Kamu selalu bertingkah konyol, anehnya, aku selalui menyukai itu.
5
Aku memilih meninggalkan rumah sakit keesokan paginya. Aku tak menyangka bahwa Tuhan masih memberi aku ,anak yang sangat durhaka pada ibunya, kesempatan untuk hidup. Kemarin saat aku melamunkan dirinya, aku yang terhanyut akan kenangan kita tak menyadari ada mobil yang oleng ke arah jalan dan hampir menabrakku, beruntung pemilik mobil segera memutar setir dan hanya menyenggolku, namun aku yang terjatuh dan kepalaku yang terhantam aspal aspal jalan membuat aku kehilangan kesadaran dan segera dilarikan ke rumah sakit. Administrasi rumah sakit juga di tanggung oleh pemilik mobil.
Kemarin saat aku sedang sibuk dengan pikiranku, ponselku berbunyi dan membawa kabar yang dapat menenangkan hatiku yang bergemuruh. Mamaku mengirimkan pesan padaku agar bahwa mama baik-baik saja dan hanya shock karena kecelakaan yang aku alami, dan dia berpesan agar aku harus menginap dan makan banyak. Tak banyak kata kata yang ku tuliskan untuk membalasnya aku hanya mampu menuliskan 'maaf dan terimakasih banyak ma, aku sangat sayang mama'. Aku sangat malu pada mama karena selalu merepotkannya dan membuatnya khawatir. Meski aku memilih menjauh dari keluargaku sendiri, namun mama selalu memberikan aku kasih sayang dengan selalu mengirimiku pesan dan makanan.
Aku memutuskan untuk tidak langsung kembali ke apartemen dan memilih untuk berjalan di sekitar taman. Menghirup udara segar disini sangat nyaman, di temani dedaunan yang berguguran.
Tin tin.
Ponselku berbunyi dan membuatku mengambilnya dari saku jaketku. Namun bukan sms yang masuk yang ku perhatikan namun wallpaper ponselku yang membuatku termenung. Aku memilih duduk di kursi taman sambil menatap kedua mata indahnya yang seakan mampu menarik jiwaku kembali ke masa lalu.
09 Februari 2018
"Kubilang jangan berkedip"
Ucapnya saat aku tak lagi sanggup menahan mataku untuk tetap terbuka."Tapi sampai kapan kita akan saling menatap seperti ini?" Aku memprotes.
"Tunggu sebentar lagi selesai." Ucapnya dan menatapku dengan mata memicing.
"Nah! Sudah selesai!, ini coba lihat ke arah kaca." Dia memberiku sebuah kaca.
Aku menatap wajahku, tetap tampan, hanya saja pada bagian tepi mataku dan kelopak mataku terdapat garis hitam hasil karya pacarku, yang manis, yang masih menatapku dengan mata berkilaunya. Hmm aku melihat diriku semakin dalam pada kaca.
"Aaah! Aku terlihat seperti hantu." Jeritku tak tahan saat melihat penampakan wajahku di cermin.
Aku menutupi wajahku dengan kedua tanganku dan bersembunyi, membelakanginya. Dia memegang pergelangan kedua tangan ku, dan membuatku mengarah padanya.
'Tok tok tok princess mau lihat pangeran tampan boleh nggak?" Tanyanya sambil mengetuk telapak tangan ku yang masih menutupi wajahku.
Dibalik telapak tanganku aku tersenyum. Dan masih tidak mau menjawab pertanyaannya.
"Tok tok tok, kalo pintunya nggak mau di buka, princess mau pulang aja nih!" Ancamnya. Aku tetap bergeming.
Menyadari tidak ada respon lagi. Aku mengintip dari sela jariku.
"Hayoo! Mau ngintip ya!", ujarnya mengejekku.
Aku terkekeh dan masih belum mau membuka tanganku.
