"Assalamualaikum. Bu.""Waalaikumsalam.""Em, aku mau bilang kalau pulang telat. Mungkin malam." Fatma mengabari ibunya agar tak khawatir. Sesekali terdengar suara cairan dihirup dari ujung telepon."Kamu nggak apa-apa kan, Fatma? Maksud Ibu apa kamu sedang menjaga Sabil? Apa dia sudah sadar dan baik-baik saja?""Hem. Ya. Bu. Alhamdulillah." Fatma terpaksa berbohong. Karena dia perlu waktu untuk melakukan rencananya dengan Nabil.Kalau saja ibunya tahu, bahwa Halimah membawa pergi Sabil dan menghapus jejak mereka pasti wanita itu akan syok. Dan lagi, Fatma tak punya alasan untuk berlama-lama berada di luar rumah."Alhamdulillah. Syukurlah. Kalau begitu setelah selesai beberes, Ibu akan langsung ke sana." Ibu Fatma sangat senang. Walau dia merasa ada yang aneh.'Lalu bagaimana dengan Halimah? Apa dia baik-baik saja dan sudah bersikap lunak pada Fatma? Sampai-sampai Fatma bisa tinggal merawat Sabil? Atau ada sesuatu antara Halimah dan Sabil, sampai Halimah meninggalkannya.'"Oh, jangan,
Novi sudah meminta izin ke pihak sekolah, untuk tidak datang dan mengajar hari ini. Ia harus pergi ke pasar dan mencari tahu segalanya dengan jelas. Kasihan Halimah jika masalah ini berlarut-larut.Siapa lagi yang bisa diandalkan oleh Halimah selain dirinya. Tak peduli berapa kali pun, Novi merenung ia masih tak habis pikir dengan banyaknya petaka yang menimpa sahabatnya itu."Huh. Kembar gila!" Wanita mengembus kasar. "Satunya tukang selingkuh, satunya doyan bini orang!" makinya meluapkan kekesalan yang ada."Kalau saja hari itu Halimah berjodoh dengan Rendra, pasti sekarang dia akan sangat bahagia. Mereka juga pasti punya anak kembar. Karena konon genetik kembar kan hanya dari ibunya. Ah, kenapa aku jadi baper bayangin mereka sejak dulu?" Novi merasa menyesal gagal.Wanita sebaya Halimah itu geleng-geleng. Terkadang terbesit pikiran jahat di benaknya. Kalau saja masalah ini berkepanjangan, Halimah tak terima karena terus direcoki Fatma. Dan Sabil lama-lama jijik karena terus ingat i
Langkah Novi bergerak ke Toko Halimah yang tertutup. Pemilik toko di sebelah yang melihat wanita itu celingukan, segera menghampiri."Mbak cari apa? Ini masnya masuk rumah sakit, jadi tokonya ditutup." Seorang wanita paruh baya menjelaskan."Oh ya. Saya yang ikut mengurusnya di rumah sakit, Bu.""Oh, Mbak keluarganya?""Em saya saudara istrinya." Novi meringis. Maksudnya saudara sesama muslim. Ia tak ingin membahas banyak hal, yang membuat tujuan utamanya teralihkan."Oh, Bu. Kalau boleh tahu apa yang terjadi kemarin itu?" tanya Novi tanpa basa-basi."Oh ya, benar. Saya nggak ngerti secara jelasnya. Cuma pelanggan saya yang kebetulan juga pelanggan Mas Sabil bilang, mereka sepertinya bertukar posisi, jadi kembarannya nggak terima dengan perbuatan kembaran satunya pas menggantikan posisinya.""Hah? Maksudnya?""Ya ... em. Namanya orang bergosip kan Mbak. Hehe. Maaf kalau saya malah ngelantur gini. Tapi yang dibilang, memang gitu. Mereka suruh pergi, sebenarnya sama Om Dogger yang di s
