Tak lama, sebuah pesan masuk ke ponsel Halimah. Ia pun segera membukanya.Matanya membola. "I, ini?"Hatinya mulai kalut, kenapa yang tampak sibuk bukan pria yang memakai pakaian saat berpamitan padanya tadi. Pikiran Halimah mengembara. Ia mulai mengaitkan perubahan sikap suaminya dengan foto yang dikirim padanya. Sabil yang tiba-tiba lembut dalam sekejap. Perhatian padanya. Bersikap manis dengan mengucap kata-kata cinta dan rindu.Lalu suara serak itu ...."Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Halimah yang terdengar oleh orang di ujung telepon."Halo, Lim. Ada apa?" tanya Novi di seberang."Oh." Halimah tersentak dia baru sadar masih tersambung panggilan dengan temannya."Eum. Nanti aku hubungi lagi, ya, Nov. Maaf.""Oh ya. Gak papa, Lim. Kamu sehat-sehat aja kan?" sahutnya. Tak lupa menanyakan kondisi sahabat yang baru operasi itu."Huum. Alhamdulillah. Aku baik-baik aja." Halimah menyahut.'Bagaimana aku akan baik-baik saja, jika sikap suamiku dingin dan kasar beberapa hari ini. La
Seorang pria membuka pintu mobil tergesa. Kala sopir sudah menghentikannya tepat di luar pagar menjulang, di rumah yang ditinggalinya selama ini bersama wanita bernama Halimah.Sabil Muttaqin namanya. Pria yang kini tengah menjalani kehidupan pernikahan yang rumit itu, bergerak cepat dengan segenap tenaganya mengejar waktu. Derap langkah dan degup jantungnya tak seirama, seolah saling memburu. "Oh, ya Tuhan!" Ia mengembus kasar, kala melihat sebuah mobil terparkir di rumahnya.Kini Sabil merasa bingung. Enggan untuk masuk. Karena pasti prahara besar akan terjadi. Namun, apa bedanya dia pergi dan tak masuk ke sana? Lebih buruk jika Sabil kabur, dan Nabil tak bisa mengatasi keadaan. Halimah sudah tahu semuanya, dan dia adalah wanita yang cerdas. Dengan berat hati, diayun langkah masuk ke dalam rumah. Matanya langsung menyisir sekitar hingga ia melihat sosok Sabil di depan pintu kamarnya. Pria yang membawa tentengan berat di tangan itu terpaku, melihat ke arah Fatma yang memanggilnya
"Ya, katakan!" Novi menunggu perintah dari wanita yang tampak cemas itu. Jarang sekali selama mengenal Halimah, Novi melihatnya cemas begitu."Aku hanya percaya padamu." Halimah memulai kata-katanya. Seketika dahi Novi mengerut. Tampaknya ada sesuatu yang sifatnya serius.Benar saja. Sejak kejadian kemarin, dan kedatangan Nabil, Halimah tak lagi mempercayai orang di sekitar. Termasuk bulek dan Fatma."Ya?" Novi tak sabar."Tolong, kamu ke lab, dan tes DNA untuk kembar. Anak siapa dia sebenarnya?" Halimah melanjutkan ucapannya. Hanya dengan tes DNA dia bisa tahu semuanya. Tanpa keraguan lagi."Ap-apa maksudmu?" Novi membeliak. Tak mengerti sekaligus terkejut atas permintaan sahabatnya itu. "Apa ada masalah dengan kembar?" Dua alis wanita yang seringkali mengenakan cardingan dengan paduan celana itu, terangkat.Wanita bahkan sampai menggeser duduknya. Ingin mendengar lebih dekat. Barangkali ini rahasia yang Halimah tak ingin orang di rumah ini mendengar.Namun, di luar dugaan Halimah
