“Saya terima, nikah dan kawinnya Azanie Layli binti Parsa Zakaria dengan mas kawin berupa satu set perhiasan emas dibayar tunai!”
Gaungan kata sah membahana di seantero gedung yang sudah didekorasi secara mewah itu. Doa dilantunkan dan kemudian tradisi-tradisi lainnya dilanjutkan.
Innara memandang layar di hadapannya dengan hati teriris pedih. Bagaimana tidak, seharusnya, dirinyalah yang muncul di dalam layar itu. Menjadi wanita paling berbahagia di hari pernikahannya. Namun sayangnya, takdir berkata tidak. Belum waktunya dia untuk bahagia.
Innara mematikan layar dengan remote di tangannya. Jika saja dia tidak bisa mengendalikan diri, mungkin saat ini yang akan dilakukannya adalah melempat remote yang ada di tangannya ke layar sehingga layar itu rusak. Tapi untuk apa?
Alih-alih menuruti emosi dan kemarahannya, Innara memajukan kursi rodanya dan meletakkan remote tepat di samping televisi layar lebar yang ada di ruang keluarganya.
Innara tidak bisa mengatakan kalau paket dikirim ke rumah secara tidak sengaja. Adiknya—atau lebih tepatnya, adik sambungnya—tahu bahwa Innara saat ini tidak berdaya dan hanya bisa berdiam diri saja di rumah sehingga pastinya Azanie memerintahkan pihak WO yang mengurusi pernikahannya untuk mengirimkannya dengan jasa kurir tepat di siang hari dimana tidak ada orang lain disana selain Innara dan asisten rumah tangganya.
Innara memutar kursi rodanya dan ia berhadapan langsung dengan asisten rumah tangga yang sudah mengurusnya sejak kecil.
“Non,” lirih wanita paruh baya itu dengan tatapan sendu.
Innara mengangkat sudut mulutnya, menunjukkan senyum miris. Apalagi yang bisa dia lakukan? Apa dia harus memaki pembantunya hanya karena nasib sial yang menimpanya? Tentu tidak. Wanita itu tidak salah. Takdir Innara lah yang memang tidak beruntung.
“Aku baik, Bi. Bibi gak usah khawatir.” Ucapnya seraya melajukan kursi roda ke kamarnya. Kamar yang terpaksa diubah semenjak kecelakaan yang dialaminya.
“Non butuh sesuatu? Mau makan sesuatu?” Tanya Bi Tuti lagi seraya berjalan mendekat.
“Gak usah, Bi. Nara mau tidur aja.” Jawabnya dan memajukan kursi rodanya secepat yang tangannya mampu.
Sebisa mungkin Innara menutup pintu kamarnya dengan pelan. Lagi-lagi, dia harus mengendalikan emosinya meskipun yang diinginkannya saat ini adalah membanting pintu dengan keras.
Ia memajukan kursi roda menuju tempat tidur, memasang rem dan kemudian memindahkan tubuhnya dengan susah payah ke atas tempat tidur dan berbaring menatap langit-langit dengan nyalang.
Innara sudah lelah menangis. Dan ia pikir, ia sudah tidak lagi memiliki airmata. Tapi rupanya ia salah, airmata itu masih saja jatuh dengan begitu deras, sehingga yang bisa Innara lakukan adalah menutup wajahnya dengan menggunakan bantal. Menghalau suara isakan yang keluar tak tertahankan dari mulutnya.
Dadanya sesak. Rasanya teramat sangat sakit.
Pesta mewah yang ia siapkan untuk dirinya sendiri, yang ia buat seindah mungkin sehingga dia bisa menjadi seorang ratu akhirnya dimiliki oleh orang lain. Pernikahan yang ia bayangkan akan berjalan dengan indah, tidak lagi menjadi miliknya. Semua mimpi yang sudah ia buat akhirnya menjadi milik adik tirinya, Azanie Layli.
Bohong kalau Azanie tidak menginginkannya. Innara tertawa kecut. Sejak awal—entah kapan bermula dan karena apa—Azanie selalu menginginkan apa yang menjadi milik Innara. Entah apa alasannya, adik tiri yang dulu bersikap manis padanya berubah menjadi adik tiri yang sinis, seperti yang sering terjadi di drama-drama.
