"Bisa kita mulai bicara sekarang?" tanya Mas Jaya sambil menjepit dagu istrinya dengan ibu jari dan jari telunjuk. Dipaksanya mata sang istri untuk menatap tepat di manik matanya. Zoya menelan ludah dengan susah payah sembari menganggukkan kepalanya dengan terbatas. "Oke. Apakah keluargamu memiliki sanak-saudara lain yang bisa mereka kunjungi?" tanya Jaya memulai interogasinya. Zoya menggeleng pelan. "Ibu dan pamanku adalah sebatang kara. Entah sejak kapan, mereka saling bergantung satu sama lain. Sepanjang yang aku tahu, kami tidak pernah memiliki sanak-saudara lain," jawab Zoya dengan patuh. "Lalu kemana kira-kira mereka melarikan diri sekarang?"Zoya lagi-lagi menggeleng. "Tidak tahu!" jawabnya dengan konsisten. "Tapi aku yakin, nanti kalau mereka sudah kehabisan uang, mereka pasti akan mencariku!" sambung Zoya dengan cepat ketika melihat kening Mas Jaya berkerut rumit atas jawaban negatif yang dia berikan. "Waktu para debt collector itu datang mengambil barang-barang di ruma
Di pagi minggu yang cerah, Fiona sudah disibukkan oleh aktivitas menata apartemennya yang letaknya tak jauh dari perusahaan Samudra Group. Meski sederhana, apartemen ini terletak di tempat yang sangat strategis. Dari kamar Fiona sendiri, dia bisa melihat gemerlap lampu-lampu jalan yang semarak ketika malam tiba. Apartemen yang dia huni ini sangat sederhana. Hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tamu, dapur serta kamar mandi. Dikarenakan Fiona hidup hanya seorang diri, dia tidak mengisi apartemen ini dengan terlalu banyak barang. Dia juga tidak memiliki banyak syarat untuk dekorasi ruangannya. Alhasil, apartemen itu terlihat jauh lebih lengang. Di ruang tamu saja, Fiona hanya meletakkan satu buah sofa panjang beserta satu buah meja. Dia sengaja tidak membeli televisi karena akan berakhir dengan sia-sia. Segala informasi yang dia butuhkan dapat dia cari melalui ponsel pintarnya. "Posisi apartemen ini bagus banget. Kerjaan Igor memang tidak bisa diragukan!" ujar Freya berdecak ka
Perceraian Fiona dan Mas Jaya berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Mungkin karena fokus Mas Jaya, dan keluarganya masih ada pada komplotan debt collector yang belum juga menemukan titik terang. Sampai-sampai mereka tidak menyadari bahwa rumah yang telah Fiona dan Mas Jaya tempati selama 3 tahun telah berubah kepemilikan. "Sampai ketemu lagi, Mas. Semoga kamu bahagia selalu!" ucap Fiona sambil menjabat tangan Mas Jaya sebelum mereka meninggalkan kantor Pengadilan Agama. "Kamu juga jangan lupa jaga kesehatan!" pungkas Mas Jaya sambil membalas jabatan tangan Fiona. Dia juga menyempatkan diri untuk menepuk ringan bahu Fiona, layaknya memberikan semangat pada teman lama. Fiona mengangguk pelan. "Sebenarnya aku punya hadiah terakhir buat kamu, Mas. Tapi aku lupa bawa. Aku kirim kapan-kapan aja, ya!" lanjut Fiona sambil menebarkan senyum menyegarkan. Mas Jaya mengangguk ringan. Wajahnya terlihat begitu bahagia hari ini. Dengan Mbak Zoya yang terus bergelendotan di sisi lengan yang satu
