Suasana taman kota di hari Minggu selalu saja ramah. Innara kecil menggoyangkan kaki mungilnya yang menggantung di atas jalanan batu di bawahnya. Kepalanya tertunduk memandang pita yang menjadi penghias sepatu berwarna merah mudanya. Dia bukannya tidak menikmati keadaan di sekitar, hanya saja, jika dia mendongakkan kepala, dia takut menangis karena merasa iri.
Di depannya, banyak sekali anak seusianya yang sedang asyik bermain dengan orangtua mereka. Ayah dan ibu, dan juga adik. Sementara dirinya, dia hanya bisa duduk sendirian, menunggu sang nenek datang kembali setelah menjanjikan akan membelikannya eskrim.
"Nara kenapa?" pertanyaan lembut itu membuat Innara mendongak. Mata kelabu sang nenek memandangnya dengan khawatir. "Ada yang salah? Nara sakit?" tanya sang nenek seraya menyodorkan eskrim rasa coklat padanya.
Innara mencoba mengembangkan senyumnya dan menggelengkan kepala. "Nara gak sakit, Nin." Jawabnya dengan suara ceria yang dia buat-buat.
Ya, untuk anak berusia tujuh tahun, Innara sudah bisa berakting dengan lihai. Ia pandai menutupi perasaannya yang sebenarnya dan selalu berusaha menunjukkan senyumnya pada dua orang wanita super yang menjadi pelindungnya.
"Disini panas, makanya Nara nunduk." Jawabnya seraya membuka bungkusan es krim berbentuk corong tersebut. Neneknya hanya tersenyum. Saat rambut Innara jatuh menghalangi pipinya, neneknya kemudian mengulurkan tangan dan memasangkan jepitan di rambutnya.
"Nara kecewa ya, karena gak bisa kesini sama Bunda?" tanya neneknya lagi.
Innara tidak menjawab pertanyaan sang nenek dan memilih untuk menjilat eskrim di tangannya sebelum es itu meleleh dan jatuh pada sela-sela jarinya.
"Nara harus inget, Bunda kerja buat Nara. Buat biaya sekolah Nara. Kan Nara dulu bilang kalo Nara juga mau jadi dokter kayak Bunda, bukan begitu?" tanya neneknya lagi yang dijawab anggukkan Innara.
Ya, ibunya adalah seorang dokter muda yang sedang mengambil spesialis kedokteran. Ia belum bisa membuka praktiknya sendiri karena masih menjalani masa residen. Saat masa akhir kuliahnya, ibunya bertemu dengan ayahnya yang kala itu sedang menengok saudaranya yang sedang proses melahirkan. Dan ibunya selalu mengatakan bahwa saat itulah mereka saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah beberapa bulan setelahnya.
Ayah Innara adalah seorang TNI Angkatan Laut. Dan saat usia Innara dua tahun, ayahnya tewas dalam baku tembak saat sedang menjaga perbatasan. Ada seorang penyelundup yang mengambil ikan dari perairan Indonesia secara illegal, dan saat mereka tertangkap, mereka ternyata bersenjata lengkap.
Menurut kesaksian rekan ayahnya, ayahnya yang kala itu sedang tak siap menjadi sasaran para penjahat. Beliau sudah mendapatkan pertolongan pertama, namun karena keadaan darurat dan tembakan yang mendekati jantung membuat ayahnya mengalami pendarahan hebat, ayahnya meninggal sebelum helikopter yang menjemputnya sampai ke daratan.
Innara jelas tidak mengingat kejadian itu. Dia mendengar semua itu dari cerita ibu dan juga neneknya, juga dari keluarga mendiang ayahnya. Di mata semua orang, ayah Innara adalah pria yang hebat. Ayah yang sayang sekali terhadap putrinya dan suami yang sangat mencintai keluarga. Dan di mata negara, ayah Innara adalah seorang pahlawan yang patut dibanggakan.
Dan ya, meskipun Innara tidak mengenal ayahnya, meskipun dia hanya mendengar tentangnya dari orang-orang di sekitarnya, Innara menjadi sangat mencintai pria itu. Ia bahkan menyimpan foto sang ayah di kamarnya, dan ibunya tak pernah melarang itu.
Hubungan ibunya dan juga keluarga mendiang ayahnya juga sangat baik. Meskipun tidak memiliki ayah, Innara tetap mendapatkan limpahan kasih sayang dari kedua neneknya. Ia tidak punya kakek, karena kakek dari pihak ayahnya sudah berpulang jauh sebelum Innara lahir. Sementara kakek dari pihak ibunya, meninggal dua tahun terakhir, dan hal itu membuat Innara kehilangan sosok ayah.
