Home / Thriller / Mayat di Balik Plafon / 8. Kejanggalan Kasus

Share

8. Kejanggalan Kasus

Author: Annisarz
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Kenapa anda diam, Nona Adhisti? Amda terkejut bagaimana saya dan tim saya bisa menemukan beda ini padahal anda telah menyembunyikannya di sebuah ruang rahasia di kamar anda?” tutur Abbiyya semakin membuat degup jantung Adhisti berpacu kencang.

“Itu bukan punya gue! Itu mungkin punya pelaku yang sengaja ditaruh di sana buat jebak gue! Pokoknya itu bukan punya gue!” sergah Adhisti usai menolehkan wajahnya menghadap Abbiyya yang memandangnya sambil berdiri.

“Jangan berbohong, Nona! Semakin anda berbohong, semakin kami mencurigai anda. Kami telah mengetahui semua jawabannya. Jadi jika anda berbohong, itu tak akan menyelamatkan anda dari hukuman melainkan semakin menjatuhkan anda!” terang Abbiyya lalu kembali duduk di kursi yang ada di hadapan Adhisti.

Tangan pria itu membalik peti kayu ke arah lain. Sebuah ukiran amatir yang diduga diukir dengan sebuah cutter berkarat hadir di sana.

“Bukankah Chaaya adalah nama anda, Nona? Ini adalah milik anda. Bahkan nota pembeliannya ada di dalam sana
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Mayat di Balik Plafon   9. Selang Waktu Pelaporan

    Abbiyya berjalan menyusuri koridor Apartemen Bumi Tua 1996 yang sepi seraya menutup resleting jaket dinasnya yang berwarna hitam itu. Pria itu berjalan menaiki tangga hingga akhirnya kaki kananya memijak lantai yang beberapa saat lalu ia datangi. Lantai tujuh. “Selamat sore!” pekik Abbiyya sementara tangannya sekali mengetuk pintu apartemen kayu bernomor 702 tersebut. Pintu itu sedikit menampakkan celah tanda sang penyewa apartemen tak menutupnya dengan benar. Saat tangan Abbiyya hendak kembali mengetuk, sedikit suara ia dengar dari dalam sana. “Lo kenapa nggak jenguk Adhisti, Raf! Kasihan dia di sana pasti ketakutan! Lo satu-satunya keluarga yang dia punya, dia nggak punya siapa-siapa lagi selain lo, lo tega biarin dia?” Suara Rio dengan cepat mampu dikenali oleh Abbiyya. “Gue juga khawatir sama dia, Ri! Cuma gimana lagi? Polisi nemuin pisau dengan noda darah korban dan sidik jari Chaaya di sana. Selama ini gue nggak pernah tahu Chaaya punya benda itu. Dan sekarang gue tahu denga

  • Mayat di Balik Plafon   10. Kunjungan yang Lainnya

    “Space room? Apa maksud anda dengan space room yang menghubungkan lantai satu dengan lantai lainnya?” tanya Abbiyya kini dahinya berkerut sementara matanya memandang ke arah Adhisti “Hh!” Adhisti mendengus dan kini merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. “Gue pikir lo dan tim lo hebat! Ternyata nggak sehebat itu, yah! Hal kaya gini aja lo nggak tahu! Dan lo? Malah menangkap gue?! Emang dunia ini aneh! Korban dijadikan pelaku, pelaku dijadikan korban. Miris!!” sergah Adhisti. “Jika anda tahu sesuatu mengenai kasus ini, semestinya anda beri tahu kepada tim kami. Mungkin saja ini dapat membantu merujuk pada pelaku lain jika memang anda tidak bersalah, Nona!” Abbiyya mulai berharap-harap cemas berharap Adhisti hendak mengatakan apa yang ia ketahui tentang space room itu. “Untuk apa?! Palingan setelah gue kasih tahu kalian semua akan malah semakin nuduh gue! Bukan begitu Abbiyya?!” sergah Adhisti. Baru saja mulut Abbiyya tampak hendak terbuka lagi, seorang petugas datang menghampiri

  • Mayat di Balik Plafon   11. Space Room

    Abbiyya tampak sibuk dengan semua berkas yang ada mejanya, semua laporan kasus yang menimpa Adhisti di kamar apartemennya secara seketika membuat mejanya penuh dengan file laporan yang memang ia minta semalam. Tok! Tok! Tok! Seorang petugas tiba-tiba mengetuk ruang kerja Abbiyya dengan pelan, namun mata tajam Abbiyya langsung mengarah ke arah pintu dan mempersilakan pria itu masuk. “Ada kabar apa? Kalian telah membawa laporan yang saya minta semalam?” Abbiyya seorang yang tak menyukai basa-basi selalu menjalankan misinya dengan lantang. Ia akan cenderung terlihat galak dengan semua pertanyaannya yang tanpa pembuka itu. “Sudah, Pak! Berikut adalah laporan yang kami dapatkan dari pengurus apartemen mengenai selentingan berita space room tersebut!” pekik sang petugas lalu menyodorkan sebuah map sambil sedikit membungkuk. Abbiyya segera meraih map itu dan membukanya di tempat. Matanya langsung dengan tajam membaca deretan tulisan itu dengan teknik membaca cepat yang ia kuasai. “Pengu