"Ya sudah aku pulang saja." Menyadari nadanya yang kesal dan pergerakannya dari sofa aku buru-buru mencegahnya pergi.
"Jangan dong, maaf ya sayang." Ucapku menahannya agar tetap di sisiku.
Dia langsung kembali duduk di hadapanku dengan wajah ceria sambil menatap fokus mataku.
"Wah kadar ketampananmu semakin bertambah satu juta derajat kalo pake eyeliner dan eyeshadow!" Serunya sambil menempelkan tangannya pada kedua pipiku.
"Aku yang nggak pake eyeliner juga ganteng kok!" Bela ku penuh percaya diri.
"Aduh" Dia langsung mencubit perutku karena tingkat kepercayaan diriku yang tinggi.
"Sombong ya kalo ganteng." Ejeknya sambil mempoutkan bibirnya.
"Ganteng-ganteng gini juga punya kamu seorang kok." Goda ku.
"Gombal! Tapi beneran deh, kalo kamu pakai eyeliner dan eyeshadow hitam jadi mirip pesulap, apalagi mirip pesulap kesukaanku, Kang Bujair." Ujarnya dengan semangat.
Ya benar, dia memakaikan mataku eyeliner+eyeshadow karena sedang mengidolakan seorang magician terkenal yang satu itu. Hah!. Aku jelas beribu-ribu kali lebih tampan dari pada pesulap itu. Batinku sambil menyugar rambut hitamku.
"Ngapain sok ganteng gitu, sini aku lihat eyelinernya." Dia kembali mengarahkan wajahku ke hadapannya dan menatap mataku, lebih tepatnya netraku.
Aku juga semakin menatap matanya.
"Aku kayak hantu kalo kamu rias kayak gini." Protesku masih tidak terima.Dia menatap mataku dalam, kemudian tindakan yang selanjutnya dia berikan tidak bisa ku prediksi. Dia tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke hadapanku, aku secara refleks menutup kedua mataku. Kemudian aku merasakan benda lembab menyentuh kedua mataku secara bergantia. Aku kemudian membuka mataku. Menyadari bahwa dia telah mencium kedua mataku dengan bibir mungilnya yang berwarna merah muda.
Dan dia dengan tenangnya masih senyum-senyum di hadapanku. Dia tidak tahu saja jantungku yang berdebar karena perbuatannya. Dan dia masih dengan setianya menatap mataku.
Kemudian terlintas satu hal dalam pikiranku. Aku menatap dalam matanya yang juga sedang menatap netraku.
"Jangan bilang kamu merias mataku hanya karena ingin menatap kedua mataku?" Tebakku padanya.
Blush wajahnya memerah. Dan kemudian dia menunduk malu-malu. Berusaha membuat rambut coklatnya menutupi pipinya yang sedang bersemu.
Aku mencubit dagunya kemudian mengangkat wajahnya agar kembali menatap wajahku.
"Apasih" elaknya sambil memegang tangan ku yang mencubit dagunya dengan kedua telapak tangannya. Berusaha melepaskan namun secara malu-malu.
"Benarkan?" Tanyaku lagi memastikan.
Dan dia mengangguk dengan ekspresi malu-malu. Membuatku sangat ingin untuk menggigitnya!.
Aku mengubah posisiku, membuat dia terduduk di sofa, dan aku berdiri setengah membungkuk kearahnya, sambil memegang kedua tangannya di sisi kepalanya. Perlahan wajahku mendekat ke wajahnya yang semakin memerah.
"Sayang, kamu tidak perlu memikirkan sebuah cara untuk memandang mataku. Aku bisa memberikan semua yang kamu mau." Jelasku menatap matanya dengan teduh. Dia merespon dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mataku terpaku pada mata coklatnya yang indah, perlahan aku mendekatkan wajahku. Bibirku sangat dekat dengan bibirnya, saat bibirku menempel dan tidak ada protes darinya, aku mulai menggerakkan bibirku untuk melahap daging berwarna pink di depanku.
