Jaya sangat menyadari bahwa setelah pernikahan keduanya ini, energi kehidupannya seperti disedot habis. Setiap hari pasti ada saja yang dikeluhkan oleh keluarganya. Mulai dari hal yang besar sampai hal yang paling kecil sekalipun dapat memicu perdebatan. Tak terkecuali hari ini, siang tadi dia mendapat telepon dari sang ibu yang mengeluh tentang istrinya. Dikatakan bahwa sang istri telah menghardiknya. "Mas, udah pulang?" sambut Zoya di teras rumah seperti biasanya. "Hm, tadi ibu ke sini?" tanya Jaya tanpa basa-basi sambil mengambil tempat duduk di kursi teras untuk membuka sepatunya. "Iya!" jawab Zoya singkat. "Ada apa lagi? Apa saja yang kalian obrolkan?" tanya Jaya dengan santai. Namun, istrinya itu tidak langsung menjawab. Hal ini membuat ruang di antara alis Jaya berkerut samar. Gelagat seperti ini selalu mendatangkan firasat buruk baginya. Dia paling benci disuruh memilih antara ibu atau istrinya. "Tidak bisakah kalian akur barang sehari aja sama ibu?" keluh Jaya sambil
Hari demi hari telah berganti. Satu bulan hampir berlalu sejak insiden perampokan mobil, lalu tertipu arisan, dan yang terbaru adalah tentang masalah pembantu itu. Meski sekarang hubungan Zoya dan sang suami sudah kembali akur, dan mesra lagi. Namun, dia tetap tidak berani meminta uang sebanyak 50 juta yang diminta pamannya pada Mas Jaya. Zoya merasa sekarang ini dia ada di Zona serba salah. Jika dia tidak memberikan uang 50 juta pada pamannya, maka para debt collector itu akan datang ke rumahnya. Namun, dia juga tidak berani meminta uang dalam jumlah sebesar itu pada Mas Jaya. Lagipula, harus dia jawab apa jika Mas Jaya bertanya untuk apa uang sebanyak itu, bukan? Dia juga tidak mungkin mengatakan bahwa dia akan menggunakan uang itu untuk membayar hutang judi pamannya. Siapa yang akan sudi melakukan hal ini untuknya? "Aarrrghh!" Zoya mengerang di sofa ruang keluarga sembari mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. Sudah beberapa hari ini Zoya dilanda kerisauan. Dia tidak perna
Pagi menjelang, Hari ketika ancaman Paman Rusdi akhirnya tiba. Sepanjang malam Zoya tidak bisa tidur dengan nyenyak, sampai-sampai dia harus mendapat teguran dari Mas Jaya karena terus berbolak-balik di atas ranjang. Lingkaran hitam yang menggantung di bawah matanya pun tidak bisa disembunyikan. "Kamu kenapa? Belakangan ini gelagat kamu aneh!" tegur Mas Jaya yang kali ini melihat Zoya terus berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Seperti ada yang ingin dia ucapkan, tapi terlalu takut untuk disampaikan. "Anu ... " Zoya menggigit bibirnya dengan ragu. Jantung di balik dadanya sudah menghentak dengan keras. Berapa kalipun dia berpikir, Mas Jaya tidak mungkin akan memeberikan uang sebanyak itu padanya secara cuma-cuma. Jangan katakan cinta, bahkan dihadapan uang, terkadang cinta menjadi tidak begitu berarti. Belum lagi persoalan mobil yang dirampok bulan kemarin masih meninggalkan beban psikologis untuknya. Ditambah lagi mengingat sikap pamannya yang tak tau tata krama ketika datang b
