenalkan mereka pada Irsya dan Rara. Mereka berempat pun berkena
Mereka mulai melakukan penelitian ke beberapa narasumber sesuai dengan rencana awal. Mereka bertanya, menyimak, dan mencatat informasi yang disampaikan setiap narasumber. Kali ini Alfa dan Ica bekerja sama dengan sangat baik. Tidak disangka proses wawancara selesai lebih cepat dari perkiraan mereka sebelumnya. Jadi saat ini mereka berdua hanya perlu membuat makalah saja. Alfa memang pintar dalam melilih tempat untuk bahan observasi. Dia memilih tempat yang di dalam lingkungan tersebut terdapat banyak para pengepul barang bekas, tapi berbeda rumah produksinya. Sehingga mereka dapat mencari banyak informasi di berbagai sumber tanpa harus berpindah ke tempat lain yang mana itu akan memakan banyak waktu. Tidak terasa jam sudah menunjukkan waktu dhuhur. “Sholat dulu ya, Kak,” kata Ica, “Ayo, Mai,” ajak Ica pada Humaira. Saat di perjalanan tadi gadis itu meminta Ica untuk memanggilnya Mai saja agar tidak terlalu panjang Mereka bertiga pun beranjak menuju masjid terdekat. Beberapa wakt
Alarm sudah berkali-kali bunyi sejak tadi namun, belum juga dimatikan oleh pemiliknya. “Eemmm,” eram seseorang bergerak untuk mematikan alarm dan melihat jam dengan wajah yang masih berat. “Astaghfirullah udah subuh,” ucap Ica saat mengetahui jika dirinya telat bangun tahajjut. Sebegitu lelahkah ia semalam sampai tidur sepulas itu. Setelah sampai rumah, Ica kembali melanjutkan pekerjaannya dan baru selesai jam 1 dini hari. Ini pertama kalinya Ica mengerjakan pesanan sampai selarut ini, biasanya hanya sampai jam 22.00 WIB paling malam ia tidur. Karena Ica masih kuliah jadi ia harus bisa mengatur pola tidurnya agar tidak mengganggu waktu kuliah di pagi harinya, tetapi kali ini ia melanggar peraturan yang dirinya buat sendiri. Selesai membersihkan diri dan dilanjut menunaikan sholat shubuh. Sekarang Ica sedang menata pesanan yang akan ia antarkan. Alhamdulillah tadi malam dirinya bisa menyelesaikan semua pesanan yang tertunda sehingga hari ini Ica bisa fokus pada tugas yang diberikan o
Dari tempatnya duduk ia terus memperhatikan gerak-gerik seseorang yang sedari tadi tidak bisa ia alihkan dan selalu menuntun matanya untuk terus menatap pada gadis itu.“Abi, tau gak keluarga yang di meja sana?” tanyanya pada pria paru baya di depannya.“Itu keluarga Pak Herman dan Bu lita. Mereka yang menggelar acara ini.”Pria itu hanya mengangguk tidak berniat merespon lagi.“Ada apa?” tanya wanita yang dipanggilnya umi sedikit meledek.“Kakak suka sama salah satu gadis di sana, ya?” lanjut wanita itu lagi.Sedari tadi dirinya tidak memperhatikan perkataan uminya karena pandangannya terus memperhatikan interaksi dari keluarga Herman. Obrolan mereka terlihat sangat hangat menurutnya.Melihat gadis itu beranjak dari tempatnya segera ia akan menyusul namun, tangannya dicekal uminya terlebih dahulu.“Mau ke mana?”“Cari angin sebentar setelah itu balik lagi, Mi. Assalamualaikum.” Dirinya berjalan cepat mengejar Ica yang keluar ruangan.Ica terus berjalan keluar dari hotel berbintang it
“Ayo, Ca,” kata Irsya yang sudah membukakan pintu mobil. Setelah keluar dari mobil, gadis itu terdiam seperti memikirkan sesuatu.“Kak, tapi Ica malu,” ucapnya.Meskipun sering hadir di acara keluarga Rara, tapi selama ini hanya acara antar keluarga saja, tidak seperti sekarang. Yang sepertinya ini acara formal dengan rekan kerja orang tua Rara. “Malu kenapa? Kita kan keluarga,” ujar Irsya mencoba meyakinkan Ica, “udah ditungguin papah sama mama loh, Ca.”Baiklah. Tak ada lagi hal yang bisa ia gunakan untuk pergi dari acara ini. Ica berjalan beriringan dengan Irsya masuk ke dalam hotel menuju ruang acara berlangsung. MEWAH, satu kata yang mewakili tempat ini setelah Ica masuk ke dalam sana. Dekorasi dengan dominan warna gold yang terlihat elegan menghiasi ruangan ini. “Caa,” sapa Rara. Kemudian berdiri dari duduknya menyambut Ica.Banyak pasang mata yang tertuju padanya dan Irsya
Jika sudah seperti ini tidak ada yang bisa Irsya lakukan. Biarkan hal ini menjadi urusan kedua sahabat itu. Ia tak mau terlalu ikut campur atau lebih tepatnya Irsya diam dengan maksud ingin membantu Rara agar Ica bisa hadir, tapi ia tidak mau memaksa kehendak Ica. Apalagi jika alasannya karena pekerjaan. Irsya tidak mau gadis itu mengabaikan tanggung jawabnya hanya untuk hadir di acara orang tuanya.“Pulang dulu, Ca, assalamualaikum,” ucap Irsya seorang karena Rara sudah berlari menuju mobil terlebih dahulu.“Hati-hati ya, Kak, waalaikumsalam,” balas Ica.Irsya hanya tersenyum membalas ucapan Ica dan bergegas masuk mobil. Kemudian Ica melambaikan tangan.Rumah bernomor 12A merupakan peninggalan satu-satunya dari kedua orang tua Ica. Walaupun rumah ini tidak berlalu besar dan hanya ada dua kamar tidur saja, tetapi rumah ini selalu membawa kebahagiaan untuk keluarganya dan kini hanya dirinya seorang. Namun, suasana rumah selalu mengantarkann
“Ini biar gue aja yang bawa sekalian mau dipelajarin, sekali lagi gue minta maaf,” jelas pria itu lagi tak enak hati pada Ica.“Aku juga minta maaf, assalamualaikum,” kata Ica lalu berjalan meninggalkan Perpustakaan.Yang dibalas, “waalaikumsalam,” oleh pria itu.Ica terus berjalan menjauhi Perpustakaan menuju depan gedung fakultas untuk menunggu angkutan umum di halte depan. Selama Ica berjalan ia terus mengucap istighfar atas kecerobohan yang hampir saja berakibat juga pada orang tuanya. Ica sudah berjanji bahwa ia akan selalu menjaga semua yang telah Allah SWT kasih padanya karena semua itu hanya titipan dan akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat maka ia harus bisa menjaganya dari semua laranganNya. Walaupun Ica kadang harus bekerja sama dengan lawan jenis namun, ia mampu menjaga batasan saat harus dihadapkan dengan yang bukan mahromnya. Awal-awal pasti akan ada kecanggungan, tapi Ica mampu mengatasi masalah tersebut.