Wajah Jaya seketika membeku ketika melihat keramaian yang tidak diketahui sedang terjadi di depan rumah yang sempat dia tinggalkan untuk sementara waktu itu. Laju kendaraannya pun spontan melambat karena lalu lintas kompleks dipenuhi oleh dua buah truk besar. "Mas, ada apa ya?" tanya Zoya sambil meregangkan lehernya dengan tidak sabar. Hatinya diliputi sekelumit firasat buruk. " ... "Jaya tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Bagaimana dia mau menjawab, jika dia saja tidak tahu menahu mengenai apa yang sekiranya sedang terjadi?Setelah mengambil tempat parkir tepat di belakang truk yang ternyata sedang mengangkut barang-barang itu, Jaya langsung berjalan ke arah rumahnya dengan langkah tergesa. Masalah apa lagi yang mungkin terjadi di rumah terkutuk ini? "Bu, apa yang sedang terjadi?" tanya Jaya pada seorang wanita yang dia tahu adalah tetangga rumahnya. "Loh, Nak Jaya!" sapa Ibu itu terlihat kaget. "Saya pikir Nak Jaya sudah tidak tinggal di rumah ini lagi. Ini loh ada orang pind
Ketika Jaya sedang dirundung malang, Fiona justru sedang fokus pada pekerjaannya. Sampai tiba-tiba ruangan yang semula hanya terdengar suara ketikan pada papan keyboard diinterupsi oleh dering telepon dari ponsel yang tergeletak tak berdaya di samping komputer. Dari sudut matanya, Fiona melirik nama mantan suami yang muncul pada layar teleponnya. Alis Fiona lantas berkedut pelan. Dia tidak tahu untuk alasan apa pria ini menghubunginya sekarang. Ini belum 24 jam sejak mereka resmi bercerai. Tidak mungkin pria itu sudah merindukannya, dan menyesal karena telah menceraikannya, bukan? Fiona tidak serta-merta mengangkat telepon itu. Biarkan saja mantan suaminya itu berpikir bahwa dia bukan lagi prioritas. Karena teleponnya belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti berdering setelah panggilan ketujuh, Fiona mau tak mau mengangkat telepon itu. "Halo?" sapanya dengan ramah. [Apa yang sudah kamu lakukan?!]Fiona harus menjauhkan telepon itu dari telinganya karena teriakan super menggele
Nafas linglung keluar dari hidung Zoya saat mereka kembali tiba di rumah mertua. Rumah yang lebih mirip seperti sarang penyihir daripada rumah yang seharusnya dijadikan tempat untuk berlindung. Zoya tidak mengambil langkah tergesa seperti Mas Jaya. Di situasi ini, dia hanya ingin menyamarkan aura keberadaannya agar tidak menjadi sasaran amuk sang mertua. "Muka kamu kusut banget. Ada apa?" tanya Ibu Marni dengan curiga ketika melihat wajah putranya yang lebih keruh dibandingkan dengan saat brangkas pentingnya hilang. "Perceraian kamu tidak berjalan lancar?"Jaya menghembuskan nafas keras. "Fiona sudah menjual rumah kami itu seharga 1 M," beritahu Jaya dengan kesal. Mata ibu Marni membola. "Apa?! Dia menjual rumah kamu seharga 1M? Berani sekali dia!" raungnya sambil menepuk sofa yang dia duduki dengan keras. Kepalanya kembali berdenyut menyakitkan. "Sekarang mana uang satu miliar itu?" "Dia tidak mau memberikannya padaku," keluh Jaya dengan kepala yang turut berdenyut pusing. "AP
Fiona yang sudah lama kembali fokus pada pekerjaannya kembali diganggu oleh suara telepon di atas meja. Namun, kali ini dia tidak menunda panggilan itu. Diraihnya gagang telepon yang tergeletak di atas meja itu. "Halo?" sapa Fiona dengan nada suara profesional. "Maaf, Bu Fiona. Seseorang yang bernama ibu Marni mencari ibu. Beliau sedang menunggu di lobi," jelas seseorang dari seberang. "Ibu Marni?" tanya Fiona untuk memastikan dia tidak salah dengar. "Iya, Ibu Marni!" jawab suara seorang pria di seberang dengan mantap. " ... "Alis Fiona berkedut pelan. "Dengan siapa dia datang ke sini?" tanyanya. "Dengan seorang remaja tanggung?" jawab orang itu terdengar sedikit tak yakin. "Mereka hanya berdua?" tanya Fiona lagi. "Iya!"Sudut bibir Fiona berkedut pelan. "Baiklah. Saya akan menemui mereka, tapi suruh mereka menunggu. Saya sedang meeting!" beritahu Fiona. "Baik, Bu!"Fiona mengembalikan gagang telepon itu sambil mencibir. "Heleh, udah kebaca banget kalau Mas Jaya pasti ngadu