Ibu Innara anak tunggal. Jadi Innara tidak punya paman atau bibi. Sementara dari ayahnya, Innara punya dua orang bibi. Namun keduanya mengikuti suami mereka sehingga mereka tinggal berjauhan dan hanya bisa bertemu sekali dua kali kalau mereka datang ke Jakarta. Dan beberapa bulan yang lalu, ibu ayahnya itu pun diajak pergi oleh salah satu bibinya karena tidak tega ditinggal sendirian di Jakarta. Jadi kini, Innara hanya tinggal bersama ibu dan nenek dari pihak ibunya.
Innara sebenarnya tidak kekurangan cinta. Yang ia dapat dari ibu dan neneknya sudah lebih dari cukup. Tapi tetap saja, ia selalu merasa iri jika melihat teman sekolahnya datang ke sekolah atau pulang dengan dijemput oleh ayah mereka. Menceritakan akhir pekan mereka bersama ayah yang selalu terdengar menyenangkan di telinganya. Hal itu membuat Innara juga ingin tahu bagaimana rasanya dicintai seorang ayah dan berandai-andai ayahnya masih ada bersamanya.
"Nin, kalo misal Ayah masih ada, apa Bunda bakal sesibuk sekarang?" tanyanya dengan polosnya.
Nyonya Saidah mengusap kepala cucunya dengan pelan. Jadi inikah yang membuat cucu tersayangnya terdiam sejak tadi? Pikirnya dalam hati. Wanita paruh baya itu menyunggingkan senyumnya dan mengangguk. "Bunda masih akan sesibuk ini seandainya Ayah masih ada.” Jawabnya jujur. “Karena inilah pekerjaannya. Nara tahu kan kalau pekerjaan dokter itu adalah membantu mereka yang kesakitan?" Innara menganggukkan kepala. "Bahkan jika misalkan saat ini, Bunda tidak ada pekerjaan, lalu ada orang di depan sana jatuh dan membutuhkan pertolongan, maka Bunda akan bantu mereka. Itulah pekerjaan Bunda."
Innara kembali menganggukkan kepala. "Kalau Ayah masih ada, apa Nara bakal punya adik?" tanyanya lagi ingin tahu. Nyonya Saidah kembali tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Nara mau punya adik?" tanyanya ingin tahu. Nara hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. "Kenapa?" tanyanya lagi.
"Temennya Nara punya adik, dan dia bilang dia ada temennya kalo Mama sama Papanya sibuk. Nara juga mau punya temen main." Jawabnya apa adanya.
"Kalau Nara punya adik, memangnya Nara mau ngasuh adik Nara? Adik bayi itu sukanya ngeces, kalo pup dia bau, kalo nangis dia suka kenceng-kenceng nangisnya. Nara gak apa begitu?" tanya Nyonya Saidah lagi sebagai umpan. Nara kembali menganggukkan kepalanya dengan antusias. "Kalau begitu, minta Bunda nikah lagi, minta Bunda kasih Nara adik, biar nanti Nara gak kesepian lagi." Ucap neneknya yang hanya dijawab Innara dengan tatapan bingung.
"Bunda gak akan marah kalo Nara minta adik?" tanyanya ingin tahu.
Nyonya Saidah tersenyum dan menggelengkan kepala. "Bunda gak akan marah, tapi Nin gak bisa janji apa Bunda bakal ngabulin apa yang Nara mau atau tidak." jawabnya bijak. "Tapi, segala sesuatunya harus dicoba dulu, bukan begitu?" tanyanya yang dijawab anggukkan antusias oleh Nara.
Dan perbincangan itu Innara realisasikan beberapa hari kemudian. Ibunya sedang ada di rumah karena beliau tidak memiliki jadwal jaga di rumah sakit. Dan seperti kegemarannya, jika sedang berada di rumah, ibunya suka sekali membuat kue. Kue apapun itu, entah itu kue basah atau kue kering.
Seperti siang ini, ibunya sedang berkutat dengan adonan dan cetakan dan Innara memilih untuk mendekati sang ibu, duduk di seberangnya, melipat kedua tangannya di atas meja makan dan memperhatikan sang ibu dalam diam.
"Kenapa?" tanya ibunya dengan senyum geli di wajahnya. Innara terlihat seperti mendiang suaminya jika sedang menginginkan sesuatu. Duduk diam dan hanya memandangnya sampai ditanya.
"Bunda," panggil Innara dengan suara kecilnya.
