Tahun berlalu dan Innara sudah kembali menyelesaikan pendidikannya. Innara tidak perlu memusingkan masalah pekerjaan karena dia selama ini ia sudah mulai merintis karirnya dengan bekerja di hotel dan bahkan kini sudah diangkat menjadi staff karyawan tetap. Jenjang karirnya menjadi terbuka lebih lebar mengingat status pendidikannya yang juga sudah lebih tinggi.
Seperti yang dilakukannya saat masa kuliah sebelumnya, Innara juga tidak pernah kembali ke kediaman orangtuanya saat libur tiba. Terlebih saat ini dia memiliki alasan lain yang lebih kuat untuk menghindar.
Tentang adik sambungnya, Azanie. Innara bahkan tidak berkomunikasi dengannya. Sejak tantangan yang diberikan padanya di saat perayaan wisudanya dulu, adik sambungnya tak pernah lagi menutup-nutupi rasa tak sukanya pada Innara. Meskipun gadis itu dengan mudahnya berganti wajah di depan orangtuanya.
Tentang kuliah Azanie? Entah apa yang dilakukan adik sambungnya itu, namun saat teman-temannya sudah disibukkan dengan skripsi, adiknya itu masih disibukkan dengan remedial dan perbaikan nilai. Dan sekalipun ayahnya tidak pernah berkomentar, Innara tahu kalau pria itu kecewa pada tingkah anak kandungnya yang manja dan hanya bisa menghabiskan uang saja.
Innara juga kini sudah tinggal kembali di Jakarta. Keinginannya untuk bisa berlayar keluar negeri dengan bekerja di kapal pesiar atau hotel asing terpaksa dia hilangkan karena ibunya merengek dan memintanya untuk tinggal di Indonesia.
"Kalau Kakak pergi, Bunda beneran bakal marah. Bunda gak akan mau ngakuin Kakak sebagai anak lagi." Ancam wanita itu di suatu waktu saat Innara tanpa sadar mengemukakan rencananya untuk melamar di sebuah perusahana travel internasional.
Tak ingin membuat wanita yang dicintainya itu bersedih, Innara akhirnya menurut dan memilih untuk menetap. Dia bahkan dengan sengaja meminta atasannya untuk memberikannya informasi terbaru jika memang ada lowongan di Jakarta. Beruntungnya, beberapa bulan setelah ia resmi meraih gelar S2 nya, Innara berhasil memperoleh jabatan di kantor pusat hotel yang ada di Jakarta.
Ibunya tentu senang mendengarnya. Jarak Jakarta-Yogyakarta, meskipun masih bisa ditempuh dalam hitungan jam, tetap saja dianggapnya terlalu jauh. Sementara untuk Jakarta, ibunya hanya perlu menghabiskan waktu yang pendek untuk bisa bertemu dengan Innara.
Namun ketika ibunya menduga Innara akan tinggal bersamanya karena lokasi hotel yang masih bisa dijangkau dengan perjalanan pulang pergi. Maka ibunya salah. Karena sama seperti yang dilakukannya sebelumnya, Innara tidak ingin tinggal bersama kedua orangtuanya, terlebih setelah kini Azanie tak repot menutupi rasa tak sukanya.
Dengan dalih ingin hidup mandiri, Innara memutuskan untuk mencicil sebuah perumahan yang lokasinya tak jauh dari tempatnya bekerja.
Setahun sudah Innara pindah ke Jakarta, menempati rumah barunya dan bekerja. Ia mulai menikmati masa-masa sibuknya di hotel saat Innara dikejutkan dengan rekan sejawatnya yang juga baru saja dipindahkan ke Jakarta.
Dia adalah Rayka Saeed. Teman satu kelasnya saat jaman SMA yang kemudian hilang komunikasi karena yang Innara dengar pria itu melanjutkan kuliahnya di luar negeri.
"Gak nyangka ketemu kamu lagi disini." Ucap Rayka sebagai sapaan pertamanya saat mereka diperkenalkan sebagai rekan kerja.
Berawal dari basa-basi, hubungan mereka semakin lama semakin dekat. Pertemuannya dengan Rayka, Innara anggap sebagai sebuah takdir. Mereka menjadi teman akrab—bahkan lebih akrab jika dibandingkan dengan saat mereka masih duduk di bangku SMA dulu.
Masa lalu seolah menjadi topik yang aman untuk mereka bahas.
Seringnya mereka bertemu di area hotel dan juga acara-acara yang terjadi diluar hotel, nyambungnya mereka saat mengobrol, membuat Innara merasa semakin nyaman berada dekat dengan Rayka.
