"Loh sudah pulang, Mas?" tanya Halimah."Iy, tadi aku minta tolong pada Nabil buat nutup toko. Mumpung dia di sini." Nabil menjawab dengan berbohong.Bukan dia tak mau jujur, hanya saja belum tepat waktunya."Mas ke marilah," pinta Halimah lembut. Ia menyadari kesalahannya, dan ingin menebus itu pada suaminya."Ya?" Pria itu menyahut, lalu mendekat perlahan. Tatapan matanya tak sengaja melihat secarik kertas di samping Halimah."Apa ini?" Pria itu meraihnya. Mata Nabil melebar, saat melihat hasil tes DNA di tangannya.Halimah masih bersikap tenang. Menurutnya wajar, jika ia curiga pada sang suami akhir-akhir ini. Bukan hanya sikapnya yang dingin, tiba-tiba hangat padanya. Di waktu yang sama, adik kembarnya juga datang. Dan kabar itu tak sampai pada Halimah."Itu tes untuk kembar, Mas," ucapnya datar."Ap- apa? Tes DNA? Tap-tapi kenapa dicocokkan dengan nama Sabil?" Pria itu bukan hanya terkejut, tapi juga merasakan nyeri hati teramat sangat.Apa itu artinya kembar adalah anak Sabil,
"Ayah kenapa sih, Dek? Kok jadi aneh begitu. Bunda takut terjadi sesuatu." Halimah bicara pada bayinya, seolah bayi yang tidur pulas itu mendengar dan paham ucapannya."Alhamdulillah yang Bunda takutkan nggak terjadi, tapi sikap ayah bikin Bunda ...."Halimah menggeleng. Menepis hal tidak-tidak dalam kepala. Sadar bahwa ia terlalu banyak berprasangka buruk pada orang lain akhir-akhir ini."Nanti juga ayah pasti cerita, ya. Dek. Kayanya ayah sekarang hangat ke Bunda karena ada kalian." Halimah tersenyum menatap dan mengusap pipi kemerahan si bungsu, yang letaknya berdekatan dengannya.Halimah mendesah. Lalu rasa kering di kerongkongan, membuatnya menoleh ke nakas. Di mana sebuah cangkir besar terletak di sana. Wanita itu pun meraihnya, untuk meminum isinya. Namun, saat melihat tak ada lagi yang tersisa di sana, Halimah mendesah."Duh, habis minumnya bunda, Dek. Wah, gimana ini? Apa Bunda ambil ke belakang aja, ya?" ___________Tibalah saat Sabil harus menghitung total belanjaan para p
Kursi roda terus bergerak memasuki area dapur. Saat akan menggulir roda ke arah wastafel TCP, Halimah berhenti bergerak. Ia mendengar suara Fatma dan ibunya tengah bicara serius di kamarnya."Kenapa suaranya seperti orang bertengkar?" gumamnya, sembari bergerak ke arah kamar.Halimah menghela napas, setelah buleknya terdengar menekan suara, entah bicara apa, Fatma berani meninggikan suara. 'Ini bukan Fatma, puteri yang penurut pada orang tuanya,' batin Halimah, karen hal tak biasa itu. Ia ingin terlibat dan menegurnya.Di depan pintu, matanya melebar saat mendengar nama Sabil disebut-sebut. Semakin ke sini ... ia mulai paham apa yang telah buleknya katakan. Wanita itu terkejut dan menjatuhkan gelasnya, karena tubuh terutama tangannya yang membawa beban seketika lemas. PRANK!Benda jatuh menimbulkan suara keras di lantai. Untung saja, kedua bayinya belum memiliki pendengaran yang peka, hingga tak kaget, terbangun dan menangis mendengarnya."Kenapa Mas Sabil jadi suami Fatma? Kenapa s