"Iya, Nara Sayang." Jawab ibunya dengan nada lambat.
"Bunda bisa kasih Nara adik?" tanyanya dengan polosnya yang membuat Sita tertegun.
"Adik?" tanyanya dengan dahi berkerut memandang putri semata wayangnya. Innara menganggukkan kepala cantiknya dengan antusias. "Innara mau adik? Kenapa?" tanyanya bingung.
"Nara mau punya temen, dan kata temen Nara, adik juga temen. Bunda bisa ngasih Nara adik?"
Sita kemudian tersenyum dan kembali dengan pekerjaannya. "Ngasih adik itu gak semudah beli boneka, Sayang."
Innara menganggukkan kepala. "Iya, Bunda harus nikah dulu, trus bisa punya adik." Jawabnya masih dengan nada polosnya. Sita menganggukkan kepala mengiyakan ucapan putrinya. "Innara juga mau kok punya Ayah baru." Lanjutnya yang membuat Sita kembali membeku di tempatnya.
Ia memandang putrinya dan kemudian melihat ke belakang dimana ibunya yang sedang duduk di sofa tampak tertunduk dengan bahu bergetar. Tentu saja putrinya tidak akan sepolos itu memiliki sebuah ide 'brilian' jika tidak ada pendorongnya. Dan siapa lagi yang bisa mendorong Innara jika bukan ibunya.
"Sayang, tapi menikah tidak semudah itu." ucap Sita lagi dengan nada lemah lembutnya.
Innara lagi-lagi menganggukkan kepala. Tangan mungilnya terulur dan mencolek adonan yang ada di dalam mangkuk, lalu kemudian ia masukan ke dalam mulutnya. Hal yang membuat Sita kembali teringat pada kebiasaan mendiang suaminya.
"Tapi Nin bilang, sesuatu gak akan kita tahu hasilnya kalo gak dicoba. Makanya, Bunda coba aja dulu nikah, trus coba kasih Nara adik. Ya?" ucap gadis kecil itu dengan polosnya yang kembali membuat Nyonya Saidah terbatuk menahan tawa.
Sita hanya bisa memandang putrinya dengan senyuman di wajahnya. Ia mengangguk pelan dan mendapati senyum cerah di wajah putrinya. Seketika Innara bersorak gembira dan berlari mendekati sang nenek yang sejak tadi sudah mendengarkan percakapan ibu dan dan anak itu.
"Nin, Bunda bilang Bunda mau coba. Jadi nanti, Nara beneran punya Ayah baru sama adik baru kan ya?" tanyanya yang dijawab anggukkan oleh neneknya. Nyonya Saidah menoleh ke belakang, memandang putri semata wayangnya yang balas mencebik seraya memutar bola matanya pada sang ibu.
Tahun berlalu begitu saja, Innara kini sudah duduk di kelas enam SD. Setahun lagi dia akan masuk Sekolah Menengah Pertama dan dia sudah memiliki targetnya sendiri untuk masuk ke sekolah favorit yang ada di kotanya. Karena itulah dia belajar dengan sangat giat supaya bisa masuk kesana karena dari yang Innara dengar, ujian untuk masuk ke sekolah itu amatlah ketat. Selisih nol koma satu saja bisa membuatnya terhapus dari daftar siswa baru.
Di pertengahan semester, Innara cukup dibuat terkejut kala ibunya datang dengan membawa seseorang untuk dia perkenalkan pada Innara dan juga sang nenek. Itu adalah sosok pria tinggi besar dengan wajah ramah yang jika tersenyum akan membuat orang yang melihatnya turut tersenyum juga. Namanya Om Parsa Zakaria. Itulah yang ibunya beritahukan.
Innara menyukai Om Parsa, beliau pria yang baik dan perhatian. Dan di kali kedua pertemuan mereka, Om Parsa mengatakan bahwa Om Parsa memiliki seorang anak perempuan yang usianya dua tahun lebih muda dari Innara, namanya Azanie Layly. Dinamakan Azanie karena dalam bahasa Persia Azanie berarti perhiasan dan Layly artinya malam hari. jadi Azanie Layly adalah perhiasan yang terlahir saat malam hari.
Om Parsa juga mengatakan kalau ibu Azanie sudah tidak ada, sama seperti ayah Innara. Beliau meninggal dunia saat ibu Azanie akan memberikan adik untuk Azanie.
"Apa Azanie punya adik?" tanya Innara ingin tahu. Om Parsa menggelengkan kepala.