"Aku sebenernya udah suka sama kamu sejak dulu." ucap Rayka pada suatu sore setelah mereka menyelesaikan pekerjaan mereka.
Beberapa waktu belakangan ini Rayka memang rajin mengantar jemput Innara. Bukan hanya karena jam kerja mereka sama, tapi juga karena lokasi rumah ke kantor yang Rayka bilang searah.
"Tapi jujur. Dulu, aku ragu mau bilang dan nyatain perasaan aku sama kamu." Ucapnya dengan kikuk.
Innara mengernyit dan memandang pria itu. "Kenapa?" Tanyanya bingung.
Rayka mengedikkan bahu. "Entahlah, mungkin karena takut ditolak?” Pria itu balik bertanya dengan ekspresi malu.
“Kok gitu? Nyerah sebelum berjuang?” Tanya Innara dengan nada menantang yang membuat Rayka terkekeh.
Rayka mengedikkan bahu. “Entahlah, mungkin memang nyali aku seciut itu.” Jawab pria itu dengan santainya. “Kamu tahu kamu waktu SMA itu kayak gimana?” Rayka kembali bertanya yang dijawab gelengan kepala Innara.
“Memangnya aku kayak gimana?”
“Kamu cantik, dan bahkan sekarang jauh lebih cantik.” Puji Rayka yang membuat Innara merasa pipinya memanas seketika. “Tapi kamu juga terkesan menjaga jarak dan menutup diri. Satu-satunya orang yang dekat sama kamu itu ya cuma si Delia aja, kamu seolah gak ngijinin orang lain untuk menerobos dinding tak kasat mata yang kamu buat.”
Innara mengerutkan dahi. “Iyakah? Emang aku kayak gitu?” Tanyanya tak yakin. Rayka menganggukkan kepala dengan ekspresi tegas.
“Yang aku perhatikan, kalo gak di kelas, kamu perginya ke kantin sama ke perpustakaan. Kalo gak sama Delia, ya kamu lebih milih sendirian.
“Kamu emang berteman, tapi aku gak lihat kamu akrab sama orang lain selain Delia. Kamu bahkan gak pernah ada datang di acara pekan olahraga atau semacamnya.” Ucap Rayka lagi dengan ekspresi cemberut.
Ya, Innara ingat kalau saat mereka SMA, Rayka adalah salah satu pemain terbaik di tim basket sekolah mereka. Banyak siswi yang mengagung-agungkannya. Anak perempuan selalu berharap bisa dekat dengan Rayka dan menjadi teman kencannya, sementara anak laki-laki selalu ingin berada dalam tim atau kelompok kerja yang sama.
Innara tidak seperti yang Rayka tuduhkan. Dia menikmati masa mudanya dengan sangat baik namun memang dia menjaga jarak. Dia membatasi pergaulannya dan terlebih di tahun terakhir sekolahnya, ia lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan semua buku supaya bisa masuk ke kampus yang diinginkannya.
"Aku banyak berandai-andai waktu itu. Gimana seandainya aku nembak kamu trus kamu terima aku. Akan seperti apa kita kencan. Kemana aja kita jalan. Dan lain banyak hal. Tapi sebelum aku realisasikan rencana aku, aku malah malu sendiri sebelum mulai pedekate."
"Bilang aja kamu gengsi kalo ditolak.” Ledek Innara yang membuat Rayka terkejut mendengarnya. mereka kemudian tertawa bersama.
"Iya, memang begitu.” Rayka jujur. “Kalo aku nembak kamu terus kamu tolak, dimana nanti aku naruh muka aku. Sementara selama ini aku jadi pujaan banyak cewek.” Ujarnya dengan sombong yang membuat Innara terkekeh dan menggelengkan kepala. “Tapi itu kan dulu. Sekarang aku udah lebih dewasa, dan gengsi? Aku udah gak peduli sama hal itu.” Ucapnya yang membuat Innara memandangnya bingung.
“Jadi, daripada menyia-nyiakan kesempatan yang ada, lebih baik aku to the point aja. Kalau misalkan sekarang aku ajakin kamu nge-date dan realisasiin mimpi-mimpi aku di masa lalu. Kamu bakal nolak gak?" tanya Rayka dengan nada menggoda.
Mendengar pertanyaan tak terduga dari Rayka membuat Innara membisu. Innara memandang pria itu dengan tatapan dalam, menduga kalau Rayka saat ini sedang mengajaknya bercanda. Tapi ekspresi pria itu justu terlihat serius.
Dan Innara juga sudah tahu kalau sekarang sudah waktunya dia memikirkan masa depan. Selama ini dia terlalu fokus pada kuliah dan pekerjaannya sampai ia tidak punya waktu untuk urusan lainnya padahal ibu dan juga neneknya terus menerus mendesaknya untuk segera menikah mengingat usianya yang semakin hari semakin bertambah.