"Mohon maaf siapa suaminya Ibu dari dua bayi kembar yang lucu ini?" tanya Ustaz Karim yang dikenal humoris itu di tengah hadirin."Sa ...." Suara Nabil yang seharusnya menyahut tertahan."Saya, Ustaz!" Sabil menyahut dengan semangat.Semua orang bingung melihat pria yang memakai kaos koko di depan mereka. Karena sejak awal pria lain lah yang mengaku sebagai Sabil, Bapaknya kembar. Terutama Halimah. Wanita itu menatap dingin dari kejauhan. Wajah dari hati yang dipenuhi kemarahan tanpa ekspresi. Pria yang sedari tadi menandai dirinya sebagai Nabil, justru dengan lantang mengatakan dirinya adalah Sabil. Dengan cerobohnya, bukan hanya kepada Halimah tapi juga pada semua orang, Sabil membuka jati dirinya sendiri.Kini ... tanpa perlu bukti pun, Halimah sudah yakin, kakak beradik itu telah menipunya. Dalam sekejap cintanya yang dalam, hancur hanya dalam hitungan jam, sejak dia memiliki firasat itu dan melihat tindakan bodoh mereka di depan matanya."Ap, apa maksudnya, Lim?" tanya Novi yan
'Terimakasih Alisa ... telah menjadi istri yang baik. Aku ridho atas kepergianmu. Maaf jika akhirnya janjiku padamu kulepaskan begitu saja. Kematian telah memisahkan kita di dunia ini. Ada wanita yang memerlukanku karena terlalu disakiti Abangku.''Maaf kali ini ... keputusanku telah matang. Aku memutuskan untuk memperjuangkan Halimah dan anak-anak kami. Aku tak mau menyakiti mereka.'❤Nabil baru saja keluar dari masjid dekat rumah yang Sabil sewa. Sejak awal dia memang meminta pada kakaknya itu, agar mencarikan rumah paling dekat dengan tempat ibadah, agar memudahkan sholat berjamaah.Baru saja masuk rumahnya, terdengar notif beruntun dari ponselnya yang diletakkan di atas meja.Kebiasaan pria itu, saat di Kalimantan sendiri, adalah menyalakan notif yang sempat dimatikan semalaman.Bukan hanya urusannya dengan Halimah yang belum menemukan titik terang, di mana ia akan mengakui semua bahwa selama dialah yang menikahi dan ayah dari dua bayinya. Namun, juga urusan pekerjaan yang seolah
Wahai Allah ... Yang membolak-balikkan hati manusia. Tetapkan hati hamba untuk senantiasa tetap ada di jalanMu. Jangan biarkan hamba berpaling, barang sebentar._______________"Ada apa?" tanya Ibu Fatma, yang melihat wajah puterinya tertekuk. Bahkan dua mata perempuan ayu itu tampak sembab, seperti baru saja menangis lama.Fatma baru datang dan menaruh belanjaan di meja dapur. Hal yang juga membuat heran, biasanya ia menghabiskan waktu yang lebih lama berada di luar rumah.Namun, kali ini bahkan belum satu jam. Dalam kondisi muram pula. Perempuan itu masih diam dan tak merespon ibunya.Penasaran, wanita tua itu meninggalkan kesibukannya dan mendekat pada Fatma. "Apa ada masalah?" ibunya mengulang pertanyaan.Mata Fatma kembali memanas. Air mata yang sudah dikeringkan selama perjalanan, agar tak terlihat oleh ibunya, nyatanya kembali menggenang di pelupuk mata, saat berhadapan dengan ibunya begini.Fatma bukan tipe wanita yang menyembunyikan perasaan. Itu juga kenapa, selama setahun t
Di tempat lain ....Sabil akhirnya melemah. Benar yang dikatakan adiknya Nabil. Ia sadar bahwa keinginannya mendapatkan Halimah bukan karena jatuh cinta, dan igin membalas cintanya. Atau rasa bersalah dan ingin menebus semuanya.Semua itu hanya keinginan sesaat. Sabil cemburu karena terbawa suasana. Cemburu pada perhatian Halimah yang harus berpindah pada pria lain. Dan semua itu terjadi di depan matanya."Bang," panggil Nabil, yang membuat kakaknya terhenyak dan menoleh seketika.Suara pria itu memelan, karena menangkap gestur Sabil tak lagi seperti tadi. Pria itu tampak tenang dan tak meneruskan pendapatnya sendiri. Seolah ia telah sadar dari kesalahan yang dibuat."Tolong jangan merusak niat baikku. Mungkin Tuhan mengambil Alisa dan anakku, agar aku memperbaiki keadaan Abang, Halimah dan istri Abang. Walau bagaimana Halimah dan Abang tak boleh terus berada dalam satu rumah. Meski tak melakukan apa pun.____________Fatma yang tengah tertegun menatap punggung wanita tua di depan san
