"Belum pasti sih. Tapi, habis ini Jaya mau antar Zoya ke rumah sakit buat periksa. Semoga saja memang beneran hamil," pungkas Jaya penuh harap seraya mulai menyantap sarapannya. "Tsk," ibu Marni hanya mendecakkan lidah dengan keras. Hatinya tidak segembira itu mendengar kabar kehamilan sang menantu baru. "Ngomong-ngomong, Bu. Apa sudah ada kabar dari Mas Fadli?" tanya Jaya dengan penuh antisipasi. "Ya belumlah. Emang kamu pikir kerjaan Fadli gak banyak?" dengus sang ibu sensi. Masalah ini benar-benar membuatnya pusing hingga tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dia masih belum rela setiap kali mengingat mobil baru yang telah dibeli putranya dengan harga ratusan juta itu raib entah kemana, dan kini ketidakrelaannya ditambah lagi oleh isi brangkas yang tak tahu rimbanya. Jika orang-orang itu semakin lama ditemukan, apakah masih ada jaminan bahwa barang-barang yang telah mereka ambil akan dapat kembali dengan utuh? Pun jika mereka ingin barang-barang itu kembali, bukankah mereka harus m
"Ibu Zoya Ardisti!" Setelah menunggu selama beberapa waktu lamanya, seorang perawat akhirnya memanggil nama Zoya untuk segera memasuki ruangan dokter. Zoya yang sempat tenggelam dalam berbagai macam pikiran langsung beranjak dari kursinya. Dengan raut wajah lesu, dia kemudian membuka pintu di depannya. "Pagi, dok!" sapa Zoya berbasa-basi. "Loh, Zoya?""Hei, lama gak ketemu,"Zoya memamerkan senyum cemerlangnya pada dokter Risa yang sudah dua kali membantu dalam proses persalinannya itu. Mereka lantas saling cipika-cipiki sebagai bentuk salam pertemuan. Meski hubungan pertemanan mereka tidak bisa dikatakan sangat dekat. Tapi tidak terlalu asing juga. "Maaf, waktu itu gak bisa hadir di pernikahan kamu. Aku kebetulan lagi dinas luar kota," pungkas sang dokter sembari mempersilakan Zoya untuk duduk di kursi seberangnya. "Gak apa-apa kok, Dok!" balas Zoya tanpa menyurutkan senyum di bibir. "Apaan sih, panggil Risa aja kali," pungkas sang dokter sembari melemparkan kerlingan menggoda
Setelah menemani Adam dan Janu hingga mereka berdua tertidur, dengan langkah gamang Zoya kembali ke kamarnya dan Mas Jaya. Satu demi satu anak tangga dia tapaki. Pikirannya begitu rumit saat ini. Tidak peduli bagaimana sakit hatinya dia, mau tak mau dia harus bertahan di rumah ini meski hinaan akan terus dia terima. Dia tidak bisa seperti Fiona yang bisa melakukan apa saja. Karena wanita itu bekerja, dan memiliki tabungan, dia bisa tinggal jika dia ingin tinggal. Dia pun bisa pergi ketika dia ingin pergi. Tidak ada beban! Sedangkan dia hanya bisa menggantungkan hidup pada seorang yang disebut suami. Rasa iri Zoya untuk calon mantan istri suaminya itu semakin membumbung. Kenapa hidup harus begitu sulit baginya? Cukup lama Zoya berdiri di depan pintu kamar. Dia masih sibuk menata hati dan pikiran yang semakin kusut. Tangan di kedua sisi tubuhnya pun perlahan mengepal dengan kuat. Gigi grahamnya juga bergemeletuk hebat. Jika dia ingin hidup dengan nyaman, maka dia tidak bisa lagi menj
"Bisa kita mulai bicara sekarang?" tanya Mas Jaya sambil menjepit dagu istrinya dengan ibu jari dan jari telunjuk. Dipaksanya mata sang istri untuk menatap tepat di manik matanya. Zoya menelan ludah dengan susah payah sembari menganggukkan kepalanya dengan terbatas. "Oke. Apakah keluargamu memiliki sanak-saudara lain yang bisa mereka kunjungi?" tanya Jaya memulai interogasinya. Zoya menggeleng pelan. "Ibu dan pamanku adalah sebatang kara. Entah sejak kapan, mereka saling bergantung satu sama lain. Sepanjang yang aku tahu, kami tidak pernah memiliki sanak-saudara lain," jawab Zoya dengan patuh. "Lalu kemana kira-kira mereka melarikan diri sekarang?"Zoya lagi-lagi menggeleng. "Tidak tahu!" jawabnya dengan konsisten. "Tapi aku yakin, nanti kalau mereka sudah kehabisan uang, mereka pasti akan mencariku!" sambung Zoya dengan cepat ketika melihat kening Mas Jaya berkerut rumit atas jawaban negatif yang dia berikan. "Waktu para debt collector itu datang mengambil barang-barang di ruma