PLAK, Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Fiona, hingga kepalanya terlempar ke kanan, dan telinganya berdenging. Fiona yang tidak pernah menyangka telapak tangan mertuanya suatu saat akan mendarat di pipinya seketika bengong untuk waktu yang lama. "Kamu itu menantu tidak berguna. Sudah tidak bisa memberikan anak. Sekarang dengan kurang ajarnya kamu juga menjual rumah anak saya?!" tembak Ibu Marni dengan sadis di depan dua orang resepsionis yang hanya bisa melirik takut-takut pada mereka. Fiona tidak langsung merespon. Kepalanya masih mencerna apa yang sedang terjadi. Pasalnya, ini baru kali pertama seseorang menyentuh kulitnya dengan cara yang begitu kasar. Mendiang orang tuanya saja tidak pernah menggunakan tamparan untuk mendidiknya. "Sekarang mana uang hasil penjualan rumah itu!" tagih ibu Marni sambil membentangkan telapak tangannya di depan wajah Fiona. Dia benar-benar tidak lagi peduli dengan kerumunan orang yang mulai tertarik oleh keributan yang dia ciptakan. "Bu ... "
1 bulan kemudian, Kasus yang menimpa Mas Fadli dan Mbak Zoya akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Dikarenakan bukti itu datangnya dari Fiona, mau tidak mau dia tetap harus hadir sebagai saksi di pengadilan. Ketika hal itu terjadi, dia bisa melihat dengan jelas wajah terkejut keluarga mantan suaminya. "Fiona!" seru mereka dengan terkejut. Walau begitu, Fiona memilih sikap acuh tak acuh. Dia mengikuti seluruh rangkaian persidangan dengan khidmat. Dia juga menjawab pertanyaan dari Jaksa penuntut umum dengan jujur tanpa ada yang dia sembunyikan. "Jadi ini semua ulah kamu? Harusnya dari awal aku membunuhmu!" raung Zoya dengan marah yang membuat dirinya mendapat peringatan dari hakim. Melihat Fiona duduk di kursi saksi membuat Zoya menggeram penuh amarah. Jika pengungkapan bukti sabotase mobil Mas Agung ini diserahkan oleh Paman Rusdi, mungkin Zoya tidak akan semarah ini. Tapi yang melakukannya adalah musuh bebuyutannya. Orang yang sudah Zoya cap sebagai penyebab atas setiap kemalangan
"Jaya! Mas Fadli, Jay!"Ketika Jaya tiba di rumah, hal pertama yang menyambutnya adalah raungan sang kakak yang baru saja sadar dari pingsannya. "Mbak, tenang! Coba ceritakan ada apa?" tanya Jaya berusaha untuk bersikap tenang meski hatinya sendiri sudah gundah gulana. "Mas Fadli, Jay! Mas Fadli!" pekik Mbak Arum dengan histeris. Air mata terus merebak membanjiri pipinya. "Mbak, jelaskan pelan-pelan apa yang terjadi?" tanya Jaya dengan penuh kesabaran. "Mas Fadli ditangkap polisi!" ungkap Arum dari sela-sela sengguk tangisnya. "APA?!" pekik Ibu Marni dengan keras hingga memenuhi ruangan. "Tadi siapa orang yang menghubungi Mbak?" tanya Jaya masih dengan nada tenang meskipun hatinya sudah hancur berantakan. "Namanya Chandra. Pengacara Mas Fadli. Katanya sekarang dia ada di kantor polisi untuk menemani Mas Fadli diinterogasi," jawab Arum dengan tergugu. "Kalau begitu, ayo kita ke kantor polisi," ajak Jaya sembari beranjak dari sofa yang dia duduki. "Ayo! Ayo!" timpal Ibu Marni d
