Dan dibalasnya dengan menunjukkan jari yang membentuk isyarat OK dan tidak lupa dengan muka jailnya.
“Ekhem.”Mendengar deheman dari Irsya. Ica tersenyum kikuk menampilkan deretan gigi putihnya menanggapi tatapan Irsya yang pasti sudah mendengar obrolan mereka. Setelahnya ia menyingkir dari pintu mobil lalu Irsya menutupnya.“Di rumah aja kan?” tanyanya pada Ica.“Iya, Kak, ngejar deatline.”Irsya mengangguk paham dan berkata, “kakak sama Rara pergi dulu, assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”Lambaian tangan Ica mengiringi hilangnya mobil hitam itu dari pandangannya."Pokoknya tuh orang harus ketemu hari ini juga, inget, Ca, jahitan masih numpuk," batin Ica."Semangat, Ca,” ucapnya menyemangati diri sendiri dengan terus berjalan mencari pria yang ditugaskan oleh Pak Habib bersamanya.Sudah cukup lama mencari, tetapi masih saja tidak membuahkan hasil. Dan karena sudah masuk waktu dhuhur akhirnya ia memutuskan untuk melaksanakan sholat dhuhur terlebih dahulu di masjid kampus setelah itu baru lanjut lagi untuk mencarinya.Selesainya menunaikan kewajiban, Ica memilih untuk duduk di teras masjid kampus sembari mempelajari isi materi dari tumpukkan kertas yang akan ia garap nantinya."Lumayan juga nih tenaga kalo harus ngerjain sendirian,” keluhnya dengan menutup muka."Eh, lo,” suara seseorang.Ica yang masih menutup muka dengan kedua tangannya sedikit terganggu karena menurutnya suaranya sangat dekat, tapi ia tetap tidak memperdulikan. Pikirnya mungkin tengah memanggil orang lain sebab tidak menyebut namanya. Bisa saja ditujukan pada orang lain, di sini banyak orang tidak hanya dirinya saja. Pikirnya.Sedikit kesal seseorang kembali berkata, “singkirin tangan lo dan buka mata.”Sedikit mengintip dari celah-celah jarinya sebelum Ica menyingkirkan tangannya dari tempat semula. Pria yang sedari tadi ia cari-cari ke sana kemari hingga membuatnya kewalahan, tapi apa sekarang? Dia mendatanginya sendiri? Benar-benar menakjubkan. Ica menggeleng-gelengkan kepala dan memasang ekspresi takjub. Haruskah Ica kebingungan mencarinya terlebih dahulu baru dia akan datang dengan suka rela? Huh menyebalkan.“Iya, Kak, ada apa?” tanya Ica pada pria di depannya dengan nada ramah seolah tidak terjadi apa-apa.“Ayo ikut gue,” ujar pria itu santai.“Ke mana?”“Udah ikut aja.”“Udah di sini aja, Kak,” kekeh Ica.Pria itu berjalan meninggalkan Ica dengan berkata, “cepat ikut atau tugas gak akan selesai sama sekali.”Ica yang dibuat penik karena ucapan pria tersebut akhirnya merapikan semua bawaannya dan segera menyusul. Tidak mungkin kan jika tugas ini tidak diselesaikan secepatnya, sedangkan liburan semester akan berakhir dalam hitungan hari lagi.Masih setia membuntuti pria di depannya yang tidak tahu akan membawanya ke mana. Ica terus berdzikir berlindung kepada Allah SWT.“Aduh,” keluh Ica lalu memicingkan mata dengan mengerutkan dahi sejenak, “kenapa ceroboh banget si, Ca,” gerutunya dalam hati.Bisa-bisanya ia menabrak jejeran kursi lipat yang bersandar pada tembok.“Kita bahas tugas dari Pak Habib di perpustakaan aja, ya,” katanya pada Ica.Untung saja pria itu tidak memakinya karena kecerobohan yang ia lakukan. Ica hanya menjawab dengan menganggukkan kepala tanda ia setuju.Seperti biasanya perpustakaan selalu padat pengunjung dan sekarang saja walaupun masih masa liburan semester, tapi hampir semua kursi sudah berpenghuni. Perpustakaan adalah tempat yang sangat Ica sukai, di sini walaupun banyak orang, tapi kehadirannya tidak mengganggu sama sekali. Semua orang yang berada di sini sudah mengerti situasi dan peraturan yang berlaku sehingga mereka tidak akan berbicara hal yang tidak penting untuk menghargai pengunjung lain yang sedang fokus belajar.