"Loh sudah pulang, Mas?" tanya Halimah."Iy, tadi aku minta tolong pada Nabil buat nutup toko. Mumpung dia di sini." Nabil menjawab dengan berbohong.Bukan dia tak mau jujur, hanya saja belum tepat waktunya."Mas ke marilah," pinta Halimah lembut. Ia menyadari kesalahannya, dan ingin menebus itu pada suaminya."Ya?" Pria itu menyahut, lalu mendekat perlahan. Tatapan matanya tak sengaja melihat secarik kertas di samping Halimah."Apa ini?" Pria itu meraihnya. Mata Nabil melebar, saat melihat hasil tes DNA di tangannya.Halimah masih bersikap tenang. Menurutnya wajar, jika ia curiga pada sang suami akhir-akhir ini. Bukan hanya sikapnya yang dingin, tiba-tiba hangat padanya. Di waktu yang sama, adik kembarnya juga datang. Dan kabar itu tak sampai pada Halimah."Itu tes untuk kembar, Mas," ucapnya datar."Ap- apa? Tes DNA? Tap-tapi kenapa dicocokkan dengan nama Sabil?" Pria itu bukan hanya terkejut, tapi juga merasakan nyeri hati teramat sangat.Apa itu artinya kembar adalah anak Sabil,
Mobil yang dikendarai Javier terus melaju menuju bandara. Walau pun, belum dapat kepastian, apakah mereka bisa bertemu, sebab nomor Dokter Rendra belum aktif dan ia belum mendapatkan balasan tadi, untuk saling memberi tahu di mana lokasi mereka akan bertemu. Seperti yang dipesankan oleh sang Mama bahwa ia tak boleh terlambat. Tak enak rasanya pada pria yang bertanggung jawab dan banyak membantu sang Mama dalam proses penyembuhan. Jika sampai ia membuat pria itu tak nyaman sebab menunggu terlalu lama.Sekitar setengah jam memacu mobil dengan kecepatan lebih dari biasa, akhirnya mobil sport berwarna silver milik Javier memasuki area Bandara. Ia kemudian mencari tempat parkir yang kosong untuk menepikan mobilnya. Begitu mobil itu berhenti dan Javier mematikan mesin, ia pun bergegas ke luar menuju lobi Bandara di mana kebanyakan pengunjung menunggu di sana.Merasa ini sudah lebih dari waktu pesawat landing seperti yang Mamanya –Rania katakan, Javier kemudian mengeluarkan ponselnya sembar
_______________ Akan tetapi, dengan cepat pula Deandra mengingatkan dan meyakinkan kemenangan pada dirinya sendiri.‘Tak apa Dee, ini baru dimulai. Perjuangan masih panjang. Kamu bahkan belum tahu bagai mana aslinya Javier seperti apa? Bagai mana juga perasaannya terhadapmu. Masih banyak waktu untuk belajar. Lagi pula ... bukankah kamu bilang tidak menginginkan hal lebih ... jadi jangan memaksakan waktu untuk mengubah semuanya. Kamu harus ikhlas jika kelak, Javier tak menginginkan hal lebih selain sekadar status pernikahan.’“Oh ya, untuk ke depan, selama aku belum ada pekerjaan baru di kota, mari kita berbagi tugas. Bergantian memasak.” Javier membuat sebuah gagasan untuk meringankan beban Deandra.