Fiona sedang menghabiskan jam makan siang di ruangan Igor sambil menonton proses seisi rumahnya diangkut keluar. Video ini dikirimkan oleh salah seorang tetangga depan rumah yang cukup akrab dengannya. Melihat wajah frustrasi Mbak Zoya yang tertangkap kamera membuat Fiona ingin tertawa. "Sorry, Mbak. Aku harus melakukan ini," ucap Fiona tanpa perasaan. "Lalu apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Igor sambil menyantap makan siang yang sengaja dibuat Fiona untuknya. "Ssstt. Kamu diam. Jangan bernafas!" ucap Fiona dengan sedikit nada bercanda pada Igor sambil menempelkan telunjuknya pada bibir. Dengan patuh, Igor hanya menuruti keinginan Fiona, dan terus menyantap makan siangnya dengan nikmat. Sementara itu, Fiona mulai berdehem pelan sebelum menekan nomor telepon Mas Jaya. "Mas!" teriak Fiona begitu sambungan telepon terhubung. "Kamu kenapa sih pake teriak-teriak?" balas Mas Jaya sewot. "Istri kamu itu apa-apaan sih?!" ujar Fiona mengeluarkan nada marah. Dari tempat yang tidak
Jaya membawa mobilnya menembus jalan raya seperti orang yang sedang kesetanan. Dia tidak mempedulikan sang istri tercinta yang sudah mengkerut semakin ketakutan di kursi penumpang depan. Namun, bahkan jika dia ketakutan setengah mati, Zoya hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat. Dia tidak berani mengeluh. Hingga mereka sampai di rumah yang telah dibelikan Mas Agung untuk ibunya, mobil yang mereka kendarai akhirnya berhenti. Zoya keluar dari mobil dengan tubuh gemetar hebat. Akan tetapi, Lagi-lagi, dia hanya bisa berusaha untuk tetap tampil kuat. Dengan langkah tertatih, Zoya menyeret kakinya mengikuti Mas Jaya yang berjalan cepat di depan. "Assalamu'alaikum!" sapa Mas Jaya sambil mengetuk pintu rumah yang terlihat sepi. " ... ""Assalamu'alaikum!" teriaknya dengan keras disertai gedoran pintu yang semakin kencang. " ... "Tidak mendapat balasan dari sang pemilik rumah, Jaya lantas menoleh ke arah Zoya dengan alis terjalin rumit. "Kemana ibumu?" tanyanya tak sabar ketika melihat Z
Zoya menatap rumah yang belum lama dia tinggalkan ini dengan pandangan nanar. Jantungnya tidak berhenti berdegup cepat kala membayangkan amukan mertua yang akan dia terima sebentar lagi. Meskipun dulu di depan Fiona mertuanya itu selalu membanggakan dirinya, tapi sebenarnya dia tidak ada bedanya dengan pembantu. Di mata mertuanya, hal yang membedakan dia dengan Fiona hanyalah kemampuannya melahirkan anak untuk suaminya. Jika saja Fiona bisa hamil, dan melahirkan anak untuk Mas Jaya, bisa dipastikan bahwa dia akan menjadi menantu kesayangan. "Ayo, masuk!" ajak Mas Jaya begitu mobil sudah terparkir di garasi. Zoya hanya mengikuti dengan lambat di belakang. Dia benar-benar tidak ingin kembali tinggal di rumah ini. Tetapi, apakah dia memiliki pilihan sekarang? "Loh, Jaya? Jam segini kok kamu ada disini, bukannya di kantor?" sapa ibu Marni yang baru saja keluar rumah karena mendengar suara mobil berhenti di garasi rumahnya. "Ada masalah, Bu," jawab Jaya sambil terus menyeret langkahny
Kepala Fiona berayun ke kiri dan ke kanan mengikuti irama musik yang dia setel di dalam mobil. Masih seperti biasa, dia pulang ke rumah pada jam 8 malam, dan tentu saja setelah dia kenyang makan malam. Namun, kali ini dia tidak pulang ke rumah yang selama tiga tahun dia tempati, melainkan kembali ke rumah sang mertua. "Show time!" bisik Fiona dengan mata berpendar cemerlang saat melihat rumah sang mertua berdiri dengan gagah di depannya. Dia semakin tidak sabar untuk memancing di air keruh. Setelah memarkir mobilnya di garasi yang luas, Fiona keluar dari mobil dengan langkah berayun ringan. Sebelum mengetuk pintu rumah itu, Fiona berkali-kali menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya pelan. Tidak terhindarkan perasaan gugup disertai kegirangan perlahan menjalar menyelimuti jiwa raganya malam ini. Dia tidak sabar ingin menonton drama apa yang bisa terjadi di rumah ini. "Assalamu'alaikum!" sahut Fiona dengan lantang sambil mengetuk daun pintu berwarna coklat itu. Meskipun tida