Innara memutar tubuhnya. Ia memandang jendela yang menghadap taman indah yang ditata rapi oleh ibunya. Ia tidak pernah membayangkan kalau semua hal indah akan berubah menjadi seperti ini. Tapi inilah takdirnya. Inilah yang harus Innara hadapi. Kenyataan, bahwa ia bukan hanya kehilangan calon suami dan kehidupan pernikahan yang berbahagia, tapi ia juga harus kehilangan adik tiri, menjaga jarak dengan ibu kandung dan ayah sambungnya dan yang tidak kalah buruknya, ia mengalami cacat fisik akibat kecelakaan yang ia alami.
Suasana taman kota di hari Minggu selalu saja ramah. Innara kecil menggoyangkan kaki mungilnya yang menggantung di atas jalanan batu di bawahnya. Kepalanya tertunduk memandang pita yang menjadi penghias sepatu berwarna merah mudanya. Dia bukannya tidak menikmati keadaan di sekitar, hanya saja, jika dia mendongakkan kepala, dia takut menangis karena merasa iri. Di depannya, banyak sekali anak seusianya yang sedang asyik bermain dengan orangtua mereka. Ayah dan ibu, dan juga adik. Sementara dirinya, dia hanya bisa duduk sendirian, menunggu sang nenek datang kembali setelah menjanjikan akan membelikannya eskrim."Nara kenapa?" pertanyaan lembut itu membuat Innara mendongak. Mata kelabu sang nenek memandangnya dengan khawatir. "Ada yang salah? Nara sakit?" tanya sang nenek seraya menyodorkan eskrim rasa coklat padanya.Innara mencoba mengembangkan senyumnya dan menggelengkan kepala. "Nara gak sakit, Nin." Jawabnya dengan suara ceria yang dia buat-buat. Ya, untuk anak berusia tujuh tahun
Enam tahun kemudian.Suasana rumah di hari minggu memang selalu ramai. Ibu Innara yang kini sudah membuka tempat praktik sendiri sudah tidak lagi terlalu sibuk dengan pekerjaan di rumah sakit. Dan ayahnya juga selalu ada di rumah setiap akhir pekan karena dia memilih untuk menghabiskan watktu bersama keluarganya, terlebih setelah si kembar lahir. Ayahnya semakin betah di rumah dan membantu ibunya mengasuh anak mereka.Innara dan keluarga barunya juga sudah pindah ke kediaman baru. Setelah menikah Ayah Parsa, Ayah Parsa memutuskan untuk membeli rumah baru yang lebih besar dari rumah yang selama ini Innara dan ibunya tinggali. Innara diberikan kamarnya sendiri, begitu juga dengan Azanie. Sementara nenek Innara memilih untuk tidak ikut dan tinggal sendirian di rumah yang dibelikan mendiang ayah Innara.Kehidupan keluarga Innara, setelah ia memiliki Ayah Parsa jelas bisa dikatakan sempurna. Ayah Parsa adalah sosok pria yang baik. Beliau tidak pernah membedakan Innara dan Azanie. Dalam seg
"Kakak yakin mau kuliah di luar kota?" pertanyaan itu kembali diajukan oleh ibunya. Innara kembali memandang ibunya, tersenyum dan menganggukkan kepala. Tidak mungkin Innara mengatakan ia tidak akan pergi sementara di tangan kanannya ia sudah menenteng koper besar yang membawa semua barang pribadinya. Sisa barang-barangnya yang lain bahkan sudah ia kirim menggunakan cargo beberapa jam sebelumnya. "Yakin gak akan berubah pikiran?” Tanya ibunya lagi dengan nada memelas. Innara memutar bola matanya karena kelakuan sang ibu. “Terus Bunda gimana? Nanti Bunda kesepian dong?" rengek ibunya seperti anak remaja.Innara berdecak dan menggelengkan kepala. “Kesepian gimana sih Bunda ini, kan ada si kembar.” Ucapnya seraya mengedikkan kepala ke arah dimana dua adik kembar laki-lakinya tertidur dalam kereta bayi. “Ya tapi kan mereka gak bisa Bunda ajak ngobrol. Gak bisa Bunda ajak curhat. Kalo ke mall gak bisa Bunda mintai saran.” Ucap ibunya dengan wajah mencebik yang membuat Innara terkekeh."