Faktanya memang Innara tak bisa selamanya sendirian. Ia juga tidak bisa langsung menikah saat dia ingin, kan? Harus ada calon dan sebelum ke jenjang serius, ia harus saling mengenal dulu.
Tanpa Innara mau akui kalau selama ini ia takut untuk memiliki hubungan adalah karena ia tidak mau masa lalu terulang lagi. Ingat tentang Azanie yang seolah selalu menginginkan apa yang Innara miliki? Ingat juga tentang Aldy, pria yang mengatakan akan menunggu Innara kuliah bersama namun pada akhirnya malah berkencan dengan Azanie?
Ya, sebenarnya Innara takut hal itu terulang lagi. Meskipun akal sehatnya mengatakan kalau Azanie tidak mungkin akan melakukan itu lagi sebab Azanie sudah memiliki kekasih. Tapi tetap saja, trauma itu masih ada.
Pada akhirnya, Innara menganggukkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Rayka, dan hal itu membuat Rayka secara spontan memeluknya dan mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Lama waktu berlalu, hubungan Innara dan Rayka semakin jauh dan serius. Namun demikian, Innara belum siap untuk mengatakan kepada kedua orangtuanya kalau ia memiliki kekasih. Setiap kembali ke kediaman orangtuanya, dan ditanya apakah dirinya sudah punya kekasih, Innara selalu mengatakan kalau ia masih asyik dengan pekerjaannya dan masih nyaman sendiri. Dan sepertinya, jawaban itu membuat Azanie puas karena adik sambungnya itu selalu memandangnya dengan eskpresi senang yang tak dia coba sembunyikan.
Sampai pada akhirnya Rayka mendesaknya supaya Innara mengajaknya berkenalan dengan kedua orangtuanya, Innara tak bisa lagi mengelak.
Tentu Azanie tahu siapa Rayka karena dulu gadis itu menjadi salah satu dari adik kelas yang memuja Rayka. Azanie juga tahu latar belakang Rayka yang berasal dari keluarga kalangan menengah ke atas. Dan hal itu jelas membuat Azanie kesal. Berbanding terbalik dengan kedua orangtua mereka—khususnya ibunya—yang sangat antusias untuk lebih mengenal Rayka. Mereka tanpa memberi syarat menyetujui hubungan Rayka dan Innara hingga dengan cepat pembahasan pernikahan pun diutarakan.
Rupanya, orangtua Rayka pun sangat antusias dengan pernikahan mereka. Sama seperti orangtua Innara yang bisa menerima Rayka dengan mudah, begitu juga dengan orangtua Rayka pada Innara. Bahkan disaat pertemuan keluarga, Innara dan Rayka akhirnya tahu kalau ayah-ayah mereka saling mengenal satu sama lain. Dan itu membuat mereka semakin yakin kalau pernikahan ini akan berhasil.
"Gimana kalau yang ini." Calon ibu mertua Innara menunjuk sebuah cincin yang rencananya akan dijadikan sebagai mas kawin untuk Innara dari Rayka. Innara melirik Rayka yang menjawab pertanyaan tanpa suaranya dengan anggukkan. "Udah, gak usah tanya-tanya sama dia. Dia mah tau apa. Kalo kamu suka, ambil aja. Coba." Ucap ibu Rayka yang hanya dijawab Innara dengan kekehan.
Ya, sepanjang hari itu Innara, ibu Rayka dan juga Rayka berkeliling kesana kemari. Keluar masuk toko dan berbelanja kebutuhan seserahan yang akan Rayka bawa dalam acara pernikahan mereka yang akan berlangsung kurang dari satu bulan lagi.
Cepat?
Memang cepat. Bahkan terbilang sangat ekspress dan membuat beberapa orang yang mendengarnya turut merasa kaget. Tapi itu tidak membuat Innara ataupun Rayka merasa stress, keduanya justru malah menikmati semua kerepotan itu dengan sukacita. Bahkan orangtua mereka sudah menyiapkan sebuah rumah untuk mereka tinggali nanti setelah mereka menikah, jadi apa lagi yang harus mereka khawatirkan?
Ballroom hotel tempat mereka bekerja sudah disewa. Semua orang yang mendengar kabar pernikahan mereka turut berbahagia. Dan atas kebijakan perusahaan, Innara sepakat untuk mengundurkan diri dari hotel setelah semua pekerjaannya selesai dan dilimpahkan pada karyawan baru. Sementara itu, dengan bantuan Rayka Innara akan melamar ke hotel lain segera setelah mereka resmi menikah.
