"Halimah! Apa yang kamu lakukan?!" Mas Sabil datang merebut ponsel di tanganku.
"Apa itu, Mas? Untuk siapa kamu menyewa rumah? Kenapa tak membicarakannya denganku? Lalu siapa wanita yang tadi katanya bareng Mas Sabil?" tanyaku tegas tanpa basa-basi. AkuDi waktu yang sama, suara piring pecah yang jatuh di lantai terdengar. Saat itulah, aku dan Mas Sabil yang sedang bersitegang menoleh ke sana.Aku memperhatikan seorang gadis yang seketika berjongkok membersihkan pecahan piring di lantai. Puding buatan Bulek yang sepertinya akan diberikan padaku berserakan di sana.Bulek sangat tahu kalau aku menyukai makanan itu. Dia pasti ingin membuatku senang dan menghilangkan stress yang melanda pasca melahirkan.Wanita paruh baya itu, banyak tahu medis karena dulu saat muda sempat bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Fatma ke kamar kami pasti ingin mengantarkan kue itu.Tapi ... kenapa piringnya pecah? Apa dia terkejut karena semua kebohongannya dengan Mas Sabil akan terbongkar?"Ahm, maaf," ucap Fatma tergesa membereskan pecahan-pecahan dan puding di lantai.Tampak tangan gadis itu kotor karena noda dari kue itu.Ini kesempatan, melihat ekspresi Mas Sabil. Kamu gak akan bisa berkelit lagi Mas. Ada Fatma di sini. Gadis lemah lembut itu, pasti akan mengaku setelah aku desak.Benar kata orang, bahwa yang berpotensi paling besar menghancurkan kita adalah orang dekat. Yang bahkan dia selalu membela dan mengalah pada kita.Dengan dada naik turun, kuamati Mas Sabil yang seolah tak peduli pada Fatma. Ia tak terpengaruh. Tatapannya ke arah lain dengan gestur bingung menghadapiku.Aneh. Kenapa dia tak peduli?"Auh!" Fatma terdengar mengaduh. Aku pun sontak menoleh ke arahnya. Namun, tidak dengan Mas Sabil. Dia benar-benar tak peduli.Jika memang mereka punya hubungan, dan Mas Sabil sangat mencintai Fatma, bukankah seharusnya dia terkejut dan khawatir. Lalu bergegas memeriksanya.Namun, yang ada ...."Sudahlah, kalian tak perlu bersandiwara!" ketusku pada mereka berdua. Mataku sudah memanas, tapi akhirnya lolos juga air mata yang kutahan sedari tadi."Pelankam suaramu! Aku sudah menahannya karena takut kembar bangun."Kimiringkan senyum mendengar ucapan Mas Sabil."Kamu ini kenapa, sih? Belum juga aku jelaskan sudah menuduhku yang macam-macam? Kenapa bawa-bawa sepupumu?" Mas Sabil melotot tak terima."Oh, kamu pikir, kami ada main? Kamu pikir ... dia pelakor! Perempuan yang merebut suamimu? Makanya Halimah sudah kubilang berapa kali? Jangan suka baca cerita-cerita di KBM. Pikiranmu jadi selalu buruk pada suami!" Kini pria itu malah menyerangku, bahkan hobbyku yang suka baca di aplikasi.Ah, itu memang hobbyku. Tempat menyalurkan kesepian yang kurasa karena sikap dinginnya. Jujur saja, aku merasa kurang perhatian dan kasih sayang. Jadi perlu mencari pelarian. Menurutku itu juga cara positif mengalihkan pikiran, dari bergaul dengan emak-emak yang suka bergosip, atau suka drama bikin statu, lalu kubuka aib suamiku sendiri."Kamu tanya rumah itu untuk siapa! Itu bukan untukku! Tapi teman yang butuh bantuan! Bukannya bertanya malah punya pikiran sendiri. Menyalahkan Fatma jadi pelakor lagi! Apa sekarang kamu puas!? Tidak ada wanita yang merebut suamimu! Tidak ada!" Mas Sabil yang tadi memintaku, menekankan suara malah berteriak.Kulirik Fatma, saat Mas Sabil menyebutnya pelakor. Gadis itu kini tak bergerak. Menunduk dalam. Ya Tuhan pertanda apa ini? Aku tahu apa pun yang aku tuduhkan Fatma tak akan balik menyerang. Begitulah dia, diam, lemah dan sulit bicara mengemukakan isi hatinya.Benarkah