  • Mayat di Balik Plafon   12. Mempertaruhkan Lencana

    “Apa?! Membebaskannya?! Apa kau sudah kehilangan akal pikiranmu, Abbiyya?!” Anas tampak mengamuk bahkan ia hingga bangkit dari kursi singgasananya. Pria itu menatap tajam Abbiyya yang kini hanya menatap meja kerja Anas. “Baiklah! Saya tahu anda adalah personil terbaik kami dan anda tak akan memberikan ide buruk untuk kasus yang bukan permainan ini. Jadi apa alasan anda, Abbiyya?” tutur Anas tampak berusaha meredam emosinya itu dengan baik. “Saya rasa ada banyak kejanggalan, Pak! Penangkapan Adhisti sebenarnya bukan kunci selesainya masalah ini. Saya merasa dia hanya kambing hitam bagi sang pelaku. Banyak kemungkinan lain yang mungkin bisa kita curigai,” papar Abbiyya kini sedikit mendongak melihat ke arah Anas. “Kemungkinan apa? Kemungkinan yang mana?” Anas kembali mendudukkan dirinya ke kursi kerja miliknya lalu meletakkan kedua tangannya di atas meja tersebut. “Adhisti mengatakan jika apartemen yang ia tinggali itu memiliki space room yang mengarah kepada dengan lantai yang ber

  • Mayat di Balik Plafon   13. Sisi Lain Abbiyya

    “Hey, Abbi!” pekik Ganendra salah satu kawan satu pekerjaan dengan Abbiyya yang tiba-tiba muncul dari pintu ruangan Abbiyya. Dengan cepat Abbiyya menyelipkan foto itu kembali ke salah satu notesnya dan segera menutup lacinya rapat saat Ganendra semakin mendekatinya. “Sembunyiin apaan? Perasaan selalu ngunci rapat laci?” tutur Ganendra lalu duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan meja kerja Abbiyya. “Adalah, bukan urusan lo juga! Kenapa tiba-tiba manggil gitu? Ada info baru? Atau mau diskusi soal kasus yang lagi lo tangani?” tanya Abbiyya. Ganendra dan Abbiyya merupakan kawan satu angkatan saat masa pendidikan, tak heran jika keduanya terlihat sangat akrab dan berbahasa gaul saat saling berbicara satu sama lain di luar tugas mereka. “Bukan! Lagi nggak ada yang mau didiskusikan! Cuma ada yang mau gue tanyain!” pekik Ganendra kini menyandarkan punggungnya ke kursi yang kala itu ia duduki. “Apa?” Abbiyya meraih kulkas mini yang ada di belakang meja kerjanya lalu mengambil dua

  • Mayat di Balik Plafon   14. Status Tahanan

    Keesokan harinya, tepatnya pukul 9 pagi, Abbiyya tampak berjalan mendekati sel tahanan Adhisti namun sedikit berbelok ke arah meja penjagaan. Pria itu memberikan selembar surat lampiran dan tak lama usai membacanya, sang petugas langsung berjalan ke arah sel Adhisti dengan satu gebok kunci. Suara gembok yang gemeletak langsung membuat Adhisti tersadar dari lamunannya yang sedikit membawanya pada alam bawah sadar alias ketiduran. Ia segera mendongakkan kepalanya dan mengedip-kedipkan matanya untuk mengetahui siapa yang baru saja membuat suara berisik hingga mengganggu waktu istirahat paginya itu. “Nona Chaaya Adhisti Pramagya, hari ini status anda diturunkan menjadi tahanan kota. Anda diperbolehkan kembali ke kediaman anda!” pekik sang petugas yang membukakan pintu sel. Wajah Adhisti yang kala itu sedang memfokuskan cahaya, kini malah semakin berkerut saat mendengar penuturan sang petugas. Adhisti segera bangkit lalu menghampiri petugas itu di ambang pintu jeruji yang selama dua mal

  • Mayat di Balik Plafon   15. Perintah Bukan Tawaran

    “Tunggu! Sejak kapan lo pakai bahasa gue?! Shit! Lo siapa, sih?! Jangan bilang dari awal emang lo udah ngincer gue ya?! Mau apa lo?!” sergah Adhisti kini tampak lebih panik daripada sebelumnya. “Heh, Adhisti! Ngaco lo! Lo pikir gue beneran mau culik lo?! Ngapain juga gue culik lo, heh?! Aneh!” umpat Abbiyya kini turut menatap Adhisti kesal. “Ya terus?!” “Gue cuma mau keadilan buat kasus ini! Gue ngerasa lo nggak salah! Dan lo pantes untuk dapat kesempatan kedua buat buktiin kalau lo bukan pelakunya! Dan karena itu gue jaminkan lencana gue untuk bisa bebasin lo! Dan sekarang, lo malah nuduh gue jadi penculik? Gak tahu diri lo ya!” Abbiyya memutar posisi duduknya hingga menghadap ke arah depan kemudi. Adhisti cukup tercekat dengan penjelasan yang Abbiyya berikan. Ia cukup terkejut saat mengetahui fakta bahwa Abbiyya ternyata masih memiliki sedikit kepercayaan pada dirinya jika bukan ia yang menjadi dalang kasus mayat di balik plafon itu. “Kenapa lo mau percaya sama gue? Kita baru k

