"Nak Fadli, bagaimana?" pertanyaan buru-buru ini diajukan oleh sang mertua begitu menantunya itu kembali. "Bu, biarin Mas Fadli duduk dulu," sela Mbak Arum ketika melihat antusiasme semua orang. Mas Fadli yang baru saja pulang, mengambil tempat duduk di sofa yang tak jauh dari istrinya. "Mas, minum dulu!" ucap Mbak Arum sembari menyodorkan segelas air putih pada suaminya yang tampak kelelahan. Tanpa basa-basi, Mas Fadli langsung mengambil gelas berisi air itu. Dia lalu meneguknya hanya dalam sekali tegukan hingga tandas. Begitu Mas Fadli selesai mengambil nafas, pertanyaan tergesa kembali diajukan. "Mas, gimana?" kali ini yang bertanya adalah Mas Jaya. Namun, malam ini, seluruh anggota keluarga suaminya ditakdirkan untuk kecewa ketika melihat gelengan kepala pelan yang diberikan Mas Fadli. Hanya Fiona seorang yang merasa begitu tenang. "Kita tidak bisa terus mencari seperti lalat tanpa kepala. Kita perlu menanyakan langsung kepada Paman Rusdi itu di mana saja dia berhutang!" pun
Keesokan harinya masih berjalan seperti biasa bagi Fiona. Dia berangkat kerja pada pukul 7 pagi tanpa menyapa siapapun, lalu pulang ke kediaman sang mertua ketika jarum jam menunjukkan pukul 8 malam. "Gimana, Nak Fadli?" Adalah kalimat tanya pertama yang menyambut Fiona ketika dia tiba di rumah mertuanya. "Maaf, Bu. Belum ada titik terang. Hari ini pekerjaan Fadli terlalu banyak. Cuma bisa mencari keberadaan Pak Rusdi tipis-tipis. Tapi belum ketemu titik terang," pungkas Mas Fadli dengan rasa bersalah. Fiona yang akhirnya tiba di ruang keluarga terbahak di dalam hati. Meski terasa membosankan, tapi Fiona cukup menikmati keributan yang ada. "Kamu benar-benar tidak punya petunjuk kemana tempat yang bisa dikunjungi oleh keluarga kamu?" tanya Mas Jaya pada Zoya. Intonasi suaranya masih terdengar lembut. Mbak Zoya tampak menghela nafas pelan. "Aku benar-benar gak tahu, Mas!" jawabnya sendu. Zoya mulai lelah. Mentalnya serasa dikeruk belakangan ini. Sehingga hinaan apapun yang akan d
"Ngab, bengong aja aku liat-liat dari tadi?" sapa Freya sambil mengipaskan telapak tangannya di depan wajah Fiona. Pagi tadi dia dikejutkan oleh kehadiran Fiona yang seperti zombie di depan pintu rumahnya. "Rumah tangga kamu kena masalah apa lagi?" tanya Freya lembut sambil terus menyantap makan siang yang tersaji di hadapannya. Hari ini mereka tidak pergi jauh-jauh ke cafe Kenangan, dan hanya memilih menghabiskan waktu makan siang di kantin perusahaan yang selalu ramai. " ... " Fiona tidak menjawab. Dia masih tampak tenggelam dalam ingatan akan apa yang disaksikan kedua biji matanya semalam. "Cuy, kalo boleh saran nih ya. Lebih baik kamu bercerai aja sama si Jaya itu, dan mulai kehidupan baru," saran Freya setelah menelan makanan yang ada di dalam mulutnya. "Kamu juga harus mempertimbangkan ini, bagaimana jika kamu katakanlah berhasil menguras harta suami kamu itu dikemudian hari, bukankah akan lebih sulit untuk meminta perceraian setelahnya? Pria itu, dan keluarganya pasti tid
"Kamu yakin gak tahu kemana keluarga kamu itu melarikan diri?!"Sebaris kalimat tanya yang sangat emosional itu memasuki indera pendengaran Fiona setibanya dia di rumah sang mertua. Hari ini dia sengaja kembali ke rumah ini semata hanya untuk menunaikan ucapannya semalam. Dia ingin menyerahkan surat perceraian pada Mas Jaya. Dengan langkah yang dibuat lesu, Fiona yang sudah dipersilahkan masuk oleh Mbok Tum mengayun sepasang tungkai jenjangnya langsung menuju ruang keluarga. Suasana yang ditemui masih sama seperti sebelumnya. Fiona yakin bahwa mereka pasti belum bisa menemukan jejak para debt collector gadungan yang disewa Igor. Terdengar jelas dari dialog-dialog kecil yang dilakukan ibu mertuanya pada Mbak Zoya yang hanya bisa memberikan jawaban tidak tahu dari awal hingga akhir. "Zoya benar-benar tidak tahu mereka kemana, Bu!" dengung Mbak Zoya dengan suara lirih. Jawaban ini sudah diulang berpuluh-puluh kali dalam dua hari terakhir ini. Sementara itu, setibanya Fiona di ruang k