Sampai di depan pintu sebuah rumah, Fatma mengeluarkan kunci dari dalam tasnya. Sedang ibunya, yang baru menjejak kaki di tempat itu, celingukan melihat sekitar. Tempat yang sungguh asing baginya."Jadi di sini kalian tinggal?" tanya ibunya."Ya, Bu." Fatma menyahut tanpa menatap ibunya, karena sibuk membuka pintu rumahnya.Sampai di dalam, hal pertama yang Fatma lakukan setelah meletakkan tas adalah membuka ponsel dan menghubungi Sabil.Namun lagi-lagi, nomor suaminya itu tak aktif.Fatma gusar dan kecewa. Di saat segenting seperti sekarang, Sabil malah tak bisa dihubungi."Sabar, ya." Ibu Fatma mengusap punggung puterinya.Wanita tua itu tiba-tiba teringat sesuatu."Ada apa, Bu?" tanya Fatma mengerutkan kening melihat ekspresi ibunya."Sebentar, ya!" Wanita itu kemudian mengeluarkan ponsel menghubungi seseorang."Halo. Assalamualaikum," sapanya begitu panggilan mendapat jawaban.Fatma diam saja meski tak tahu siapa yang dihubungi ibunya."Waalaikumsalam." "Novi, ya? Ini buleknya Ha
Nabil yang hatinya terluka. Menahan beratnya nestapa. Ingin menyalahkan Halimah, kenapa bisa sampai tidur dengan Sabil?Namun, ia sadar. Bahwa Halimah tak bersalah dalam hal ini. Bahkan wanita itu tak tahu, dan tak mengerti kalau suami sahnya adalah dirinya. Ia tak akan ssnggup membenci wanita yang sudah banyak menderita karena ulah kakaknya dan dia sendiri yang secara langsung terlibat.Kalau saja bisa, ia ingin mencabut duri dalam hati perempuan yang sudah dicintainya sejak lama itu. Menemani tangis Halimah saat wanita itu tahu, bahwa Sabillah pria yang dikira adalah suami dan mengkhianatinya sekarang.Namun, semua itu sebatas angan. Bahkan untuk membuka matanya saja, ia tak sanggup.____________Halimah yang sedang patah hati, menangis dan menangis. Kalau saja air mata bisa mencairkan hatinya. Hanya itu yang bisa ja lakukan. Tak mampu mengungkapkan pada siapa pun betapa pedihnya hati yang tersakiti. Racun yang membunuhnya perlahan, merasai diri sendiri tanpa orang lain akan meng
...Tak lama sebuah panggilan datang. Halimah pun mengangkat atas bantuan Novi. Wanita itu mengambil benda pipih milik Halimah di atas nakas."Ini." Novi menyerahkan ponsel yang sudah tersambung dengan orang di ujung telepon. Perempuan berusia 27 tahun itu sempat heran, melihat nomor tak dikenal yang menghubungi ibu kembar.Halimah meraih benda pipih itu dengan ragu. "Siapa?" tanyanya ketika melihat pemanggil tak ada didaftar kontak.Novi menggedik."Angkat saja, barangkali penting." Wanita itu menyarankan pada sahabatnya.Dia tahu hati Halimah sedang tak enak. Namun, dia tetap tak boleh mengabaikan apa kepentingannya sendiri. Siapa tahu ini berkaitan dengan kesehatan kembar yang masih dalam pengawasan bidan.Halimah mengangguk. Lalu menekan icon berwarna hijau untuk mengangkat panggilan. Matanya perlahan melebar karena terkejut, karena ucapan orang di seberang."Waalaikumsalam. Ap-apa?" ucapnya terbata. Ia tak lagi bisa berkata-kata karena syok, meski ponsel masih menempel di pipin
"Perjelas semuanya. Jangan hidup dalam prasangka! Jangan ada abu-abu saat kamu ingin memutuskan sesuatu! Karena bergerak dalam gelap membuatmu tak bisa melihat lubang, hingga tersandung dan jatuh."_________FlashbackPaman Dogger dan dua temannya membawa dua pria kembar memakai Van milik salah seorang dari mereka.Sampai di rumah sakit, keduanya langsung diangkut menuju IGD. Mereka tak mengerti. Entah, apa yang terjadi sampai keduanya tak sadarkan diri. Bahkan salah satunya tampak perdarahan di kepala belakangnya.Setelah keduanya telah mendapatkan tindakan pertama, mereka yang mengantar diminta ke bagian administrasi."Anda-anda keluarganya?" tanya seorang perempuan yang memakai setelan pakaian warna putih.Ketiganya saling pandang sesaat, lalu menggeleng. Lalu salah satu dari mereka menyerahkan dua ponsel dengan meletakkannya di atas meja."Hah?" Dua rekannya, kembali menoleh Om Dogger."Lah, kok diambil Om?" tanya salah satu rekan pedagang yang membantu."Supaya bisa tahu anggota
