“Da-dari mana lo tahu soal itu?!” Abbiyya terkekeh lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Pria itu kini menatap Adhisti yang tampak amat cemas.
“Tak penting dari mana saya tahu tentang hal itu. Satu yang perlu anda tahu, saya bisa melaporkan masalah hak cipta film itu dan membuat anda terkena pasal berlapis kapan saja. Jadi, lakukanlah pemeriksaan ini dengan baik. Anda mengerti, Nona?” ujar Abbiyya.
Adhisti kini hanya bisa terdiam sambil menahan emosinya pada Abbiyya. Sementara itu, Abbiyya tampak kembali menegakkan tubuhnya lagi dan menunjuk foto seorang wanita muda di map itu.
“Mawar! Kami mengidentifikasi korban dari sisa-sisa potongan tubuh yang masih bisa kami selidiki. Dan darinya, kami mendapat informasi bahwa korban adalah wanita berusia 24 tahun bernama Mawar. Anda mengenalnya bukan?” tanya Abbiyya kini sedikit mendongak ke arah Adhisti yang masih mengamati foto itu.
“Gue nggak kenal! Gue nggak tahu dia siapa!” sergah Adhisti.
“Benarkah? Tapi, Nona! Ada satu fakta menarik tentang keterkaitan anda dengan korban bernama mawar ini!” pekik Abbiyya membuat Adhisti mengerutkan dahinya.
“Korban adalah agen utama Sky Corporation. Bukankah itu nama perusahaan saingan anda dalam bisnis gelap penyelundupan film, Nona Adhisti?” terang Abbiyya mengungkapkan satu fakta.
“Okey! Gue emang tahu Sky Corporation! Gue emang pernah dengar bos gue sebut nama Mawar! Tapi gue nggak tahu muka dia kaya gimana!” sergah Adhisti.
“Kau tahu Nona, entah benar atau tidak pengakuanmu itu, tapi jika pihak kepolisian akhirnya mengetahui latar belakang Mawar dan pekerjaan gelapnya, lalu menyeret nama anda sebagai rivalnya, anda akan menjadi tersangka utama.”
“Tapi gue bukan pelakunya! Gue berani jamin! Ya gue tahu, gue sering buat masalah di apartemen tua itu! Gue sering ganggu banyak penghuni di sana yang bikin mereka mungkin dendam sama gue. Tapi itu bukan berarti gue tega membunuh ‘kan?! Gue masih manusia yang punya hati!” tolak Adhisti dengan sedikit menggebrak meja.
“Tapi Nona, bukankah hanya anda seorang yang memiliki akses ke dalam kamar anda itu? Dan mengapa anda membeli lakban serta tiga buah pengharum ruangan itu? Anda ingin menutupi perbuatan anda?” Abbiyya membalik lembaran kertas pada map tersebut tanpa mengubah tatapannya pada Adhisti.
“Semua orang bisa masuk kalau mereka emang niat! Ya meskipun itu kecil kemungkinannya, tapi nggak ada yang nggak mungkin ‘kan?!” sergah Adhisti.
“Yap, tepat sekali! Semuanya mungkin terjadi. Termasuk anda membunuh saingan bisnis gelap anda,” ujar Abbiyya.
“Kami telah mengantongi banyak pengakuan narasumber sejak kemarin, Nona! Penjaga laundry yang anda telepon malam hari sebelum laporan ini datang kepada kami, penjaga kios tempat anda membeli lakban dan pengharum ruangan, serta seorang satpam apartemen yang melihat anda mengambil tanah dari belakang apartemen.”
“Hah? Mereka?! Apa yang mereka bilang soal gue?! Mereka jatuhin gue?! Sialan!” sergah Adhisti.
“Silakan saja baca laporan itu, Nona! Semua ada di sana. Setelah anda membacanya, baru kami akan memberi sesi pembelaan atas kesaksian para narasumber itu.