"Nak Fadli, bagaimana?" pertanyaan buru-buru ini diajukan oleh sang mertua begitu menantunya itu kembali. "Bu, biarin Mas Fadli duduk dulu," sela Mbak Arum ketika melihat antusiasme semua orang. Mas Fadli yang baru saja pulang, mengambil tempat duduk di sofa yang tak jauh dari istrinya. "Mas, minum dulu!" ucap Mbak Arum sembari menyodorkan segelas air putih pada suaminya yang tampak kelelahan. Tanpa basa-basi, Mas Fadli langsung mengambil gelas berisi air itu. Dia lalu meneguknya hanya dalam sekali tegukan hingga tandas. Begitu Mas Fadli selesai mengambil nafas, pertanyaan tergesa kembali diajukan. "Mas, gimana?" kali ini yang bertanya adalah Mas Jaya. Namun, malam ini, seluruh anggota keluarga suaminya ditakdirkan untuk kecewa ketika melihat gelengan kepala pelan yang diberikan Mas Fadli. Hanya Fiona seorang yang merasa begitu tenang. "Kita tidak bisa terus mencari seperti lalat tanpa kepala. Kita perlu menanyakan langsung kepada Paman Rusdi itu di mana saja dia berhutang!" pun
1 bulan kemudian, Kasus yang menimpa Mas Fadli dan Mbak Zoya akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Dikarenakan bukti itu datangnya dari Fiona, mau tidak mau dia tetap harus hadir sebagai saksi di pengadilan. Ketika hal itu terjadi, dia bisa melihat dengan jelas wajah terkejut keluarga mantan suaminya. "Fiona!" seru mereka dengan terkejut. Walau begitu, Fiona memilih sikap acuh tak acuh. Dia mengikuti seluruh rangkaian persidangan dengan khidmat. Dia juga menjawab pertanyaan dari Jaksa penuntut umum dengan jujur tanpa ada yang dia sembunyikan. "Jadi ini semua ulah kamu? Harusnya dari awal aku membunuhmu!" raung Zoya dengan marah yang membuat dirinya mendapat peringatan dari hakim. Melihat Fiona duduk di kursi saksi membuat Zoya menggeram penuh amarah. Jika pengungkapan bukti sabotase mobil Mas Agung ini diserahkan oleh Paman Rusdi, mungkin Zoya tidak akan semarah ini. Tapi yang melakukannya adalah musuh bebuyutannya. Orang yang sudah Zoya cap sebagai penyebab atas setiap kemalangan
"Jaya! Mas Fadli, Jay!"Ketika Jaya tiba di rumah, hal pertama yang menyambutnya adalah raungan sang kakak yang baru saja sadar dari pingsannya. "Mbak, tenang! Coba ceritakan ada apa?" tanya Jaya berusaha untuk bersikap tenang meski hatinya sendiri sudah gundah gulana. "Mas Fadli, Jay! Mas Fadli!" pekik Mbak Arum dengan histeris. Air mata terus merebak membanjiri pipinya. "Mbak, jelaskan pelan-pelan apa yang terjadi?" tanya Jaya dengan penuh kesabaran. "Mas Fadli ditangkap polisi!" ungkap Arum dari sela-sela sengguk tangisnya. "APA?!" pekik Ibu Marni dengan keras hingga memenuhi ruangan. "Tadi siapa orang yang menghubungi Mbak?" tanya Jaya masih dengan nada tenang meskipun hatinya sudah hancur berantakan. "Namanya Chandra. Pengacara Mas Fadli. Katanya sekarang dia ada di kantor polisi untuk menemani Mas Fadli diinterogasi," jawab Arum dengan tergugu. "Kalau begitu, ayo kita ke kantor polisi," ajak Jaya sembari beranjak dari sofa yang dia duduki. "Ayo! Ayo!" timpal Ibu Marni d