Fadli yang berangkat ke kantor ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 pagi tiba-tiba dihadang oleh beberapa rekan kerjanya. Wajah kaku mereka membuat Fadli tiba-tiba merasakan firasat buruk di hatinya. Pikirannya bahkan langsung tertuju pada Zoya, dan ancamannya. Apalagi ketika mengetahui bahwa Jaya ternyata tidak berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya. 'Jangan bilang si Zoya sudah mengatakan tentang hal itu pada polisi!' gumam Fadli dengan panik. "Ada apa ini?" tanya Fadli pura-pura tidak merasakan keanehan dari mereka. Akan tetapi, dia perlahan mulai mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Sayangnya, sebelum Fadli sempat melaksanakan niatnya itu, dia telah lebih dulu dibekuk oleh rekan-rekan sejawatnya. "Sialan! Apa yang kalian lakukan?" maki Fadli dengan berang. Kini tangannya bahkan sudah diborgal yang terasa menginjak harga dirinya. Tanpa menghiraukan protesan dari Fadli, seorang polisi yang menangani kasus Fiona sebelumnya terus menyeret Fadli menuju
Di kediaman Adiguna, "Loh, Fadli? Kamu tidak berangkat kerja?" tanya Ibu Marni ketika melihat menantunya justru duduk dengan khidmat di sofa ruang keluarga. Seperti yang dikatakan Jaya kemarin, dia berpura-pura untuk tidak tahu menahu perihal yang katanya rahasia menantunya ini. Toh, semuanya juga belum terbukti kebenarannya. Bagaimana jika Zoya berbohong? Pun jikalau yang dikatakan Zoya itu benar, mereka bisa mengambil tindakan nanti. Tidak perlu terburu-buru. "Ini sudah jam setengah sembilan loh!" tambah Ibu Marni memperingatkan. "Fadli mau nanya dulu sama Ibu, apa Jaya berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya?" tanya Fadli penuh harap. "Huh! Dia tidak mau mencabut tuntutannya!" balas Ibu Marni seraya mendengus sinis. " ... "Tanpa sadar, geraham Fadli bergemeretak dengan tidak puas. Sayang sekali dia tidak berdaya! "Buk! Fadli mau bertemu dengan Ibu Mastah dulu, boleh?" tanya Fadli meminta izin. Alis Ibu Marni berkedut pelan. "Bertemu Ibu Mastah? Buat apa?" tanya
Pagi-pagi sekali. Jarum jam bahkan masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi paman Rusdi sudah menunggu di depan perusahaan tempat Fiona bekerja. Gelagatnya yang mencurigakan membuat seorang satpam perusahaan yang bertugas pagi ini terus menatapnya dengan curiga. "Permisi, Pak!" tegur Paman Rusdi dengan malu-malu. "Ada apa?" tanya satpam itu sedikit ketus. Wajahnya bahkan memberengut jijik. Aroma yang menguar dari tubuh pria gelandangan itu membuatnya ingin segera mengakhiri interaksi ini. "Di dalam sini ada karyawan yang namanya Fiona Larasati 'kan?" tanya paman Rusdi. Gelagatnya yang menurut sang satpam sudah mencurigakan sejak awal, membuat satpam yang bertugas itu semakin mengerutkan kening. Dia tidak mungkin tidak mengenal orang yang disebutkan oleh pria ini. Pasalnya, nama yang disebutkan itu sudah sangat terkenal di perusahaan. Selain karena kedekatannya dengan sang bos perusahaan. Wanita ini juga sering viral lantaran masalah keluarganya. Dan kabar terbaru yang ke
Ibu Mastah bergegas kembali ke kamarnya untuk mencoba menghubungi sang adik kandung melalui nomor yang hanya mereka ketahui sendiri. Tadinya dia berniat mengunjungi ruang keluarga untuk menanyakan tentang kabar putrinya yang tidak juga pulang hingga semalam ini. Siapa yang menduga dia justru mendengar obrolan penting itu. "Halo," sapa Ibu Mastah dengan antusias begitu sambungan telepon mulai terhubung. [Huh! Sekarang kamu baru menghubungiku?!]Ibu Mastah harus menjauhkan ponsel butut di tangannya dari sisi telinga karena kerasnya suara bentakan sang adik dari seberang sana. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Aku dengar dari Jaya dan ibunya kalau kamu memiliki bukti pembunuhan yang dilakukan oleh Fadli. Apa benar?" tanya Ibu Mastah. Rentetan kalimat panjang ini diutarakan dalam satu tarikan nafas tergesa. [ ... ]"Halo, Rusdi?" panggil Ibu Mastah karena sang adik tidak membalas perkataannya. [Jadi mereka sudah tahu!] "Apa?" tanya Ibu Mastah. [Kak, Zoya ada dimana?]Ibu Mastah m
