Bagi Halimah. Kesalahan Sabil satu-satunya adalah ... menikah diam-diam di belakangnya dengan Fatma. Itulah hal yang paling menyakitkan. Lalu hal lain ... adalah ketidak jujurannya kalau Adiknya Nabil juga menginginkan Halimah.Untuk kesalahan pertama, seharusnya itu bukan sebuah dosa, karena Islam mengizinkannya. Namun, tetap saja menikah tanpa berkomunikasi dengan istri pertama adalah kedzoliman. Tak beradab dan berpotensi menghancurkan rumah tangga pertama. Lalu ... bukankah pernikahan kedua yang menghancurkan rumah tangga sebelumnya adalah keharaman?Halimah yakin Sabil tahu persis tentang itu.Mobil Van yang mereka tumpangi terus melaju, membelah jalanan kota menuju rumah sakit. Di mana Sabil dan adik kembarnya kini dirawat.Halimah membisu. Sesekali menyeka air matanya kala hati terasa nyeri.Novi memerhatikan itu. Ia masih ingin memberi banyak waktu agar Halimah merasa tenang. Namun, tidak keadaaan di depan mereka. Keadaan yang memaksa Halimah segera mengambil tindakan.Dari
"Tu, tung ...!" Sabil berteriak seiring kepergian Halimah, dia benar-benar kehilangan kesempatan. Tubuh sakitnya dipaksa untuk bangkit. Namun, apa daya? Alih-alih bisa bangun. Sabil justru merasakan nyeri luar biasa. Rasa sakit inilah yang membuatnya sadar, bahwa ada ruang di hati Nabil adiknya terisi kebencian untuknya.Suster jaga yang melihat mereka dari kejauhan sejak tadi, akhirnya memeriksa ke kamar Sabil. Saat tahu, pria itu berteriak sambil meringis menahan sakit, suster itu segera memeganginya dan meminta Sabil untuk tenang."Ada apa, Pak!? Anda tidak boleh begini. Kondisi tubuh Anda masih sangat lemah!" Suster memegangi tubuh pasien. Ia mengucap lembut tapi juga menahan kesal.Tak ada jawaban dari mulut Sabil. Ia hanya bisa meringis dengan napas tersengal, karena menahan sakit memaksakan diri sebelumnya.'Bagaimana ini? Bagaimana kalau keadaan berubah? Bukan Nabil yang tak kunjung sadar dan Halimah berbalik padaku sebagai Nabil karena anak-anaknya adalah anak kandung Nabil.
"Aku bukan pelakor! Aku lah istri sah Mas Sabil walau pernikahan kami tidak terdaftar di KUA. Setidaknya kami sudah menikah secara agama, sedang dia ...." Fatma mengucap dengan bibir bergetar. Takut tapi juga emosi. Menunjuk ke arah Halimah.Novi yang bisa menangkap maksud Fatma pun, mendekat. Dan ingin memperjelas maksudnya."Apa maksudmu? Apa Halimah bukan istri Sabil?"Halimah mendorong kursi rodanya. Semua orang tampak bingung melihatnya. Mereka melihat dengan melebarkan mata, saat wanita itu mendekat pada Fatma. Begitu sampai di depan perempuan itu ... Fatmalah yang paling terkejut. Saat dadanya naik turun karena emosi, dengan mata menyipit, benaknya bertanya-tanya apa yang akan dilakukan kakak sepupunya? Sepersekian detik, Halimah menamparnya dengan keras. "Ah!" Fatma mengaduh memegangi pipinya yang terasa nyeri."Tutup mulutmu pelacur kecil!" maki Halimah dengan tatapan marah. Sama halnya Fatma, ia sampai tersengal menahan emosi. Jangankan harus bicara dan memberi pelakor i