"Ibu Azanie dan adiknya tidak bisa selamat. Karena itulah sekarang hanya ada Om sama Azanie saja. Nara mau kenalan sama anaknya Om?" tanyanya dengan lembut. Innara hanya mengangguk antusias. Memikirkan dia akan punya teman dan sama-sama perempuan jelas membuatnya senang. Om Parsa kemudian mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan wajah seorang gadis cantik yang memiliki rambut kecoklatan dan kulit putih dengan mata lebar. Gadis itu tersenyum dan menunjukkan giginya yang ompong yang membuat Innara ikut tersenyum dibuatnya.
"Kalo Innara mau, nanti Om bawa Azanie main. Kalian bisa ketemu dan main sama-sama. Nara mau?" tanya pria itu lagi.
Innara kembali mengangguk antusias. Tanpa ia tahu kedua wanita yang selama ini membesarkannya hanya memperhatikan di salah satu sudut rumah dan mendengarkan. Keduanya tampak terlihat lega melihat cara Parsa mendekati Innara dan juga bagaimana respon positif yang ditunjukkan Innara pada pria pilihan ibunya.
Dan seperti yang sudah dijanjikan, keduanya pun di pertemukan.
Innara menyukai Azanie pada pertemuan pertama. Innara yang tertutup dan sedikit bicara, Azanie yang ceria dan sangat terbuka membuat hubungan itu tidak timpang. Kedua orang dewasa yang memperhatikan itu pun tak kalah bahagianya.
Waktu terus berlalu, dan proses pendekatan mereka rasa sudah cukup. Waktunya membahas pembicaraan yang lebih serius. Parsa dan Sita kemudian mengemukakan niatannya pada kedua gadis yang ada di hadapannya. Mereka meminta pendapat pada putri mereka masing-masing tentang kemungkinan untuk tinggal bersama sebagai sebuah keluarga. Menjelaskan secara pelan-pelan pada keduanya bahwa pada akhirnya Parsa dan Sita akan menikah. Dan dengan antusias keduanya mengangguk setuju. Maka kemudian terjadilah rencana itu. Parsa dan Sita menikah, dalam sebuah acara yang megah di sebuah hotel bintang lima yang ada di kota mereka tinggal.
"Bukankah ini indah?" suara kekaguman Innara diangguki oleh Azanie kedua bocah itu kini mengenakan pakaian yang sama yang sengaja dibuat khusus untuk acara pernikahan kedua orangtua mereka.
"Nanti, kalau sudah besar, Zanie juga akan minta Papa buat bikin pesta seperti ini." jawab Azanie dengan matanya bulatnya yang berbinar. Innara memandang adik tirinya dan tersenyum lantas menganggukkan kepala. Mereka lantas mendekati pelaminan dimana kedua orangtua mereka melambaikan tangan memanggil mereka untuk mendekat.
Enam tahun kemudian.Suasana rumah di hari minggu memang selalu ramai. Ibu Innara yang kini sudah membuka tempat praktik sendiri sudah tidak lagi terlalu sibuk dengan pekerjaan di rumah sakit. Dan ayahnya juga selalu ada di rumah setiap akhir pekan karena dia memilih untuk menghabiskan watktu bersama keluarganya, terlebih setelah si kembar lahir. Ayahnya semakin betah di rumah dan membantu ibunya mengasuh anak mereka.Innara dan keluarga barunya juga sudah pindah ke kediaman baru. Setelah menikah Ayah Parsa, Ayah Parsa memutuskan untuk membeli rumah baru yang lebih besar dari rumah yang selama ini Innara dan ibunya tinggali. Innara diberikan kamarnya sendiri, begitu juga dengan Azanie. Sementara nenek Innara memilih untuk tidak ikut dan tinggal sendirian di rumah yang dibelikan mendiang ayah Innara.Kehidupan keluarga Innara, setelah ia memiliki Ayah Parsa jelas bisa dikatakan sempurna. Ayah Parsa adalah sosok pria yang baik. Beliau tidak pernah membedakan Innara dan Azanie. Dalam seg
"Kakak yakin mau kuliah di luar kota?" pertanyaan itu kembali diajukan oleh ibunya. Innara kembali memandang ibunya, tersenyum dan menganggukkan kepala. Tidak mungkin Innara mengatakan ia tidak akan pergi sementara di tangan kanannya ia sudah menenteng koper besar yang membawa semua barang pribadinya. Sisa barang-barangnya yang lain bahkan sudah ia kirim menggunakan cargo beberapa jam sebelumnya. "Yakin gak akan berubah pikiran?” Tanya ibunya lagi dengan nada memelas. Innara memutar bola matanya karena kelakuan sang ibu. “Terus Bunda gimana? Nanti Bunda kesepian dong?" rengek ibunya seperti anak remaja.Innara berdecak dan menggelengkan kepala. “Kesepian gimana sih Bunda ini, kan ada si kembar.” Ucapnya seraya mengedikkan kepala ke arah dimana dua adik kembar laki-lakinya tertidur dalam kereta bayi. “Ya tapi kan mereka gak bisa Bunda ajak ngobrol. Gak bisa Bunda ajak curhat. Kalo ke mall gak bisa Bunda mintai saran.” Ucap ibunya dengan wajah mencebik yang membuat Innara terkekeh."