Dengan kasar Adhisti meraih map itu ke dekatnya. Susunan kalimat rapi membuat matanya mampu membaca dengan cepat, bergeser dari sudut kiri hingga kanan.
‘Kesaksian penjaga laundry mengatakan bawah tersangka Chaaya Adhisti Pramagya memesan jadwal laundry untuk mencuci seprai bekas jasad manusia.’
‘Kesaksian penjaga kios mengatakan jika ia mendengar tersangka Chaaya Adhisti Pramagya mengatakan dalam telepon mengenai keberadaan mayat dalam kamar kerjanya.’
‘Kesaksian satpam Apartemen Bumi Tua 1996 mengatakan bahwa melihat tersangka Chaaya Adhisti Pramagya mengambil tanah di belakang gedung apartemen dan mengaku untuk mengubur mayat manusia yang tewas.’
“Bohong!! Ini semua bohong! Mereka menganggap lelucon itu sebagai kenyataan?! Gila! Nggak! Gue cuma bercanda waktu ngatain itu semua!” sergah Adhisti langsung menghempaskan kertas itu kembali ke meja lalu menatap Abbiyya dengan marah.
Abbiyya mendekatkan tubuhnya ke dekat tepian meja lalu turut menatap Adhisti dengan tatapan selidik ciri khasnya selama bertugas sebagai aparat kepolisian.
“Lelucon? Apakah penemuan mayat itu lelucon, Nona? Dan untuk apa anda membuat lelucon yang sama kepada tiga orang tersebut terlebih masalah mayat manusia? Apakah anda ingin membuat alibi yang kuat?” bisik Abbiyya.
“Bajingan! Bisa nggak sih percaya?! Percuma lo tanya kalau gak percaya sama jawaban gue! Waktu itu gue murni bercanda karena mereka terus cerewet tanya-tanya! Lagi pula mereka semau tahu gimana gue sering ngusilin mereka! Lelucon itu semestinya nggak mereka anggap sebuah fakta!” Adhisti mengepalkan tangannya di atas meja, napasnya terlihat sangat tersengal, keringatnya mulai menetes dari dahi menuju leher jenjang gadis itu.
“Baiklah.” Abbiyya memundurkan posisi duduknya lalu berdiri dan memukul lampu gantung yang menjadi satu-satunya penerangan di ruangan itu.
Pria itu berjalan mendekati kursi Adhisti hingga membuat Adhisti sedikit memicingkan tubuhnya menjauh dari sisi Abbiyya.
“Baiklah, Nona! Anggap saya semua kesaksian mereka hanyalah kesaksian atas lelucon yang anda berikan. Anggap semua kesaksian mereka tak lagi berguna untuk memberatkan tuduhan terhadap anda. Tapi, bagaimana anda jelaskan tentang bukti yang satu ini?” ujar Abbiyya lalu menengok ke arah pintu masuk.
Tangan pria itu sedikit memberi kode pada salah satu anak buahnya yang langsung masuk dengan sebuah peti kayu lalu meletakkannya di meja.
Semenjak peti itu diletakkan di atas meja, Adhisti langsung terperanjat. Ia kesusahan menelan salivanya sendiri. Jantungnya berdegup jauh lebih kencang, keringatnya pun mengalir lebih deras.
“Anda tahu bukan apa isinya?” bisik Abbiyya lalu membuka peti kayu berukuran 50 sentimeter tersebut.
“Satu set pisau mata tajam dengan noda darah milik korban bernama Mawar dan juga sidik jari anda, Nona Adhisti!” lanjut Abbiyya.