“Kak, di sana, ya,” kata Ica menunjuk pada meja kosong samping jendela yang menghadap langsung ke arah taman dan ini tempat yang biasa ia tempati setiap kali berkunjung ke perpustakaan.Bagian perpustakaan yang dekat dengan taman tidak dibatasi oleh tembok. Namun, hanya dibatasi dengan kaca sehingga pengunjung bisa menikmati nuansa segar dari semua tumbuhan yang ada di taman tersebut.Pria itu hanya menurut dan mereka pun duduk berhadapan. Mulai membuka lembaran putih yang dibawa oleh masing-masing.Ica membuka dengan pertanyaan, “Kak, ini kita mau bikin materi tentang apa?”“Gimana kalo kita ngadain observasi pada pengepul barang bekas,” jelas pria dihadapannya.“Alasannya?”Mendengar pertanyaan dari Ica, pria itu menjawab dengan serius, “banyak orang yang masih menganggap remeh sampah, dengan ini gue berharap kita bisa mendapatkan hal yang bermanfaat untuk banyak orang.”Ica masih setia mendengarkan penuturan pria tersebut.“Selain kita bisa memberikan edukasi tentang bahaya sampah, kita juga bisa menjelaskan manfaat yang bisa kita dapat dari sampah. Masih banyak yang beranggapan jika barang bekas tidak ada nilainya lagi, sehingga mereka langsung membuangnya begitu saja.”Benar sekali! Ica mengangguk setuju.“Padahal masih banyak manfaat yang bisa kita dapatkan dari barang bekas tersebut. Nanti gua akan cari tempat yang bisa mencakup beberapa aspek tadi agar kita bisa mendapat pernyataan dari beberapa sudut pandang,” tuturnya tegas.“Masalahnya liburan tinggal 4 hari lagi dan aku juga harus ngerjain yang lain, Kak,” kata Ica.Seketika pria itu bermonolog, “semakin cepat kita jalan semakin cepat kita sampai.”“Iya, tapi kalo observasi seperti itu kita harus datengin tempat lain juga buat perbandingan jadi hasilnya gak cuma dari satu narasumber dan itu butuh waktu beberapa hari,” jelas Ica.“Ya udah biar gue aja yang ke lapangan setelah itu kita ketemu buat bikin laporan akhirnya. Gimana?” tawarnya pada Ica.“Terus ngapain ada aku kalo ujung-ujungnya cuma Kakak yang turun tangan? Aku juga ditugasin Pak Habib loh, Kak, jangan lupain itu. Jangan buat aku gak amanah deh,” cerca Ica terus terang. Padahal kan ini tugas mereka berdua bukan hanya dia seorang.Pria itu frustasi melihat kelakuan gadis di depannya. Siapa juga yang ingin membuat gadis itu tidak amanah? Dia kan hanya ingin meringankan saja dan tugas bisa terselesaikan tanpa membuang-buang waktu.“Dasar gadis aneh, baru liat gue ada orang yang gak dikasih tugas malah marah-marah bukannya seneng terbebas dari tugas.” Ia berucap dalam hati.“Terus lo maunya gimana?” tanyanya lagi pasrah.“Ini kan udah mau ashar, nanggung juga kalo kita lanjutin buat tugas. Besok jam 8 ketemu di sini aja ya, Kak, dan usahain harus selesai besok juga,” ujar Ica sembari membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas meja.“Oke, diusahain,” ucapnya dengan mengambil kertas yang akan Ica ambil juga.Sontak itu membuat Ica terkejut dibuatnya, jika saja tangannya terlambat berhenti maka Ica akan bersentuhan dengan seseorang yang bukan mahromnya dan itu adalah hal yang paling Ica jaga. Setiap sentuhan yang Ica lakukan pada yang bukan mahrom di dunia maka akan berdampak pada kedua orang tuanya kelak di akhirat dan Ica tak mau hal itu terjadi.Spontan ia mengucap istighfar. “Astagfirullah.”