Bumi telah diselimuti kegelapan ketika Fiona terbangun dari tidur lelapnya. Hanya lampu dari nakas yang menyala buram yang menerangi kamar sederhana itu. Fiona tidak langsung beranjak dari tempatnya. Kepalanya masih linglung mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi. Akan tetapi, suara yang datang dari luar kamarnya membuat Fiona tidak bisa berbaring lebih lama lagi. Dia perlahan beranjak dari ranjang empuknya, dan menyeret langkahnya untuk keluar dari kamar. "Fiona tidak akan menarik tuntutannya!"Sayup-sayup kalimat itulah yang menyambut Fiona ketika dia membuka pintu kamar. "Fiona sedang tidur!" "Gor," sapa Fiona lirih dengan suara serak khas bangun tidurnya. Igor yang sedang menelepon menyeret pandangannya ke arah sosok Fiona kemudian tersenyum teduh. "Pokoknya Fiona tidak akan menarik tuntutannya!" seru Igor untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon. "Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaan kamu?" tanya Igor seraya beranjak dari sofa yang
"Gak perlu! Ayo pulang!" tolak Ibu Marni dengan tegas. "Jangan dengarkan omong kosongnya!" lanjut Ibu Marni dengan penuh amarah. Dia lalu meraih tangan Jaya dan hendak menyeretnya untuk pergi meninggalkan sang menantu yang terlihat tidak lebih dari orang gila saat ini. "Huh! Anda yang paling tahu apakah yang aku ucapkan ini hanya omong kosong belaka atau tidak!" dengus Zoya santai. " ... "Sambil mendumel dengan suara rendah, Ibu Marni terus melangkah menjauh dari Zoya. "Mas, jika kamu tidak segera membebaskan aku sekarang juga. Aku jamin keluarga kamu tidak akan pernah menemukan ketenangan lagi!" ujar Zoya memberi peringatan. Langkah kaki Jaya spontan berhenti mendengar nada ancaman yang disampaikan oleh Zoya dengan begitu tenang ini. Jaya yakin bahwa siapapun itu orangnya, apabila menghadapi kondisi terpojok pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Jaya tidak ingin menganggap remeh ancaman sang istri ini. "Kamu pasti mikir kalau aku sama Mas Fadli saling naksir
Pasca insiden penculikan ini, Igor tak sekalipun meninggalkan sisi Fiona. Di tidak mau hal buruk ini terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya pada sang wanita terkasih. "Aku baik-baik saja kok, Gor. Kamu bisa pulang," ujar Fiona begitu mereka tiba di apartemen Fiona setelah kembali dari rumah sakit. "Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini!" putus Igor penuh tekad. "Hah?""Aku khawatir hal yang sama seperti ini akan terulang kembali," pungkas Igor. Dia masih memiliki bayang-bayang ketidakberdayaan di dalam benaknya. Kalau sampai dia datang terlambat, apa yang akan terjadi pada Fiona? Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Igor merasa tidak sanggup! Dan sebenarnya, Fiona juga sedikit dihantui perasaan ketakutan akibat dari pengalaman yang menimpanya kali ini. Namun, posisinya dalam hubungan dengan Igor agak tidak menguntungkan untuk mereka bersama. Belum lagi, dia juga sudah berjanji pada ibunda Igor bahwa hubungan mereka tidak akan sampai pada tahap yang lebih serius t