kata Mas Sabil? Tapi dia bukan tipe pria yang suka berbohong. Kenapa aku tetap saja ragu padanya?"Apa maksud kalian?" Suara seseorang membuat kami semua menoleh.Entah, sejak kapan Bulek sudah berdiri di antara kami. Di saat itu pula, si sulung terbangun. Dia memang paling sering bangun dibanding bungsu. Tubuhnya juga lebih berisi. Mungkin karena itu lambungnya lebih besar dan cepat lapar.Melihat Bulek aku jadi ingat sikapnya kemarin. Saat Fatma pamit akan pergi. Wanita itu pasti tahu, apakah ada sesuatu antara Mas Sabil dan Fatma.Dengan cepat aku menoleh. Berusaha meraihnya sembari mengusap air mata kasar.Sementara Mas Sabil, yang tampaknya sangat kesal padaku karena menuduhnya, pria itu mengembus kasar. Lalu keluar lebih dulu meninggalkan ruangan."Apa kamu menuduh Adikmu pelakor, Nduk?" tanya Bulek dengan mata berkaca-kaca.Apa ini? Kenapa sikap mereka membuatku bingung?! Apa artinya aku sedang menuduh orang-orang yang gak salah!?NextInsyaAllah malam ya. Jangan lupa tap love. Koment. Sub yang belum sub deh.😁🙏Aku terdiam. Dan berusaha mengalihkannya dengan menggnedong sulung kemudian menyusuinya. Namun, Bulek tak terima dan mengejar jawabanku. Wanita tua itu segera duduk di sisi ranjang, memiringkan tubuh menghadapku. Mataku hanya bisa menangis tanpa berani menatapnya.Detik kemudian, Fatma mendekat dan menarik tangan Bulek."Sudah Bund. Jangan dibahas, kita pergi saja." Fatma menggeleng kepala. Saat melihat ke arah matanya, dua mata gadis itu sudah menangis. Ya Tuhan, baru sekarang Fatma meminta bundanya meninggalkanku.Waktu terjeda. Hening. Bulek menatap kami secara bergantian. Waktu-waktu itu cukup memberi kesempatan sulung untuk kembali tidur.Tampaknya Bulek juga sengaja menunggu bayi itu tidur. Aku pun meletakkannya."Halimah, Bulek sangat mengenalmu, Bapak dan Ibumu. Mereka baik, dan Bulek tak mau membalas kebaikan mereka dengan keburukan yang menyakitimu. Percayalah ... Fatma tak mungkin merebut suamimu. Bulek bisa jamin." Bulek menatapku dalam-dalam. Dalam penglihatanku yang b
Setelah hanya ada suara isak tangis dalam ruangan, suasana akhirnya hening untuk beberapa saat."Biar Bulek ambilkan pudingnya lagi." Ibu Fatma bangkit, dari sisi Halimah, sembari menyeka air matanya yang sempat jatuh karena insiden tadi.Halimah terdiam, masih menggenggam kedua tangan Fatma yang berdiri di depannya. Memperhatikan tangan yang dulu sering dipeganginya, saat bermain, saat berjalan pergi bersama, dan saat Fatma membutuhkan perlindungan Halimah. Wanita yang merasakan nyeri beberapa kali di perutnya karena menangis tersedu itu, menyeka air matanya lalu mendongak menatap Fatma yang terdiam dengan mata yang basah dan menunduk."Kenapa kamu diam saja? Harusnya kamu marah dan maki aku Fatma."."Maaf, Mbak." Suara serak itu terdengar lirih."Bukan minta maaf. Kenapa kamu minta maaf? Kamu harusnya memaki, bukan minta maaf." Halimah merasa kesal. Tadinya ia pikir bisa menghajar Fatma dengan kata-kata jahatnya.Namun, Fatma justru membuatnya merasa sangat bersalah. Setidaknya jik
Selesai berbincang dengan orang di ujung telepon, ia pun menulis pesan penting untuk seseorang.[Hati-hati, ya. Naruh ponsel. Maaf untuk yang tadi. Kita keluar malam ini gimana?]Sabil tersenyum saat menulis pesan. Ia merasa berdebar setiap kali berinteraksi dengan pemilik nomor tersebut. Senyummya makin lebar, kala terlihat centang dua biru di bawah pesannya. Sebagai tanda pesanya telah diterima dan di baca oleh Fatma.Tak lama, sebuah balasan pun muncul. [Ya.]"Hah?" Mata Sabil mendelik. "Hanya ini balasannya?" Pria itu seolah tak percaya. Perempuan yang tak pernah mengabaikan pesannya, dan selalu membalas dengan chat panjang itu hanya menjawab, ya.Sabil mendesah. Dari balasan itu, dia tahu kekasihnya sedang tak baik-baik saja. Pria itu sadar, bahwa hubungan mereka memang tak wajar seperti layaknya banyak pernikahan di luar sana. Namun, apa daya, ia tak mampu melawan hatinya. Sabil ingin terus bersama Fatma bukan Halimah. Perempuan yang selalu terlihat manis, baik hati dan teg