“Kenapa anda diam, Nona Adhisti? Amda terkejut bagaimana saya dan tim saya bisa menemukan beda ini padahal anda telah menyembunyikannya di sebuah ruang rahasia di kamar anda?” tutur Abbiyya semakin membuat degup jantung Adhisti berpacu kencang.“Itu bukan punya gue! Itu mungkin punya pelaku yang sengaja ditaruh di sana buat jebak gue! Pokoknya itu bukan punya gue!” sergah Adhisti usai menolehkan wajahnya menghadap Abbiyya yang memandangnya sambil berdiri.“Jangan berbohong, Nona! Semakin anda berbohong, semakin kami mencurigai anda. Kami telah mengetahui semua jawabannya. Jadi jika anda berbohong, itu tak akan menyelamatkan anda dari hukuman melainkan semakin menjatuhkan anda!” terang Abbiyya lalu kembali duduk di kursi yang ada di hadapan Adhisti.Tangan pria itu membalik peti kayu ke arah lain. Sebuah ukiran amatir yang diduga diukir dengan sebuah cutter berkarat hadir di sana.“Bukankah Chaaya adalah nama anda, Nona? Ini adalah milik anda. Bahkan nota pembeliannya ada di dalam sana
Abbiyya berjalan menyusuri koridor Apartemen Bumi Tua 1996 yang sepi seraya menutup resleting jaket dinasnya yang berwarna hitam itu. Pria itu berjalan menaiki tangga hingga akhirnya kaki kananya memijak lantai yang beberapa saat lalu ia datangi. Lantai tujuh. “Selamat sore!” pekik Abbiyya sementara tangannya sekali mengetuk pintu apartemen kayu bernomor 702 tersebut. Pintu itu sedikit menampakkan celah tanda sang penyewa apartemen tak menutupnya dengan benar. Saat tangan Abbiyya hendak kembali mengetuk, sedikit suara ia dengar dari dalam sana. “Lo kenapa nggak jenguk Adhisti, Raf! Kasihan dia di sana pasti ketakutan! Lo satu-satunya keluarga yang dia punya, dia nggak punya siapa-siapa lagi selain lo, lo tega biarin dia?” Suara Rio dengan cepat mampu dikenali oleh Abbiyya. “Gue juga khawatir sama dia, Ri! Cuma gimana lagi? Polisi nemuin pisau dengan noda darah korban dan sidik jari Chaaya di sana. Selama ini gue nggak pernah tahu Chaaya punya benda itu. Dan sekarang gue tahu denga
“Space room? Apa maksud anda dengan space room yang menghubungkan lantai satu dengan lantai lainnya?” tanya Abbiyya kini dahinya berkerut sementara matanya memandang ke arah Adhisti “Hh!” Adhisti mendengus dan kini merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. “Gue pikir lo dan tim lo hebat! Ternyata nggak sehebat itu, yah! Hal kaya gini aja lo nggak tahu! Dan lo? Malah menangkap gue?! Emang dunia ini aneh! Korban dijadikan pelaku, pelaku dijadikan korban. Miris!!” sergah Adhisti. “Jika anda tahu sesuatu mengenai kasus ini, semestinya anda beri tahu kepada tim kami. Mungkin saja ini dapat membantu merujuk pada pelaku lain jika memang anda tidak bersalah, Nona!” Abbiyya mulai berharap-harap cemas berharap Adhisti hendak mengatakan apa yang ia ketahui tentang space room itu. “Untuk apa?! Palingan setelah gue kasih tahu kalian semua akan malah semakin nuduh gue! Bukan begitu Abbiyya?!” sergah Adhisti. Baru saja mulut Abbiyya tampak hendak terbuka lagi, seorang petugas datang menghampiri
