Selesai berbincang dengan orang di ujung telepon, ia pun menulis pesan penting untuk seseorang.[Hati-hati, ya. Naruh ponsel. Maaf untuk yang tadi. Kita keluar malam ini gimana?]Sabil tersenyum saat menulis pesan. Ia merasa berdebar setiap kali berinteraksi dengan pemilik nomor tersebut. Senyummya makin lebar, kala terlihat centang dua biru di bawah pesannya. Sebagai tanda pesanya telah diterima dan di baca oleh Fatma.Tak lama, sebuah balasan pun muncul. [Ya.]"Hah?" Mata Sabil mendelik. "Hanya ini balasannya?" Pria itu seolah tak percaya. Perempuan yang tak pernah mengabaikan pesannya, dan selalu membalas dengan chat panjang itu hanya menjawab, ya.Sabil mendesah. Dari balasan itu, dia tahu kekasihnya sedang tak baik-baik saja. Pria itu sadar, bahwa hubungan mereka memang tak wajar seperti layaknya banyak pernikahan di luar sana. Namun, apa daya, ia tak mampu melawan hatinya. Sabil ingin terus bersama Fatma bukan Halimah. Perempuan yang selalu terlihat manis, baik hati dan teg
"Mas Sabil?" Mata Halimah melebar. "Apa nggak jadi nunggu barang datang dari pelabuhan?""Oh, itu ...." Pria yang dianggap Sabil oleh Halimah itu mendekat, sembari menggaruk kepala tak gatal."Ternyata ditunda, jadi ... aku memilih pulang.""Mas agak serak?" Halimah makin heran. Dahinya berkerut. Kenapa kali ini Sabil sangat aneh."Hem?" Nabil mengangkat kedua alisnya. Pria itu baru ingat, kalau suaranya dengan saudara kembarnya sedikit berbeda. Untungnya mereka hidup terpisah pulau, jadi setiap kali Nabil yang menemuinya, Halimah menganggap suaminya tengah sakit radang tenggorokan."Iya, nih." Pria itu segera memegangi jakunnya. "Nggak tahu, mungkin karena minum es di pinggir jalan kali, ya. Kena sari manis."Halimah tersenyum. Suaminya sekarang jadi banyak bicara padanya. Dia pikir pria itu kambuh baiknya setelah insiden yang menguras emosi mereka tadi sore.Wanita itu bersyukur. Begitulah seharusnya, adakalanya ujian itu ada di puncak, sampai sepasang suami istri kembali ingat per
Ingatan Sabil dan Fatma kembali ke masa lalu, di mana mereka saling mengikrarkan janji. Sabil akan menyentuh Halimah sebagai istri setelah Fatma menerimanya.Hari itu sebelum janji itu terucap ....Sabil menjatuhkan hadiah yang dibawanya, seiring ucapan yang meluncur dari mulut mungil Fatma."Maaf, Mas.""Ap-apa yang kamu katakan barusan, Fatma?" Sabil melebarkan mata tak percaya. Tubuh gadis itu luruh, yang kemudian terduduk di kursi taman tempat mereka biasa bertemu sebentar. Taman yang ramai, hingga mereka hanya berani bertemu di sana.Meski telah mendapat lampu hijau, Fatma menerima pinangannya di depan ibunya, tak membuat Sabil semata berani menyentuh calon istrinya. Dia tahu benar, bahwa cinta yang dibumbui zina akan menghancurkan mereka di kemudian hari.Kerudung depan Fatma basah di beberapa titik, karena digunakan untuk menyeka air mata yang terus jatuh membasahi pipi. Ia tak sanggup melihat ibunya jatuh sakit.Ini juga adalah pilihan sulit untuk Fatma. Kalau boleh lebih ba
