Setelah memastikan keadaan aman. Mirna masuk ke dalam kamar sepasang suami istri itu. Mendorong pintu perlahan agar tak menimbulkan bunyi. Pembantu itu mencari barang dalam kamar yang dibutuhkannya. Bukan uang atau perhiasan yang diincarnya. Mirna memasukkan semua barang tersebut kedalam kantung terbuat dari kain kafan. Kantung yang ia buat sendiri. "Aku harus cepat. Sebentar lagi tengah malam," ucapnya dalam hati melihat jam dinding di kamar. Mirna diam-diam menyusup ke sebuah ruangan bawah tanah yang sudah lama tak terpakai. Ruang bawah tanah itu digunakan untuk melakukan hal-hal mistis. Semua perlengkapan yang dibutuhkan Mirna lengkap. Wanita itu memulai memejamkan mata. Mengeluarkan rambut milik kedua majikannya dan kain segitiga milik Ronald. Ada juga beberapa tetes darah milik Puspita. Mirna menyeringai. Sudah lama sekali tak melakukan hal ini. Sungguh menyenangkan baginya. Hal yang amat dirindukan selama ini. Ia pikir akan bertaubat ternyata tak bisa menjauhi ilmu itu. Mi
"Mas, sakit!" Puspita merasakan nyeri dan mulas dibagian perutnya. Ia mengigit bibir bawah. "Mas!" Menguncang tubuh lelaki di sampingnya. Ronald terbangun dari tidurnya. Membuka mata lebar melihat kondisi istrinya. "Puspita kamu kenapa?" Mata ngantuk masih terlihat jelas. "Sakit Mas." Mengusap perut yang semakin membuncit. "Kita harus ke dokter." Ronald turun ke lantai bawah dengan tergesa-gesa memanggil Mirna di kamarnya. "Mirna! Mirna!" "Ada apa Tuan?" Membuka pintu kamar mendengar teriakkan panik lelaki itu. "Panggil supir dan siapkan mobil. Puspita perutnya sakit," perintah Ronald. "Sepertinya Nona Puspita mau melahirkan." "Iya, mungkin. Cepat siapkan mobil." Mirna bergegas ke arah pos satpam memanggil supir yang sedang bermain catur. "Aduh, Mas. Sakit," keluhnya berkali-kali. Ronald duduk di belakang kemudi bersama Puspita memeluk dan mengusap perutnya."Sabar Sayang. Sebentar lagi sampai." Ronald menemani Puspita hingga masuk ke dalam ruang bersalin. Puspita haru
Malam semakin larut, suara jangkrik saling bersahutan. Malam ini tak ada satu bintang pun muncul. Hanya ada bulan sabit menghiasi langit. Bara mendengarkan cerita Ronald, lelaki itu menatap kolam renang dari balik jendela kamar putrinya yang terbaring kaku di atas ranjang. Setiap kata terucap setiap kalimat hingga membentuk sebuah kejadian yang membuat Bara mengelengkan kepala. Begitu berat kehidupan di dunia hingga mereka tak menyadari kesalahan seumur hidup. Bukan di dunia saja tetapi di dunia nyata juga."Apa yang terjadi dengan nyonya Puspita?" Cerita Ronald semakin membuat Bara penasaran. Ia merasa ada sesuatu tersembunyi di balik kematian istri majikannya. "Istriku telah disantet oleh Mirna. Salah seorang temanku menemukan sesuatu di rumah ini. Di ruang bawah tanah, wanita itu melakukan ritual setiap malam. Ia yang telah memberikan kutukan anak-anakku sebelum wanita jalang itu mati." "Mirna telah tiada Tuan?" Wajah Bara terkejut. Seketika itu angin berhembus kencang hingga