“Maaf ... maaf, gue cuma mau ambil ini.” Pria itu mengangkat beberapa kertas yang tidak jadi Ica ambil.“Ini biar gue aja yang bawa sekalian mau dipelajarin, sekali lagi gue minta maaf,” jelas pria itu lagi tak enak hati pada Ica.“Aku juga minta maaf, assalamualaikum,” kata Ica lalu berjalan meninggalkan Perpustakaan.Yang dibalas, “waalaikumsalam,” oleh pria itu.Ica terus berjalan menjauhi Perpustakaan menuju depan gedung fakultas untuk menunggu angkutan umum di halte depan. Selama Ica berjalan ia terus mengucap istighfar atas kecerobohan yang hampir saja berakibat juga pada orang tuanya. Ica sudah berjanji bahwa ia akan selalu menjaga semua yang telah Allah SWT kasih padanya karena semua itu hanya titipan dan akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat maka ia harus bisa menjaganya dari semua laranganNya. Walaupun Ica kadang harus bekerja sama dengan lawan jenis namun, ia mampu menjaga batasan saat harus dihadapkan dengan yang bukan mahromnya. Awal-awal pasti akan ada kecanggungan, tapi Ica mampu mengatasi masalah tersebut.
Jika sudah seperti ini tidak ada yang bisa Irsya lakukan. Biarkan hal ini menjadi urusan kedua sahabat itu. Ia tak mau terlalu ikut campur atau lebih tepatnya Irsya diam dengan maksud ingin membantu Rara agar Ica bisa hadir, tapi ia tidak mau memaksa kehendak Ica. Apalagi jika alasannya karena pekerjaan. Irsya tidak mau gadis itu mengabaikan tanggung jawabnya hanya untuk hadir di acara orang tuanya.“Pulang dulu, Ca, assalamualaikum,” ucap Irsya seorang karena Rara sudah berlari menuju mobil terlebih dahulu.“Hati-hati ya, Kak, waalaikumsalam,” balas Ica.Irsya hanya tersenyum membalas ucapan Ica dan bergegas masuk mobil. Kemudian Ica melambaikan tangan.Rumah bernomor 12A merupakan peninggalan satu-satunya dari kedua orang tua Ica. Walaupun rumah ini tidak berlalu besar dan hanya ada dua kamar tidur saja, tetapi rumah ini selalu membawa kebahagiaan untuk keluarganya dan kini hanya dirinya seorang. Namun, suasana rumah selalu mengantarkann
“Ayo, Ca,” kata Irsya yang sudah membukakan pintu mobil. Setelah keluar dari mobil, gadis itu terdiam seperti memikirkan sesuatu.“Kak, tapi Ica malu,” ucapnya.Meskipun sering hadir di acara keluarga Rara, tapi selama ini hanya acara antar keluarga saja, tidak seperti sekarang. Yang sepertinya ini acara formal dengan rekan kerja orang tua Rara. “Malu kenapa? Kita kan keluarga,” ujar Irsya mencoba meyakinkan Ica, “udah ditungguin papah sama mama loh, Ca.”Baiklah. Tak ada lagi hal yang bisa ia gunakan untuk pergi dari acara ini. Ica berjalan beriringan dengan Irsya masuk ke dalam hotel menuju ruang acara berlangsung. MEWAH, satu kata yang mewakili tempat ini setelah Ica masuk ke dalam sana. Dekorasi dengan dominan warna gold yang terlihat elegan menghiasi ruangan ini. “Caa,” sapa Rara. Kemudian berdiri dari duduknya menyambut Ica.Banyak pasang mata yang tertuju padanya dan Irsya