"Mas Sabil?" Mata Halimah melebar. "Apa nggak jadi nunggu barang datang dari pelabuhan?""Oh, itu ...." Pria yang dianggap Sabil oleh Halimah itu mendekat, sembari menggaruk kepala tak gatal."Ternyata ditunda, jadi ... aku memilih pulang.""Mas agak serak?" Halimah makin heran. Dahinya berkerut. Kenapa kali ini Sabil sangat aneh."Hem?" Nabil mengangkat kedua alisnya. Pria itu baru ingat, kalau suaranya dengan saudara kembarnya sedikit berbeda. Untungnya mereka hidup terpisah pulau, jadi setiap kali Nabil yang menemuinya, Halimah menganggap suaminya tengah sakit radang tenggorokan."Iya, nih." Pria itu segera memegangi jakunnya. "Nggak tahu, mungkin karena minum es di pinggir jalan kali, ya. Kena sari manis."Halimah tersenyum. Suaminya sekarang jadi banyak bicara padanya. Dia pikir pria itu kambuh baiknya setelah insiden yang menguras emosi mereka tadi sore.Wanita itu bersyukur. Begitulah seharusnya, adakalanya ujian itu ada di puncak, sampai sepasang suami istri kembali ingat per
Ingatan Sabil dan Fatma kembali ke masa lalu, di mana mereka saling mengikrarkan janji. Sabil akan menyentuh Halimah sebagai istri setelah Fatma menerimanya.Hari itu sebelum janji itu terucap ....Sabil menjatuhkan hadiah yang dibawanya, seiring ucapan yang meluncur dari mulut mungil Fatma."Maaf, Mas.""Ap-apa yang kamu katakan barusan, Fatma?" Sabil melebarkan mata tak percaya. Tubuh gadis itu luruh, yang kemudian terduduk di kursi taman tempat mereka biasa bertemu sebentar. Taman yang ramai, hingga mereka hanya berani bertemu di sana.Meski telah mendapat lampu hijau, Fatma menerima pinangannya di depan ibunya, tak membuat Sabil semata berani menyentuh calon istrinya. Dia tahu benar, bahwa cinta yang dibumbui zina akan menghancurkan mereka di kemudian hari.Kerudung depan Fatma basah di beberapa titik, karena digunakan untuk menyeka air mata yang terus jatuh membasahi pipi. Ia tak sanggup melihat ibunya jatuh sakit.Ini juga adalah pilihan sulit untuk Fatma. Kalau boleh lebih ba
"Aku nggak tau apa ini benar, Bang?" keluhnya kemudian. "Tinggal bersama Halimah ....""Apa yang salah? Dia istrimu, kamulah yang mengucap akad di depan penghulu." Sabil mencoba meyakinkan Nabil.Sudah saatnya mereka memperbaiki keadaan, sebab selama ini Sabil telah memerankan peran yang salah."Sudahlah ...." Sabil menepuk bahu saudara satu-satunya yang ia miliki.Mereka telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Seorang ibu yang meregang nyawa ketika melahirkan keduanya. Hari itu dokter bilang, karena perdarahan. Ada yang sobek di bagian rahimnya.Lalu, ayah mereka meninggal saat usia mereka yang bahkan belum menginjak sepuluh tahun. Mereka pun besar di panti asuhan.Sebagai seorang Kakak, yang umurnya hanya selisih beberapa menit dari Nabil, Sabil harus memikul beban amanah dari ayahnya. Itu membebaninya, walau kata itu terkesan biasa. 'Kamu harus menjaga adikmu.'Nabil yang melihat pengorbanan kakaknya dari kecil, sekedar mengalah, banyak mengingatkan dan terus memberinya semangat, me