Tulang Belulang MirnaSuara jangkrik sahut menyahut, para nyamuk terbang mencari tempat yang nyaman. Mereka terbang tak tentu arah mencari makan dengan menghisap darah. Pada saat bersamaan, segerombol orang berkumpul di halaman belakang. Mereka sibuk mencari sesuatu. "Gali di sebelah sana!" Ronald memerintahkan beberapa anak buahnya untuk membongkar kolam renang tepat di bagian pojok selatan. Tangan kekar anak buah Ronald mengenggam alat untuk menghancurkan keramik. Ayunan tangan mereka semakin cepat dan dalam hingga bagian tanah terlihat jelas. Otot mereka membesar ketika tenaga di keluarkan secara ektra. Mereka tak membongkar semua kolam hanya bagian paling pojok saja tempat jasad Mirna ia kubur. Angin berhembus kencang, petir sembar menyambar. Langit semakin gelap. Bulan dan bintang tak nampak sejak tadi. Bara waspada dengan kemungkinan yang terjadi. "Cepat bongkar!" teriak salah satu dari mereka. Melihat cuaca memburuk. Ayunan tangan semakin cepat, peluh mereka menetes dan
Mirna menatap Sofie terbaring kaku. Ia yakin gadis itu tak akan menyadarinya. Bola mata Mirna berubah merah bagaikan api yang akan melahap korban di hadapannya. Kebencian telah merasuki jiwa raga hingga akhir hayat. Tangan kanan mengeluarkan cahaya hitam untuk memusnahkan Sofie dalam sekali pukulan. Dia berharap Sofie mati di tangannya sama seperti Sefia yang telah ia dorong dari lantai atas. Brak! Pintu terbuka keras, langkah Bara terhenti ketika sosok Mirna ada di depannya. Ia tahu Mirna pasti ke kamar anak majikannya. Bara segera berlari menuju ke kamar Sofie. Ketika pintu sudah terbuka lebar, Mirna bersiap untuk hendak menyerang Sofie yang tak berdaya. "Mati kamu!" Membuang kekuatannya ke arah tubuh Sofie. Seketika itu juga Bara mencegah kekuatan itu dengan menghalangi kekuatan hitam milik Mirna dengan tubuhnya. Bara tak merasakan sakit sama sekali tetapi, dari mulutnya keluar darah kental hingga mengotori pakaiannya. "Uhuk!" Bara menyeka cairan merah dengan tangan. Mir
Anak buah Mirna keluar dari sangkarnya mereka adalah serigala bermata merah dengan taring gigi menyeramkan. Bara menatap kelima Srigala dengan tajam. "Serang dia dan makan tubuhnya hingga tak ada sisa," perintah Mirna menyeringai. Mirna memerintahkan mereka untuk menyerang Bara dan membuat dirinya hancur dan tak kembali ke dunianyaPara serigala menyerang Bara ke berbagai arah dengan sigap dan berhati-hati agar mereka tak menyakiti dirinya. Salah satu serigala berhasil melukai tubuh Bara hingga cakaran mengenai punggung Bara. Cairan merah menetes di sana. Sudah waktunya pemuda itu membalas perbuatan mereka Bara bersiap-siap mengeluarkan kekuatannya. Kedua tangan Bara diletakkan di atas dada matanya terpejam mata berubah menjadi hitam pekat entah bagaimana bisa tubuh Bara berubah menjadi banyak bukan satu melainkan menjadi 10 bagian. Wajah mereka sama tak ada yang bisa membedakan kecuali Bara sendiri. Semua teman-teman Bara menyerang para srigala dengan ganas hingga kepayahan
Hari berganti gelap, waktu terus berputar. Bara terus melangkah. Di bawah bulan dan bintang.Entah ke mana kakinya melangkah. Bus yang ia tumpangi telah meninggalkan dirinya di halte sejak dua jam yang lalu. Langkah kaki Bara terus diayuh tanpa tujuan dan tak kenal lelah. Suasana jalan tak terlalu padat. Tapi masih ada beberapa padagang dan tukang ojek. Bara berhenti sejenak mengambil napas dan mengistirahatkan tubuhnya. Tanpa tak sengaja mata Bara melihat wanita yang berada di dekat mobil putih memberontak dan menjerit meminta tolong di seberang jalan. "Tolong, lepaskan aku!" teriaknya kencang. Tak ada yang peduli dengan teriakkan wanita itu seakan-akan sudah terbiasa oleh mereka. Bara menajamkan mata dan memastikan diri mengenal wanita itu. Ia yakin kalau wanita itu adalah Fika telah lama tak berjumpa. Fika, teman kecilnya di kampung."Tolong! Lepaskan aku!" Memberontak. Wanita berdress merah dipaksa masuk ke dalam mobil putih. Ia terus memberontak dan memukul pria berbadan