Dia dan aku terpejam, menikmati waktu yang seakan terkunci. Dan seakan tidak punya waktu lagi untuk menciumnya lagi, ciuman yang perlahan itu berubah menjadi menggebu.
Sampai-sampai membuat dia harus memberontak, dan akhirnya aku melepaskan ciuman kami. Dia menatap mataku yang berkabut, aku juga menatapnya yang terengah-engah dengan tatapan liar,
"Kamu...
Dduukkk
"Ahh!"
Dduukkk"Ahh!"Aku mengerang kesakitan. Kepalaku berdenyut. Sebuah bola basket menghantam kepalaku.Seorang pria dewasa dan anak kecil mendekat ke arah ku, anak kecil berjenis kelamin laki-laki dan berumur sekitar tujuh tahun itu mengambil bola basket yang menggelinding di sebelah kursi taman, membawanya dalam pelukannya di depan perutnya, kemudian kembali ke sisi pria itu. Pria itu kemudian tersenyum tidak enak sambil menatapku."Maaf, Pak. Saya sedang mengajari anak saya bermain basket. Ayo, 'Nak minta maaf," ujarnya meminta anaknya untuk meminta maaf padaku. Awalnya anak itu menatap polos ayahnya, kemudian dengan wajah tanpa dosanya itu dia menatap wajahku. "Maaf ya, Om," ucapnya.Hah sudahlah ini juga salahku, batinku mencemooh diriku yang kembali teringat tentang gadis berambut coklat yang terus menghantui pikiranku, bahkan hanya dengan melihat fotonya yang ada di laya
Tapi tiba-tiba dia mendorongku sampai jatuh dari sofa."Aww." Bokongku mendarat dengan sempurna, beruntung karpet bulu di sekitar sofa memiliki ketebalan yang lumayan sehingga membuat bokongku tidak terlalu sakit."Aha! Mari kita lihat ini!" serunya setelah mendapatkan hapeku."Ah! Sh**!" Aku mengumpat karena terkecoh godaannya."Kamu mengumpatiku sayang?" tanya nya dengan nada menggoda.Aku segera bangkit dari posisi jatuh terdudukku. Lalu segera duduk dibelakangnya dan memeluknya dari belakang. Menciumi lehernya yang menguarkan aroma manis."Kamu nakal!" ucapku pura-pura memarahinya. Dan masih mendekap tubuhnya dari belakang, sedang hidungku masih bertengger di leher putihnya yang harum."Kalo sekarang? Lebih nakal mana? Aku atau kamu?" Dia mengejekku rupanya.Aku menggelitik perutnya, membuatnya menggelinjang kegelian."Ah sudah, sudah cukup," ucapnya dengan wajah memerah.