Tahun berlalu dan Innara sudah kembali menyelesaikan pendidikannya. Innara tidak perlu memusingkan masalah pekerjaan karena dia selama ini ia sudah mulai merintis karirnya dengan bekerja di hotel dan bahkan kini sudah diangkat menjadi staff karyawan tetap. Jenjang karirnya menjadi terbuka lebih lebar mengingat status pendidikannya yang juga sudah lebih tinggi. Seperti yang dilakukannya saat masa kuliah sebelumnya, Innara juga tidak pernah kembali ke kediaman orangtuanya saat libur tiba. Terlebih saat ini dia memiliki alasan lain yang lebih kuat untuk menghindar. Tentang adik sambungnya, Azanie. Innara bahkan tidak berkomunikasi dengannya. Sejak tantangan yang diberikan padanya di saat perayaan wisudanya dulu, adik sambungnya tak pernah lagi menutup-nutupi rasa tak sukanya pada Innara. Meskipun gadis itu dengan mudahnya berganti wajah di depan orangtuanya. Tentang kuliah Azanie? Entah apa yang dilakukan adik sambungnya itu, namun saat teman-temannya sudah disibukkan dengan skripsi,
Innara merasakan linu di sekujur tubuhnya. Ia mencoba membuka mata namun hanya sekejap ia kembali menutupnya sebab silaunya cahaya menyakiti penglihatannya. "Sayang." Suara rendah ibunya membuat Innara mengernyit. Ia merasakan tangan hangat itu menggenggam tangannya erat. "Kak, kakak sudah bangun?" tanya suara itu lagi yang membuat Innara memaksakan diri membuka mata. "Da..." hanya itu suara yang keluar dari mulutnya. Innara memandang ibunya yang kini memandangnya seraya terisak. "Alhamdulillah, ya Allah. Kakak udah bangun." Ucap ibunya lagi seraya mengusap airmatanya. Wanita itu lantas berdiri dan menekan sesuatu di samping tempat tidur Innara. "Apa yang sakit, Sayang? Mana yang sakit? Biar Bunda lihat." Ucap Ibunya bertubi yang membuat Innara mengernyit. Apa yang sakit? Tanyanya pada diri sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi? Tanyanya lagi dalam hati. Sebelum ia sempat menjawab pertanyaannya sendiri, beberapa orang masuk ke ruangannya dan memeriksanya. "Siapa nama Anda? Apa An
Halil duduk di meja yang kosong di café milik sahabat kakak iparnya, Galih. Dia baru saja sampai di Bandung dan karena merasa lapar, dia membelokan mobil ke arah G&G Café. “Widih, pewaris Turkish House nongol juga disini. Darimana?” Galih, pemilik café sekaligus sahabat kakak iparnya, Gibran menyapanya. Pria berusia awal empat puluhan itu duduk di kursi di seberang Halil. “Lapar, Bang. Minta makan.” Ucapnya sambil tersenyum miring kepada pria yang sudah ia anggap sebagai kakak itu. “Lah, kok kesini. Kenapa gak pulang ke rumah kakak-kakakmu?” Galih balik bertanya namun tangannya bergerak meraih tablet yang berisikan menu makanan. “Males ah, kalo ke tempatnya kak Fali nanti malah kena ocehan. Ke rumah kak Qilla pastinya lagi sibuk ngurusin toko kue.” Jawab Halil malas-malasan. “Gue mau makanan yang enak dan bikin kenyang.” Ucapnya yang tahu kalau Galih sedang mencarikan menu yang tepat untuknya. Galih menganggukkan kepala dan setelah memilih, ia kembali meletakkan tablet di atas
Innara meninggalkan café dengan jantung yang berdebar dengan sangat kencang. Ia merasa lelah, bukan hanya fisik, namun juga emosionalnya. Kejadian-kejadian yang terjadi setelah ia kembali ke kediaman orangtuanya kembali masuk ke kepalanya. Di dalam taksi, Innara hanya bisa kembali membisu tanpa bisa menahan airmata yang menetes di matanya. Innara menghindari acara makan malam keluarganya di hari setelah ia keluar dari rumah sakit dengan alasan kalau ia lelah. Azanie, tak pernah menyembunyikan rasa bahagianya karena telah menikah dengan Rayka, pria yang dia katakan sudah ia kagumi sejak masuk SMA. Tanpa rasa bersalahnya Azanie mengabaikan perasaan kecewa dan terluka Innara. Tanpa malu, adik sambungnya itu justru bangga karena telah mengambil posisi Innara. Tapi itu belum seberapa. Rasa sakit Innara tidak terhenti sampai di situ. Ia berusaha menatap Rayka yang saat itu juga tinggal di kediaman orangtuanya, meminta pria itu menjelaskan tanpa suara, tapi Rayka malah memalingkan wajah