[Mungkin 30 menit lagi. Ini aku lagi di jalan menuju rumah sakit]Sabil mendesah membaca pesan dari Fatma. Sudah satu jam sejak ia mengirim pesan itu. Akan tetapi tak juga muncul."Ke mana dia? Apa terjadi sesuatu? Hiss." Sabil merasa bosan. Tanpa sadar ia cemas pada kondisi Fatma. Wanita yang sempat dilupakan beberapa hari ke belakang."Telpon kek kalau ada kepentingan lain, kalau kaya gini bikin orang cemas." "Kalau aku telpon duluan, nanti dia maah curiga kalau aku sebenarnya adalah Sabil."Sabil geleng-geleng. Entah, sejak rencananya dibuat, ada saja halangan untuk melakukannya."Selamat pagi, Bapak Nabil. Bagaimana kabar Anda?" tanya salah satu dari dua Suster yang datang membawa nampan berisi obat-obatan dan alat medis."Pagi." Nabil yang belum bisa bangkit dari posisi tidurnya menoleh ke arah suara.Pria itu mendesah. Suster yang kemarin datang lagi. Masih ada perasaan kesal, karena dia menolak tawarannya semalam. Padahal uang yang ditawarkan lumayan. 'Apa karena penampilank
Halimah yakin, bukan hanya waktu dan tenaga Novi saja yang terkuras. Tapi juga uangnya. Termasuk keberadaan mereka di rumah sakit ini. Kalau saja, bukan karena 'orang dalam' yang juga keluarga Novi, Halimah pasti akan mengalami kesulitan memindah suaminya.Wanita itu berharap, Sabil segera bangun. Lalu mereka bisa memperbaiki semuanya dari awal.Ibu kembar itu menghela napas. Memutar kursi rodanya, kembali menatap pada sang suami. Pria yang untuk bernapas saja memerlukan bantuan alat. Namun, harapan itu masih ada baginya. Kalau Sabil bisa melewati masa kritisnya, dia juga pasti akan sembuh."Apa yang sebenarnya terjadi?" ucap Halimah, yang membuat Novi menatap ke arahnya. Lalu, pria di depan sana yang diperhatikan oleh Halimah di depan sana.Novi ikut menghela napas panjang. Ikut lelah hati melihat semua kesulitan yang Halimah alami."Oya, Lim. Keadaanmu sendiri gimana?" tanya Novi kemudian. Baginya, Halimah terlalu sibuk memberikan perhatiannya pada sekitar, sampai lupa memperhati
Tanpa disangka, Halimah merasakan pergerakan di tangannya. Perempuan itu terkejut, tatapannya sontak beralih ke tangan lalu ke wajah Sabil. Mata yang terpejam itu perlahan membuka, sedikit lalu melebar perlahan."Mas?!" panggilnya. Ia sangat senang. Akhirnya suaminya bangun.Pria itu berkedip. Ia ingin menyahut dan tersenyum pada Halimah. Namun, mulutnya tertutup alat yang terhubung ke tabung oksigen.Mata Nabil berkedip beberapa kali. Ia sangat bahagia saat membuka mata dan mendapati senyum Halimah ada untuknya. Meski tak mengerti apa yang terjadi setelah ia kehilangan kesadaran penuh. Kenapa ia tak mampu bergerak? Kenapa ia tak ingat apa pun selain kejadian terkahir kali yang terjadi di toko Abangnya.Mungkinkah keberadaan Halimah kali ini adalah sebuah pertanda semua berjalan sesuai kemauan awalnya. Mungkinkah Sabil sudah menyerah pada Halimah dan kini telah kembali pada Fatma?"Mas, sebentar. Aku panggil Dokter!" Halimah mengucap bahagia. Lalu menarik tangannya untuk menggerakkan
"Assalamualaikum. Bu.""Waalaikumsalam.""Em, aku mau bilang kalau pulang telat. Mungkin malam." Fatma mengabari ibunya agar tak khawatir. Sesekali terdengar suara cairan dihirup dari ujung telepon."Kamu nggak apa-apa kan, Fatma? Maksud Ibu apa kamu sedang menjaga Sabil? Apa dia sudah sadar dan baik-baik saja?""Hem. Ya. Bu. Alhamdulillah." Fatma terpaksa berbohong. Karena dia perlu waktu untuk melakukan rencananya dengan Nabil.Kalau saja ibunya tahu, bahwa Halimah membawa pergi Sabil dan menghapus jejak mereka pasti wanita itu akan syok. Dan lagi, Fatma tak punya alasan untuk berlama-lama berada di luar rumah."Alhamdulillah. Syukurlah. Kalau begitu setelah selesai beberes, Ibu akan langsung ke sana." Ibu Fatma sangat senang. Walau dia merasa ada yang aneh.'Lalu bagaimana dengan Halimah? Apa dia baik-baik saja dan sudah bersikap lunak pada Fatma? Sampai-sampai Fatma bisa tinggal merawat Sabil? Atau ada sesuatu antara Halimah dan Sabil, sampai Halimah meninggalkannya.'"Oh, jangan,