"Sudah cukup, kapan kamu akan mulai bekerja untuk memenangkan lomba itu jika terus-terusan manja pada ku?" Dia berusaha melepaskan diri, dari jeratan pelukan ku."Ah aku tidak mau. biarkan kita seperti ini dahulu." Aku menggoyang-goyangkan badannya ke kanan dan ke kiri.Dia tiba-tiba mendorongku sampai aku jatuh terduduk di sofa, dan dia yang menumpukan kedua tangannya di sisi kanan dan kiri kepalaku, dengan satu kaki yang menekuk diatas sofa, hampir saja mengenai masa depanku.Awalnya aku menatap matanya kemudian memeriksa masa depanku, aku membuat ekspresi lega, hufft untung masih aman pikirku.Dia ikut menunduk dan tertawa. "Hahahaa ... Hampir saja ya babe, apa nanti bakal sakit?" tanyanya dengan nada polos.Aku menariknya agar duduk di paha kiriku. "Diam disini, temani aku melakukan tugasku." Aku kemudian mengambil drawing pad ku yang untung saja tidak jatuh saat ku lempar ta
"Nak tunggu!"Suara seorang wanita yang dulu lumayan sering ku dengar karena perempuan yang aku suka selalu mengajakku kesini tiap dua bulan sekali, membuatku menghentikan langkahku."Mas Williem kok disini? Nggak mau masuk ke dalam dulu?" Bibi em melangkahkan kakinya mendekatiku. Di tangannya dia memegang sebuah keranjang sampah, ah pasti bibi baru saja kembali dari belakang rumah setelah membuang beberapa kantong sampah."Kemana anak-anak bi em? Kenapa bibi em membuang sampah sendirian?" tanyaku heran, karena biasanya anak-anak pasti selalu mengitu kemanapun Bibi Em pergi."Anak-anak sedang tidur, mereka baru saja bekerja bakti hari ini, dan setelah melakukan pesta makan besar, mereka kelelahan dan akhirnya tertidur." Bibi Em menjelaskan."Wah pasti seru sekali." Aku yakin anak-anak pasti bersenang-senang tadi. aku berusaha mengambil alih keranjang sampah di tangan Bibi E
Aku kembali duduk saat bibi Em menghidangkan sajiannya. Oh iya kenapa aku dan gadisku memanggil Bibi Em, itu karena semua anak di panti ini memanggil bibi Em, ibu, jadi aku dan gadisku untuk memanggil bibi Em, bibi, dan tentu ini sudah di setujui bibi Em."Silahkan di minum, Nak," ucap Bibi Em mempersilahkanku untuk minum."Terimakasih Bi Em." Aku meneguk segelas teh yang disuguhkan pada ku. Aroma melati sempat sekilas tecium indra penciumanku sebelumaku meneguk tehnya."Sudah lama sejak kalian berdua tidak kemari, awalnya anak-anak panti sangat sedih karena kehilangan sosok kakak-kakak yang mengajak mereka bermain dan belajar. Tapi untung saja, beberapa minggu kalian tidak kemari, ada orang baru yang menghibur hati anak-anak di sini dengan mengajak mereka
Aku menggeser tubuhku, untuk mempersilahkan tuan putri duduk di sebelahku. “Coba lihat ini deh, Mida! Lagi ada kumpulan mahasiswa yang lagi ngadain bazar di sekitar sini. Tapi kita bisa beli secara online, loh. Coba lihat buku-buku yang mereka jual!” ucap gadisku sambil menunjukkan hpnya pada Mida yang awalnya tidak tertarik, tetapi berubah tertarik saat mendengar kata ‘Buku’ dan langsung menarik hp Keyza untuk dia amati lebih jauh. Gadisku tampak senang karena berhasil menarik perhatian lawan bicaranya. “Eh iya beneran bagus ada cerita fabelnya … ayo ayoo beli,” ucap Mida sambil menggandeng tangan gadisku, aku yang sedikit tidak rela ada orang lain yang menyentuh tangan gadisku, padahal aku saja yang baru berpacaran dengannya sangat jarang menyentuh tangannya. Aku menarik tangan gadisku agar lepas dari genggamannya. “Ayo pulang!” ajakku pada Keyza sambil menarik ranselku. Cemburu karena perhatiannya tidak lagi terpusat padaku. “Eh