"Mbak Ra, monitor." Innara melirik benda hitam kecil yang ia letakkan di atas bangku panjang yang ia duduki dan menarik napas panjang. Jam istirahatnya bahkan belum berakhir tapi gangguannya seolah tidak ada akhir. "Ya, Nara disini. Ada apa?" Jawab Innara sebisa mungkin tidak menunjukkan malasnya. "Tamu kabin..." Dan Innara kembali memasuki area resort sambil mendengarkan ucapan salah satu anak buahnya. Hampir dua tahun lamanya Innara tinggal di Bali. Bekerja di sebuah resort mewah yang dimiliki oleh keluarga Indonesia-Turki. Betah? Tidak. Innara tidak bisa mengatakan dirinya betah atau tidak. Dia menjalani hari-harinya sebagai sebuah keharusan semata. Tidak ada lagi antusiasme. Tidak ada lagi harapan. Bahkan tidak program untuk mencapai target tertentu, tidak seperti dulu. Innara hanya melakukan pekerjaan sebaik yang dia bisa, namun tidak menghabiskan waktunya untuk berbuat lebih. Ia tidak lagi melakukan pekerjaan lembur jika tidak terlalu darurat. Tidak terlalu bekerja keras,
Tugas Innara adalah memastikan semua bawahannya melayani pengunjung dengan baik. Terlepas siapa mereka, darimana mereka berasal dan seperti apapun penampilan yang mereka tunjukkan, anak buahnya harus memperlakukan semua tamu sama. Entah itu remaja, dewasa, lansia dan bahkan anak-anak. Dedikasi? Bukan. Innara yang sekarang tidak seloyal itu. Tapi kembali pada prinsip awalnya bekerja, dia harus melakukan apa yang menjadi kewajibannya supaya dia bisa nyaman menerima hak nya. Innara sudah biasa menjadi bahan perbincangan anak buahnya. Mengenai dirinya yang bersikap dingin cenderung jutek. Namun dia tidak mempermasalahkan itu. Menurutnya, selama ia melakukan hal yang benar, maka dia tidak akan memedulikan penilaian orang lain terhadapnya. Dia bukan tipe orang yang tidak akan mengakui kesalahannya. Jika memang dia salah, dia akan meminta maaf. Jika diberikan saran, selama itu masuk akal, dia akan menjalankannya. Namun jika dia dituntut untuk melakukan apa yang orang lain inginkan, maaf, d
Innara duduk di tepi tempat tidur, memandang kosong ke luar jendela tepat dimana pemandangan laut lepas tersaji.Innara marah, tapi dia bingung kepada siapa kemarahannya tertuju. Apakah kemarahannya itu untuk Azanie yang dengan begitu mudahnya meminta maaf namun mau tak mau harus Innara maafkan? Karena pertama wanita itu sudah menolongnya dan kedua, memang sejak lama Innara ingin Azanie berubah. Dan ketiga mereka tetap harus berhubungan baik karena ikatan pernikahan kedua orangtuanya.Lalu kemarahannya yang lain tertuju pada Rayka. Tidak, dia bukan hanya sekedar marah pada pria itu sekarang. Tapi benci. Jijik.Ya, Innara awalnya masih ingin hubungan mereka tetap baik-baik saja mengingat bagaimana hubungan mereka di masa lalu dan juga mempertimbangkan hubungan pernikahannya dengan Azanie. Tapi mendengar penuturan Halil dan Azanie tentang pria itu yang sudah memberikan obat perangsang padanya dan hendak memperkosanya saat Innara tidak sadar membuat Innara tiba-tib