Tahun berlalu dan Innara sudah kembali menyelesaikan pendidikannya. Innara tidak perlu memusingkan masalah pekerjaan karena dia selama ini ia sudah mulai merintis karirnya dengan bekerja di hotel dan bahkan kini sudah diangkat menjadi staff karyawan tetap. Jenjang karirnya menjadi terbuka lebih lebar mengingat status pendidikannya yang juga sudah lebih tinggi. Seperti yang dilakukannya saat masa kuliah sebelumnya, Innara juga tidak pernah kembali ke kediaman orangtuanya saat libur tiba. Terlebih saat ini dia memiliki alasan lain yang lebih kuat untuk menghindar. Tentang adik sambungnya, Azanie. Innara bahkan tidak berkomunikasi dengannya. Sejak tantangan yang diberikan padanya di saat perayaan wisudanya dulu, adik sambungnya tak pernah lagi menutup-nutupi rasa tak sukanya pada Innara. Meskipun gadis itu dengan mudahnya berganti wajah di depan orangtuanya. Tentang kuliah Azanie? Entah apa yang dilakukan adik sambungnya itu, namun saat teman-temannya sudah disibukkan dengan skripsi,
Innara merasakan linu di sekujur tubuhnya. Ia mencoba membuka mata namun hanya sekejap ia kembali menutupnya sebab silaunya cahaya menyakiti penglihatannya. "Sayang." Suara rendah ibunya membuat Innara mengernyit. Ia merasakan tangan hangat itu menggenggam tangannya erat. "Kak, kakak sudah bangun?" tanya suara itu lagi yang membuat Innara memaksakan diri membuka mata. "Da..." hanya itu suara yang keluar dari mulutnya. Innara memandang ibunya yang kini memandangnya seraya terisak. "Alhamdulillah, ya Allah. Kakak udah bangun." Ucap ibunya lagi seraya mengusap airmatanya. Wanita itu lantas berdiri dan menekan sesuatu di samping tempat tidur Innara. "Apa yang sakit, Sayang? Mana yang sakit? Biar Bunda lihat." Ucap Ibunya bertubi yang membuat Innara mengernyit. Apa yang sakit? Tanyanya pada diri sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi? Tanyanya lagi dalam hati. Sebelum ia sempat menjawab pertanyaannya sendiri, beberapa orang masuk ke ruangannya dan memeriksanya. "Siapa nama Anda? Apa An
Halil duduk di meja yang kosong di café milik sahabat kakak iparnya, Galih. Dia baru saja sampai di Bandung dan karena merasa lapar, dia membelokan mobil ke arah G&G Café. “Widih, pewaris Turkish House nongol juga disini. Darimana?” Galih, pemilik café sekaligus sahabat kakak iparnya, Gibran menyapanya. Pria berusia awal empat puluhan itu duduk di kursi di seberang Halil. “Lapar, Bang. Minta makan.” Ucapnya sambil tersenyum miring kepada pria yang sudah ia anggap sebagai kakak itu. “Lah, kok kesini. Kenapa gak pulang ke rumah kakak-kakakmu?” Galih balik bertanya namun tangannya bergerak meraih tablet yang berisikan menu makanan. “Males ah, kalo ke tempatnya kak Fali nanti malah kena ocehan. Ke rumah kak Qilla pastinya lagi sibuk ngurusin toko kue.” Jawab Halil malas-malasan. “Gue mau makanan yang enak dan bikin kenyang.” Ucapnya yang tahu kalau Galih sedang mencarikan menu yang tepat untuknya. Galih menganggukkan kepala dan setelah memilih, ia kembali meletakkan tablet di atas