Fadli yang berangkat ke kantor ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 pagi tiba-tiba dihadang oleh beberapa rekan kerjanya. Wajah kaku mereka membuat Fadli tiba-tiba merasakan firasat buruk di hatinya. Pikirannya bahkan langsung tertuju pada Zoya, dan ancamannya. Apalagi ketika mengetahui bahwa Jaya ternyata tidak berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya. 'Jangan bilang si Zoya sudah mengatakan tentang hal itu pada polisi!' gumam Fadli dengan panik. "Ada apa ini?" tanya Fadli pura-pura tidak merasakan keanehan dari mereka. Akan tetapi, dia perlahan mulai mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Sayangnya, sebelum Fadli sempat melaksanakan niatnya itu, dia telah lebih dulu dibekuk oleh rekan-rekan sejawatnya. "Sialan! Apa yang kalian lakukan?" maki Fadli dengan berang. Kini tangannya bahkan sudah diborgal yang terasa menginjak harga dirinya. Tanpa menghiraukan protesan dari Fadli, seorang polisi yang menangani kasus Fiona sebelumnya terus menyeret Fadli menuju
Di kediaman Adiguna, "Loh, Fadli? Kamu tidak berangkat kerja?" tanya Ibu Marni ketika melihat menantunya justru duduk dengan khidmat di sofa ruang keluarga. Seperti yang dikatakan Jaya kemarin, dia berpura-pura untuk tidak tahu menahu perihal yang katanya rahasia menantunya ini. Toh, semuanya juga belum terbukti kebenarannya. Bagaimana jika Zoya berbohong? Pun jikalau yang dikatakan Zoya itu benar, mereka bisa mengambil tindakan nanti. Tidak perlu terburu-buru. "Ini sudah jam setengah sembilan loh!" tambah Ibu Marni memperingatkan. "Fadli mau nanya dulu sama Ibu, apa Jaya berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya?" tanya Fadli penuh harap. "Huh! Dia tidak mau mencabut tuntutannya!" balas Ibu Marni seraya mendengus sinis. " ... "Tanpa sadar, geraham Fadli bergemeretak dengan tidak puas. Sayang sekali dia tidak berdaya! "Buk! Fadli mau bertemu dengan Ibu Mastah dulu, boleh?" tanya Fadli meminta izin. Alis Ibu Marni berkedut pelan. "Bertemu Ibu Mastah? Buat apa?" tanya
Pagi-pagi sekali. Jarum jam bahkan masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi paman Rusdi sudah menunggu di depan perusahaan tempat Fiona bekerja. Gelagatnya yang mencurigakan membuat seorang satpam perusahaan yang bertugas pagi ini terus menatapnya dengan curiga. "Permisi, Pak!" tegur Paman Rusdi dengan malu-malu. "Ada apa?" tanya satpam itu sedikit ketus. Wajahnya bahkan memberengut jijik. Aroma yang menguar dari tubuh pria gelandangan itu membuatnya ingin segera mengakhiri interaksi ini. "Di dalam sini ada karyawan yang namanya Fiona Larasati 'kan?" tanya paman Rusdi. Gelagatnya yang menurut sang satpam sudah mencurigakan sejak awal, membuat satpam yang bertugas itu semakin mengerutkan kening. Dia tidak mungkin tidak mengenal orang yang disebutkan oleh pria ini. Pasalnya, nama yang disebutkan itu sudah sangat terkenal di perusahaan. Selain karena kedekatannya dengan sang bos perusahaan. Wanita ini juga sering viral lantaran masalah keluarganya. Dan kabar terbaru yang ke
Ibu Mastah bergegas kembali ke kamarnya untuk mencoba menghubungi sang adik kandung melalui nomor yang hanya mereka ketahui sendiri. Tadinya dia berniat mengunjungi ruang keluarga untuk menanyakan tentang kabar putrinya yang tidak juga pulang hingga semalam ini. Siapa yang menduga dia justru mendengar obrolan penting itu. "Halo," sapa Ibu Mastah dengan antusias begitu sambungan telepon mulai terhubung. [Huh! Sekarang kamu baru menghubungiku?!]Ibu Mastah harus menjauhkan ponsel butut di tangannya dari sisi telinga karena kerasnya suara bentakan sang adik dari seberang sana. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Aku dengar dari Jaya dan ibunya kalau kamu memiliki bukti pembunuhan yang dilakukan oleh Fadli. Apa benar?" tanya Ibu Mastah. Rentetan kalimat panjang ini diutarakan dalam satu tarikan nafas tergesa. [ ... ]"Halo, Rusdi?" panggil Ibu Mastah karena sang adik tidak membalas perkataannya. [Jadi mereka sudah tahu!] "Apa?" tanya Ibu Mastah. [Kak, Zoya ada dimana?]Ibu Mastah m