“Sama, kok. Ya udah, aku mau lanjut keliling perpustakaan.” Ijinku karena memang yang menjaga perpustakaan adalah Mida sepertinya.Mida mengangguk. Namun, saat aku berdiri ingin melangkah ke dalam perpustakaan, Mida mencegahku. “Eh tunggu, tunggu dulu, Kak Will. Kakak udah nggak apa-apa, ‘Kan? Nggak perlu di panggilin ambulans?” tanyanya dengan nada khawatir.Aku sedikit tertawa karena tingkahnya yang pasti khawatir takut dimarahi Bi Em, padahal Bi Em tidak galak, hanya mungkin sedikit diberi pencerahan yang akan memakan waktu sangat lama. “Hehehe … Nggak apa-apa, kok. Saya juga nggak akan bilang ke Bi Em kejadian hari ini.”“Hufffttt … untunglah,” ujar Mida lega. “Silahkan masuk, Kak. Banyak buku baru, loh …, tapi saya disini aja ya, Kak? Soalnya mau lanjutin cerita ini dulu.” Mida menunjuk buku novel bersampul astronaut yang berdiri di atas laut.“Oke,” ja
Hari itu, William duduk sendirian di sebuah café kecil di pinggiran kota. Dia memperhatikan setiap orang yang masuk, berharap bisa melihat wajah Keyza. Sampai tiba-tiba, pintu café terbuka dan ada seorang wanita yang masuk. William hampir tidak percaya pada matanya sendiri. Itu adalah Keyza!Keyza tersenyum lebar ketika dia melihat William. Dia berjalan ke meja tempat William duduk dan duduk di depannya. William terkejut dan bahagia melihatnya. Hatinya berbunga-bunga, seperti melihat matahari kembali bersinar setelah hujan lebat."Keyza! Aku tidak bisa percaya!" serunya dengan suara bergetar, dihiasi dengan raut wajah bahagia.FlashbackDi sebuah malam yang cerah di teras rumah Keyza, William dan Keyza duduk bersama di bawah langit berbintang, menikmati kebersamaan mereka setelah hari yang panjang.William memperhatikan ekspresi wajah Keyza yang tampak sedikit serius, dan dia bertanya dengan lembut, "Keyza, apa yang ada di pikiranmu? Kamu terlihat sedikit khawatir."Keyza menarik napa
Hari itu, William duduk sendirian di sebuah café kecil di pinggiran kota. Dia memperhatikan setiap orang yang masuk, berharap bisa melihat wajah Keyza. Sampai tiba-tiba, pintu café terbuka dan ada seorang wanita yang masuk. William hampir tidak percaya pada matanya sendiri. Itu adalah Keyza!Keyza tersenyum lebar ketika dia melihat William. Dia berjalan ke meja tempat William duduk dan duduk di depannya. William terkejut dan bahagia melihatnya. Hatinya berbunga-bunga, seperti melihat matahari kembali bersinar setelah hujan lebat."Keyza! Aku tidak bisa percaya!" serunya dengan suara bergetar, dihiasi dengan raut wajah bahagia.FlashbackDi sebuah malam yang cerah di teras rumah Keyza, William dan Keyza duduk bersama di bawah langit berbintang, menikmati kebersamaan mereka setelah hari yang panjang.William memperhatikan ekspresi wajah Keyza yang tampak sedikit serius, dan dia bertanya dengan lembut, "Keyza, apa yang ada di pikiranmu? Kamu terlihat sedikit khawatir."Keyza menarik napa