Fatma mendesah. Menyerah lelah. Ia berjalan gontai menyusuri lobi. Langkahnya terhenti di tengah-tengah menatap lorong panjang masuk ruang rumah sakit. Langkahnya bergerak ke sana, ia bertekad akan membuka pintu satu-satu mencari suaminya. Namun, saat langkahnya baru terayun, lift di samping koridor terbuka. Ia melihat empat orang keluar dari sana. Tatapannya langsung tertuju pada pria tampan yang berdiri, dan diperban kepala."Mas Sabil!" Fatma sangat senang. Tanpa berpikir dan merasa tak enak pada Halimah yang ada di samping pria itu, ia menghambur ke arahnya dan memeluknya dengan erat sampai Nabil menahan pekik sakit.Sedang wanita di sampingnya tampak syok. Ada sesuatu yang membuat hati Halimah berdenyut nyeri. Inilah akhirnya, memberikan hati untuk dua cinta, pasti akan ada hati yang tersakiti karenanya.Nabil yang terkejut atas perbuatan istri Sabil, segera melepas tubuh Fatma dari pelukan dan mendorongnya, hingga ia terjatuh ke lantai lobi.Ia terkejut. Hatinya sesak. Ada kem
Ibu Fatma kebingungan, mondar-mondir dengan gelisah di depan pintu. Celingukan dengan tatapan yang jauh, berharap muncul sosok Fatma.Sudah jam delapan malam, tapi puterinya tak kunjung datang. Dihubungi, tapi tak tersambung."Apa ponselnya dimatikan? Kehabisan baterei atau ....?" Wanita paruh baya itu menepis pikiran buruknya. Takut jika prasangkanya jadi doa buruk yang diijabah.Bukan hanya ponsel Fatma yang tidak aktif. Namun, juga ponsel milik Halimah atau pun Sabil menantunya tak aktif."Ya Allah, apa kususul saja ke rumah sakit?" Wanita itu sangat khawatir kali ini.Tanpa berpikir lagi, ia pun berbalik masuk ke dalam rumah, bersiap untuk pergi. Entah kenapa, perasaannya tak enak sejak tadi hingga perlu memastikan apa yang terjadi di rumah sakit. Apalagi semalam mereka sempat bertengkar hebat dengan Halimah.___________Tanpa ragu Rendra mengayun langkah mendekat pada Fatma. Melihat itu, asistennya pun mengikutinya. Seharusnya mereka sudah berada di kamar pasien Dokter Rendra. Na
'Aku yang salah, hatiku telah mati sampai terlambat menyadari bahwa Halimah jauh lebih penting dibanding keinginan abangku. Abang yang kupikir tak akan pernah berkhianat. Namun, rupanya hatinya telah berubah ... demi ambisinya dia tega menghancurkan kehidupanku dan Halimah.'_____________"Oya, tampaknya Dokter sangat mengenal Mbak Halimah dan Mas Sabil?" tukas Fatma. Ucapan pria itu terkesan membela Halimah dibanding dirinya yang jelas-jelas adalah istri sahnya."Ahm, itu ... ya. Kami kenalan lama. Dan bertemu lagi setelah Bapak Sabil jadi pasien saya." Rendra tiba-tiba merasa tak nyaman, atas ucapan Fatma. Ia sadar bukan apa-apanya dua orang itu, dan terkesan terlalu ikut campur. Diaduk minuman berwarna hijau yang muncul dari warna asli buah alpukat dalam gelasnya, dengan sedotan. Lalu perlahan mengarahkan mulutnya ke sedotan itu agar jus dalam gelas bisa memasuki kerongkongan."Oh ...." Mulut Fatma membulat. "Sebentar!" Rendra meminta waktu karena tiba-tiba ponselnya berdering. "
Halimah menunggu Nabil dengan hati berdebar. Meski dalam hatinya hanya ada Sabil, apa boleh perasaan itu mengalahkan posisi Nabil yang adalah suaminya.Ia melirik pria tampan itu saat memutar kunci kamar mereka. Halimah terus mencocokkan ucapan Nabil dengan Fatma semalam, bahwa adik sepupunya itu bukanlah pelakor. Bahwa dialah yang sebenarnya istri sah Sabil, bukan Halimah.Inikah alasannya, karena yang menikahi Halimah adalah Nabil. 'Aku haru bagaimana sekarang?' batinnya terus berkata-kata, seiring otaknya yang berputar mencari jawaban untuk dirinya sendiri.'Ya Allah. Perasaan apa ini? Wajah mereka begitu mirip. Apa karena itu hatiku masih berdebar setiap kali menatap Nabil dalam?'Setelah memastikan pintu terkunci rapat, Nabil membalik tubuh. Mengangkat kepala menatap pada wanita yang ada di atas ranjang. Wanita yang tampak tenang, jauh dari sebelumnya.Namun, Halimah enggan menatapnya seperti biasa."Aku ....""Ya?" Halimah menyahut dengan gugup.Nabil mendekat dan duduk di sisi
