“Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam
Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga
“Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam
“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Aaa!! Bang Rafa!! Ada belatung!!” teriak Adhisti gadis yang kala itu tengah asik berbaring di ranjang kamarnya sambil mengutak-atik benda pipih bercasing coklat itu. “Bang Rafa!!” Kini dengan cepat ia melompat dari singgasana ternyamannya itu lalu menatap ngeri ke kasur juga selimut yang tergeletak sembarangan.Puluhan hewan kecil putih cenderung cream tampak menggeliat di atas seprai putih bercorak kotak milik Adhisti. Napas gadis itu langsung terengah-engah saat melihat ranjangnya menjadi tempat puluhan belatung berwisata.“Bang Rafa sialan!! Lo budeg ya?!” sergah Adhisti sembari langsung menukikkan badannya ke kiri dan berlari ke arah luar kamarnya. Namun di saat yang bersamaan rupanya Rafa tengah berlari ke arah kamar Adhisti. Alhasil keduanya mengalami benturan.“Bego banget, sih! Bisa jalan pake mata gak sih lo?!” sergah Rafa sambil mencekal kedua bahu adiknya itu.“Lo yang bego, Bang! Dari tadi gue manggil kenapa baru muncul sekarang?! Kalau gue lagi disekap pembunuh udah mat
Dengan cepat Adhisti menarik ponselnya dari telinga dan memasukkannya ke saku kembali. Wajahnya langsung meringis saat melihat seorang lelaki jangkung dengan kaos yang sedikit oversize di berdiri di ujung tangga bawah “Bang Rio? Kok di sini? Sudah tutup ya, Bang? Tokonya? Ehm, anu!” pekik Adhisti langsung menuruni tangga dan menghampiri lelaki tinggi bernama Rio itu.Adhisti langsung mencekal pergelangan tangan kiri Rio dan menariknya menuju arah yang berlawanan.“Kok sudah di sini sih, Bang?! Baru aja Adhis mau ke kios Abang! Tolong bukain lagi ya, Bang! Ini urgent banget! Please!” bujuk Adhisti lagi-lagi menggunakan trik yang sama dengan yang ia tunjukan pada Rafa beberapa menit lalu.“Mau beli apa?” tanya Rio menatap Adhisti dengan penuh curiga. Matanya benar-benar menyipit dan membuat Adhisti sebentar merasa terintimidasi. “Anu, mau beli lakban sama pengharum ruangan!” pekik Adhisti berusaha meyakinkan mungkin.Sambil membuka lagi tautan gembok pada kiosnya dan mengerek rolling
Malam itu Adhisti benar-benar kekeh dengan permintaannya untuk tidur bersama Rafa dan saat itu juga Rafa tak bisa lagi menahan semua keluhan serta rengekan Adhisti. Setelah membuka tiga buah pengharum ruangan di kamar Adhisti, gadis itu menenteng bantal dan ponselnya ke kamar Rafa lalu langsung berbaring di sebelah sang kakak lalu memeluknya erat. Rafa tak bisa berkutik, cowok itu hanya bisa terdiam menatap atap dengan napas yang sedikit ia tahan hingga Adhisti tampak tertidur pulas. “Dasar dari kecil tiap mau tidur sama gue ngeyel mulu nggak bisa dibantah! Andai saja dia tahu kenyataannya, gue yakin dia nggak bakal lakuin hal termasuk peluk gue kaya gini!” gumam Rafa sebelum akhirnya memindah dekapan Adhisti dan beranjak dari ranjangnya. Malam itu, ia membiarkan Adhisti menguasai kamarnya dan ia tidur di sofa. Ia tak ingin sesuatu terjadi malam itu antara dirinya dan Adhisti. Sejak kematian kedua orang tuanya, hal itu yang selalu dilakukan Rafa setiap Adhisti merengek ingin tidu
“Chaay! Lo kenapa, sih!? Kenapa malah marah-marah?! Ini kasus kriminal, Chaay! Kita nggak tahu siapa dia dan apa yang terjadi sama dia, lo mau disalahkan kalau biarin ini?!” sergah Rafa mengamuk.“Bang, kalau kalian manggil polisi ke mari, abang mau liat aku dibawa sama mereka?! Abang mau aku dipenjara, hah?!” sergah Adhisti kini melepaskan dirinya dari rangkulan Rafa yang membantunya berjalan.“Dhis, lo ngomong apaan, sih? Kenapa lo jadi seolah nutupin masalah ini?! Jangan bilang lo ada hubungannya sama kasus ini?! Lo yang bunuh orang itu dan letakin jasadnya di balik plafon rumah lo sendiri?!” sergah Rio menyela.“Jaga omongan lo ya, Bang Rio! Lo itu nggak tahu apa-apa! Nggak usah ikut campur!! Mending balik aja sana ke unit lo! Nggak usah turut campur sama masalah gue dan keluarga gue!” sergah Adhisti menatap nyalang ke arah Rio.“Raf, gue rasa ada yang nggak beres sama adek lo ini! Ngapain dia ngelarang kita lapor ke polisi kalau dia aja nggak tahu apa-apa?! Kenapa dia ketakutan s
“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam
Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga
“Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam
Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi
“Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or
“Abbiyya, gue udah pernah bilang sama lo untuk lepasin Chaaya. Dia aman sama gue. Dia nggak perlu perlindungan lo lagi! Jadibm udahlah, lo juga nggak perlu cari tahu soal gue atau pun pernikahan gue. Gue nggak suka!” sergah Rafa lalu langsung meninggalkan Abbiyya begitu saja. “Sikap dia yang kaya gini yang makin bikin gue curiga. Gue perlu bukti valid tentang hubungan Adhisti sama Rafa. Mungkin cuma dengan bukti itu Adhisti bakal percaya sama gue kalau ada yang nggak beres sama Rafandra!” bisik Abbiyya sambil memandang lurus ke arah Rafandra yang berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah ide muncul di pikiran Abbiyya. Ia menemukan satu cara yang sebenarnya sedikit ilegal untuk dilakukan. Namun sekarang tak ada cara lain yang bisa ia pikirkan. Ia pun sedikit ragu apakah ia bisa menemui Rafa maupun Adhisti lagi setelah ini. Abbiyya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah injeksi kecil yang bahkan tak tampak dalam genggamannya. Ia berjalan mengikuti Rafa yang saat itu tengah mengantre di halte
“Abbiyya!” pekik Ganendra tampak berlari cepat ke arah Abbiyya yang saat itu hendak berjalan keluar kantor polisi. Abbiyya berbalik dan melihat Ganendra sedikit tergopoh mengejarnya. Pria itu mengerutkan dahi tanda sedikit kebingungan atas apa yang terjadi di hadapannya itu. “Ada apa, Gan? Kenapa lari buru-buru gitu? Ada yang urgent?” ujar Abbiyya. “Lo udah denger keputusan baru soal kasus Mayat di Balik Plafon unit 706 itu?” tutur Ganendra sambil masih sedikit ngos-ngosan. “Ya, sidangnya tadi pagi ‘kan? Gue denger Rio dapat hukuman setimpal kok. Emang kenapa?” Abbiyya lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Gue denger rumornya kasus si Rio itu masih ngegantung! Dia diadili untuk perbuatan dia soal pelecehan itu. Tapi untuk penemuan mayat di balik plafon itu dia minta banding karena alasan pemalsuan data sama kaya yang terjadi sama Adhisti. Dan karena itu kasusnya masih gantung sekarang sampai pusat nemuin benang merah lainnya!” papar Ganendra. “Seriusan? Bukannya bukti kemarin sudah je
Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”