Catering, menu makanan dan porsi sudah ditentukan. Undangan sudah didesain, sudah dicetak dan tak lama lagi selesai dan siap sebar.
Souvenir pun sudah dipersiapkan. Dan sekarang, Innara sedang diajak berkeliling untuk membeli barang-barang seserahan yang akan Rayka bawa dengan paksaan calon ibu mertuanya. Ibu Rayka memastikan Innara harus ikut karena menurutnya Innara yang harus memilih dan menyukai apa saja yang nanti akan Rayka bawa karena nantinya Innara yang akan mengenakannya.
Lihatlah, bagaimana Innara tidak bahagia dan merasa beruntung jika memiliki calon suami dan calon ibu mertua seperti ibu Rayka? Belum apa-apa, wanita berusia pertengahan lima puluhan itu sudah amat sangat memanjakannya.
Namun tampaknya, kebahagiaan Innara adalah kesakitan bagi Azanie. Mendengar perlakuan orangtua Rayka, pemberian mereka dan rencana kehidupan Innara dan Rayka di masa mendatang membuat gadis itu merasa cemburu. Meskipun Azanie tersenyum di depan semua orang, gadis itu tidak pernah menyembunyikan tatapan tajam dan dinginnya pada Innara. Dan alih-alih merasa tak enak, Innara justru memilih untuk mengabaikan rasa tak suka adik sambungnya itu.
"Kapan kalian cuti?" pertanyaan itu terucap saat mereka sedang makan malam bersama di kediaman orangtua Innara.
"Nanti, Yah. Tiga hari sebelum hari H." ucap Innara seraya memandang Rayka yang diangguki pria itu seraya tersenyum.
"Kok cepet." Keluh ibunya seraya memandang Innara dengan kedua alis menyatu.
"Aku yang minta, Bun." Jawab Rayka pada ibu Innara. "Sengaja minta cutinya lebih panjang setelah hari H. Biar honeymoonnya lebih lama." Jawabnya yang turut diangguki Innara dengan antusias.
"Kalo gitu gak ada acara pingit-pingitan dong?" tanya ayah Rayka memandang putra dan juga calon menantunya. Kedua calon pengantin itu saling pandang sebelum menggelengkan kepala bersamaan. "Pamali kalo kata orang jaman dulu." lanjut pria akhir enam puluhan itu.
"Doain aja semuanya lancar sampai hari H, Pa." Pinta Rayka yang diaminkan oleh semua anggota keluarganya.
Dan kini, seminggu sebelum acara pernikahanya digelar, Innara masih disibukkan dengan proses peralihan jabatannya. Saking banyaknya pekerjaan, Innara terpaksa pulang cukup larut dari hotelnya.
Tak apa, hanya sementara. Setelah ini dia akan bersantai selama beberapa waktu untuk beristirahat dan memainkan peran barunya sebagai pengangguran dan seorang istri. Ucapnya dalam hati dengan kebahagiaan yang tak bisa lagi ia ungkapkan dengan kata-kata.
Namun kebahagiaan itu sirna dalam waktu yang teramat singkat karena ia pulang bekerja, sebuah mobil besar menabrak mobilnya sehingga terpental dan berguling di jalanan yang kosong.
Ya Allah, inikah akhirnya? Inikah akhir kehidupannya? Apakah ini saatnya ia meninggalkan orang-orang yang dicintainya dan melepas mimpi untuk bahagia? Itulah isi kepala Innara sebelum semuanya berubah menjadi gelap gulita.