"Apa aku perlu keluar?" tanya Nabil. Suara beratnya membuat debar dalam dada Halimah tak beraturan. Kalau dipikir, setiap kali bersikap hangat ... Sabil dulu beralasan sedang radang tenggorokan. Kalau begitu, lelaki dengan suara serak dan lebih berat dan ia selalu bersikap hangat adalah Nabil. Pria itu tak berdusta."Nggak usah, Mas." Halimah mengucap ragu. Ada perasaan canggung yang menghalanginya untuk bicara mengalir seperti sebelumnya."Oh." Nabil manggut-manggut. Karena sikap Halimah yang lebih pendiam, ia pun turut canggung.Nabil berjalan ke pintu membukanya karena Bibi bilang kalau dokter Rendra sudah datang. Pintu itu kemudian dibuka lebar-lebar."Ya, Bi?" Ini Dokter Rendra.Pria yang masih memakai setelan kaos santai dan jeans, serta jas yang membalutnya itu tersenyum."Selamat malam Bapak Sabil, bagaimana kabar Anda?" Pria yang membawa tas kerja itu menyapa."Alhamdulillah. Saya baik." Nabil menyahut. Ia sudah sepakat dengan Halimah, kalau tidak akan membuka identitas as
Mobil yang dikendarai Javier terus melaju menuju bandara. Walau pun, belum dapat kepastian, apakah mereka bisa bertemu, sebab nomor Dokter Rendra belum aktif dan ia belum mendapatkan balasan tadi, untuk saling memberi tahu di mana lokasi mereka akan bertemu. Seperti yang dipesankan oleh sang Mama bahwa ia tak boleh terlambat. Tak enak rasanya pada pria yang bertanggung jawab dan banyak membantu sang Mama dalam proses penyembuhan. Jika sampai ia membuat pria itu tak nyaman sebab menunggu terlalu lama.Sekitar setengah jam memacu mobil dengan kecepatan lebih dari biasa, akhirnya mobil sport berwarna silver milik Javier memasuki area Bandara. Ia kemudian mencari tempat parkir yang kosong untuk menepikan mobilnya. Begitu mobil itu berhenti dan Javier mematikan mesin, ia pun bergegas ke luar menuju lobi Bandara di mana kebanyakan pengunjung menunggu di sana.Merasa ini sudah lebih dari waktu pesawat landing seperti yang Mamanya –Rania katakan, Javier kemudian mengeluarkan ponselnya sembar
_______________ Akan tetapi, dengan cepat pula Deandra mengingatkan dan meyakinkan kemenangan pada dirinya sendiri.‘Tak apa Dee, ini baru dimulai. Perjuangan masih panjang. Kamu bahkan belum tahu bagai mana aslinya Javier seperti apa? Bagai mana juga perasaannya terhadapmu. Masih banyak waktu untuk belajar. Lagi pula ... bukankah kamu bilang tidak menginginkan hal lebih ... jadi jangan memaksakan waktu untuk mengubah semuanya. Kamu harus ikhlas jika kelak, Javier tak menginginkan hal lebih selain sekadar status pernikahan.’“Oh ya, untuk ke depan, selama aku belum ada pekerjaan baru di kota, mari kita berbagi tugas. Bergantian memasak.” Javier membuat sebuah gagasan untuk meringankan beban Deandra.