“Sama, kok. Ya udah, aku mau lanjut keliling perpustakaan.” Ijinku karena memang yang menjaga perpustakaan adalah Mida sepertinya.Mida mengangguk. Namun, saat aku berdiri ingin melangkah ke dalam perpustakaan, Mida mencegahku. “Eh tunggu, tunggu dulu, Kak Will. Kakak udah nggak apa-apa, ‘Kan? Nggak perlu di panggilin ambulans?” tanyanya dengan nada khawatir.Aku sedikit tertawa karena tingkahnya yang pasti khawatir takut dimarahi Bi Em, padahal Bi Em tidak galak, hanya mungkin sedikit diberi pencerahan yang akan memakan waktu sangat lama. “Hehehe … Nggak apa-apa, kok. Saya juga nggak akan bilang ke Bi Em kejadian hari ini.”“Hufffttt … untunglah,” ujar Mida lega. “Silahkan masuk, Kak. Banyak buku baru, loh …, tapi saya disini aja ya, Kak? Soalnya mau lanjutin cerita ini dulu.” Mida menunjuk buku novel bersampul astronaut yang berdiri di atas laut.“Oke,” ja
Aku menggeser tubuhku, untuk mempersilahkan tuan putri duduk di sebelahku. “Coba lihat ini deh, Mida! Lagi ada kumpulan mahasiswa yang lagi ngadain bazar di sekitar sini. Tapi kita bisa beli secara online, loh. Coba lihat buku-buku yang mereka jual!” ucap gadisku sambil menunjukkan hpnya pada Mida yang awalnya tidak tertarik, tetapi berubah tertarik saat mendengar kata ‘Buku’ dan langsung menarik hp Keyza untuk dia amati lebih jauh. Gadisku tampak senang karena berhasil menarik perhatian lawan bicaranya. “Eh iya beneran bagus ada cerita fabelnya … ayo ayoo beli,” ucap Mida sambil menggandeng tangan gadisku, aku yang sedikit tidak rela ada orang lain yang menyentuh tangan gadisku, padahal aku saja yang baru berpacaran dengannya sangat jarang menyentuh tangannya. Aku menarik tangan gadisku agar lepas dari genggamannya. “Ayo pulang!” ajakku pada Keyza sambil menarik ranselku. Cemburu karena perhatiannya tidak lagi terpusat padaku. “Eh
Aku kembali duduk saat bibi Em menghidangkan sajiannya. Oh iya kenapa aku dan gadisku memanggil Bibi Em, itu karena semua anak di panti ini memanggil bibi Em, ibu, jadi aku dan gadisku untuk memanggil bibi Em, bibi, dan tentu ini sudah di setujui bibi Em."Silahkan di minum, Nak," ucap Bibi Em mempersilahkanku untuk minum."Terimakasih Bi Em." Aku meneguk segelas teh yang disuguhkan pada ku. Aroma melati sempat sekilas tecium indra penciumanku sebelumaku meneguk tehnya."Sudah lama sejak kalian berdua tidak kemari, awalnya anak-anak panti sangat sedih karena kehilangan sosok kakak-kakak yang mengajak mereka bermain dan belajar. Tapi untung saja, beberapa minggu kalian tidak kemari, ada orang baru yang menghibur hati anak-anak di sini dengan mengajak mereka
"Nak tunggu!"Suara seorang wanita yang dulu lumayan sering ku dengar karena perempuan yang aku suka selalu mengajakku kesini tiap dua bulan sekali, membuatku menghentikan langkahku."Mas Williem kok disini? Nggak mau masuk ke dalam dulu?" Bibi em melangkahkan kakinya mendekatiku. Di tangannya dia memegang sebuah keranjang sampah, ah pasti bibi baru saja kembali dari belakang rumah setelah membuang beberapa kantong sampah."Kemana anak-anak bi em? Kenapa bibi em membuang sampah sendirian?" tanyaku heran, karena biasanya anak-anak pasti selalu mengitu kemanapun Bibi Em pergi."Anak-anak sedang tidur, mereka baru saja bekerja bakti hari ini, dan setelah melakukan pesta makan besar, mereka kelelahan dan akhirnya tertidur." Bibi Em menjelaskan."Wah pasti seru sekali." Aku yakin anak-anak pasti bersenang-senang tadi. aku berusaha mengambil alih keranjang sampah di tangan Bibi E