Novi sudah meminta izin ke pihak sekolah, untuk tidak datang dan mengajar hari ini. Ia harus pergi ke pasar dan mencari tahu segalanya dengan jelas. Kasihan Halimah jika masalah ini berlarut-larut.Siapa lagi yang bisa diandalkan oleh Halimah selain dirinya. Tak peduli berapa kali pun, Novi merenung ia masih tak habis pikir dengan banyaknya petaka yang menimpa sahabatnya itu."Huh. Kembar gila!" Wanita mengembus kasar. "Satunya tukang selingkuh, satunya doyan bini orang!" makinya meluapkan kekesalan yang ada."Kalau saja hari itu Halimah berjodoh dengan Rendra, pasti sekarang dia akan sangat bahagia. Mereka juga pasti punya anak kembar. Karena konon genetik kembar kan hanya dari ibunya. Ah, kenapa aku jadi baper bayangin mereka sejak dulu?" Novi merasa menyesal gagal.Wanita sebaya Halimah itu geleng-geleng. Terkadang terbesit pikiran jahat di benaknya. Kalau saja masalah ini berkepanjangan, Halimah tak terima karena terus direcoki Fatma. Dan Sabil lama-lama jijik karena terus ingat i
Mobil yang dikendarai Javier terus melaju menuju bandara. Walau pun, belum dapat kepastian, apakah mereka bisa bertemu, sebab nomor Dokter Rendra belum aktif dan ia belum mendapatkan balasan tadi, untuk saling memberi tahu di mana lokasi mereka akan bertemu. Seperti yang dipesankan oleh sang Mama bahwa ia tak boleh terlambat. Tak enak rasanya pada pria yang bertanggung jawab dan banyak membantu sang Mama dalam proses penyembuhan. Jika sampai ia membuat pria itu tak nyaman sebab menunggu terlalu lama.Sekitar setengah jam memacu mobil dengan kecepatan lebih dari biasa, akhirnya mobil sport berwarna silver milik Javier memasuki area Bandara. Ia kemudian mencari tempat parkir yang kosong untuk menepikan mobilnya. Begitu mobil itu berhenti dan Javier mematikan mesin, ia pun bergegas ke luar menuju lobi Bandara di mana kebanyakan pengunjung menunggu di sana.Merasa ini sudah lebih dari waktu pesawat landing seperti yang Mamanya –Rania katakan, Javier kemudian mengeluarkan ponselnya sembar
_______________ Akan tetapi, dengan cepat pula Deandra mengingatkan dan meyakinkan kemenangan pada dirinya sendiri.‘Tak apa Dee, ini baru dimulai. Perjuangan masih panjang. Kamu bahkan belum tahu bagai mana aslinya Javier seperti apa? Bagai mana juga perasaannya terhadapmu. Masih banyak waktu untuk belajar. Lagi pula ... bukankah kamu bilang tidak menginginkan hal lebih ... jadi jangan memaksakan waktu untuk mengubah semuanya. Kamu harus ikhlas jika kelak, Javier tak menginginkan hal lebih selain sekadar status pernikahan.’“Oh ya, untuk ke depan, selama aku belum ada pekerjaan baru di kota, mari kita berbagi tugas. Bergantian memasak.” Javier membuat sebuah gagasan untuk meringankan beban Deandra.