Innara meninggalkan café dengan jantung yang berdebar dengan sangat kencang. Ia merasa lelah, bukan hanya fisik, namun juga emosionalnya. Kejadian-kejadian yang terjadi setelah ia kembali ke kediaman orangtuanya kembali masuk ke kepalanya. Di dalam taksi, Innara hanya bisa kembali membisu tanpa bisa menahan airmata yang menetes di matanya. Innara menghindari acara makan malam keluarganya di hari setelah ia keluar dari rumah sakit dengan alasan kalau ia lelah. Azanie, tak pernah menyembunyikan rasa bahagianya karena telah menikah dengan Rayka, pria yang dia katakan sudah ia kagumi sejak masuk SMA. Tanpa rasa bersalahnya Azanie mengabaikan perasaan kecewa dan terluka Innara. Tanpa malu, adik sambungnya itu justru bangga karena telah mengambil posisi Innara. Tapi itu belum seberapa. Rasa sakit Innara tidak terhenti sampai di situ. Ia berusaha menatap Rayka yang saat itu juga tinggal di kediaman orangtuanya, meminta pria itu menjelaskan tanpa suara, tapi Rayka malah memalingkan wajah
"Mbak Ra, monitor." Innara melirik benda hitam kecil yang ia letakkan di atas bangku panjang yang ia duduki dan menarik napas panjang. Jam istirahatnya bahkan belum berakhir tapi gangguannya seolah tidak ada akhir. "Ya, Nara disini. Ada apa?" Jawab Innara sebisa mungkin tidak menunjukkan malasnya. "Tamu kabin..." Dan Innara kembali memasuki area resort sambil mendengarkan ucapan salah satu anak buahnya. Hampir dua tahun lamanya Innara tinggal di Bali. Bekerja di sebuah resort mewah yang dimiliki oleh keluarga Indonesia-Turki. Betah? Tidak. Innara tidak bisa mengatakan dirinya betah atau tidak. Dia menjalani hari-harinya sebagai sebuah keharusan semata. Tidak ada lagi antusiasme. Tidak ada lagi harapan. Bahkan tidak program untuk mencapai target tertentu, tidak seperti dulu. Innara hanya melakukan pekerjaan sebaik yang dia bisa, namun tidak menghabiskan waktunya untuk berbuat lebih. Ia tidak lagi melakukan pekerjaan lembur jika tidak terlalu darurat. Tidak terlalu bekerja keras,
Innara duduk di tepi tempat tidur, memandang kosong ke luar jendela tepat dimana pemandangan laut lepas tersaji.Innara marah, tapi dia bingung kepada siapa kemarahannya tertuju. Apakah kemarahannya itu untuk Azanie yang dengan begitu mudahnya meminta maaf namun mau tak mau harus Innara maafkan? Karena pertama wanita itu sudah menolongnya dan kedua, memang sejak lama Innara ingin Azanie berubah. Dan ketiga mereka tetap harus berhubungan baik karena ikatan pernikahan kedua orangtuanya.Lalu kemarahannya yang lain tertuju pada Rayka. Tidak, dia bukan hanya sekedar marah pada pria itu sekarang. Tapi benci. Jijik.Ya, Innara awalnya masih ingin hubungan mereka tetap baik-baik saja mengingat bagaimana hubungan mereka di masa lalu dan juga mempertimbangkan hubungan pernikahannya dengan Azanie. Tapi mendengar penuturan Halil dan Azanie tentang pria itu yang sudah memberikan obat perangsang padanya dan hendak memperkosanya saat Innara tidak sadar membuat Innara tiba-tib
Halil tidak pernah meninggalkan tempat tidur. Kepanikan mencekamnya. Ia takut jika sedikit saja ia memalingkan wajah, hal buruk akan terjadi pada Innara. Hipotermia, seringan apapun itu tetap saja menakutkan.Halil, Astika, Azanie dan dokter Burhan bekerja sama untuk menangani kondisi Innara.Halil tidak pernah melepaskan pelukannya dari Innara. Dengan sengaja ia bersandar pada kepala tempat tidur dan membawa Innara dalam posisi setengah duduk. Kedua tangannya tak pernah berhenti mengusap lengan Innara dan meremas jemarinya supaya tubuh Innara tidak sepenuhnya diam sementara kedua kaki Innara tidak pernah lepas dari usapan dan pijitan tangan Azanie.Sepuluh menit sekali, Astika akan memberikan Innara dua sampai tiga sendok air hangat sementara dokter akan memastikan detak jantungnya tidak menurun dan suhu tubuhnya perlahan demi perlahan naik.Menit yang berlalu terasa begitu lama sampai saat subuh menjelang, kondisi Innara sudah di