“Ah, itu tak perlu Jav, aku akan melakukannya. Itu bukan hal yang berat.” Deandra menyahut. “Lagian aku merasa bingung sendiri jika tak ada pekerjaan.” Deandra menyahut. Dia bahkan sudah berhenti bekerja. Kalau di rumah juga dikurangi pekerjaannya, dia akan jadi pengangguran dan tidak tah
Azalia dan Afif telah kembali dari hotel. Sebenarnya jatah menginap mereka ada tiga hari. Akan tetapi, sepasang suami istri itu bersepakat, bahwa mereka ingin pulang lebih dulu dan hanya mneghabiskan waktu bermalam satu hari saja. Pagi hari ke duanya sudah berada di rumah Afif yang dulu sempat Azalia tinggali juga dengan Kania. Pada siang hari tanpa diduga, orang tua Afif datang berkunjung ke rumah mereka, begitu tahu kalau Azalia dan Afif sudah berada di rumah.“Mereka ini apa –apaan? Padahal dapat jatah tinggal tiga hari dan gratis malah disia –siakan. Ckck. Mbak Rania bisa kecewa kalau tahu.” Mama Afif bicara selagi berjalan seiringan dengan sang suami ke luar dari mobil menuju rumah yang anak mereka tinggali.Tidak tahu kenapa, rasanya ia ingin terus mengomel sepanjang hari ini. Ada saja hal yang membuat wanita paruh baya itu merasa kesal.“Kalau begitu jangan sampai Mbak Rania tahu,” jawab suami enteng. Kakinya terus melangkah tanpa beban. “Barang kali, Azalia merasa tidak enak b
“Ehm, saya sebenarnya terkejut saat Afif mengatakan harus bertanggung jawab pada seorang gadis yang dia hamili.” Suara Mama Afif menciptakan ketegangan di antara empat orang yang saling dekat karena anak –anak mereka terikat dalam hubungan pernikahan.Wajah –wajah yang tadi dihiasi senyum kini dalam sekejap berubah masam. Begitu juga Papa Afif yang kemudian menggenggam tangan sang istri, agar mengendalikan diri. Karena tak enak pada tuan rumah yang sudah menerima mereka dengan baik, bahkan menyuguhkan makanan dan minuman. Dari awal hingga akhir, bahkan dalam obrolan, orang tua Azalia tidak sekali pun bersikap memuakkan sebagai wali, membahas dan menuntut kehidupan seorang istri pada suaminya.Ibu Afif menoleh sesaat pada sang suami. Ia paham maksud pria itu. itu juga kenapa Ibu Afif kemudian menatap ke arah pria itu dengan anggukan kecil. Bahwa semua akan baik-baik saja. itu yang dia ingin katakan. Dia tahu apa yang dia lakukan. Dan tak akan membuat suaminya malu.Bukankah dia orang
“Dokter Rendra sudah di Bandara, Dek!” Suara mantan Ibu mertua Azalia menghentikan gerakan tangan mengaduk kopi yang akan disuguhkan untuk suami, Ibu dan Bapak mertua Azalia.Bagaimana tidak? Nama yang disebut wanita paruh baya itu adalah nama lelaki yang dulu sempat merusak masa depan dan impian Ibu Azalia.“O ya, apa aku perlu menjemput, Mbak?!” tanya Bapak Afif yang mendekatkan kepala ke arah ponsel yang dipegang sang istri dengan antusias.Bapak Amir, bahkan tak menatap ke arah sang istri meski nama mantan kekasih istrinya diteriakkan di depan mereka. Yah, Mas pria itu mana tahu hati sang istri dan rasa sakit yang pernah didapat dari pria itu dulu. Dia memang tak pernah ingin peduli dengan itu. Bahkan suaminya itu tidak tahu seperti apa wajah pria bernama Rendra itu.Bapak Amir masih tersenyum. Dia tidak tahu, apakah Rendra, dokternya Rania dan Rendra mantan kekasih Fatma adalah pria yang sama. Meski penasaran, ia memiliih menahan diri untuk bertanya dan mencari tahu. Pikir Dendi,
Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengandung Kania dulu.“Aku tidak sepayah itu.” Azalia membantah pemikiran suami tentangnya.Melihat bagaimana Azalia protes, Afif hanya tersenyum sembari terus melangkah. Namun, belum lagi langkah pria itu mencapai kamar mandi hotel, panggilan lembut dari wanita yang bersamanya di kamar hotel tersebut menghentikan langkah Afif.“Mas Afif.”“Ya?” Afif menoleh dengan raut wajah dipenuhi tanya. “Kamu memerlukan sesuatu?” tanyanya lagi.Azalia tersenyum kecil. Lalu menggeleng pelan. “Makasih, ya, Mas.”Ia tak tahu bagaimana nasibnya pasca tahu bahwa suami sebelumnya adalah kakak kandungnya dan mereka terpaksa bercerai. Mana ada laki –laki baik dan dari keluarga baik –baik mau menerima seorang janda, hamil pula. Afif juga seorang pemuda yang memiliki pendidikan yang baik.Karena per
Di kamar Azalia dan Afif ....“Kita sholat dulu, ya.” Afif mengucap lembut begitu masuk ke dalam kamar.“Nggak bongkar koper dulu?” tanya Azalia lemah. Perempuan ayu itu melepas kerudungnya perlahan. Ia jadi ingat bagaimana dulu melewati malam pertama dengan Javier, mereka tak sempat saling berjauhan seperti pernikahannya dengan Afif sekarang. Sangat berbeda. Karena bahkan, Javier lah yang melepaskan kerudungnya pertama kali dan melihat auratnya.‘Apa karena ini pernikahan ke dua. Jadi begini rasanya. Berbeda dengan pernikahan dengan Mas Javier yang terus dipenuhi debar –debar. Semua rasanya B aja.’“Biar aku saja nanti yang membongkar dan merapikannya.” Afif menyahut selagi langkahnya bergerak ke arah kamar mandi. Ia perlu untuk membersihkan diri, dan kemudian berwudhu. Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengan
“Fatma.” Suara berat seorang pria nyaris membuat jantungnya copot.“Mas.” Suara Fatma tercekat.“Kamu masih cantik seperti dulu.” Rendra tersenyum tipis menatap ke kedua mata Fatma yang sayu karena usia."Rendra?!" Mata Fatma membulat. Nyaris saja dia pingsan karena syok. Untungnya ada Amir yang dengan sigap menangkap tubuh sang Ibu yang oleng."Bu, ada apa?" tanya anak bungsu Fatma.Wanita itu lekas menggeleng. "Ah, Ibu nggak papa." Fatma berbohong dan lekas memperbaiki posisi. Dia harus berusaha keras mengendalikan diri, agar Amir tidak tahu kalau pria yang berdiri di depannya, adalah seseorang yang datang dari masa lalunya.“Benar kah, Bu?” Amir tak percaya. Menatap ke arah Ibunya secara intens lalu pada pria yang memiliki tatapan nakal pada Fatma di depan mereka.“Anda siapa?” tanyanya pada pria yang Amir yakini jadi sebab ibunya bertingkah seperti sekarang.Rendra kemudian tersenyum. “Kenalkan. Saya Rendra. Dokter Rendra. Dokter yang ditunjuk untuk merawat Ibu Rania.”Mata Fatma
“Ada apa?” Deandra memberanikan diri bertanya pada pria tampan yang kini tengah duduk di sampingnya sebagai mempelai pria. Ia tak tahan melihat bagaimana Javier menatap ke arah Azalia dengan cinta, padahal sudah sangat jelas kalau mereka tidak akan pernah bisa bersatu. Dan sekarang, sudah ada yang menggantikan posisi Javier di sisi Azalia serta menjaganya. Juga sudah ada Deandra yang kini bersamanya menggantikan kedudukan Azalia. “Ah, ya?” Javier menoleh, ia terlalu fokus pada hal lain sampai –sampai tak memahami ketika Deandra mengajaknya bicara. “Aku ... baik –baik saja.”“Heh.” Deandra tersenyum miris. “Aku tidak sedang menanyakan keadaan kamu, Jav.” Perempuan yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih tulang itu menggumam. Namun, gumaman itu terdengar di telinga Javier meski pun pelan. Javier menarik salah satu sudut bibirnya mendengar itu. Tampaknya Deandra mulai bosan menghadiri pernikahan ini.‘Jadi, apa sebenarnya dia juga terpaksa untuk menikah dan tidak bahagia menikah