Di pagi minggu yang cerah, Fiona sudah disibukkan oleh aktivitas menata apartemennya yang letaknya tak jauh dari perusahaan Samudra Group. Meski sederhana, apartemen ini terletak di tempat yang sangat strategis. Dari kamar Fiona sendiri, dia bisa melihat gemerlap lampu-lampu jalan yang semarak ketika malam tiba. Apartemen yang dia huni ini sangat sederhana. Hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tamu, dapur serta kamar mandi. Dikarenakan Fiona hidup hanya seorang diri, dia tidak mengisi apartemen ini dengan terlalu banyak barang. Dia juga tidak memiliki banyak syarat untuk dekorasi ruangannya. Alhasil, apartemen itu terlihat jauh lebih lengang. Di ruang tamu saja, Fiona hanya meletakkan satu buah sofa panjang beserta satu buah meja. Dia sengaja tidak membeli televisi karena akan berakhir dengan sia-sia. Segala informasi yang dia butuhkan dapat dia cari melalui ponsel pintarnya. "Posisi apartemen ini bagus banget. Kerjaan Igor memang tidak bisa diragukan!" ujar Freya berdecak ka
Perceraian Fiona dan Mas Jaya berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Mungkin karena fokus Mas Jaya, dan keluarganya masih ada pada komplotan debt collector yang belum juga menemukan titik terang. Sampai-sampai mereka tidak menyadari bahwa rumah yang telah Fiona dan Mas Jaya tempati selama 3 tahun telah berubah kepemilikan. "Sampai ketemu lagi, Mas. Semoga kamu bahagia selalu!" ucap Fiona sambil menjabat tangan Mas Jaya sebelum mereka meninggalkan kantor Pengadilan Agama. "Kamu juga jangan lupa jaga kesehatan!" pungkas Mas Jaya sambil membalas jabatan tangan Fiona. Dia juga menyempatkan diri untuk menepuk ringan bahu Fiona, layaknya memberikan semangat pada teman lama. Fiona mengangguk pelan. "Sebenarnya aku punya hadiah terakhir buat kamu, Mas. Tapi aku lupa bawa. Aku kirim kapan-kapan aja, ya!" lanjut Fiona sambil menebarkan senyum menyegarkan. Mas Jaya mengangguk ringan. Wajahnya terlihat begitu bahagia hari ini. Dengan Mbak Zoya yang terus bergelendotan di sisi lengan yang satu
Wajah Jaya seketika membeku ketika melihat keramaian yang tidak diketahui sedang terjadi di depan rumah yang sempat dia tinggalkan untuk sementara waktu itu. Laju kendaraannya pun spontan melambat karena lalu lintas kompleks dipenuhi oleh dua buah truk besar. "Mas, ada apa ya?" tanya Zoya sambil meregangkan lehernya dengan tidak sabar. Hatinya diliputi sekelumit firasat buruk. " ... "Jaya tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Bagaimana dia mau menjawab, jika dia saja tidak tahu menahu mengenai apa yang sekiranya sedang terjadi?Setelah mengambil tempat parkir tepat di belakang truk yang ternyata sedang mengangkut barang-barang itu, Jaya langsung berjalan ke arah rumahnya dengan langkah tergesa. Masalah apa lagi yang mungkin terjadi di rumah terkutuk ini? "Bu, apa yang sedang terjadi?" tanya Jaya pada seorang wanita yang dia tahu adalah tetangga rumahnya. "Loh, Nak Jaya!" sapa Ibu itu terlihat kaget. "Saya pikir Nak Jaya sudah tidak tinggal di rumah ini lagi. Ini loh ada orang pind
Ketika Jaya sedang dirundung malang, Fiona justru sedang fokus pada pekerjaannya. Sampai tiba-tiba ruangan yang semula hanya terdengar suara ketikan pada papan keyboard diinterupsi oleh dering telepon dari ponsel yang tergeletak tak berdaya di samping komputer. Dari sudut matanya, Fiona melirik nama mantan suami yang muncul pada layar teleponnya. Alis Fiona lantas berkedut pelan. Dia tidak tahu untuk alasan apa pria ini menghubunginya sekarang. Ini belum 24 jam sejak mereka resmi bercerai. Tidak mungkin pria itu sudah merindukannya, dan menyesal karena telah menceraikannya, bukan? Fiona tidak serta-merta mengangkat telepon itu. Biarkan saja mantan suaminya itu berpikir bahwa dia bukan lagi prioritas. Karena teleponnya belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti berdering setelah panggilan ketujuh, Fiona mau tak mau mengangkat telepon itu. "Halo?" sapanya dengan ramah. [Apa yang sudah kamu lakukan?!]Fiona harus menjauhkan telepon itu dari telinganya karena teriakan super menggele