"Huek ... !""Huek ... !"Pagi-pagi sekali, Jaya sudah dibangunkan oleh suara yang berasal dari kamar mandi. Setelah menggeliat sebentar, dia mulai beranjak untuk melihat sang istri yang tidak ada lagi di sampingnya. "Huek ... !" Sekali lagi, suara itu kembali terdengar. "Sayang? Kamu baik-baik aja?" tanya Jaya sambil berjalan ke arah kamar mandi. Dia lagi-lagi menemukan sang istri sedang membungkuk di depan closet. Karena khawatir, dia lantas ikut mengambil tempat di sisi Zoya sambil mengelus punggung rapuh istrinya itu. "Nanti kita ke rumah sakit aja, ya?" ajak Jaya dengan lembut. Zoya tidak menjawab. Dia hanya mengangguk samar sebagai bentuk persetujuan. "Sekarang kamu istirahat lagi aja dulu." tutur Jaya dengan penuh kasih sembari membantu sang istri kembali ke tempat tidur. Setelah memastikan Zoya berbaring dengan nyaman. Jaya kembali berjalan menuju kamar mandi untuk menjalankan ritual bersih-bersihnya. Mereka baru turun ke ruang makan setelah Jaya berpakaian rapi, siap u
"Belum pasti sih. Tapi, habis ini Jaya mau antar Zoya ke rumah sakit buat periksa. Semoga saja memang beneran hamil," pungkas Jaya penuh harap seraya mulai menyantap sarapannya. "Tsk," ibu Marni hanya mendecakkan lidah dengan keras. Hatinya tidak segembira itu mendengar kabar kehamilan sang menantu baru. "Ngomong-ngomong, Bu. Apa sudah ada kabar dari Mas Fadli?" tanya Jaya dengan penuh antisipasi. "Ya belumlah. Emang kamu pikir kerjaan Fadli gak banyak?" dengus sang ibu sensi. Masalah ini benar-benar membuatnya pusing hingga tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dia masih belum rela setiap kali mengingat mobil baru yang telah dibeli putranya dengan harga ratusan juta itu raib entah kemana, dan kini ketidakrelaannya ditambah lagi oleh isi brangkas yang tak tahu rimbanya. Jika orang-orang itu semakin lama ditemukan, apakah masih ada jaminan bahwa barang-barang yang telah mereka ambil akan dapat kembali dengan utuh? Pun jika mereka ingin barang-barang itu kembali, bukankah mereka harus m
"Ibu Zoya Ardisti!" Setelah menunggu selama beberapa waktu lamanya, seorang perawat akhirnya memanggil nama Zoya untuk segera memasuki ruangan dokter. Zoya yang sempat tenggelam dalam berbagai macam pikiran langsung beranjak dari kursinya. Dengan raut wajah lesu, dia kemudian membuka pintu di depannya. "Pagi, dok!" sapa Zoya berbasa-basi. "Loh, Zoya?""Hei, lama gak ketemu,"Zoya memamerkan senyum cemerlangnya pada dokter Risa yang sudah dua kali membantu dalam proses persalinannya itu. Mereka lantas saling cipika-cipiki sebagai bentuk salam pertemuan. Meski hubungan pertemanan mereka tidak bisa dikatakan sangat dekat. Tapi tidak terlalu asing juga. "Maaf, waktu itu gak bisa hadir di pernikahan kamu. Aku kebetulan lagi dinas luar kota," pungkas sang dokter sembari mempersilakan Zoya untuk duduk di kursi seberangnya. "Gak apa-apa kok, Dok!" balas Zoya tanpa menyurutkan senyum di bibir. "Apaan sih, panggil Risa aja kali," pungkas sang dokter sembari melemparkan kerlingan menggoda
Setelah menemani Adam dan Janu hingga mereka berdua tertidur, dengan langkah gamang Zoya kembali ke kamarnya dan Mas Jaya. Satu demi satu anak tangga dia tapaki. Pikirannya begitu rumit saat ini. Tidak peduli bagaimana sakit hatinya dia, mau tak mau dia harus bertahan di rumah ini meski hinaan akan terus dia terima. Dia tidak bisa seperti Fiona yang bisa melakukan apa saja. Karena wanita itu bekerja, dan memiliki tabungan, dia bisa tinggal jika dia ingin tinggal. Dia pun bisa pergi ketika dia ingin pergi. Tidak ada beban! Sedangkan dia hanya bisa menggantungkan hidup pada seorang yang disebut suami. Rasa iri Zoya untuk calon mantan istri suaminya itu semakin membumbung. Kenapa hidup harus begitu sulit baginya? Cukup lama Zoya berdiri di depan pintu kamar. Dia masih sibuk menata hati dan pikiran yang semakin kusut. Tangan di kedua sisi tubuhnya pun perlahan mengepal dengan kuat. Gigi grahamnya juga bergemeletuk hebat. Jika dia ingin hidup dengan nyaman, maka dia tidak bisa lagi menj