"Sudah cukup, kapan kamu akan mulai bekerja untuk memenangkan lomba itu jika terus-terusan manja pada ku?" Dia berusaha melepaskan diri, dari jeratan pelukan ku."Ah aku tidak mau. biarkan kita seperti ini dahulu." Aku menggoyang-goyangkan badannya ke kanan dan ke kiri.Dia tiba-tiba mendorongku sampai aku jatuh terduduk di sofa, dan dia yang menumpukan kedua tangannya di sisi kanan dan kiri kepalaku, dengan satu kaki yang menekuk diatas sofa, hampir saja mengenai masa depanku.Awalnya aku menatap matanya kemudian memeriksa masa depanku, aku membuat ekspresi lega, hufft untung masih aman pikirku.Dia ikut menunduk dan tertawa. "Hahahaa ... Hampir saja ya babe, apa nanti bakal sakit?" tanyanya dengan nada polos.Aku menariknya agar duduk di paha kiriku. "Diam disini, temani aku melakukan tugasku." Aku kemudian mengambil drawing pad ku yang untung saja tidak jatuh saat ku lempar ta
Tapi tiba-tiba dia mendorongku sampai jatuh dari sofa."Aww." Bokongku mendarat dengan sempurna, beruntung karpet bulu di sekitar sofa memiliki ketebalan yang lumayan sehingga membuat bokongku tidak terlalu sakit."Aha! Mari kita lihat ini!" serunya setelah mendapatkan hapeku."Ah! Sh**!" Aku mengumpat karena terkecoh godaannya."Kamu mengumpatiku sayang?" tanya nya dengan nada menggoda.Aku segera bangkit dari posisi jatuh terdudukku. Lalu segera duduk dibelakangnya dan memeluknya dari belakang. Menciumi lehernya yang menguarkan aroma manis."Kamu nakal!" ucapku pura-pura memarahinya. Dan masih mendekap tubuhnya dari belakang, sedang hidungku masih bertengger di leher putihnya yang harum."Kalo sekarang? Lebih nakal mana? Aku atau kamu?" Dia mengejekku rupanya.Aku menggelitik perutnya, membuatnya menggelinjang kegelian."Ah sudah, sudah cukup," ucapnya dengan wajah memerah.
Dduukkk"Ahh!"Aku mengerang kesakitan. Kepalaku berdenyut. Sebuah bola basket menghantam kepalaku.Seorang pria dewasa dan anak kecil mendekat ke arah ku, anak kecil berjenis kelamin laki-laki dan berumur sekitar tujuh tahun itu mengambil bola basket yang menggelinding di sebelah kursi taman, membawanya dalam pelukannya di depan perutnya, kemudian kembali ke sisi pria itu. Pria itu kemudian tersenyum tidak enak sambil menatapku."Maaf, Pak. Saya sedang mengajari anak saya bermain basket. Ayo, 'Nak minta maaf," ujarnya meminta anaknya untuk meminta maaf padaku. Awalnya anak itu menatap polos ayahnya, kemudian dengan wajah tanpa dosanya itu dia menatap wajahku. "Maaf ya, Om," ucapnya.Hah sudahlah ini juga salahku, batinku mencemooh diriku yang kembali teringat tentang gadis berambut coklat yang terus menghantui pikiranku, bahkan hanya dengan melihat fotonya yang ada di laya
Kamu selalu bertingkah konyol, anehnya, aku selalui menyukai itu.5Aku memilih meninggalkan rumah sakit keesokan paginya. Aku tak menyangka bahwa Tuhan masih memberi aku ,anak yang sangat durhaka pada ibunya, kesempatan untuk hidup. Kemarin saat aku melamunkan dirinya, aku yang terhanyut akan kenangan kita tak menyadari ada mobil yang oleng ke arah jalan dan hampir menabrakku, beruntung pemilik mobil segera memutar setir dan hanya menyenggolku, namun aku yang terjatuh dan kepalaku yang terhantam aspal aspal jalan membuat aku kehilangan kesadaran dan segera dilarikan ke rumah sakit. Administrasi rumah sakit juga di tanggung oleh pemilik mobil.Kemarin saat aku sedang sibuk dengan pikiranku, ponselku berbunyi dan membawa kabar yang dapat menenangkan hatiku yang bergemuruh. Mamaku mengirimkan pesan padaku agar bahwa mama baik-baik saja dan hanya shock karena kecelakaan yang aku alami, dan dia berpesan agar aku harus mengina