Tak lama, sebuah pesan masuk ke ponsel Halimah. Ia pun segera membukanya.Matanya membola. "I, ini?"Hatinya mulai kalut, kenapa yang tampak sibuk bukan pria yang memakai pakaian saat berpamitan padanya tadi. Pikiran Halimah mengembara. Ia mulai mengaitkan perubahan sikap suaminya dengan foto yang dikirim padanya. Sabil yang tiba-tiba lembut dalam sekejap. Perhatian padanya. Bersikap manis dengan mengucap kata-kata cinta dan rindu.Lalu suara serak itu ...."Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Halimah yang terdengar oleh orang di ujung telepon."Halo, Lim. Ada apa?" tanya Novi di seberang."Oh." Halimah tersentak dia baru sadar masih tersambung panggilan dengan temannya."Eum. Nanti aku hubungi lagi, ya, Nov. Maaf.""Oh ya. Gak papa, Lim. Kamu sehat-sehat aja kan?" sahutnya. Tak lupa menanyakan kondisi sahabat yang baru operasi itu."Huum. Alhamdulillah. Aku baik-baik aja." Halimah menyahut.'Bagaimana aku akan baik-baik saja, jika sikap suamiku dingin dan kasar beberapa hari ini. La
Seorang pria membuka pintu mobil tergesa. Kala sopir sudah menghentikannya tepat di luar pagar menjulang, di rumah yang ditinggalinya selama ini bersama wanita bernama Halimah.Sabil Muttaqin namanya. Pria yang kini tengah menjalani kehidupan pernikahan yang rumit itu, bergerak cepat dengan segenap tenaganya mengejar waktu. Derap langkah dan degup jantungnya tak seirama, seolah saling memburu. "Oh, ya Tuhan!" Ia mengembus kasar, kala melihat sebuah mobil terparkir di rumahnya.Kini Sabil merasa bingung. Enggan untuk masuk. Karena pasti prahara besar akan terjadi. Namun, apa bedanya dia pergi dan tak masuk ke sana? Lebih buruk jika Sabil kabur, dan Nabil tak bisa mengatasi keadaan. Halimah sudah tahu semuanya, dan dia adalah wanita yang cerdas. Dengan berat hati, diayun langkah masuk ke dalam rumah. Matanya langsung menyisir sekitar hingga ia melihat sosok Sabil di depan pintu kamarnya. Pria yang membawa tentengan berat di tangan itu terpaku, melihat ke arah Fatma yang memanggilnya
Mobil yang dikendarai Javier terus melaju menuju bandara. Walau pun, belum dapat kepastian, apakah mereka bisa bertemu, sebab nomor Dokter Rendra belum aktif dan ia belum mendapatkan balasan tadi, untuk saling memberi tahu di mana lokasi mereka akan bertemu. Seperti yang dipesankan oleh sang Mama bahwa ia tak boleh terlambat. Tak enak rasanya pada pria yang bertanggung jawab dan banyak membantu sang Mama dalam proses penyembuhan. Jika sampai ia membuat pria itu tak nyaman sebab menunggu terlalu lama.Sekitar setengah jam memacu mobil dengan kecepatan lebih dari biasa, akhirnya mobil sport berwarna silver milik Javier memasuki area Bandara. Ia kemudian mencari tempat parkir yang kosong untuk menepikan mobilnya. Begitu mobil itu berhenti dan Javier mematikan mesin, ia pun bergegas ke luar menuju lobi Bandara di mana kebanyakan pengunjung menunggu di sana.Merasa ini sudah lebih dari waktu pesawat landing seperti yang Mamanya –Rania katakan, Javier kemudian mengeluarkan ponselnya sembar
_______________ Akan tetapi, dengan cepat pula Deandra mengingatkan dan meyakinkan kemenangan pada dirinya sendiri.‘Tak apa Dee, ini baru dimulai. Perjuangan masih panjang. Kamu bahkan belum tahu bagai mana aslinya Javier seperti apa? Bagai mana juga perasaannya terhadapmu. Masih banyak waktu untuk belajar. Lagi pula ... bukankah kamu bilang tidak menginginkan hal lebih ... jadi jangan memaksakan waktu untuk mengubah semuanya. Kamu harus ikhlas jika kelak, Javier tak menginginkan hal lebih selain sekadar status pernikahan.’