"Jangan Tuan! Aku mohon!" "Nikmati Sayang!" Tersenyum menyeringai bagaikan iblis yang kehausan. "Ampun!" Tangan penuh lemak merobek paksa pakaian Fika. Tubuhnya tak bisa melawan kekutan lelaki di atasnya. Fika menjerit dan meraung. Bibir merah mekar dan berseri dicumbu paksa oleh lelaki yang haus akan kenikmatan tubuh wanita. Ingin mencicipi manisnya madu yang belum tersentuh. "Argh!" Kain segitiga hitam di paksa di lepas dari sangkarnya. Memperlihatkan daging tembam penuh bulu hitam yang membuat pria berada di atasnya semakin ingin merasakan dan menghujat berkali-kali sampai datangnya sebuah cairan kental. "Aku akan bermain sangat pelan, Sayang." Mengusap pipi Fika pelan. Bugh! Bara menghajar sang supir yang berjaga di luar dalam sekali pukulan. Tukang ojek ikut membantu Bara. Ia tahu situasi saat ini. Tangan kekar Bara membuka pintu mobil dan menarik kerah kemeja pria tanpa celana hingga tersungkur di tanah. "Hei, siapa kamu?!" Tatapannya penuh Amarah. Belum puas menjamah
Fika menatap Bara dengan kebimbangan, ia terus menatap pemuda yang sedang merapikan pakaiannya. "Jangan di tatap terus, Kakak tahu kalau ganteng.""Eh, pede banget." Fika menjulurkan lidahnya ke arah Bara. pemuda yang sibuk memilih pakaiannya hanya terkekeh saja. "Kakak, kamu yakin mau kembali ke kampung. Memangnya Mak dan Abah sudah ketemu?" "Sudah, mereka baik-baik saja dan bahagia di sana." Bara mengulum senyum ketika melihat Abah dan Mak bahagia. "Kok gak ajak aku?" Fika mulai merajuk. Bara menoleh ke arah Fika yang semakin hari semakin cantik dan dewasa. umurnya sudah matang untuk berumah tangga. Bara mengusap lembut puncak kepala Fika."Abah dan emak sudah lihat kamu. Kamu juga jangan khawatirkan mereka. Berdoa untuk kesehatan mereka.""Apa jangan-jangan mereka sudah berada di kampung makanya kamu mau kembali ke sana?""Tidak ada. Mereka tak ada di sana. Apa kamu tak ingin pulang?"Wajah manis Fika menunduk lesu. Mengingat hal dulu membuatnya sakit hati. Kalau saja waktu i
Bara Seorang gadis berkemeja biru merah dengan logo di kantung depan, mengusap lembut tubuh pemuda yang kini terbaring di atas tempat tidur di dalam kamar. Tangan halusnya mengusap lembut kulit pemuda itu dengan tangkas. Perlahan memakaikan kembali pakaian yang baru untuk pria yang kini terbaring tak berdaya. Selang infus masuk dari pergelangan tangan kanan. Cairan itu yang masuk ke dalam tubuh sebagai sumber tenaga. kedua mata pemuda itu masih terpejam, entah sampai kapan mata elang akan terbuka kembali. Rasa rindu akan canda dan perhatiannya kian membuncah. Gadis berkuncir kuda tetap sabar menanti. "Sampai kapan kamu akan tertidur Kak Bara. Apakah kamu tak merindukanku. Bangunlah." Fika selalu menjaga dan merawat Bara yang sudah lima bulan tak sadarkan diri. Melalui infus, Bara mengomsumsi makanan. Setelah memastikan semua selesai, Fika merapikan peralatannya dan berpamitan. "Aku harus pergi. aku harus bekerja untuk biaya hidup kita." Fika mengusap lembut surai Bara. mengulum