“Ah, itu tak perlu Jav, aku akan melakukannya. Itu bukan hal yang berat.” Deandra menyahut. “Lagian aku merasa bingung sendiri jika tak ada pekerjaan.” Deandra menyahut. Dia bahkan sudah berhenti bekerja. Kalau di rumah juga dikurangi pekerjaannya, dia akan jadi pengangguran dan tidak tah
Azalia dan Afif telah kembali dari hotel. Sebenarnya jatah menginap mereka ada tiga hari. Akan tetapi, sepasang suami istri itu bersepakat, bahwa mereka ingin pulang lebih dulu dan hanya mneghabiskan waktu bermalam satu hari saja. Pagi hari ke duanya sudah berada di rumah Afif yang dulu sempat Azalia tinggali juga dengan Kania. Pada siang hari tanpa diduga, orang tua Afif datang berkunjung ke rumah mereka, begitu tahu kalau Azalia dan Afif sudah berada di rumah.“Mereka ini apa –apaan? Padahal dapat jatah tinggal tiga hari dan gratis malah disia –siakan. Ckck. Mbak Rania bisa kecewa kalau tahu.” Mama Afif bicara selagi berjalan seiringan dengan sang suami ke luar dari mobil menuju rumah yang anak mereka tinggali.Tidak tahu kenapa, rasanya ia ingin terus mengomel sepanjang hari ini. Ada saja hal yang membuat wanita paruh baya itu merasa kesal.“Kalau begitu jangan sampai Mbak Rania tahu,” jawab suami enteng. Kakinya terus melangkah tanpa beban. “Barang kali, Azalia merasa tidak enak b
“Ehm, saya sebenarnya terkejut saat Afif mengatakan harus bertanggung jawab pada seorang gadis yang dia hamili.” Suara Mama Afif menciptakan ketegangan di antara empat orang yang saling dekat karena anak –anak mereka terikat dalam hubungan pernikahan.Wajah –wajah yang tadi dihiasi senyum kini dalam sekejap berubah masam. Begitu juga Papa Afif yang kemudian menggenggam tangan sang istri, agar mengendalikan diri. Karena tak enak pada tuan rumah yang sudah menerima mereka dengan baik, bahkan menyuguhkan makanan dan minuman. Dari awal hingga akhir, bahkan dalam obrolan, orang tua Azalia tidak sekali pun bersikap memuakkan sebagai wali, membahas dan menuntut kehidupan seorang istri pada suaminya.Ibu Afif menoleh sesaat pada sang suami. Ia paham maksud pria itu. itu juga kenapa Ibu Afif kemudian menatap ke arah pria itu dengan anggukan kecil. Bahwa semua akan baik-baik saja. itu yang dia ingin katakan. Dia tahu apa yang dia lakukan. Dan tak akan membuat suaminya malu.Bukankah dia orang
“Dokter Rendra sudah di Bandara, Dek!” Suara mantan Ibu mertua Azalia menghentikan gerakan tangan mengaduk kopi yang akan disuguhkan untuk suami, Ibu dan Bapak mertua Azalia.Bagaimana tidak? Nama yang disebut wanita paruh baya itu adalah nama lelaki yang dulu sempat merusak masa depan dan impian Ibu Azalia.“O ya, apa aku perlu menjemput, Mbak?!” tanya Bapak Afif yang mendekatkan kepala ke arah ponsel yang dipegang sang istri dengan antusias.Bapak Amir, bahkan tak menatap ke arah sang istri meski nama mantan kekasih istrinya diteriakkan di depan mereka. Yah, Mas pria itu mana tahu hati sang istri dan rasa sakit yang pernah didapat dari pria itu dulu. Dia memang tak pernah ingin peduli dengan itu. Bahkan suaminya itu tidak tahu seperti apa wajah pria bernama Rendra itu.Bapak Amir masih tersenyum. Dia tidak tahu, apakah Rendra, dokternya Rania dan Rendra mantan kekasih Fatma adalah pria yang sama. Meski penasaran, ia memiliih menahan diri untuk bertanya dan mencari tahu. Pikir Dendi,
Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengandung Kania dulu.“Aku tidak sepayah itu.” Azalia membantah pemikiran suami tentangnya.Melihat bagaimana Azalia protes, Afif hanya tersenyum sembari terus melangkah. Namun, belum lagi langkah pria itu mencapai kamar mandi hotel, panggilan lembut dari wanita yang bersamanya di kamar hotel tersebut menghentikan langkah Afif.“Mas Afif.”“Ya?” Afif menoleh dengan raut wajah dipenuhi tanya. “Kamu memerlukan sesuatu?” tanyanya lagi.Azalia tersenyum kecil. Lalu menggeleng pelan. “Makasih, ya, Mas.”Ia tak tahu bagaimana nasibnya pasca tahu bahwa suami sebelumnya adalah kakak kandungnya dan mereka terpaksa bercerai. Mana ada laki –laki baik dan dari keluarga baik –baik mau menerima seorang janda, hamil pula. Afif juga seorang pemuda yang memiliki pendidikan yang baik.Karena per
Di kamar Azalia dan Afif ....“Kita sholat dulu, ya.” Afif mengucap lembut begitu masuk ke dalam kamar.“Nggak bongkar koper dulu?” tanya Azalia lemah. Perempuan ayu itu melepas kerudungnya perlahan. Ia jadi ingat bagaimana dulu melewati malam pertama dengan Javier, mereka tak sempat saling berjauhan seperti pernikahannya dengan Afif sekarang. Sangat berbeda. Karena bahkan, Javier lah yang melepaskan kerudungnya pertama kali dan melihat auratnya.‘Apa karena ini pernikahan ke dua. Jadi begini rasanya. Berbeda dengan pernikahan dengan Mas Javier yang terus dipenuhi debar –debar. Semua rasanya B aja.’“Biar aku saja nanti yang membongkar dan merapikannya.” Afif menyahut selagi langkahnya bergerak ke arah kamar mandi. Ia perlu untuk membersihkan diri, dan kemudian berwudhu. Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengan
“Fatma.” Suara berat seorang pria nyaris membuat jantungnya copot.“Mas.” Suara Fatma tercekat.“Kamu masih cantik seperti dulu.” Rendra tersenyum tipis menatap ke kedua mata Fatma yang sayu karena usia."Rendra?!" Mata Fatma membulat. Nyaris saja dia pingsan karena syok. Untungnya ada Amir yang dengan sigap menangkap tubuh sang Ibu yang oleng."Bu, ada apa?" tanya anak bungsu Fatma.Wanita itu lekas menggeleng. "Ah, Ibu nggak papa." Fatma berbohong dan lekas memperbaiki posisi. Dia harus berusaha keras mengendalikan diri, agar Amir tidak tahu kalau pria yang berdiri di depannya, adalah seseorang yang datang dari masa lalunya.“Benar kah, Bu?” Amir tak percaya. Menatap ke arah Ibunya secara intens lalu pada pria yang memiliki tatapan nakal pada Fatma di depan mereka.“Anda siapa?” tanyanya pada pria yang Amir yakini jadi sebab ibunya bertingkah seperti sekarang.Rendra kemudian tersenyum. “Kenalkan. Saya Rendra. Dokter Rendra. Dokter yang ditunjuk untuk merawat Ibu Rania.”Mata Fatma
“Ada apa?” Deandra memberanikan diri bertanya pada pria tampan yang kini tengah duduk di sampingnya sebagai mempelai pria. Ia tak tahan melihat bagaimana Javier menatap ke arah Azalia dengan cinta, padahal sudah sangat jelas kalau mereka tidak akan pernah bisa bersatu. Dan sekarang, sudah ada yang menggantikan posisi Javier di sisi Azalia serta menjaganya. Juga sudah ada Deandra yang kini bersamanya menggantikan kedudukan Azalia. “Ah, ya?” Javier menoleh, ia terlalu fokus pada hal lain sampai –sampai tak memahami ketika Deandra mengajaknya bicara. “Aku ... baik –baik saja.”“Heh.” Deandra tersenyum miris. “Aku tidak sedang menanyakan keadaan kamu, Jav.” Perempuan yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih tulang itu menggumam. Namun, gumaman itu terdengar di telinga Javier meski pun pelan. Javier menarik salah satu sudut bibirnya mendengar itu. Tampaknya Deandra mulai bosan menghadiri pernikahan ini.‘Jadi, apa sebenarnya dia juga terpaksa untuk menikah dan tidak bahagia menikah