"Nov, ada apa?" tanya Halimah yang merasa kesulitan bangkit dari posisinya."Kita harus ke rumah sakit, Lim. Kamu harus memperjelas semuanya. Jangan ada abu-abu saat kamu ingin memutuskan sesuatu!" Novi mengatakan dengan nada memaksa.Ibu kembar sedikit terkejut melihat banyak orang datang ke kamarnya."Si, siapa mereka?" tanya Halimah kebingungan. "Maaf, ya, Lim aku gak bilang-bilang dulu." Dengan cekatan, Novi bergerak ke arah dua bayi di atas ranjang."Mereka yang akan membawa Salma dan Salwa," lanjutnya sembari mengganti popok kembar.Orang-orang itu mengangguk, memberi hormat pada Halimah."Tap, tapi ...." "Sudah. Nanti saja bicaranya. Mereka adalah keluargaku, jadi kamu tak usah takut anakmu diculik." Novi terus bicara, tanpa melihat Halimah. Ia hanya sesekali mengarahkan tatapan ke wajah Halimah yang kini menatap intens ke arahnya."Oya, Bi. Tolong yang satunya!" Novi meminta salah seorang dari mereka. Tanpa menunggu, mereka pun langsung bergerak."Biar aku siapkan tasnya. Di
Mobil yang dikendarai Javier terus melaju menuju bandara. Walau pun, belum dapat kepastian, apakah mereka bisa bertemu, sebab nomor Dokter Rendra belum aktif dan ia belum mendapatkan balasan tadi, untuk saling memberi tahu di mana lokasi mereka akan bertemu. Seperti yang dipesankan oleh sang Mama bahwa ia tak boleh terlambat. Tak enak rasanya pada pria yang bertanggung jawab dan banyak membantu sang Mama dalam proses penyembuhan. Jika sampai ia membuat pria itu tak nyaman sebab menunggu terlalu lama.Sekitar setengah jam memacu mobil dengan kecepatan lebih dari biasa, akhirnya mobil sport berwarna silver milik Javier memasuki area Bandara. Ia kemudian mencari tempat parkir yang kosong untuk menepikan mobilnya. Begitu mobil itu berhenti dan Javier mematikan mesin, ia pun bergegas ke luar menuju lobi Bandara di mana kebanyakan pengunjung menunggu di sana.Merasa ini sudah lebih dari waktu pesawat landing seperti yang Mamanya –Rania katakan, Javier kemudian mengeluarkan ponselnya sembar
_______________ Akan tetapi, dengan cepat pula Deandra mengingatkan dan meyakinkan kemenangan pada dirinya sendiri.‘Tak apa Dee, ini baru dimulai. Perjuangan masih panjang. Kamu bahkan belum tahu bagai mana aslinya Javier seperti apa? Bagai mana juga perasaannya terhadapmu. Masih banyak waktu untuk belajar. Lagi pula ... bukankah kamu bilang tidak menginginkan hal lebih ... jadi jangan memaksakan waktu untuk mengubah semuanya. Kamu harus ikhlas jika kelak, Javier tak menginginkan hal lebih selain sekadar status pernikahan.’“Oh ya, untuk ke depan, selama aku belum ada pekerjaan baru di kota, mari kita berbagi tugas. Bergantian memasak.” Javier membuat sebuah gagasan untuk meringankan beban Deandra.