Dari tempatnya duduk ia terus memperhatikan gerak-gerik seseorang yang sedari tadi tidak bisa ia alihkan dan selalu menuntun matanya untuk terus menatap pada gadis itu.“Abi, tau gak keluarga yang di meja sana?” tanyanya pada pria paru baya di depannya.“Itu keluarga Pak Herman dan Bu lita. Mereka yang menggelar acara ini.”Pria itu hanya mengangguk tidak berniat merespon lagi.“Ada apa?” tanya wanita yang dipanggilnya umi sedikit meledek.“Kakak suka sama salah satu gadis di sana, ya?” lanjut wanita itu lagi.Sedari tadi dirinya tidak memperhatikan perkataan uminya karena pandangannya terus memperhatikan interaksi dari keluarga Herman. Obrolan mereka terlihat sangat hangat menurutnya.Melihat gadis itu beranjak dari tempatnya segera ia akan menyusul namun, tangannya dicekal uminya terlebih dahulu.“Mau ke mana?”“Cari angin sebentar setelah itu balik lagi, Mi. Assalamualaikum.” Dirinya berjalan cepat mengejar Ica yang keluar ruangan.Ica terus berjalan keluar dari hotel berbintang it
Alarm sudah berkali-kali bunyi sejak tadi namun, belum juga dimatikan oleh pemiliknya. “Eemmm,” eram seseorang bergerak untuk mematikan alarm dan melihat jam dengan wajah yang masih berat. “Astaghfirullah udah subuh,” ucap Ica saat mengetahui jika dirinya telat bangun tahajjut. Sebegitu lelahkah ia semalam sampai tidur sepulas itu. Setelah sampai rumah, Ica kembali melanjutkan pekerjaannya dan baru selesai jam 1 dini hari. Ini pertama kalinya Ica mengerjakan pesanan sampai selarut ini, biasanya hanya sampai jam 22.00 WIB paling malam ia tidur. Karena Ica masih kuliah jadi ia harus bisa mengatur pola tidurnya agar tidak mengganggu waktu kuliah di pagi harinya, tetapi kali ini ia melanggar peraturan yang dirinya buat sendiri. Selesai membersihkan diri dan dilanjut menunaikan sholat shubuh. Sekarang Ica sedang menata pesanan yang akan ia antarkan. Alhamdulillah tadi malam dirinya bisa menyelesaikan semua pesanan yang tertunda sehingga hari ini Ica bisa fokus pada tugas yang diberikan o
Mereka mulai melakukan penelitian ke beberapa narasumber sesuai dengan rencana awal. Mereka bertanya, menyimak, dan mencatat informasi yang disampaikan setiap narasumber. Kali ini Alfa dan Ica bekerja sama dengan sangat baik. Tidak disangka proses wawancara selesai lebih cepat dari perkiraan mereka sebelumnya. Jadi saat ini mereka berdua hanya perlu membuat makalah saja. Alfa memang pintar dalam melilih tempat untuk bahan observasi. Dia memilih tempat yang di dalam lingkungan tersebut terdapat banyak para pengepul barang bekas, tapi berbeda rumah produksinya. Sehingga mereka dapat mencari banyak informasi di berbagai sumber tanpa harus berpindah ke tempat lain yang mana itu akan memakan banyak waktu. Tidak terasa jam sudah menunjukkan waktu dhuhur. “Sholat dulu ya, Kak,” kata Ica, “Ayo, Mai,” ajak Ica pada Humaira. Saat di perjalanan tadi gadis itu meminta Ica untuk memanggilnya Mai saja agar tidak terlalu panjang Mereka bertiga pun beranjak menuju masjid terdekat. Beberapa wakt
“Ca.” Ica menoleh saat seseorang memanggil namanya. Terlihat seorang pria tidak jauh dari mejanya lalu berjalan mendekat. “Kak Irsya,” lirihnya lalu berdiri dari duduknya. “Lagi nugas?” tanya Irsya. “Iya, Kak. Abis nugas terus mampir ke sini,” jawabnya. “Oh ya, duduk, Kak.” Ica keluar dari mejanya dan mempersilahkan Irsya untuk duduk di kursinya namun, pria itu justru mengambil kursi dari meja lain dan meletakkannya di sisi meja antara kursi Ica dan Alfa. “Kakak di sini aja.” Baru saja Ica akan duduk, seseorang menepuk bahunya. “Hai,” ucapnya dengan suara sedikit keras. Rara tersenyum kikuk mendapati ekspresi Ica yang kurang bersahabat karena mengagetkannya. Tanpa berucap apapun Ica bergeser duduk di kursi sampingnya, berhadapan dengan Humaira. Dan Rara duduk di kursi Ica sebelumya, berhadapan dengan Alfa dan Irsya di sisi meja antara mereka berdua. “Kenalin ini Kak Alfa dan ini adik Kak Alfa, Humaira,” Ica memperkenalkan mereka pada Irsya dan Rara. Mereka berempat pun berkena