Halil tidak pernah meninggalkan tempat tidur. Kepanikan mencekamnya. Ia takut jika sedikit saja ia memalingkan wajah, hal buruk akan terjadi pada Innara. Hipotermia, seringan apapun itu tetap saja menakutkan.Halil, Astika, Azanie dan dokter Burhan bekerja sama untuk menangani kondisi Innara.Halil tidak pernah melepaskan pelukannya dari Innara. Dengan sengaja ia bersandar pada kepala tempat tidur dan membawa Innara dalam posisi setengah duduk. Kedua tangannya tak pernah berhenti mengusap lengan Innara dan meremas jemarinya supaya tubuh Innara tidak sepenuhnya diam sementara kedua kaki Innara tidak pernah lepas dari usapan dan pijitan tangan Azanie.Sepuluh menit sekali, Astika akan memberikan Innara dua sampai tiga sendok air hangat sementara dokter akan memastikan detak jantungnya tidak menurun dan suhu tubuhnya perlahan demi perlahan naik.Menit yang berlalu terasa begitu lama sampai saat subuh menjelang, kondisi Innara sudah di
Aznie menggelengkan kepala dan setelahnya mengusap wajahnya kasar."Mama Zoya dan Ayah Parsa membiayai kehidupan ibu kandungku sampai aku lahir. Lalu setelah aku lahir dia pergi dengan membawa uang pemberian Ayah Parsa sebagai tebusan atasku. Jalang tidak tahu berterima kasih itu pergi begitu saja meninggalkanku dengan uang hasil menjualku. Lalu kemudian, saat uangnya habis dia kembali."Saat ibuku meninggal, ingatan yang aku lupakan adalah pertengkaran yang terjadi antara kakak beradik itu. Wanita itu meminta uang pada mama Zoya dan saat mama Zoya tidak mau memberikannya, dia mengancam akan membawaku pergi."Mama Zoya teramat mencintaiku dan sudah menganggapku sebagai anak kandungnya sendiri sehingga dia tidak rela aku diambil dan terjadilah tarik menarik itu. Demi melindungiku Mama Zoya terjatuh dari tangga sementara dia sedang hamil besar."Bukan Bunda yang membunuh mama Zoya. Tapi aku." Azanie menangis tersedu. "Dan wanita itu membeberkan semua fakta
Halil melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Jalanan yang sepi membuat adrenalinnya semakin terpacu. Kabar yang dia terima dari Azanie jelas membuat nafsu ingin membunuhnya muncul begitu saja.Sialan Rayka! Pria itu benar-benar mencari peluang tepat disaat Halil tengah lengah. Kalau saja sesuatu terjadi pada Innara maka Halil bersumpah bukan hanya Rayka yang akan mendapat ganjarannya tapi juga Azanie dan orang-orang bayarannya yang sudah lengah sampai kehilangan Innara.Tapi mungkin Azanie masih bisa dimaafkan karena wanita itu masih sempat memberikan foto plat nomor yang dikenakan Rayka dan juga berhasil mengejar Rayka sehingga mereka tidak benar-benar kehilangan arah.Sebuah villa di daerah perbukitan menjadi tempat yang dipilih Rayka untuk bersembunyi. Motor yang digunakan Azanie untuk mengikuti Rayka bersembunyi di balik sebuah pohon besar dan mengintai villa dari kejauhan."Aku tidak bisa masuk karena disana ada beberapa penjaga bertubuh besar." Ci
Jalanan lengang dan itu membuat Rayka merasa berada di atas awan. Bahkan Tuhan mempermudah rencananya. Tidak ada halangan, tidak ada hambatan kecuali drama penahanan yang beberapa waktu lalu dilakukan Azanie.'Bagaimana bisa jalang itu tahu kalau aku akan mengeksekusi rencanaku malam ini?' Tanya Rayka dalam hati. Namun pria itu tidak mau berpikir lebih jauh. Ia melirik sekilas dan melihat Innara yang bergerak semakin gelisah di kursinya. Rok katunnya bergerak naik hingga ke setengah pahanya sehingga Rayka bisa melihat kulit putih milik Innara terpampang jelas di matanya.Rayka dengan sengaja mengusap paha itu dengan tangan kirinya. Bergerak menggoda yang ia tahu akan menyiksa Innara dan membuat wanita itu menginginkan lebih.'Sebentar saja. Kamu hanya akan merasa tersiksa sebentar saja.' ucapnya dalam hati dengan senyum manis di wajahnya.Bayangan dirinya menyentuh tubuh dan bercinta dengan Innara terus meme