“Ah, itu tak perlu Jav, aku akan melakukannya. Itu bukan hal yang berat.” Deandra menyahut. “Lagian aku merasa bingung sendiri jika tak ada pekerjaan.” Deandra menyahut. Dia bahkan sudah berhenti bekerja. Kalau di rumah juga dikurangi pekerjaannya, dia akan jadi pengangguran dan tidak tah
Azalia dan Afif telah kembali dari hotel. Sebenarnya jatah menginap mereka ada tiga hari. Akan tetapi, sepasang suami istri itu bersepakat, bahwa mereka ingin pulang lebih dulu dan hanya mneghabiskan waktu bermalam satu hari saja. Pagi hari ke duanya sudah berada di rumah Afif yang dulu sempat Azalia tinggali juga dengan Kania. Pada siang hari tanpa diduga, orang tua Afif datang berkunjung ke rumah mereka, begitu tahu kalau Azalia dan Afif sudah berada di rumah.“Mereka ini apa –apaan? Padahal dapat jatah tinggal tiga hari dan gratis malah disia –siakan. Ckck. Mbak Rania bisa kecewa kalau tahu.” Mama Afif bicara selagi berjalan seiringan dengan sang suami ke luar dari mobil menuju rumah yang anak mereka tinggali.Tidak tahu kenapa, rasanya ia ingin terus mengomel sepanjang hari ini. Ada saja hal yang membuat wanita paruh baya itu merasa kesal.“Kalau begitu jangan sampai Mbak Rania tahu,” jawab suami enteng. Kakinya terus melangkah tanpa beban. “Barang kali, Azalia merasa tidak enak b
“Ehm, saya sebenarnya terkejut saat Afif mengatakan harus bertanggung jawab pada seorang gadis yang dia hamili.” Suara Mama Afif menciptakan ketegangan di antara empat orang yang saling dekat karena anak –anak mereka terikat dalam hubungan pernikahan.Wajah –wajah yang tadi dihiasi senyum kini dalam sekejap berubah masam. Begitu juga Papa Afif yang kemudian menggenggam tangan sang istri, agar mengendalikan diri. Karena tak enak pada tuan rumah yang sudah menerima mereka dengan baik, bahkan menyuguhkan makanan dan minuman. Dari awal hingga akhir, bahkan dalam obrolan, orang tua Azalia tidak sekali pun bersikap memuakkan sebagai wali, membahas dan menuntut kehidupan seorang istri pada suaminya.Ibu Afif menoleh sesaat pada sang suami. Ia paham maksud pria itu. itu juga kenapa Ibu Afif kemudian menatap ke arah pria itu dengan anggukan kecil. Bahwa semua akan baik-baik saja. itu yang dia ingin katakan. Dia tahu apa yang dia lakukan. Dan tak akan membuat suaminya malu.Bukankah dia orang
“Dokter Rendra sudah di Bandara, Dek!” Suara mantan Ibu mertua Azalia menghentikan gerakan tangan mengaduk kopi yang akan disuguhkan untuk suami, Ibu dan Bapak mertua Azalia.Bagaimana tidak? Nama yang disebut wanita paruh baya itu adalah nama lelaki yang dulu sempat merusak masa depan dan impian Ibu Azalia.“O ya, apa aku perlu menjemput, Mbak?!” tanya Bapak Afif yang mendekatkan kepala ke arah ponsel yang dipegang sang istri dengan antusias.Bapak Amir, bahkan tak menatap ke arah sang istri meski nama mantan kekasih istrinya diteriakkan di depan mereka. Yah, Mas pria itu mana tahu hati sang istri dan rasa sakit yang pernah didapat dari pria itu dulu. Dia memang tak pernah ingin peduli dengan itu. Bahkan suaminya itu tidak tahu seperti apa wajah pria bernama Rendra itu.Bapak Amir masih tersenyum. Dia tidak tahu, apakah Rendra, dokternya Rania dan Rendra mantan kekasih Fatma adalah pria yang sama. Meski penasaran, ia memiliih menahan diri untuk bertanya dan mencari tahu. Pikir Dendi,
Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengandung Kania dulu.“Aku tidak sepayah itu.” Azalia membantah pemikiran suami tentangnya.Melihat bagaimana Azalia protes, Afif hanya tersenyum sembari terus melangkah. Namun, belum lagi langkah pria itu mencapai kamar mandi hotel, panggilan lembut dari wanita yang bersamanya di kamar hotel tersebut menghentikan langkah Afif.“Mas Afif.”“Ya?” Afif menoleh dengan raut wajah dipenuhi tanya. “Kamu memerlukan sesuatu?” tanyanya lagi.Azalia tersenyum kecil. Lalu menggeleng pelan. “Makasih, ya, Mas.”Ia tak tahu bagaimana nasibnya pasca tahu bahwa suami sebelumnya adalah kakak kandungnya dan mereka terpaksa bercerai. Mana ada laki –laki baik dan dari keluarga baik –baik mau menerima seorang janda, hamil pula. Afif juga seorang pemuda yang memiliki pendidikan yang baik.Karena per
Di kamar Azalia dan Afif ....“Kita sholat dulu, ya.” Afif mengucap lembut begitu masuk ke dalam kamar.“Nggak bongkar koper dulu?” tanya Azalia lemah. Perempuan ayu itu melepas kerudungnya perlahan. Ia jadi ingat bagaimana dulu melewati malam pertama dengan Javier, mereka tak sempat saling berjauhan seperti pernikahannya dengan Afif sekarang. Sangat berbeda. Karena bahkan, Javier lah yang melepaskan kerudungnya pertama kali dan melihat auratnya.‘Apa karena ini pernikahan ke dua. Jadi begini rasanya. Berbeda dengan pernikahan dengan Mas Javier yang terus dipenuhi debar –debar. Semua rasanya B aja.’“Biar aku saja nanti yang membongkar dan merapikannya.” Afif menyahut selagi langkahnya bergerak ke arah kamar mandi. Ia perlu untuk membersihkan diri, dan kemudian berwudhu. Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengan
“Fatma.” Suara berat seorang pria nyaris membuat jantungnya copot.“Mas.” Suara Fatma tercekat.“Kamu masih cantik seperti dulu.” Rendra tersenyum tipis menatap ke kedua mata Fatma yang sayu karena usia."Rendra?!" Mata Fatma membulat. Nyaris saja dia pingsan karena syok. Untungnya ada Amir yang dengan sigap menangkap tubuh sang Ibu yang oleng."Bu, ada apa?" tanya anak bungsu Fatma.Wanita itu lekas menggeleng. "Ah, Ibu nggak papa." Fatma berbohong dan lekas memperbaiki posisi. Dia harus berusaha keras mengendalikan diri, agar Amir tidak tahu kalau pria yang berdiri di depannya, adalah seseorang yang datang dari masa lalunya.“Benar kah, Bu?” Amir tak percaya. Menatap ke arah Ibunya secara intens lalu pada pria yang memiliki tatapan nakal pada Fatma di depan mereka.“Anda siapa?” tanyanya pada pria yang Amir yakini jadi sebab ibunya bertingkah seperti sekarang.Rendra kemudian tersenyum. “Kenalkan. Saya Rendra. Dokter Rendra. Dokter yang ditunjuk untuk merawat Ibu Rania.”Mata Fatma
“Ada apa?” Deandra memberanikan diri bertanya pada pria tampan yang kini tengah duduk di sampingnya sebagai mempelai pria. Ia tak tahan melihat bagaimana Javier menatap ke arah Azalia dengan cinta, padahal sudah sangat jelas kalau mereka tidak akan pernah bisa bersatu. Dan sekarang, sudah ada yang menggantikan posisi Javier di sisi Azalia serta menjaganya. Juga sudah ada Deandra yang kini bersamanya menggantikan kedudukan Azalia. “Ah, ya?” Javier menoleh, ia terlalu fokus pada hal lain sampai –sampai tak memahami ketika Deandra mengajaknya bicara. “Aku ... baik –baik saja.”“Heh.” Deandra tersenyum miris. “Aku tidak sedang menanyakan keadaan kamu, Jav.” Perempuan yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih tulang itu menggumam. Namun, gumaman itu terdengar di telinga Javier meski pun pelan. Javier menarik salah satu sudut bibirnya mendengar itu. Tampaknya Deandra mulai bosan menghadiri pernikahan ini.‘Jadi, apa sebenarnya dia juga terpaksa untuk menikah dan tidak bahagia menikah