“Sana, Mai, kamu aja yang masuk. Nih uangnya.” Alfa menyodorkan beberapa uang lembar kepada Humaira.Saat ini mereka bertiga berhenti terlebih dahulu di minimarket untuk membelikan pesanan umi Alfa yang tadi sudah mengingatkan anaknya itu agar tidak kelupaan.“Kan Kakak yang disuruh Umi,” tolak Humaira.“Tolong dong, Mai. Kakak ada keperluan nih,” bujuknya pada Humaira.“Biar aku aja yang ke masuk, Kak.” Ica menawarkan diri berhubung ada yang mau ia beli sekalian. “Kak Alfa sama Humaira tunggu di sini ya,” ucapnya lagi.Ica pun langsung turun dari mobil tanpa menunggu jawaban dari kakak beradik itu dan tidak menerima uang yang sudah Alfa sodorkan. Gadis itu terus berjalan masuk ke dalam minimarket. Setelah mengambil keranjang belanja dan akan mulai mengambil barang yang di beli tiba-tiba ia teringat sesuatu.“Ya Allah, tuh kan lupa nanya apa yang harus dibeli. Main turun-turun aja sih!” katanya dalam hati sambil mengetuk pelan jidatnya dengan jari telunjuk.Jika sudah begini tentunya
Beberapa hari ini hanya Ica gunakan untuk mengerjakan beberapa pesanan yang harus selesai sebelum dirinya disibukkan kembali dengan kegiatan kuliah. Rencananya besok Ica akan main ke rumah Rara sesuai janjinya kemarin lusa dan selama dua hari ini Rara selalu menyuruhnya untuk segera datang. Gadis itu tidak pernah kehabisan cara, contohnya Rara selalu memberikan berbagai macam penawaran agar Ica mau datang tanpa menunggu hari yang sudah ditetapkan, namun hal itu tidak berhasil. Jika ditanya, mengapa tidak Rara saja yang datang ke rumah Ica? Jawabannya tentu karena Ica sedang bekerja jadi ia tidak ingin mengganggunya namun, jika Rara menggoda dengan memberikan penawaran dan Ica datang berarti gadis itu memang sudah longgar.Sapuan angin malam yang menembus jaket coklatnya membuat malam ini terasa lebih dingin dari biasanya. Saat ini Ica sedang menuju minimarket untuk membeli beberapa kebutuhan. Sesampainya di minimarket Ica mulai berbelanja.“Udah cukup deh kayaknya.” Ica memeriksa kem
“Sana, Mai, kamu aja yang masuk. Nih uangnya.” Alfa menyodorkan beberapa uang lembar kepada Humaira.Saat ini mereka bertiga berhenti terlebih dahulu di minimarket untuk membelikan pesanan umi Alfa yang tadi sudah mengingatkan anaknya itu agar tidak kelupaan.“Kan Kakak yang disuruh Umi,” tolak Humaira.“Tolong dong, Mai. Kakak ada keperluan nih,” bujuknya pada Humaira.“Biar aku aja yang ke masuk, Kak.” Ica menawarkan diri berhubung ada yang mau ia beli sekalian. “Kak Alfa sama Humaira tunggu di sini ya,” ucapnya lagi.Ica pun langsung turun dari mobil tanpa menunggu jawaban dari kakak beradik itu dan tidak menerima uang yang sudah Alfa sodorkan. Gadis itu terus berjalan masuk ke dalam minimarket. Setelah mengambil keranjang belanja dan akan mulai mengambil barang yang di beli tiba-tiba ia teringat sesuatu.“Ya Allah, tuh kan lupa nanya apa yang harus dibeli. Main turun-turun aja sih!” katanya dalam hati sambil mengetuk pelan jidatnya dengan jari telunjuk.Jika sudah begini tentunya