“Ah, itu tak perlu Jav, aku akan melakukannya. Itu bukan hal yang berat.” Deandra menyahut. “Lagian aku merasa bingung sendiri jika tak ada pekerjaan.” Deandra menyahut. Dia bahkan sudah berhenti bekerja. Kalau di rumah juga dikurangi pekerjaannya, dia akan jadi pengangguran dan tidak tah
Azalia dan Afif telah kembali dari hotel. Sebenarnya jatah menginap mereka ada tiga hari. Akan tetapi, sepasang suami istri itu bersepakat, bahwa mereka ingin pulang lebih dulu dan hanya mneghabiskan waktu bermalam satu hari saja. Pagi hari ke duanya sudah berada di rumah Afif yang dulu sempat Azalia tinggali juga dengan Kania. Pada siang hari tanpa diduga, orang tua Afif datang berkunjung ke rumah mereka, begitu tahu kalau Azalia dan Afif sudah berada di rumah.“Mereka ini apa –apaan? Padahal dapat jatah tinggal tiga hari dan gratis malah disia –siakan. Ckck. Mbak Rania bisa kecewa kalau tahu.” Mama Afif bicara selagi berjalan seiringan dengan sang suami ke luar dari mobil menuju rumah yang anak mereka tinggali.Tidak tahu kenapa, rasanya ia ingin terus mengomel sepanjang hari ini. Ada saja hal yang membuat wanita paruh baya itu merasa kesal.“Kalau begitu jangan sampai Mbak Rania tahu,” jawab suami enteng. Kakinya terus melangkah tanpa beban. “Barang kali, Azalia merasa tidak enak b
“Ehm, saya sebenarnya terkejut saat Afif mengatakan harus bertanggung jawab pada seorang gadis yang dia hamili.” Suara Mama Afif menciptakan ketegangan di antara empat orang yang saling dekat karena anak –anak mereka terikat dalam hubungan pernikahan.Wajah –wajah yang tadi dihiasi senyum kini dalam sekejap berubah masam. Begitu juga Papa Afif yang kemudian menggenggam tangan sang istri, agar mengendalikan diri. Karena tak enak pada tuan rumah yang sudah menerima mereka dengan baik, bahkan menyuguhkan makanan dan minuman. Dari awal hingga akhir, bahkan dalam obrolan, orang tua Azalia tidak sekali pun bersikap memuakkan sebagai wali, membahas dan menuntut kehidupan seorang istri pada suaminya.Ibu Afif menoleh sesaat pada sang suami. Ia paham maksud pria itu. itu juga kenapa Ibu Afif kemudian menatap ke arah pria itu dengan anggukan kecil. Bahwa semua akan baik-baik saja. itu yang dia ingin katakan. Dia tahu apa yang dia lakukan. Dan tak akan membuat suaminya malu.Bukankah dia orang
“Dokter Rendra sudah di Bandara, Dek!” Suara mantan Ibu mertua Azalia menghentikan gerakan tangan mengaduk kopi yang akan disuguhkan untuk suami, Ibu dan Bapak mertua Azalia.Bagaimana tidak? Nama yang disebut wanita paruh baya itu adalah nama lelaki yang dulu sempat merusak masa depan dan impian Ibu Azalia.“O ya, apa aku perlu menjemput, Mbak?!” tanya Bapak Afif yang mendekatkan kepala ke arah ponsel yang dipegang sang istri dengan antusias.Bapak Amir, bahkan tak menatap ke arah sang istri meski nama mantan kekasih istrinya diteriakkan di depan mereka. Yah, Mas pria itu mana tahu hati sang istri dan rasa sakit yang pernah didapat dari pria itu dulu. Dia memang tak pernah ingin peduli dengan itu. Bahkan suaminya itu tidak tahu seperti apa wajah pria bernama Rendra itu.Bapak Amir masih tersenyum. Dia tidak tahu, apakah Rendra, dokternya Rania dan Rendra mantan kekasih Fatma adalah pria yang sama. Meski penasaran, ia memiliih menahan diri untuk bertanya dan mencari tahu. Pikir Dendi,
Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengandung Kania dulu.“Aku tidak sepayah itu.” Azalia membantah pemikiran suami tentangnya.Melihat bagaimana Azalia protes, Afif hanya tersenyum sembari terus melangkah. Namun, belum lagi langkah pria itu mencapai kamar mandi hotel, panggilan lembut dari wanita yang bersamanya di kamar hotel tersebut menghentikan langkah Afif.“Mas Afif.”“Ya?” Afif menoleh dengan raut wajah dipenuhi tanya. “Kamu memerlukan sesuatu?” tanyanya lagi.Azalia tersenyum kecil. Lalu menggeleng pelan. “Makasih, ya, Mas.”Ia tak tahu bagaimana nasibnya pasca tahu bahwa suami sebelumnya adalah kakak kandungnya dan mereka terpaksa bercerai. Mana ada laki –laki baik dan dari keluarga baik –baik mau menerima seorang janda, hamil pula. Afif juga seorang pemuda yang memiliki pendidikan yang baik.Karena per
Di kamar Azalia dan Afif ....“Kita sholat dulu, ya.” Afif mengucap lembut begitu masuk ke dalam kamar.“Nggak bongkar koper dulu?” tanya Azalia lemah. Perempuan ayu itu melepas kerudungnya perlahan. Ia jadi ingat bagaimana dulu melewati malam pertama dengan Javier, mereka tak sempat saling berjauhan seperti pernikahannya dengan Afif sekarang. Sangat berbeda. Karena bahkan, Javier lah yang melepaskan kerudungnya pertama kali dan melihat auratnya.‘Apa karena ini pernikahan ke dua. Jadi begini rasanya. Berbeda dengan pernikahan dengan Mas Javier yang terus dipenuhi debar –debar. Semua rasanya B aja.’“Biar aku saja nanti yang membongkar dan merapikannya.” Afif menyahut selagi langkahnya bergerak ke arah kamar mandi. Ia perlu untuk membersihkan diri, dan kemudian berwudhu. Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengan
“Fatma.” Suara berat seorang pria nyaris membuat jantungnya copot.“Mas.” Suara Fatma tercekat.“Kamu masih cantik seperti dulu.” Rendra tersenyum tipis menatap ke kedua mata Fatma yang sayu karena usia."Rendra?!" Mata Fatma membulat. Nyaris saja dia pingsan karena syok. Untungnya ada Amir yang dengan sigap menangkap tubuh sang Ibu yang oleng."Bu, ada apa?" tanya anak bungsu Fatma.Wanita itu lekas menggeleng. "Ah, Ibu nggak papa." Fatma berbohong dan lekas memperbaiki posisi. Dia harus berusaha keras mengendalikan diri, agar Amir tidak tahu kalau pria yang berdiri di depannya, adalah seseorang yang datang dari masa lalunya.“Benar kah, Bu?” Amir tak percaya. Menatap ke arah Ibunya secara intens lalu pada pria yang memiliki tatapan nakal pada Fatma di depan mereka.“Anda siapa?” tanyanya pada pria yang Amir yakini jadi sebab ibunya bertingkah seperti sekarang.Rendra kemudian tersenyum. “Kenalkan. Saya Rendra. Dokter Rendra. Dokter yang ditunjuk untuk merawat Ibu Rania.”Mata Fatma
“Ada apa?” Deandra memberanikan diri bertanya pada pria tampan yang kini tengah duduk di sampingnya sebagai mempelai pria. Ia tak tahan melihat bagaimana Javier menatap ke arah Azalia dengan cinta, padahal sudah sangat jelas kalau mereka tidak akan pernah bisa bersatu. Dan sekarang, sudah ada yang menggantikan posisi Javier di sisi Azalia serta menjaganya. Juga sudah ada Deandra yang kini bersamanya menggantikan kedudukan Azalia. “Ah, ya?” Javier menoleh, ia terlalu fokus pada hal lain sampai –sampai tak memahami ketika Deandra mengajaknya bicara. “Aku ... baik –baik saja.”“Heh.” Deandra tersenyum miris. “Aku tidak sedang menanyakan keadaan kamu, Jav.” Perempuan yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih tulang itu menggumam. Namun, gumaman itu terdengar di telinga Javier meski pun pelan. Javier menarik salah satu sudut bibirnya mendengar itu. Tampaknya Deandra mulai bosan menghadiri pernikahan ini.‘Jadi, apa sebenarnya dia juga terpaksa untuk menikah dan tidak bahagia menikah