Abbiyya tampak sibuk dengan semua berkas yang ada mejanya, semua laporan kasus yang menimpa Adhisti di kamar apartemennya secara seketika membuat mejanya penuh dengan file laporan yang memang ia minta semalam. Tok! Tok! Tok! Seorang petugas tiba-tiba mengetuk ruang kerja Abbiyya dengan pelan, namun mata tajam Abbiyya langsung mengarah ke arah pintu dan mempersilakan pria itu masuk. “Ada kabar apa? Kalian telah membawa laporan yang saya minta semalam?” Abbiyya seorang yang tak menyukai basa-basi selalu menjalankan misinya dengan lantang. Ia akan cenderung terlihat galak dengan semua pertanyaannya yang tanpa pembuka itu. “Sudah, Pak! Berikut adalah laporan yang kami dapatkan dari pengurus apartemen mengenai selentingan berita space room tersebut!” pekik sang petugas lalu menyodorkan sebuah map sambil sedikit membungkuk. Abbiyya segera meraih map itu dan membukanya di tempat. Matanya langsung dengan tajam membaca deretan tulisan itu dengan teknik membaca cepat yang ia kuasai. “Pengu
“Apa?! Membebaskannya?! Apa kau sudah kehilangan akal pikiranmu, Abbiyya?!” Anas tampak mengamuk bahkan ia hingga bangkit dari kursi singgasananya. Pria itu menatap tajam Abbiyya yang kini hanya menatap meja kerja Anas. “Baiklah! Saya tahu anda adalah personil terbaik kami dan anda tak akan memberikan ide buruk untuk kasus yang bukan permainan ini. Jadi apa alasan anda, Abbiyya?” tutur Anas tampak berusaha meredam emosinya itu dengan baik. “Saya rasa ada banyak kejanggalan, Pak! Penangkapan Adhisti sebenarnya bukan kunci selesainya masalah ini. Saya merasa dia hanya kambing hitam bagi sang pelaku. Banyak kemungkinan lain yang mungkin bisa kita curigai,” papar Abbiyya kini sedikit mendongak melihat ke arah Anas. “Kemungkinan apa? Kemungkinan yang mana?” Anas kembali mendudukkan dirinya ke kursi kerja miliknya lalu meletakkan kedua tangannya di atas meja tersebut. “Adhisti mengatakan jika apartemen yang ia tinggali itu memiliki space room yang mengarah kepada dengan lantai yang ber
“Hey, Abbi!” pekik Ganendra salah satu kawan satu pekerjaan dengan Abbiyya yang tiba-tiba muncul dari pintu ruangan Abbiyya. Dengan cepat Abbiyya menyelipkan foto itu kembali ke salah satu notesnya dan segera menutup lacinya rapat saat Ganendra semakin mendekatinya. “Sembunyiin apaan? Perasaan selalu ngunci rapat laci?” tutur Ganendra lalu duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan meja kerja Abbiyya. “Adalah, bukan urusan lo juga! Kenapa tiba-tiba manggil gitu? Ada info baru? Atau mau diskusi soal kasus yang lagi lo tangani?” tanya Abbiyya. Ganendra dan Abbiyya merupakan kawan satu angkatan saat masa pendidikan, tak heran jika keduanya terlihat sangat akrab dan berbahasa gaul saat saling berbicara satu sama lain di luar tugas mereka. “Bukan! Lagi nggak ada yang mau didiskusikan! Cuma ada yang mau gue tanyain!” pekik Ganendra kini menyandarkan punggungnya ke kursi yang kala itu ia duduki. “Apa?” Abbiyya meraih kulkas mini yang ada di belakang meja kerjanya lalu mengambil dua
Keesokan harinya, tepatnya pukul 9 pagi, Abbiyya tampak berjalan mendekati sel tahanan Adhisti namun sedikit berbelok ke arah meja penjagaan. Pria itu memberikan selembar surat lampiran dan tak lama usai membacanya, sang petugas langsung berjalan ke arah sel Adhisti dengan satu gebok kunci. Suara gembok yang gemeletak langsung membuat Adhisti tersadar dari lamunannya yang sedikit membawanya pada alam bawah sadar alias ketiduran. Ia segera mendongakkan kepalanya dan mengedip-kedipkan matanya untuk mengetahui siapa yang baru saja membuat suara berisik hingga mengganggu waktu istirahat paginya itu. “Nona Chaaya Adhisti Pramagya, hari ini status anda diturunkan menjadi tahanan kota. Anda diperbolehkan kembali ke kediaman anda!” pekik sang petugas yang membukakan pintu sel. Wajah Adhisti yang kala itu sedang memfokuskan cahaya, kini malah semakin berkerut saat mendengar penuturan sang petugas. Adhisti segera bangkit lalu menghampiri petugas itu di ambang pintu jeruji yang selama dua mal