“Ca.” Ica menoleh saat seseorang memanggil namanya. Terlihat seorang pria tidak jauh dari mejanya lalu berjalan mendekat. “Kak Irsya,” lirihnya lalu berdiri dari duduknya. “Lagi nugas?” tanya Irsya. “Iya, Kak. Abis nugas terus mampir ke sini,” jawabnya. “Oh ya, duduk, Kak.” Ica keluar dari mejanya dan mempersilahkan Irsya untuk duduk di kursinya namun, pria itu justru mengambil kursi dari meja lain dan meletakkannya di sisi meja antara kursi Ica dan Alfa. “Kakak di sini aja.” Baru saja Ica akan duduk, seseorang menepuk bahunya. “Hai,” ucapnya dengan suara sedikit keras. Rara tersenyum kikuk mendapati ekspresi Ica yang kurang bersahabat karena mengagetkannya. Tanpa berucap apapun Ica bergeser duduk di kursi sampingnya, berhadapan dengan Humaira. Dan Rara duduk di kursi Ica sebelumya, berhadapan dengan Alfa dan Irsya di sisi meja antara mereka berdua. “Kenalin ini Kak Alfa dan ini adik Kak Alfa, Humaira,” Ica memperkenalkan mereka pada Irsya dan Rara. Mereka berempat pun berkena
Mereka mulai melakukan penelitian ke beberapa narasumber sesuai dengan rencana awal. Mereka bertanya, menyimak, dan mencatat informasi yang disampaikan setiap narasumber. Kali ini Alfa dan Ica bekerja sama dengan sangat baik. Tidak disangka proses wawancara selesai lebih cepat dari perkiraan mereka sebelumnya. Jadi saat ini mereka berdua hanya perlu membuat makalah saja. Alfa memang pintar dalam melilih tempat untuk bahan observasi. Dia memilih tempat yang di dalam lingkungan tersebut terdapat banyak para pengepul barang bekas, tapi berbeda rumah produksinya. Sehingga mereka dapat mencari banyak informasi di berbagai sumber tanpa harus berpindah ke tempat lain yang mana itu akan memakan banyak waktu. Tidak terasa jam sudah menunjukkan waktu dhuhur. “Sholat dulu ya, Kak,” kata Ica, “Ayo, Mai,” ajak Ica pada Humaira. Saat di perjalanan tadi gadis itu meminta Ica untuk memanggilnya Mai saja agar tidak terlalu panjang Mereka bertiga pun beranjak menuju masjid terdekat. Beberapa wakt
Alarm sudah berkali-kali bunyi sejak tadi namun, belum juga dimatikan oleh pemiliknya. “Eemmm,” eram seseorang bergerak untuk mematikan alarm dan melihat jam dengan wajah yang masih berat. “Astaghfirullah udah subuh,” ucap Ica saat mengetahui jika dirinya telat bangun tahajjut. Sebegitu lelahkah ia semalam sampai tidur sepulas itu. Setelah sampai rumah, Ica kembali melanjutkan pekerjaannya dan baru selesai jam 1 dini hari. Ini pertama kalinya Ica mengerjakan pesanan sampai selarut ini, biasanya hanya sampai jam 22.00 WIB paling malam ia tidur. Karena Ica masih kuliah jadi ia harus bisa mengatur pola tidurnya agar tidak mengganggu waktu kuliah di pagi harinya, tetapi kali ini ia melanggar peraturan yang dirinya buat sendiri. Selesai membersihkan diri dan dilanjut menunaikan sholat shubuh. Sekarang Ica sedang menata pesanan yang akan ia antarkan. Alhamdulillah tadi malam dirinya bisa menyelesaikan semua pesanan yang tertunda sehingga hari ini Ica bisa fokus pada tugas yang diberikan o