"Aku nggak tau apa ini benar, Bang?" keluhnya kemudian. "Tinggal bersama Halimah ....""Apa yang salah? Dia istrimu, kamulah yang mengucap akad di depan penghulu." Sabil mencoba meyakinkan Nabil.Sudah saatnya mereka memperbaiki keadaan, sebab selama ini Sabil telah memerankan peran yang salah."Sudahlah ...." Sabil menepuk bahu saudara satu-satunya yang ia miliki.Mereka telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Seorang ibu yang meregang nyawa ketika melahirkan keduanya. Hari itu dokter bilang, karena perdarahan. Ada yang sobek di bagian rahimnya.Lalu, ayah mereka meninggal saat usia mereka yang bahkan belum menginjak sepuluh tahun. Mereka pun besar di panti asuhan.Sebagai seorang Kakak, yang umurnya hanya selisih beberapa menit dari Nabil, Sabil harus memikul beban amanah dari ayahnya. Itu membebaninya, walau kata itu terkesan biasa. 'Kamu harus menjaga adikmu.'Nabil yang melihat pengorbanan kakaknya dari kecil, sekedar mengalah, banyak mengingatkan dan terus memberinya semangat, me
Tak lama, sebuah pesan masuk ke ponsel Halimah. Ia pun segera membukanya.Matanya membola. "I, ini?"Hatinya mulai kalut, kenapa yang tampak sibuk bukan pria yang memakai pakaian saat berpamitan padanya tadi. Pikiran Halimah mengembara. Ia mulai mengaitkan perubahan sikap suaminya dengan foto yang dikirim padanya. Sabil yang tiba-tiba lembut dalam sekejap. Perhatian padanya. Bersikap manis dengan mengucap kata-kata cinta dan rindu.Lalu suara serak itu ...."Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Halimah yang terdengar oleh orang di ujung telepon."Halo, Lim. Ada apa?" tanya Novi di seberang."Oh." Halimah tersentak dia baru sadar masih tersambung panggilan dengan temannya."Eum. Nanti aku hubungi lagi, ya, Nov. Maaf.""Oh ya. Gak papa, Lim. Kamu sehat-sehat aja kan?" sahutnya. Tak lupa menanyakan kondisi sahabat yang baru operasi itu."Huum. Alhamdulillah. Aku baik-baik aja." Halimah menyahut.'Bagaimana aku akan baik-baik saja, jika sikap suamiku dingin dan kasar beberapa hari ini. La
Seorang pria membuka pintu mobil tergesa. Kala sopir sudah menghentikannya tepat di luar pagar menjulang, di rumah yang ditinggalinya selama ini bersama wanita bernama Halimah.Sabil Muttaqin namanya. Pria yang kini tengah menjalani kehidupan pernikahan yang rumit itu, bergerak cepat dengan segenap tenaganya mengejar waktu. Derap langkah dan degup jantungnya tak seirama, seolah saling memburu. "Oh, ya Tuhan!" Ia mengembus kasar, kala melihat sebuah mobil terparkir di rumahnya.Kini Sabil merasa bingung. Enggan untuk masuk. Karena pasti prahara besar akan terjadi. Namun, apa bedanya dia pergi dan tak masuk ke sana? Lebih buruk jika Sabil kabur, dan Nabil tak bisa mengatasi keadaan. Halimah sudah tahu semuanya, dan dia adalah wanita yang cerdas. Dengan berat hati, diayun langkah masuk ke dalam rumah. Matanya langsung menyisir sekitar hingga ia melihat sosok Sabil di depan pintu kamarnya. Pria yang membawa tentengan berat di tangan itu terpaku, melihat ke arah Fatma yang memanggilnya
"Ya, katakan!" Novi menunggu perintah dari wanita yang tampak cemas itu. Jarang sekali selama mengenal Halimah, Novi melihatnya cemas begitu."Aku hanya percaya padamu." Halimah memulai kata-katanya. Seketika dahi Novi mengerut. Tampaknya ada sesuatu yang sifatnya serius.Benar saja. Sejak kejadian kemarin, dan kedatangan Nabil, Halimah tak lagi mempercayai orang di sekitar. Termasuk bulek dan Fatma."Ya?" Novi tak sabar."Tolong, kamu ke lab, dan tes DNA untuk kembar. Anak siapa dia sebenarnya?" Halimah melanjutkan ucapannya. Hanya dengan tes DNA dia bisa tahu semuanya. Tanpa keraguan lagi."Ap-apa maksudmu?" Novi membeliak. Tak mengerti sekaligus terkejut atas permintaan sahabatnya itu. "Apa ada masalah dengan kembar?" Dua alis wanita yang seringkali mengenakan cardingan dengan paduan celana itu, terangkat.Wanita bahkan sampai menggeser duduknya. Ingin mendengar lebih dekat. Barangkali ini rahasia yang Halimah tak ingin orang di rumah ini mendengar.Namun, di luar dugaan Halimah