Innara merasakan linu di sekujur tubuhnya. Ia mencoba membuka mata namun hanya sekejap ia kembali menutupnya sebab silaunya cahaya menyakiti penglihatannya. "Sayang." Suara rendah ibunya membuat Innara mengernyit. Ia merasakan tangan hangat itu menggenggam tangannya erat. "Kak, kakak sudah bangun?" tanya suara itu lagi yang membuat Innara memaksakan diri membuka mata. "Da..." hanya itu suara yang keluar dari mulutnya. Innara memandang ibunya yang kini memandangnya seraya terisak. "Alhamdulillah, ya Allah. Kakak udah bangun." Ucap ibunya lagi seraya mengusap airmatanya. Wanita itu lantas berdiri dan menekan sesuatu di samping tempat tidur Innara. "Apa yang sakit, Sayang? Mana yang sakit? Biar Bunda lihat." Ucap Ibunya bertubi yang membuat Innara mengernyit. Apa yang sakit? Tanyanya pada diri sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi? Tanyanya lagi dalam hati. Sebelum ia sempat menjawab pertanyaannya sendiri, beberapa orang masuk ke ruangannya dan memeriksanya. "Siapa nama Anda? Apa An
Halil duduk di meja yang kosong di café milik sahabat kakak iparnya, Galih. Dia baru saja sampai di Bandung dan karena merasa lapar, dia membelokan mobil ke arah G&G Café. “Widih, pewaris Turkish House nongol juga disini. Darimana?” Galih, pemilik café sekaligus sahabat kakak iparnya, Gibran menyapanya. Pria berusia awal empat puluhan itu duduk di kursi di seberang Halil. “Lapar, Bang. Minta makan.” Ucapnya sambil tersenyum miring kepada pria yang sudah ia anggap sebagai kakak itu. “Lah, kok kesini. Kenapa gak pulang ke rumah kakak-kakakmu?” Galih balik bertanya namun tangannya bergerak meraih tablet yang berisikan menu makanan. “Males ah, kalo ke tempatnya kak Fali nanti malah kena ocehan. Ke rumah kak Qilla pastinya lagi sibuk ngurusin toko kue.” Jawab Halil malas-malasan. “Gue mau makanan yang enak dan bikin kenyang.” Ucapnya yang tahu kalau Galih sedang mencarikan menu yang tepat untuknya. Galih menganggukkan kepala dan setelah memilih, ia kembali meletakkan tablet di atas
Innara meninggalkan café dengan jantung yang berdebar dengan sangat kencang. Ia merasa lelah, bukan hanya fisik, namun juga emosionalnya. Kejadian-kejadian yang terjadi setelah ia kembali ke kediaman orangtuanya kembali masuk ke kepalanya. Di dalam taksi, Innara hanya bisa kembali membisu tanpa bisa menahan airmata yang menetes di matanya. Innara menghindari acara makan malam keluarganya di hari setelah ia keluar dari rumah sakit dengan alasan kalau ia lelah. Azanie, tak pernah menyembunyikan rasa bahagianya karena telah menikah dengan Rayka, pria yang dia katakan sudah ia kagumi sejak masuk SMA. Tanpa rasa bersalahnya Azanie mengabaikan perasaan kecewa dan terluka Innara. Tanpa malu, adik sambungnya itu justru bangga karena telah mengambil posisi Innara. Tapi itu belum seberapa. Rasa sakit Innara tidak terhenti sampai di situ. Ia berusaha menatap Rayka yang saat itu juga tinggal di kediaman orangtuanya, meminta pria itu menjelaskan tanpa suara, tapi Rayka malah memalingkan wajah
"Mbak Ra, monitor." Innara melirik benda hitam kecil yang ia letakkan di atas bangku panjang yang ia duduki dan menarik napas panjang. Jam istirahatnya bahkan belum berakhir tapi gangguannya seolah tidak ada akhir. "Ya, Nara disini. Ada apa?" Jawab Innara sebisa mungkin tidak menunjukkan malasnya. "Tamu kabin..." Dan Innara kembali memasuki area resort sambil mendengarkan ucapan salah satu anak buahnya. Hampir dua tahun lamanya Innara tinggal di Bali. Bekerja di sebuah resort mewah yang dimiliki oleh keluarga Indonesia-Turki. Betah? Tidak. Innara tidak bisa mengatakan dirinya betah atau tidak. Dia menjalani hari-harinya sebagai sebuah keharusan semata. Tidak ada lagi antusiasme. Tidak ada lagi harapan. Bahkan tidak program untuk mencapai target tertentu, tidak seperti dulu. Innara hanya melakukan pekerjaan sebaik yang dia bisa, namun tidak menghabiskan waktunya untuk berbuat lebih. Ia tidak lagi melakukan pekerjaan lembur jika tidak terlalu darurat. Tidak terlalu bekerja keras,