Aznie menggelengkan kepala dan setelahnya mengusap wajahnya kasar."Mama Zoya dan Ayah Parsa membiayai kehidupan ibu kandungku sampai aku lahir. Lalu setelah aku lahir dia pergi dengan membawa uang pemberian Ayah Parsa sebagai tebusan atasku. Jalang tidak tahu berterima kasih itu pergi begitu saja meninggalkanku dengan uang hasil menjualku. Lalu kemudian, saat uangnya habis dia kembali."Saat ibuku meninggal, ingatan yang aku lupakan adalah pertengkaran yang terjadi antara kakak beradik itu. Wanita itu meminta uang pada mama Zoya dan saat mama Zoya tidak mau memberikannya, dia mengancam akan membawaku pergi."Mama Zoya teramat mencintaiku dan sudah menganggapku sebagai anak kandungnya sendiri sehingga dia tidak rela aku diambil dan terjadilah tarik menarik itu. Demi melindungiku Mama Zoya terjatuh dari tangga sementara dia sedang hamil besar."Bukan Bunda yang membunuh mama Zoya. Tapi aku." Azanie menangis tersedu. "Dan wanita itu membeberkan semua fakta
Halil melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Jalanan yang sepi membuat adrenalinnya semakin terpacu. Kabar yang dia terima dari Azanie jelas membuat nafsu ingin membunuhnya muncul begitu saja.Sialan Rayka! Pria itu benar-benar mencari peluang tepat disaat Halil tengah lengah. Kalau saja sesuatu terjadi pada Innara maka Halil bersumpah bukan hanya Rayka yang akan mendapat ganjarannya tapi juga Azanie dan orang-orang bayarannya yang sudah lengah sampai kehilangan Innara.Tapi mungkin Azanie masih bisa dimaafkan karena wanita itu masih sempat memberikan foto plat nomor yang dikenakan Rayka dan juga berhasil mengejar Rayka sehingga mereka tidak benar-benar kehilangan arah.Sebuah villa di daerah perbukitan menjadi tempat yang dipilih Rayka untuk bersembunyi. Motor yang digunakan Azanie untuk mengikuti Rayka bersembunyi di balik sebuah pohon besar dan mengintai villa dari kejauhan."Aku tidak bisa masuk karena disana ada beberapa penjaga bertubuh besar." Ci
Jalanan lengang dan itu membuat Rayka merasa berada di atas awan. Bahkan Tuhan mempermudah rencananya. Tidak ada halangan, tidak ada hambatan kecuali drama penahanan yang beberapa waktu lalu dilakukan Azanie.'Bagaimana bisa jalang itu tahu kalau aku akan mengeksekusi rencanaku malam ini?' Tanya Rayka dalam hati. Namun pria itu tidak mau berpikir lebih jauh. Ia melirik sekilas dan melihat Innara yang bergerak semakin gelisah di kursinya. Rok katunnya bergerak naik hingga ke setengah pahanya sehingga Rayka bisa melihat kulit putih milik Innara terpampang jelas di matanya.Rayka dengan sengaja mengusap paha itu dengan tangan kirinya. Bergerak menggoda yang ia tahu akan menyiksa Innara dan membuat wanita itu menginginkan lebih.'Sebentar saja. Kamu hanya akan merasa tersiksa sebentar saja.' ucapnya dalam hati dengan senyum manis di wajahnya.Bayangan dirinya menyentuh tubuh dan bercinta dengan Innara terus meme