Dari tempatnya duduk ia terus memperhatikan gerak-gerik seseorang yang sedari tadi tidak bisa ia alihkan dan selalu menuntun matanya untuk terus menatap pada gadis itu.“Abi, tau gak keluarga yang di meja sana?” tanyanya pada pria paru baya di depannya.“Itu keluarga Pak Herman dan Bu lita. Mereka yang menggelar acara ini.”Pria itu hanya mengangguk tidak berniat merespon lagi.“Ada apa?” tanya wanita yang dipanggilnya umi sedikit meledek.“Kakak suka sama salah satu gadis di sana, ya?” lanjut wanita itu lagi.Sedari tadi dirinya tidak memperhatikan perkataan uminya karena pandangannya terus memperhatikan interaksi dari keluarga Herman. Obrolan mereka terlihat sangat hangat menurutnya.Melihat gadis itu beranjak dari tempatnya segera ia akan menyusul namun, tangannya dicekal uminya terlebih dahulu.“Mau ke mana?”“Cari angin sebentar setelah itu balik lagi, Mi. Assalamualaikum.” Dirinya berjalan cepat mengejar Ica yang keluar ruangan.Ica terus berjalan keluar dari hotel berbintang it
“Ayo, Ca,” kata Irsya yang sudah membukakan pintu mobil. Setelah keluar dari mobil, gadis itu terdiam seperti memikirkan sesuatu.“Kak, tapi Ica malu,” ucapnya.Meskipun sering hadir di acara keluarga Rara, tapi selama ini hanya acara antar keluarga saja, tidak seperti sekarang. Yang sepertinya ini acara formal dengan rekan kerja orang tua Rara. “Malu kenapa? Kita kan keluarga,” ujar Irsya mencoba meyakinkan Ica, “udah ditungguin papah sama mama loh, Ca.”Baiklah. Tak ada lagi hal yang bisa ia gunakan untuk pergi dari acara ini. Ica berjalan beriringan dengan Irsya masuk ke dalam hotel menuju ruang acara berlangsung. MEWAH, satu kata yang mewakili tempat ini setelah Ica masuk ke dalam sana. Dekorasi dengan dominan warna gold yang terlihat elegan menghiasi ruangan ini. “Caa,” sapa Rara. Kemudian berdiri dari duduknya menyambut Ica.Banyak pasang mata yang tertuju padanya dan Irsya
Jika sudah seperti ini tidak ada yang bisa Irsya lakukan. Biarkan hal ini menjadi urusan kedua sahabat itu. Ia tak mau terlalu ikut campur atau lebih tepatnya Irsya diam dengan maksud ingin membantu Rara agar Ica bisa hadir, tapi ia tidak mau memaksa kehendak Ica. Apalagi jika alasannya karena pekerjaan. Irsya tidak mau gadis itu mengabaikan tanggung jawabnya hanya untuk hadir di acara orang tuanya.“Pulang dulu, Ca, assalamualaikum,” ucap Irsya seorang karena Rara sudah berlari menuju mobil terlebih dahulu.“Hati-hati ya, Kak, waalaikumsalam,” balas Ica.Irsya hanya tersenyum membalas ucapan Ica dan bergegas masuk mobil. Kemudian Ica melambaikan tangan.Rumah bernomor 12A merupakan peninggalan satu-satunya dari kedua orang tua Ica. Walaupun rumah ini tidak berlalu besar dan hanya ada dua kamar tidur saja, tetapi rumah ini selalu membawa kebahagiaan untuk keluarganya dan kini hanya dirinya seorang. Namun, suasana rumah selalu mengantarkann
“Ini biar gue aja yang bawa sekalian mau dipelajarin, sekali lagi gue minta maaf,” jelas pria itu lagi tak enak hati pada Ica.“Aku juga minta maaf, assalamualaikum,” kata Ica lalu berjalan meninggalkan Perpustakaan.Yang dibalas, “waalaikumsalam,” oleh pria itu.Ica terus berjalan menjauhi Perpustakaan menuju depan gedung fakultas untuk menunggu angkutan umum di halte depan. Selama Ica berjalan ia terus mengucap istighfar atas kecerobohan yang hampir saja berakibat juga pada orang tuanya. Ica sudah berjanji bahwa ia akan selalu menjaga semua yang telah Allah SWT kasih padanya karena semua itu hanya titipan dan akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat maka ia harus bisa menjaganya dari semua laranganNya. Walaupun Ica kadang harus bekerja sama dengan lawan jenis namun, ia mampu menjaga batasan saat harus dihadapkan dengan yang bukan mahromnya. Awal-awal pasti akan ada kecanggungan, tapi Ica mampu mengatasi masalah tersebut.