“Oh ya, untuk ke depan, selama aku belum ada pekerjaan baru di kota, mari kita berbagi tugas. Bergantian memasak.” Javier membuat sebuah gagasan untuk meringankan beban Deandra.“Ah, itu tak perlu Jav, aku akan melakukannya. Itu bukan hal yang berat.” Deandra menyahut. “Lagian aku merasa bingung sendiri jika tak ada pekerjaan.” Deandra menyahut. Dia bahkan sudah berhenti bekerja. Kalau di rumah juga dikurangi pekerjaannya, dia akan jadi pengangguran dan tidak tah
Azalia dan Afif telah kembali dari hotel. Sebenarnya jatah menginap mereka ada tiga hari. Akan tetapi, sepasang suami istri itu bersepakat, bahwa mereka ingin pulang lebih dulu dan hanya mneghabiskan waktu bermalam satu hari saja. Pagi hari ke duanya sudah berada di rumah Afif yang dulu sempat Azalia tinggali juga dengan Kania. Pada siang hari tanpa diduga, orang tua Afif datang berkunjung ke rumah mereka, begitu tahu kalau Azalia dan Afif sudah berada di rumah.“Mereka ini apa –apaan? Padahal dapat jatah tinggal tiga hari dan gratis malah disia –siakan. Ckck. Mbak Rania bisa kecewa kalau tahu.” Mama Afif bicara selagi berjalan seiringan dengan sang suami ke luar dari mobil menuju rumah yang anak mereka tinggali.Tidak tahu kenapa, rasanya ia ingin terus mengomel sepanjang hari ini. Ada saja hal yang membuat wanita paruh baya itu merasa kesal.“Kalau begitu jangan sampai Mbak Rania tahu,” jawab suami enteng. Kakinya terus melangkah tanpa beban. “Barang kali, Azalia merasa tidak enak b
“Ehm, saya sebenarnya terkejut saat Afif mengatakan harus bertanggung jawab pada seorang gadis yang dia hamili.” Suara Mama Afif menciptakan ketegangan di antara empat orang yang saling dekat karena anak –anak mereka terikat dalam hubungan pernikahan.Wajah –wajah yang tadi dihiasi senyum kini dalam sekejap berubah masam. Begitu juga Papa Afif yang kemudian menggenggam tangan sang istri, agar mengendalikan diri. Karena tak enak pada tuan rumah yang sudah menerima mereka dengan baik, bahkan menyuguhkan makanan dan minuman. Dari awal hingga akhir, bahkan dalam obrolan, orang tua Azalia tidak sekali pun bersikap memuakkan sebagai wali, membahas dan menuntut kehidupan seorang istri pada suaminya.Ibu Afif menoleh sesaat pada sang suami. Ia paham maksud pria itu. itu juga kenapa Ibu Afif kemudian menatap ke arah pria itu dengan anggukan kecil. Bahwa semua akan baik-baik saja. itu yang dia ingin katakan. Dia tahu apa yang dia lakukan. Dan tak akan membuat suaminya malu.Bukankah dia orang
“Dokter Rendra sudah di Bandara, Dek!” Suara mantan Ibu mertua Azalia menghentikan gerakan tangan mengaduk kopi yang akan disuguhkan untuk suami, Ibu dan Bapak mertua Azalia.Bagaimana tidak? Nama yang disebut wanita paruh baya itu adalah nama lelaki yang dulu sempat merusak masa depan dan impian Ibu Azalia.“O ya, apa aku perlu menjemput, Mbak?!” tanya Bapak Afif yang mendekatkan kepala ke arah ponsel yang dipegang sang istri dengan antusias.Bapak Amir, bahkan tak menatap ke arah sang istri meski nama mantan kekasih istrinya diteriakkan di depan mereka. Yah, Mas pria itu mana tahu hati sang istri dan rasa sakit yang pernah didapat dari pria itu dulu. Dia memang tak pernah ingin peduli dengan itu. Bahkan suaminya itu tidak tahu seperti apa wajah pria bernama Rendra itu.Bapak Amir masih tersenyum. Dia tidak tahu, apakah Rendra, dokternya Rania dan Rendra mantan kekasih Fatma adalah pria yang sama. Meski penasaran, ia memiliih menahan diri untuk bertanya dan mencari tahu. Pikir Dendi,
Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengandung Kania dulu.“Aku tidak sepayah itu.” Azalia membantah pemikiran suami tentangnya.Melihat bagaimana Azalia protes, Afif hanya tersenyum sembari terus melangkah. Namun, belum lagi langkah pria itu mencapai kamar mandi hotel, panggilan lembut dari wanita yang bersamanya di kamar hotel tersebut menghentikan langkah Afif.“Mas Afif.”“Ya?” Afif menoleh dengan raut wajah dipenuhi tanya. “Kamu memerlukan sesuatu?” tanyanya lagi.Azalia tersenyum kecil. Lalu menggeleng pelan. “Makasih, ya, Mas.”Ia tak tahu bagaimana nasibnya pasca tahu bahwa suami sebelumnya adalah kakak kandungnya dan mereka terpaksa bercerai. Mana ada laki –laki baik dan dari keluarga baik –baik mau menerima seorang janda, hamil pula. Afif juga seorang pemuda yang memiliki pendidikan yang baik.Karena per
Di kamar Azalia dan Afif ....“Kita sholat dulu, ya.” Afif mengucap lembut begitu masuk ke dalam kamar.“Nggak bongkar koper dulu?” tanya Azalia lemah. Perempuan ayu itu melepas kerudungnya perlahan. Ia jadi ingat bagaimana dulu melewati malam pertama dengan Javier, mereka tak sempat saling berjauhan seperti pernikahannya dengan Afif sekarang. Sangat berbeda. Karena bahkan, Javier lah yang melepaskan kerudungnya pertama kali dan melihat auratnya.‘Apa karena ini pernikahan ke dua. Jadi begini rasanya. Berbeda dengan pernikahan dengan Mas Javier yang terus dipenuhi debar –debar. Semua rasanya B aja.’“Biar aku saja nanti yang membongkar dan merapikannya.” Afif menyahut selagi langkahnya bergerak ke arah kamar mandi. Ia perlu untuk membersihkan diri, dan kemudian berwudhu. Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengan
“Fatma.” Suara berat seorang pria nyaris membuat jantungnya copot.“Mas.” Suara Fatma tercekat.“Kamu masih cantik seperti dulu.” Rendra tersenyum tipis menatap ke kedua mata Fatma yang sayu karena usia."Rendra?!" Mata Fatma membulat. Nyaris saja dia pingsan karena syok. Untungnya ada Amir yang dengan sigap menangkap tubuh sang Ibu yang oleng."Bu, ada apa?" tanya anak bungsu Fatma.Wanita itu lekas menggeleng. "Ah, Ibu nggak papa." Fatma berbohong dan lekas memperbaiki posisi. Dia harus berusaha keras mengendalikan diri, agar Amir tidak tahu kalau pria yang berdiri di depannya, adalah seseorang yang datang dari masa lalunya.“Benar kah, Bu?” Amir tak percaya. Menatap ke arah Ibunya secara intens lalu pada pria yang memiliki tatapan nakal pada Fatma di depan mereka.“Anda siapa?” tanyanya pada pria yang Amir yakini jadi sebab ibunya bertingkah seperti sekarang.Rendra kemudian tersenyum. “Kenalkan. Saya Rendra. Dokter Rendra. Dokter yang ditunjuk untuk merawat Ibu Rania.”Mata Fatma
“Ada apa?” Deandra memberanikan diri bertanya pada pria tampan yang kini tengah duduk di sampingnya sebagai mempelai pria. Ia tak tahan melihat bagaimana Javier menatap ke arah Azalia dengan cinta, padahal sudah sangat jelas kalau mereka tidak akan pernah bisa bersatu. Dan sekarang, sudah ada yang menggantikan posisi Javier di sisi Azalia serta menjaganya. Juga sudah ada Deandra yang kini bersamanya menggantikan kedudukan Azalia. “Ah, ya?” Javier menoleh, ia terlalu fokus pada hal lain sampai –sampai tak memahami ketika Deandra mengajaknya bicara. “Aku ... baik –baik saja.”“Heh.” Deandra tersenyum miris. “Aku tidak sedang menanyakan keadaan kamu, Jav.” Perempuan yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih tulang itu menggumam. Namun, gumaman itu terdengar di telinga Javier meski pun pelan. Javier menarik salah satu sudut bibirnya mendengar itu. Tampaknya Deandra mulai bosan menghadiri pernikahan ini.‘Jadi, apa sebenarnya dia juga terpaksa untuk menikah dan tidak bahagia menikah