Untungnya keributan yang terjadi antara Innara dan Rayka tidak terdengar oleh orang luar. Atau mungkin sebenarnya bisa saja ada yang mendengarnya namun berpura-pura tidak mendengar karena tidak mau mengusik Innara yang jelas kini berstatus sebagai istri pemimpin mereka.Namun gosip pertengkaran Rayka dan Azanie santer terdengar sampai ke telinga Innara beberapa hari setelahnya. Bahkan Lusi sendiri membicarakannya."Mereka bilang kalau Rayka dan Azanie membahas masalah perceraian dalam pertengkaran mereka." Ucap Lusi saat mereka menghabiskan makan siang bersama di taman.Kenapa orang-orang tampak begitu tertarik pada urusan orang lain? Kenapa mereka memilih mendengarkan alih-alih pergi dan kenapa juga mereka memilih menyebarkannya. Padahal kalau saja informasi itu mereka telan sendiri, saat ini Innara tidak akan mendengad apa-apa.Innara sendiri sebenarnya enggan terlibat dan tidak mau ambil pusing akan urusan Azanie dan juga Rayka. Namun ia kembali mengin
"Kamu mengundurkan diri?" Innara yang sedang duduk di ruang istirahat mendongak kaget saat Rayka yang baru saja datang tiba-tiba memberondong Innara dengan pertanyaan bernada menuduh itu seolah Innara baru saja membuat kesalahan fatal.Innara memandang pria itu dengan alis bertaut. "Darimana kamu tahu?" Ia balik bertanya dengan nada ketus. Tak peduli kalau Rayka saat ini berstatus sebagai atasannya."Aku tidak buta. Aku melihat pengumuman rekrutmen yang dibuka oleh pihak HRD." Jawabnya masih tampak kesal."Ya lalu?""Kenapa kau mengundurkan diri begitu saja?" Tanya Rayka dingin."Kenapa tidak boleh?" Innara balik bertanya."Apa ini karena Azanie yang juga melamar bekerja disini?" Tanya pria itu ketus. "Aku sudah membujuknya untuk tidak melamar kesini. Dan aku sudah bicara pada pihak HRD untuk tidak menerima lamarannya. Tapi mereka yang memberikannya kesempatan." Ucap Rayka lelah.Innara mengernyit. Dia sendiri tidak tahu kalau Azanie
Innara memandangi hasil dari tiga testpack berbeda merk yang ada di tangannya. Dan ketiga benda itu menunjukkan hasil yang sama. Negatif.Innara menghela napas panjang dan menghembuskannya pasrah. Entah kenapa tiba-tiba saja Innara merasa rongga dadanya teramat kosong. Tenggorokannya tercekat. Ia ingin menangis tapi airmatanya sama sekali tidak keluar.Innara saat ini merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Sepertinya dia berekspektasi terlalu tinggi dan berharap bisa segera hamil. Berpikir kalau dirinya sangat subur padahal kenyataannya?Ia kembali menarik napas panjang dan menghembuskannya, berharap dengan demikian ia bisa mendapatkan ketenangan hati. 'Tenang Innara, usia pernikahanmu dengan Halil itu masih seumur jagung. Diluar sana masih banyak orang yang sudah menikah bertahun-tahun namun belum memiliki keturunan. Tenanglah, rejeki akan datang pada waktunya.' Ucap Innara pada diri sendiri.Namun nyatanya kekecewaan Innara tak kunjung membaik begitu saj
Innara sudah kembali mengenakan seragamnya. Sudah waktunya ia kembali bekerja karena masa cutinya sudah habis. Halil sendiri sebenarnya sudah membujuknya untuk berhenti bekerja dan beristirahat saja di rumah, mencari kegiatan lain selain berkeliling resort dan melayani tamu tapi Innara menolaknya.Ia butuh kegiatan dan bekerja di resort menjadi salah satu peralihan bosannya.Sebenarnya Halil tidak benar-benar melarangnya bekerja. Alasan pria itu meminta Innara untuk berhenti adalah karena Halil tidak mau Innara berhubungan dengan Rayka yang notabene merupakan atasan langsungnya di resort. Belakangan, setelah liburan usai Halil memang lebih protektif kepada Innara terlebih mengenai interaksinya dengan Rayka.Bukan karena cemburu buta. Tidak. Yang pasti Halil sudah merasa yakin kalau Innara sudah sepenuhnya menyerahkan hati dan tubuhnya pada Halil. Namun justru yang Halil takutkan adalah Rayka sendiri.Ada yang aneh dari Rayka semenjak liburan bersama merek