Tugas Innara adalah memastikan semua bawahannya melayani pengunjung dengan baik. Terlepas siapa mereka, darimana mereka berasal dan seperti apapun penampilan yang mereka tunjukkan, anak buahnya harus memperlakukan semua tamu sama. Entah itu remaja, dewasa, lansia dan bahkan anak-anak. Dedikasi? Bukan. Innara yang sekarang tidak seloyal itu. Tapi kembali pada prinsip awalnya bekerja, dia harus melakukan apa yang menjadi kewajibannya supaya dia bisa nyaman menerima hak nya. Innara sudah biasa menjadi bahan perbincangan anak buahnya. Mengenai dirinya yang bersikap dingin cenderung jutek. Namun dia tidak mempermasalahkan itu. Menurutnya, selama ia melakukan hal yang benar, maka dia tidak akan memedulikan penilaian orang lain terhadapnya. Dia bukan tipe orang yang tidak akan mengakui kesalahannya. Jika memang dia salah, dia akan meminta maaf. Jika diberikan saran, selama itu masuk akal, dia akan menjalankannya. Namun jika dia dituntut untuk melakukan apa yang orang lain inginkan, maaf, d
"Dasar gila." Ucap Innara ketus seraya melangkah cepat meninggalkan Halil. "Saya gak gila Mbak, kalo saya gila saya gak akan ada disini sekarang. Tapi bakal ada di rumah sakit jiwa." Ucap Halil tanpa sedikit pun merasa tersinggung dengan ucapan Innara. "Kamu kenapa terus ngikutin saya? Tugas kamu udah selesai, kamu bisa balik ke tempat kamu semula." Usir Innara ketus. "Iya saya tahu, tapi saya mau nganterin Mbak dulu ke tempat Mbak dengan selamat. Saya gak mau terjadi apa-apa sama Mbak di perjalanan." Innara memutar bola matanya. "Memangnya apa yang bakal terjadi sama saya di perjalanan menuju kantor FO? Disini gak ada begal. Gak ada juga bencana alam." Ucapnya masih dengan nada ketusnya. "Ya kali Mbak, ini resort bukan jalanan sepi yang rawan perampokan. Mana ada begal disini." Ucap Halil ketus. "Eh, ada sih, begal hati. Itu juga Mbak tersangkanya karena udah membegal hati aku yang cuma satu ini." Ucap Halil yang membuat Innara membuat suara seolah ia hendak muntah. Halil tersen
Innara menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Apa yang harus dia lakukan? Apapun cara, taktik atau kalimat penolakan yang ia berikan pada Halil tampaknya hanya jadi angin lalu bagi pria itu. Tak pernah dianggap serius.Baiklah, jika Halil bersikukuh untuk mendekatinya, maka Innara pun harus bersikukuh untuk menolaknya. Kita lihat siapa yang lebih kuat disini. Dirinya atau Halil."Jangan menyesal kalau aku menghabiskan gajimu hanya untuk makan." Ucap Innara dengan nada mengancam. Halil hanya mengedikkan bahu dan mencebik seolah ia tidak takut dengan ancaman yang diberikan Innara padanya.Innara kembali memutar tubuhnya dan melangkah menjauh dari bangunan mesnya. Ia melangkah lebih dulu dan memberikan Halil tatapan mengancam untuk tidak berjalan di sampingnya apalagi kalau coba-coba merangkulkan lengannya di bahu Innara. Halil kembali mengedikkan bahunya, dan untuk membuat Innara percaya padanya ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jeansnya."Mbak mau makan apa?
Innara berjalan masuk menuju gerbang mes sendirian. Ia tidak tahu kemana Halil pergi setelahnya dan ia pun enggan bertanya. Yang pasti untuk saat ini Innara merasa bebas dari Halil.Innara mengabaikan ancaman Halil tentang akan mengetuk pintunya beberapa saat kedepan. Ia sudah berencana untuk mandi air hangat, memasak makan malam dan setelah itu menghabiskan waktunya dengan membaca atau mungkin menonton sesuatu di televisi atau di ponselnya.Jalanan menuju mes begitu sepi, begitu juga dengan suasana sekitar mes. Beberapa penghuni tampaknya sudah bersembunyi dan beristirahat atau mungkin sedang memiliki shift malam. Tidak banyak sebenarnya penghuni mes resort. Meskipun diberikan fasilitas yang baik dan diberikan harga sewa yang terjangkau, sebagian besar karyawan resort tetap memilih untuk tinggal diluar. Entah itu lajang ataupun sudah berkeluarga. Alasannya sederhana, selain ingin bebas, mereka tentu menghindari ada masalah sesama rekan kerja. Tahu sendirilah, terkadang terlalu dekat