Bara menghampiri dua raja yang memiliki dendam terselubung. Mereka bertaruh dengan ganas dan sadis tak memberikan ampun atau permohonan maaf. Hingga sang Raja Merah terhempas dari hadapan makhluk hijau. Kini, hanya Bara yang bisa melawan Raja Kijo.Langkah Bara pasti dan akan mengalahkan raja jahanam itu. Raja yang memiliki maksud busuk kepada manusia. Maka Bara mengorbankan diri untuk saudara-saudaranya di dua dunia. "Bocah tengil, Raja merah saja tak bisa melawanku. Kamu ingin ikut mati bersamanya, ah!" Raja Kijo tersenyum sinis menatap pemuda dihadapnya. "Kalau sudah takdirku kenapa tidak." Bara melompat dan menjulurkan kaki hingga menyentuh dada raja Kijo. Sang raja terhuyung ke belakang ketika mendapat tendangan dari Bara. "Kurang ajar!" teriak raja Kijo mengema hingga ke luar kerajaan. Para anak buah gusar mendapat teriakan dari sang Baginda raja. Raja Kijo bersiap menyerang dengan kekuatan ilmu dalam yang selama ini ia simpan untuk digunakan ketika menemukan musuh lebih
Napas Bara memburu, ia memilih menjauh. Gerak-gerik saat menghindari serangan adalah miliknya. "Sial, dari mana dia tahu gerakkan itu. Bagaimana aku bisa mengalahkannya?" geram Bara dalam hati. "Kenapa? Kamu tak bisa mengalahkan ku. Jangan harap kamu bisa!" Bara berpikir sejenak tetapi serangan tiba-tiba datang begitu cepat hingga bagian dada Bara terpukul keras, cairan merah keluar dari mulut pemuda itu. Bara terbatuk-batuk mengeluarkan cairan pekat. Raja Kijo tak memberikan ampun kepada pemuda itu. Ia melanjutkan penyerangan. Kedua kaki Bara tak berpijak. Tubuhnya melayang ke udara. "Ha ... ha ... Kekuatanmu tak sebanding denganku!" "Aku tak peduli kekuatanmu seberapa besar. Aku tak peduli berapa banyak jurusmu. Aku hanya ingin kamu musnah!" Bara melepaskan kalung merah yang melingkar di lehernya hingga dua orang muncul bersamaan menatap Raja Kijo. Mereka adalah ayah Bara dan Sang Raja yang telah hilang. Ternyata ia berada di kalung itu menunggu waktu yang tepat untuk menyer
Bara melanjutkan langkah hingga lantai yang ia pijak berubah, suasana menjadi mencekam. Sekeliling Bara berubah gelap. Hanya ada pepohonan menjulang tinggi dengan langit hitam. Tak ada bulan maupun bintang. Suara jangkrik atau kodok tak ada. Senyap dan sepi bagaikan di dalam kuburan. "Apakah aku telah kembali ke dunia nyata atau ini dunia Raja Kijo?" Monolognya dalam hati. Kaki Bara melangkah mencari jalan menuju cahaya. Tetapi, tak ada cela cahaya di sekitar ini. Suara apapun tak terdengar hingga kalung merah Bara berkelap-kelip menandakan bahaya mengintai. Bara menyentuh kalung itu saling berkomunikasi dengan penghuni kalung. Bara merasakan sesuatu mendekat sangat cepat seperti sebuah kilatan. Kedua kaki bersiap untuk menerima serangan tiba-tiba. Hingga cahaya menyerang Bara tetapi tak berwujud. Lengan Bara mengeluarkan cairan merah akibat goresan. Terasa nyeri dan perih. Bara mengindari kilatan itu agar tak terluka untuk kedua kali. Bara mengeluarkan tenaga dalam hingga diri
"Mati kau!" Suara tawa mengema di ruangan itu. Waktu yang tepat untuk menghentikan wanita berkebaya hijau. Jika ia bersuara lagi tubuh Bara bisa tak berdaya. Hingga kepala terasa berat seperti tertimpa batu besar. Bara berlari secepat kilat menghajar wanita berkebaya hijau dan menyerang sekali tebasan. Bara mengores bagian perut Nyai dengan senjata daun beracun miliki wanita itu. Bara berdiri di samping wanita itu dan menambah serangannya dengan cara mencari kelemahan Nyai. Sebuah tusuk konde berada di kepala wanita tua yang mengeram kesakitan akibat luka dari senjatanya sendiri. Teriakkan wanita tak memiliki hati mengema dan semakin kencang. "Argh ....!" Bara menjauhi wanita itu dan menatap detik-detik pertumbangan diri Nyai. Wanita yang memberikan jalan kepada Kijo ke dunia. Hingga para gadis kehilangan nyawa dan kehormatan yang harus dijaga sebelum menikah. Para ibu yang baru saja melahirkan kehilangan bayi mereka karena tubuh bayi tak berdosa menjadi santapan bagi Kijo. Banya