"Mohon maaf siapa suaminya Ibu dari dua bayi kembar yang lucu ini?" tanya Ustaz Karim yang dikenal humoris itu di tengah hadirin."Sa ...." Suara Nabil yang seharusnya menyahut tertahan."Saya, Ustaz!" Sabil menyahut dengan semangat.Semua orang bingung melihat pria yang memakai kaos koko di depan mereka. Karena sejak awal pria lain lah yang mengaku sebagai Sabil, Bapaknya kembar. Terutama Halimah. Wanita itu menatap dingin dari kejauhan. Wajah dari hati yang dipenuhi kemarahan tanpa ekspresi. Pria yang sedari tadi menandai dirinya sebagai Nabil, justru dengan lantang mengatakan dirinya adalah Sabil. Dengan cerobohnya, bukan hanya kepada Halimah tapi juga pada semua orang, Sabil membuka jati dirinya sendiri.Kini ... tanpa perlu bukti pun, Halimah sudah yakin, kakak beradik itu telah menipunya. Dalam sekejap cintanya yang dalam, hancur hanya dalam hitungan jam, sejak dia memiliki firasat itu dan melihat tindakan bodoh mereka di depan matanya."Ap, apa maksudnya, Lim?" tanya Novi yan
Mobil yang dikendarai Javier terus melaju menuju bandara. Walau pun, belum dapat kepastian, apakah mereka bisa bertemu, sebab nomor Dokter Rendra belum aktif dan ia belum mendapatkan balasan tadi, untuk saling memberi tahu di mana lokasi mereka akan bertemu. Seperti yang dipesankan oleh sang Mama bahwa ia tak boleh terlambat. Tak enak rasanya pada pria yang bertanggung jawab dan banyak membantu sang Mama dalam proses penyembuhan. Jika sampai ia membuat pria itu tak nyaman sebab menunggu terlalu lama.Sekitar setengah jam memacu mobil dengan kecepatan lebih dari biasa, akhirnya mobil sport berwarna silver milik Javier memasuki area Bandara. Ia kemudian mencari tempat parkir yang kosong untuk menepikan mobilnya. Begitu mobil itu berhenti dan Javier mematikan mesin, ia pun bergegas ke luar menuju lobi Bandara di mana kebanyakan pengunjung menunggu di sana.Merasa ini sudah lebih dari waktu pesawat landing seperti yang Mamanya âRania katakan, Javier kemudian mengeluarkan ponselnya sembar
_______________ Akan tetapi, dengan cepat pula Deandra mengingatkan dan meyakinkan kemenangan pada dirinya sendiri.âTak apa Dee, ini baru dimulai. Perjuangan masih panjang. Kamu bahkan belum tahu bagai mana aslinya Javier seperti apa? Bagai mana juga perasaannya terhadapmu. Masih banyak waktu untuk belajar. Lagi pula ... bukankah kamu bilang tidak menginginkan hal lebih ... jadi jangan memaksakan waktu untuk mengubah semuanya. Kamu harus ikhlas jika kelak, Javier tak menginginkan hal lebih selain sekadar status pernikahan.ââOh ya, untuk ke depan, selama aku belum ada pekerjaan baru di kota, mari kita berbagi tugas. Bergantian memasak.â Javier membuat sebuah gagasan untuk meringankan beban Deandra.âAh, itu tak perlu Jav, aku akan melakukannya. Itu bukan hal yang berat.â Deandra menyahut. âLagian aku merasa bingung sendiri jika tak ada pekerjaan.