Untungnya keributan yang terjadi antara Innara dan Rayka tidak terdengar oleh orang luar. Atau mungkin sebenarnya bisa saja ada yang mendengarnya namun berpura-pura tidak mendengar karena tidak mau mengusik Innara yang jelas kini berstatus sebagai istri pemimpin mereka.Namun gosip pertengkaran Rayka dan Azanie santer terdengar sampai ke telinga Innara beberapa hari setelahnya. Bahkan Lusi sendiri membicarakannya."Mereka bilang kalau Rayka dan Azanie membahas masalah perceraian dalam pertengkaran mereka." Ucap Lusi saat mereka menghabiskan makan siang bersama di taman.Kenapa orang-orang tampak begitu tertarik pada urusan orang lain? Kenapa mereka memilih mendengarkan alih-alih pergi dan kenapa juga mereka memilih menyebarkannya. Padahal kalau saja informasi itu mereka telan sendiri, saat ini Innara tidak akan mendengad apa-apa.Innara sendiri sebenarnya enggan terlibat dan tidak mau ambil pusing akan urusan Azanie dan juga Rayka. Namun ia kembali mengin
"Kamu mengundurkan diri?" Innara yang sedang duduk di ruang istirahat mendongak kaget saat Rayka yang baru saja datang tiba-tiba memberondong Innara dengan pertanyaan bernada menuduh itu seolah Innara baru saja membuat kesalahan fatal.Innara memandang pria itu dengan alis bertaut. "Darimana kamu tahu?" Ia balik bertanya dengan nada ketus. Tak peduli kalau Rayka saat ini berstatus sebagai atasannya."Aku tidak buta. Aku melihat pengumuman rekrutmen yang dibuka oleh pihak HRD." Jawabnya masih tampak kesal."Ya lalu?""Kenapa kau mengundurkan diri begitu saja?" Tanya Rayka dingin."Kenapa tidak boleh?" Innara balik bertanya."Apa ini karena Azanie yang juga melamar bekerja disini?" Tanya pria itu ketus. "Aku sudah membujuknya untuk tidak melamar kesini. Dan aku sudah bicara pada pihak HRD untuk tidak menerima lamarannya. Tapi mereka yang memberikannya kesempatan." Ucap Rayka lelah.Innara mengernyit. Dia sendiri tidak tahu kalau Azanie
Innara memandangi hasil dari tiga testpack berbeda merk yang ada di tangannya. Dan ketiga benda itu menunjukkan hasil yang sama. Negatif.Innara menghela napas panjang dan menghembuskannya pasrah. Entah kenapa tiba-tiba saja Innara merasa rongga dadanya teramat kosong. Tenggorokannya tercekat. Ia ingin menangis tapi airmatanya sama sekali tidak keluar.Innara saat ini merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Sepertinya dia berekspektasi terlalu tinggi dan berharap bisa segera hamil. Berpikir kalau dirinya sangat subur padahal kenyataannya?Ia kembali menarik napas panjang dan menghembuskannya, berharap dengan demikian ia bisa mendapatkan ketenangan hati. 'Tenang Innara, usia pernikahanmu dengan Halil itu masih seumur jagung. Diluar sana masih banyak orang yang sudah menikah bertahun-tahun namun belum memiliki keturunan. Tenanglah, rejeki akan datang pada waktunya.' Ucap Innara pada diri sendiri.Namun nyatanya kekecewaan Innara tak kunjung membaik begitu saj
Innara sudah kembali mengenakan seragamnya. Sudah waktunya ia kembali bekerja karena masa cutinya sudah habis. Halil sendiri sebenarnya sudah membujuknya untuk berhenti bekerja dan beristirahat saja di rumah, mencari kegiatan lain selain berkeliling resort dan melayani tamu tapi Innara menolaknya.Ia butuh kegiatan dan bekerja di resort menjadi salah satu peralihan bosannya.Sebenarnya Halil tidak benar-benar melarangnya bekerja. Alasan pria itu meminta Innara untuk berhenti adalah karena Halil tidak mau Innara berhubungan dengan Rayka yang notabene merupakan atasan langsungnya di resort. Belakangan, setelah liburan usai Halil memang lebih protektif kepada Innara terlebih mengenai interaksinya dengan Rayka.Bukan karena cemburu buta. Tidak. Yang pasti Halil sudah merasa yakin kalau Innara sudah sepenuhnya menyerahkan hati dan tubuhnya pada Halil. Namun justru yang Halil takutkan adalah Rayka sendiri.Ada yang aneh dari Rayka semenjak liburan bersama merek