"Lebih baik kalian pergi. Biar aku yang hadapi." Bara tak ingin teman-temannya terluka. "Tidak, aku tak akan pergi. Mereka telah membunuh keluargaku. Aku akan melawan mereka sampai darah penghabisan." Kadet mengucapkannya lantang. Begitu juga Zamah menganggukkan kepala. "Aku juga tak akan mundur. Kita lakukan bersama." Zamah menatap kedua pemuda yang penuh keberanian. Hingga mereka mendorong kasar pagar tersebut. Seketika itu juga bola mata mereka membulat melihat segerombolan Kijo dihadapannya. "Serang!" teriak para Kijo. Seketika itu juga kalung merah menyala dan membunuh para Kijo yang hendak mendekati Bara. Tubuh mereka hancur dan berubah menjadi abu. Para Kijo yang menyadari kekuatan tak terkalahkan memilih mundur. Bara semakin melangkah kaki menyerang mereka dengan brutal begitu juga Kadek dan Zamah. Mengapa mereka tak membawa prajurit dari bangsanya. Karena sebagai prajurit mengalami luka parah. Lebih baik mereka saja bertiga menyerang bangsa Kijo yang selalu meresahkan.
Bab 55. "Abah katakan padaku. Aku tak mengerti semua ini." Bara meminta penjelasan yang sesungguhnya. "Wanita ini adalah ibumu Bara. Maaf kan kami telah merahasiakannya." Mak Djasiah terguguh. Ia takut kehilangan putranya. "Ibuku. Tapi, kenapa kalian di sini. Ini dunia bukan dunia kita.""Kami manusia hanya saja kami salah jalan hingga berakhir di sini." "Apa kalian telah berkerjasama dengan mereka, Abah?" Abah menganggukkan kepala dan suara isakan emak terdengar lebih keras. Abah memeluk tubuh rapuh istrinya. Mereka salah jalan dan beruntung masih bisa ada yang membantu. "Wanita ini adalah ibu kandungmu." "Mak, apa benar begitu?" Bara ingin tahu dari mulut wanita yang telah dianggap ibunya. "Iya, betul." Wanita berkebaya putih menatap penuh kerinduan sang buah hati. Putra yang ia jaga selama ini dari kejauhan. Bara menatap wanita yang tak terlihat tua. Tak ada goresan di wajah. Cahaya terlihat menyinari tubuhnya. "Anakku Bara." Ia mendekati Bara dan memeluk erat pemuda berw
Bab 54.Zamah menyusul Kadet, ia takut Kadet bertemu dengan Kijo. Bisa saja Kijo menyerangnya tiba-tiba. Zamah menaiki pohon lalu terbang dari satu pohon ke pohon lain. Tubuhnya terlihat ringan bagaikan kertas. "Siapa dia?" tanya Zamah ketika melihat Kadet membantu seorang wanita yang tak sadarkan diri. "Dia adalah kekasih adikku." "Astaga, bukannya dia berada di desa seberang. Apa jangan-jangan mereka juga menyerang desa seberang?""Bisa jadi. Lebih baik kita tanya saja setelah ia sadarkan diri." Zamah mengambil buah-buahan yang telah dipetik sedangkan Kadet mengendong tubuh wanita itu, Jinar. Mereka memberikan pertolongan kepada Jinar agar kembali siuman. Begitu juga Bara, mengunakan kekuatan kalung tersebut untuk menyembuhkan luka-luka di tubuhnya. Mereka beristirahat dekat pohon besar disekitar semak-semak. Para anak-anak menyantap makanan dengan lahap. Kedua bayi kembar tertidur lelap setelah menyusu ASI."Apa yang terjadi dengannya?" tanya Putra. "Kita tunggu saja setelah