â Deandra menyahut. Dia bahkan sudah berhenti bekerja. Kalau di rumah juga dikurangi pekerjaannya, dia akan jadi pengangguran dan tidak tah
Azalia dan Afif telah kembali dari hotel. Sebenarnya jatah menginap mereka ada tiga hari. Akan tetapi, sepasang suami istri itu bersepakat, bahwa mereka ingin pulang lebih dulu dan hanya mneghabiskan waktu bermalam satu hari saja. Pagi hari ke duanya sudah berada di rumah Afif yang dulu sempat Azalia tinggali juga dengan Kania. Pada siang hari tanpa diduga, orang tua Afif datang berkunjung ke rumah mereka, begitu tahu kalau Azalia dan Afif sudah berada di rumah.âMereka ini apa âapaan? Padahal dapat jatah tinggal tiga hari dan gratis malah disia âsiakan. Ckck. Mbak Rania bisa kecewa kalau tahu.â Mama Afif bicara selagi berjalan seiringan dengan sang suami ke luar dari mobil menuju rumah yang anak mereka tinggali.Tidak tahu kenapa, rasanya ia ingin terus mengomel sepanjang hari ini. Ada saja hal yang membuat wanita paruh baya itu merasa kesal.âKalau begitu jangan sampai Mbak Rania tahu,â jawab suami enteng. Kakinya terus melangkah tanpa beban. âBarang kali, Azalia merasa tidak enak b
âEhm, saya sebenarnya terkejut saat Afif mengatakan harus bertanggung jawab pada seorang gadis yang dia hamili.â Suara Mama Afif menciptakan ketegangan di antara empat orang yang saling dekat karena anak âanak mereka terikat dalam hubungan pernikahan.Wajah âwajah yang tadi dihiasi senyum kini dalam sekejap berubah masam. Begitu juga Papa Afif yang kemudian menggenggam tangan sang istri, agar mengendalikan diri. Karena tak enak pada tuan rumah yang sudah menerima mereka dengan baik, bahkan menyuguhkan makanan dan minuman. Dari awal hingga akhir, bahkan dalam obrolan, orang tua Azalia tidak sekali pun bersikap memuakkan sebagai wali, membahas dan menuntut kehidupan seorang istri pada suaminya.Ibu Afif menoleh sesaat pada sang suami. Ia paham maksud pria itu. itu juga kenapa Ibu Afif kemudian menatap ke arah pria itu dengan anggukan kecil. Bahwa semua akan baik-baik saja. itu yang dia ingin katakan. Dia tahu apa yang dia lakukan. Dan tak akan membuat suaminya malu.Bukankah dia orang
âDokter Rendra sudah di Bandara, Dek!â Suara mantan Ibu mertua Azalia menghentikan gerakan tangan mengaduk kopi yang akan disuguhkan untuk suami, Ibu dan Bapak mertua Azalia.Bagaimana tidak? Nama yang disebut wanita paruh baya itu adalah nama lelaki yang dulu sempat merusak masa depan dan impian Ibu Azalia.âO ya, apa aku perlu menjemput, Mbak?!â tanya Bapak Afif yang mendekatkan kepala ke arah ponsel yang dipegang sang istri dengan antusias.Bapak Amir, bahkan tak menatap ke arah sang istri meski nama mantan kekasih istrinya diteriakkan di depan mereka. Yah, Mas pria itu mana tahu hati sang istri dan rasa sakit yang pernah didapat dari pria itu dulu. Dia memang tak pernah ingin peduli dengan itu. Bahkan suaminya itu tidak tahu seperti apa wajah pria bernama Rendra itu.Bapak Amir masih tersenyum. Dia tidak tahu, apakah Rendra, dokternya Rania dan Rendra mantan kekasih Fatma adalah pria yang sama. Meski penasaran, ia memiliih menahan diri untuk bertanya dan mencari tahu. Pikir Dendi,
Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengandung Kania dulu.âAku tidak sepayah itu.â Azalia membantah pemikiran suami tentangnya.Melihat bagaimana Azalia protes, Afif hanya tersenyum sembari terus melangkah. Namun, belum lagi langkah pria itu mencapai kamar mandi hotel, panggilan lembut dari wanita yang bersamanya di kamar hotel tersebut menghentikan langkah Afif.âMas Afif.ââYa?â Afif menoleh dengan raut wajah dipenuhi tanya. âKamu memerlukan sesuatu?â tanyanya lagi.Azalia tersenyum kecil. Lalu menggeleng pelan. âMakasih, ya, Mas.âIa tak tahu bagaimana nasibnya pasca tahu bahwa suami sebelumnya adalah kakak kandungnya dan mereka terpaksa bercerai. Mana ada laki âlaki baik dan dari keluarga baik âbaik mau menerima seorang janda, hamil pula. Afif juga seorang pemuda yang memiliki pendidikan yang baik.Karena per
Di kamar Azalia dan Afif ....âKita sholat dulu, ya.â Afif mengucap lembut begitu masuk ke dalam kamar.âNggak bongkar koper dulu?â tanya Azalia lemah. Perempuan ayu itu melepas kerudungnya perlahan. Ia jadi ingat bagaimana dulu melewati malam pertama dengan Javier, mereka tak sempat saling berjauhan seperti pernikahannya dengan Afif sekarang. Sangat berbeda. Karena bahkan, Javier lah yang melepaskan kerudungnya pertama kali dan melihat auratnya.âApa karena ini pernikahan ke dua. Jadi begini rasanya. Berbeda dengan pernikahan dengan Mas Javier yang terus dipenuhi debar âdebar. Semua rasanya B aja.ââBiar aku saja nanti yang membongkar dan merapikannya.â Afif menyahut selagi langkahnya bergerak ke arah kamar mandi. Ia perlu untuk membersihkan diri, dan kemudian berwudhu. Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengan
âFatma.â Suara berat seorang pria nyaris membuat jantungnya copot.âMas.â Suara Fatma tercekat.âKamu masih cantik seperti dulu.â Rendra tersenyum tipis menatap ke kedua mata Fatma yang sayu karena usia."Rendra?!" Mata Fatma membulat. Nyaris saja dia pingsan karena syok. Untungnya ada Amir yang dengan sigap menangkap tubuh sang Ibu yang oleng."Bu, ada apa?" tanya anak bungsu Fatma.Wanita itu lekas menggeleng. "Ah, Ibu nggak papa." Fatma berbohong dan lekas memperbaiki posisi. Dia harus berusaha keras mengendalikan diri, agar Amir tidak tahu kalau pria yang berdiri di depannya, adalah seseorang yang datang dari masa lalunya.âBenar kah, Bu?â Amir tak percaya. Menatap ke arah Ibunya secara intens lalu pada pria yang memiliki tatapan nakal pada Fatma di depan mereka.âAnda siapa?â tanyanya pada pria yang Amir yakini jadi sebab ibunya bertingkah seperti sekarang.Rendra kemudian tersenyum. âKenalkan. Saya Rendra. Dokter Rendra. Dokter yang ditunjuk untuk merawat Ibu Rania.âMata Fatma
âAda apa?â Deandra memberanikan diri bertanya pada pria tampan yang kini tengah duduk di sampingnya sebagai mempelai pria. Ia tak tahan melihat bagaimana Javier menatap ke arah Azalia dengan cinta, padahal sudah sangat jelas kalau mereka tidak akan pernah bisa bersatu. Dan sekarang, sudah ada yang menggantikan posisi Javier di sisi Azalia serta menjaganya. Juga sudah ada Deandra yang kini bersamanya menggantikan kedudukan Azalia. âAh, ya?â Javier menoleh, ia terlalu fokus pada hal lain sampai âsampai tak memahami ketika Deandra mengajaknya bicara. âAku ... baik âbaik saja.ââHeh.â Deandra tersenyum miris. âAku tidak sedang menanyakan keadaan kamu, Jav.â Perempuan yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih tulang itu menggumam. Namun, gumaman itu terdengar di telinga Javier meski pun pelan. Javier menarik salah satu sudut bibirnya mendengar itu. Tampaknya Deandra mulai bosan menghadiri pernikahan ini.âJadi, apa sebenarnya dia juga terpaksa untuk menikah dan tidak bahagia menikah