Innara duduk di tepi tempat tidur, memandang kosong ke luar jendela tepat dimana pemandangan laut lepas tersaji.Innara marah, tapi dia bingung kepada siapa kemarahannya tertuju. Apakah kemarahannya itu untuk Azanie yang dengan begitu mudahnya meminta maaf namun mau tak mau harus Innara maafkan? Karena pertama wanita itu sudah menolongnya dan kedua, memang sejak lama Innara ingin Azanie berubah. Dan ketiga mereka tetap harus berhubungan baik karena ikatan pernikahan kedua orangtuanya.Lalu kemarahannya yang lain tertuju pada Rayka. Tidak, dia bukan hanya sekedar marah pada pria itu sekarang. Tapi benci. Jijik.Ya, Innara awalnya masih ingin hubungan mereka tetap baik-baik saja mengingat bagaimana hubungan mereka di masa lalu dan juga mempertimbangkan hubungan pernikahannya dengan Azanie. Tapi mendengar penuturan Halil dan Azanie tentang pria itu yang sudah memberikan obat perangsang padanya dan hendak memperkosanya saat Innara tidak sadar membuat Innara tiba-tib
Halil tidak pernah meninggalkan tempat tidur. Kepanikan mencekamnya. Ia takut jika sedikit saja ia memalingkan wajah, hal buruk akan terjadi pada Innara. Hipotermia, seringan apapun itu tetap saja menakutkan.Halil, Astika, Azanie dan dokter Burhan bekerja sama untuk menangani kondisi Innara.Halil tidak pernah melepaskan pelukannya dari Innara. Dengan sengaja ia bersandar pada kepala tempat tidur dan membawa Innara dalam posisi setengah duduk. Kedua tangannya tak pernah berhenti mengusap lengan Innara dan meremas jemarinya supaya tubuh Innara tidak sepenuhnya diam sementara kedua kaki Innara tidak pernah lepas dari usapan dan pijitan tangan Azanie.Sepuluh menit sekali, Astika akan memberikan Innara dua sampai tiga sendok air hangat sementara dokter akan memastikan detak jantungnya tidak menurun dan suhu tubuhnya perlahan demi perlahan naik.Menit yang berlalu terasa begitu lama sampai saat subuh menjelang, kondisi Innara sudah di
Aznie menggelengkan kepala dan setelahnya mengusap wajahnya kasar."Mama Zoya dan Ayah Parsa membiayai kehidupan ibu kandungku sampai aku lahir. Lalu setelah aku lahir dia pergi dengan membawa uang pemberian Ayah Parsa sebagai tebusan atasku. Jalang tidak tahu berterima kasih itu pergi begitu saja meninggalkanku dengan uang hasil menjualku. Lalu kemudian, saat uangnya habis dia kembali."Saat ibuku meninggal, ingatan yang aku lupakan adalah pertengkaran yang terjadi antara kakak beradik itu. Wanita itu meminta uang pada mama Zoya dan saat mama Zoya tidak mau memberikannya, dia mengancam akan membawaku pergi."Mama Zoya teramat mencintaiku dan sudah menganggapku sebagai anak kandungnya sendiri sehingga dia tidak rela aku diambil dan terjadilah tarik menarik itu. Demi melindungiku Mama Zoya terjatuh dari tangga sementara dia sedang hamil besar."Bukan Bunda yang membunuh mama Zoya. Tapi aku." Azanie menangis tersedu. "Dan wanita itu membeberkan semua fakta
Halil melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Jalanan yang sepi membuat adrenalinnya semakin terpacu. Kabar yang dia terima dari Azanie jelas membuat nafsu ingin membunuhnya muncul begitu saja.Sialan Rayka! Pria itu benar-benar mencari peluang tepat disaat Halil tengah lengah. Kalau saja sesuatu terjadi pada Innara maka Halil bersumpah bukan hanya Rayka yang akan mendapat ganjarannya tapi juga Azanie dan orang-orang bayarannya yang sudah lengah sampai kehilangan Innara.Tapi mungkin Azanie masih bisa dimaafkan karena wanita itu masih sempat memberikan foto plat nomor yang dikenakan Rayka dan juga berhasil mengejar Rayka sehingga mereka tidak benar-benar kehilangan arah.Sebuah villa di daerah perbukitan menjadi tempat yang dipilih Rayka untuk bersembunyi. Motor yang digunakan Azanie untuk mengikuti Rayka bersembunyi di balik sebuah pohon besar dan mengintai villa dari kejauhan."Aku tidak bisa masuk karena disana ada beberapa penjaga bertubuh besar." Ci
Jalanan lengang dan itu membuat Rayka merasa berada di atas awan. Bahkan Tuhan mempermudah rencananya. Tidak ada halangan, tidak ada hambatan kecuali drama penahanan yang beberapa waktu lalu dilakukan Azanie.'Bagaimana bisa jalang itu tahu kalau aku akan mengeksekusi rencanaku malam ini?' Tanya Rayka dalam hati. Namun pria itu tidak mau berpikir lebih jauh. Ia melirik sekilas dan melihat Innara yang bergerak semakin gelisah di kursinya. Rok katunnya bergerak naik hingga ke setengah pahanya sehingga Rayka bisa melihat kulit putih milik Innara terpampang jelas di matanya.Rayka dengan sengaja mengusap paha itu dengan tangan kirinya. Bergerak menggoda yang ia tahu akan menyiksa Innara dan membuat wanita itu menginginkan lebih.'Sebentar saja. Kamu hanya akan merasa tersiksa sebentar saja.' ucapnya dalam hati dengan senyum manis di wajahnya.Bayangan dirinya menyentuh tubuh dan bercinta dengan Innara terus meme