Bumi telah diselimuti kegelapan ketika Fiona terbangun dari tidur lelapnya. Hanya lampu dari nakas yang menyala buram yang menerangi kamar sederhana itu. Fiona tidak langsung beranjak dari tempatnya. Kepalanya masih linglung mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi. Akan tetapi, suara yang datang dari luar kamarnya membuat Fiona tidak bisa berbaring lebih lama lagi. Dia perlahan beranjak dari ranjang empuknya, dan menyeret langkahnya untuk keluar dari kamar. "Fiona tidak akan menarik tuntutannya!"Sayup-sayup kalimat itulah yang menyambut Fiona ketika dia membuka pintu kamar. "Fiona sedang tidur!" "Gor," sapa Fiona lirih dengan suara serak khas bangun tidurnya. Igor yang sedang menelepon menyeret pandangannya ke arah sosok Fiona kemudian tersenyum teduh. "Pokoknya Fiona tidak akan menarik tuntutannya!" seru Igor untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon. "Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaan kamu?" tanya Igor seraya beranjak dari sofa yang
"Gak perlu! Ayo pulang!" tolak Ibu Marni dengan tegas. "Jangan dengarkan omong kosongnya!" lanjut Ibu Marni dengan penuh amarah. Dia lalu meraih tangan Jaya dan hendak menyeretnya untuk pergi meninggalkan sang menantu yang terlihat tidak lebih dari orang gila saat ini. "Huh! Anda yang paling tahu apakah yang aku ucapkan ini hanya omong kosong belaka atau tidak!" dengus Zoya santai. " ... "Sambil mendumel dengan suara rendah, Ibu Marni terus melangkah menjauh dari Zoya. "Mas, jika kamu tidak segera membebaskan aku sekarang juga. Aku jamin keluarga kamu tidak akan pernah menemukan ketenangan lagi!" ujar Zoya memberi peringatan. Langkah kaki Jaya spontan berhenti mendengar nada ancaman yang disampaikan oleh Zoya dengan begitu tenang ini. Jaya yakin bahwa siapapun itu orangnya, apabila menghadapi kondisi terpojok pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Jaya tidak ingin menganggap remeh ancaman sang istri ini. "Kamu pasti mikir kalau aku sama Mas Fadli saling naksir
Pasca insiden penculikan ini, Igor tak sekalipun meninggalkan sisi Fiona. Di tidak mau hal buruk ini terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya pada sang wanita terkasih. "Aku baik-baik saja kok, Gor. Kamu bisa pulang," ujar Fiona begitu mereka tiba di apartemen Fiona setelah kembali dari rumah sakit. "Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini!" putus Igor penuh tekad. "Hah?""Aku khawatir hal yang sama seperti ini akan terulang kembali," pungkas Igor. Dia masih memiliki bayang-bayang ketidakberdayaan di dalam benaknya. Kalau sampai dia datang terlambat, apa yang akan terjadi pada Fiona? Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Igor merasa tidak sanggup! Dan sebenarnya, Fiona juga sedikit dihantui perasaan ketakutan akibat dari pengalaman yang menimpanya kali ini. Namun, posisinya dalam hubungan dengan Igor agak tidak menguntungkan untuk mereka bersama. Belum lagi, dia juga sudah berjanji pada ibunda Igor bahwa hubungan mereka tidak akan sampai pada tahap yang lebih serius t