  • Mayat di Balik Plafon   16. Kembali ke Neraka

    “Iya, Rio! Gue nemuin banyak kejanggalan tentang dia, tentang semua sikapnya selama gue menangani kasus ini. Lo bisa baca semuanya di situ,” tutur Abbiyya sembari menyodorkan berkas itu ke tangan Adhisti.Dengan cukup cepat, Adhisti segera mengambil benda itu dari tangan Abbiyya dan membukanya dengan sedikit sarkas. Sepanjang ia membaca, matanya sedikit memicing, lalu kembali membulat, dan tak lupa kerutan di dahi.“Gue tahu ini bukan alasan yang kuat, makanya gue nggak bawa berkas ini untuk dilaporkan ke kantor polisi. Ini cuma praduga gue, bukan bukti. Dan cuma lo yang bisa bawa bukti itu! Lo yang bisa cari tahu, Dhis!” bujuk Abbiyya masih terus memandangi Adhisti yang masih fokus membaca.“Tapi gimana kalau bukan dia pelakunya dan kita cuma habis-habisin waktu kita?” tanya Adhisti kini membalas tatapan mata Abbiyya.“Kita akan menyelidiki semuanya, Dhis! Semua kemungkinan adanya nama lain. Tapi tanpa melupakan Rio. Gue juga belum menemukan apa motivasi Rio dan gimana dia bisa kenal

Latest chapter

  • Mayat di Balik Plafon   142. Akhir Segala Penderitaan

    “Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit

  • Mayat di Balik Plafon   141. Miliknya Seutuhnya?

    “Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam

  • Mayat di Balik Plafon   140. Sang Pelaku

    Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga

  • Mayat di Balik Plafon   139. Membongkar Diri Sendiri

    “Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam

  • Mayat di Balik Plafon   138. Setelah Semalam

    Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi

  • Mayat di Balik Plafon   137. Bukan Malam Biasa

    “Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or

  • Mayat di Balik Plafon   136. Kecurigaan Baru

    “Abbiyya, gue udah pernah bilang sama lo untuk lepasin Chaaya. Dia aman sama gue. Dia nggak perlu perlindungan lo lagi! Jadibm udahlah, lo juga nggak perlu cari tahu soal gue atau pun pernikahan gue. Gue nggak suka!” sergah Rafa lalu langsung meninggalkan Abbiyya begitu saja. “Sikap dia yang kaya gini yang makin bikin gue curiga. Gue perlu bukti valid tentang hubungan Adhisti sama Rafa. Mungkin cuma dengan bukti itu Adhisti bakal percaya sama gue kalau ada yang nggak beres sama Rafandra!” bisik Abbiyya sambil memandang lurus ke arah Rafandra yang berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah ide muncul di pikiran Abbiyya. Ia menemukan satu cara yang sebenarnya sedikit ilegal untuk dilakukan. Namun sekarang tak ada cara lain yang bisa ia pikirkan. Ia pun sedikit ragu apakah ia bisa menemui Rafa maupun Adhisti lagi setelah ini. Abbiyya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah injeksi kecil yang bahkan tak tampak dalam genggamannya. Ia berjalan mengikuti Rafa yang saat itu tengah mengantre di halte

  • Mayat di Balik Plafon   135. Kasus Menggantung

    “Abbiyya!” pekik Ganendra tampak berlari cepat ke arah Abbiyya yang saat itu hendak berjalan keluar kantor polisi. Abbiyya berbalik dan melihat Ganendra sedikit tergopoh mengejarnya. Pria itu mengerutkan dahi tanda sedikit kebingungan atas apa yang terjadi di hadapannya itu. “Ada apa, Gan? Kenapa lari buru-buru gitu? Ada yang urgent?” ujar Abbiyya. “Lo udah denger keputusan baru soal kasus Mayat di Balik Plafon unit 706 itu?” tutur Ganendra sambil masih sedikit ngos-ngosan. “Ya, sidangnya tadi pagi ‘kan? Gue denger Rio dapat hukuman setimpal kok. Emang kenapa?” Abbiyya lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Gue denger rumornya kasus si Rio itu masih ngegantung! Dia diadili untuk perbuatan dia soal pelecehan itu. Tapi untuk penemuan mayat di balik plafon itu dia minta banding karena alasan pemalsuan data sama kaya yang terjadi sama Adhisti. Dan karena itu kasusnya masih gantung sekarang sampai pusat nemuin benang merah lainnya!” papar Ganendra. “Seriusan? Bukannya bukti kemarin sudah je

  • Mayat di Balik Plafon   134. Pernikahan Impianmu

    Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”

DMCA.com Protection Status