Untungnya keributan yang terjadi antara Innara dan Rayka tidak terdengar oleh orang luar. Atau mungkin sebenarnya bisa saja ada yang mendengarnya namun berpura-pura tidak mendengar karena tidak mau mengusik Innara yang jelas kini berstatus sebagai istri pemimpin mereka.Namun gosip pertengkaran Rayka dan Azanie santer terdengar sampai ke telinga Innara beberapa hari setelahnya. Bahkan Lusi sendiri membicarakannya."Mereka bilang kalau Rayka dan Azanie membahas masalah perceraian dalam pertengkaran mereka." Ucap Lusi saat mereka menghabiskan makan siang bersama di taman.Kenapa orang-orang tampak begitu tertarik pada urusan orang lain? Kenapa mereka memilih mendengarkan alih-alih pergi dan kenapa juga mereka memilih menyebarkannya. Padahal kalau saja informasi itu mereka telan sendiri, saat ini Innara tidak akan mendengad apa-apa.Innara sendiri sebenarnya enggan terlibat dan tidak mau ambil pusing akan urusan Azanie dan juga Rayka. Namun ia kembali mengin
"Kamu mengundurkan diri?" Innara yang sedang duduk di ruang istirahat mendongak kaget saat Rayka yang baru saja datang tiba-tiba memberondong Innara dengan pertanyaan bernada menuduh itu seolah Innara baru saja membuat kesalahan fatal.Innara memandang pria itu dengan alis bertaut. "Darimana kamu tahu?" Ia balik bertanya dengan nada ketus. Tak peduli kalau Rayka saat ini berstatus sebagai atasannya."Aku tidak buta. Aku melihat pengumuman rekrutmen yang dibuka oleh pihak HRD." Jawabnya masih tampak kesal."Ya lalu?""Kenapa kau mengundurkan diri begitu saja?" Tanya Rayka dingin."Kenapa tidak boleh?" Innara balik bertanya."Apa ini karena Azanie yang juga melamar bekerja disini?" Tanya pria itu ketus. "Aku sudah membujuknya untuk tidak melamar kesini. Dan aku sudah bicara pada pihak HRD untuk tidak menerima lamarannya. Tapi mereka yang memberikannya kesempatan." Ucap Rayka lelah.Innara mengernyit. Dia sendiri tidak tahu kalau Azanie
Innara memandangi hasil dari tiga testpack berbeda merk yang ada di tangannya. Dan ketiga benda itu menunjukkan hasil yang sama. Negatif.Innara menghela napas panjang dan menghembuskannya pasrah. Entah kenapa tiba-tiba saja Innara merasa rongga dadanya teramat kosong. Tenggorokannya tercekat. Ia ingin menangis tapi airmatanya sama sekali tidak keluar.Innara saat ini merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Sepertinya dia berekspektasi terlalu tinggi dan berharap bisa segera hamil. Berpikir kalau dirinya sangat subur padahal kenyataannya?Ia kembali menarik napas panjang dan menghembuskannya, berharap dengan demikian ia bisa mendapatkan ketenangan hati. 'Tenang Innara, usia pernikahanmu dengan Halil itu masih seumur jagung. Diluar sana masih banyak orang yang sudah menikah bertahun-tahun namun belum memiliki keturunan. Tenanglah, rejeki akan datang pada waktunya.' Ucap Innara pada diri sendiri.Namun nyatanya kekecewaan Innara tak kunjung membaik begitu saj
Innara sudah kembali mengenakan seragamnya. Sudah waktunya ia kembali bekerja karena masa cutinya sudah habis. Halil sendiri sebenarnya sudah membujuknya untuk berhenti bekerja dan beristirahat saja di rumah, mencari kegiatan lain selain berkeliling resort dan melayani tamu tapi Innara menolaknya.Ia butuh kegiatan dan bekerja di resort menjadi salah satu peralihan bosannya.Sebenarnya Halil tidak benar-benar melarangnya bekerja. Alasan pria itu meminta Innara untuk berhenti adalah karena Halil tidak mau Innara berhubungan dengan Rayka yang notabene merupakan atasan langsungnya di resort. Belakangan, setelah liburan usai Halil memang lebih protektif kepada Innara terlebih mengenai interaksinya dengan Rayka.Bukan karena cemburu buta. Tidak. Yang pasti Halil sudah merasa yakin kalau Innara sudah sepenuhnya menyerahkan hati dan tubuhnya pada Halil. Namun justru yang Halil takutkan adalah Rayka sendiri.Ada yang aneh dari Rayka semenjak liburan bersama merek