“Tunggu! Sejak kapan lo pakai bahasa gue?! Shit! Lo siapa, sih?! Jangan bilang dari awal emang lo udah ngincer gue ya?! Mau apa lo?!” sergah Adhisti kini tampak lebih panik daripada sebelumnya. “Heh, Adhisti! Ngaco lo! Lo pikir gue beneran mau culik lo?! Ngapain juga gue culik lo, heh?! Aneh!” umpat Abbiyya kini turut menatap Adhisti kesal. “Ya terus?!” “Gue cuma mau keadilan buat kasus ini! Gue ngerasa lo nggak salah! Dan lo pantes untuk dapat kesempatan kedua buat buktiin kalau lo bukan pelakunya! Dan karena itu gue jaminkan lencana gue untuk bisa bebasin lo! Dan sekarang, lo malah nuduh gue jadi penculik? Gak tahu diri lo ya!” Abbiyya memutar posisi duduknya hingga menghadap ke arah depan kemudi. Adhisti cukup tercekat dengan penjelasan yang Abbiyya berikan. Ia cukup terkejut saat mengetahui fakta bahwa Abbiyya ternyata masih memiliki sedikit kepercayaan pada dirinya jika bukan ia yang menjadi dalang kasus mayat di balik plafon itu. “Kenapa lo mau percaya sama gue? Kita baru k
“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam
Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga
“Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam
Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi
“Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or
“Abbiyya, gue udah pernah bilang sama lo untuk lepasin Chaaya. Dia aman sama gue. Dia nggak perlu perlindungan lo lagi! Jadibm udahlah, lo juga nggak perlu cari tahu soal gue atau pun pernikahan gue. Gue nggak suka!” sergah Rafa lalu langsung meninggalkan Abbiyya begitu saja. “Sikap dia yang kaya gini yang makin bikin gue curiga. Gue perlu bukti valid tentang hubungan Adhisti sama Rafa. Mungkin cuma dengan bukti itu Adhisti bakal percaya sama gue kalau ada yang nggak beres sama Rafandra!” bisik Abbiyya sambil memandang lurus ke arah Rafandra yang berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah ide muncul di pikiran Abbiyya. Ia menemukan satu cara yang sebenarnya sedikit ilegal untuk dilakukan. Namun sekarang tak ada cara lain yang bisa ia pikirkan. Ia pun sedikit ragu apakah ia bisa menemui Rafa maupun Adhisti lagi setelah ini. Abbiyya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah injeksi kecil yang bahkan tak tampak dalam genggamannya. Ia berjalan mengikuti Rafa yang saat itu tengah mengantre di halte
“Abbiyya!” pekik Ganendra tampak berlari cepat ke arah Abbiyya yang saat itu hendak berjalan keluar kantor polisi. Abbiyya berbalik dan melihat Ganendra sedikit tergopoh mengejarnya. Pria itu mengerutkan dahi tanda sedikit kebingungan atas apa yang terjadi di hadapannya itu. “Ada apa, Gan? Kenapa lari buru-buru gitu? Ada yang urgent?” ujar Abbiyya. “Lo udah denger keputusan baru soal kasus Mayat di Balik Plafon unit 706 itu?” tutur Ganendra sambil masih sedikit ngos-ngosan. “Ya, sidangnya tadi pagi ‘kan? Gue denger Rio dapat hukuman setimpal kok. Emang kenapa?” Abbiyya lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Gue denger rumornya kasus si Rio itu masih ngegantung! Dia diadili untuk perbuatan dia soal pelecehan itu. Tapi untuk penemuan mayat di balik plafon itu dia minta banding karena alasan pemalsuan data sama kaya yang terjadi sama Adhisti. Dan karena itu kasusnya masih gantung sekarang sampai pusat nemuin benang merah lainnya!” papar Ganendra. “Seriusan? Bukannya bukti kemarin sudah je
Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”