Azalia dan Afif telah kembali dari hotel. Sebenarnya jatah menginap mereka ada tiga hari. Akan tetapi, sepasang suami istri itu bersepakat, bahwa mereka ingin pulang lebih dulu dan hanya mneghabiskan waktu bermalam satu hari saja. Pagi hari ke duanya sudah berada di rumah Afif yang dulu sempat Azalia tinggali juga dengan Kania. Pada siang hari tanpa diduga, orang tua Afif datang berkunjung ke rumah mereka, begitu tahu kalau Azalia dan Afif sudah berada di rumah.“Mereka ini apa –apaan? Padahal dapat jatah tinggal tiga hari dan gratis malah disia –siakan. Ckck. Mbak Rania bisa kecewa kalau tahu.” Mama Afif bicara selagi berjalan seiringan dengan sang suami ke luar dari mobil menuju rumah yang anak mereka tinggali.Tidak tahu kenapa, rasanya ia ingin terus mengomel sepanjang hari ini. Ada saja hal yang membuat wanita paruh baya itu merasa kesal.“Kalau begitu jangan sampai Mbak Rania tahu,” jawab suami enteng. Kakinya terus melangkah tanpa beban. “Barang kali, Azalia merasa tidak enak b
_______________ Akan tetapi, dengan cepat pula Deandra mengingatkan dan meyakinkan kemenangan pada dirinya sendiri.‘Tak apa Dee, ini baru dimulai. Perjuangan masih panjang. Kamu bahkan belum tahu bagai mana aslinya Javier seperti apa? Bagai mana juga perasaannya terhadapmu. Masih banyak waktu untuk belajar. Lagi pula ... bukankah kamu bilang tidak menginginkan hal lebih ... jadi jangan memaksakan waktu untuk mengubah semuanya. Kamu harus ikhlas jika kelak, Javier tak menginginkan hal lebih selain sekadar status pernikahan.’“Oh ya, untuk ke depan, selama aku belum ada pekerjaan baru di kota, mari kita berbagi tugas. Bergantian memasak.” Javier membuat sebuah gagasan untuk meringankan beban Deandra.“Ah, itu tak perlu Jav, aku akan melakukannya. Itu bukan hal yang berat.” Deandra menyahut. “Lagian aku merasa bingung sendiri jika tak ada pekerjaan.” Deandra menyahut. Dia bahkan sudah berhenti bekerja. Kalau di rumah juga dikurangi pekerjaannya, dia akan jadi pengangguran dan tidak tah
Mobil yang dikendarai Javier terus melaju menuju bandara. Walau pun, belum dapat kepastian, apakah mereka bisa bertemu, sebab nomor Dokter Rendra belum aktif dan ia belum mendapatkan balasan tadi, untuk saling memberi tahu di mana lokasi mereka akan bertemu. Seperti yang dipesankan oleh sang Mama bahwa ia tak boleh terlambat. Tak enak rasanya pada pria yang bertanggung jawab dan banyak membantu sang Mama dalam proses penyembuhan. Jika sampai ia membuat pria itu tak nyaman sebab menunggu terlalu lama.Sekitar setengah jam memacu mobil dengan kecepatan lebih dari biasa, akhirnya mobil sport berwarna silver milik Javier memasuki area Bandara. Ia kemudian mencari tempat parkir yang kosong untuk menepikan mobilnya. Begitu mobil itu berhenti dan Javier mematikan mesin, ia pun bergegas ke luar menuju lobi Bandara di mana kebanyakan pengunjung menunggu di sana.Merasa ini sudah lebih dari waktu pesawat landing seperti yang Mamanya –Rania katakan, Javier kemudian mengeluarkan ponselnya sembar
Belum genap seminggu usai melahirkan caesar. Rasa sakit yang kurasa sungguh tak terperi. Jangankan bergerak, ingin batuk saja harus menahan.Namun ... begini sikap suamiku,"Sudah kubilang jangan buat dia menangis!" bentak Mas Sabil yang membuatku terkesiap. Kontan saja bayi dalam gendongan, yang awalnya hanya merengek kecil lantaran tak puas menghisap ASI, kini menangis lebih keras.Wajah pria itu semakin merah padam. "Kan? Nangis! Kamu itu ibu yang gimana, sih? Ngurus anak aja gak becus!" hardiknya lagi.Jelas saja kembar terus merengek. Mereka tak kenyang minum ASI-ku. Bayangkan menyusui dua bayi dalam satu waktu. Mereka tak akan puas dan kenyang karena berbagi. Saat si sulung baru selesai dan tertidur dalam buaian, si bungsu bangun menangis karena sudah lapar.Seminggu ini aku benar-benar merasa dihajar oleh keadaan, mengurus dua puteriku sendirian. Untung saja, Bude dan anaknya datang membantu tadi.Kalau saja Mas Sabil mengizinkan, mendampingi dengan susu formula, pasti rasanya
Sore hari, belum ada tanda-tanda Fatma akan datang. Padahal sebentar lagi Mas Sabil pulang kerja. Ini membuatku cemas.Sementara Bulek sibuk memasak untuk makan malam di dapur, siapa yang akan membantuku nanti kalau kembar terbangun. Aku tak ingin memperdengarkan suara tangis mereka pada suami. Dia pasti lelah pulang kerja, dan tangis dua bayi itu pasti membuatnya stress."Assalamualaikum." Terdengar suara merdu Fatma di depan. Derap langkahnya semakin mendekat ke kamarku.Fatma akhirnya datang. Aku tersenyum lega menyambutnya. Gadis itu kemudian meletakkan barang-barang pesananku di pojok kamar. Lalu .meletakkan cemilan di nakas yang bisa kujangkau."Maaf, ya. Mbak. Lama. Apa kembar rewel?" tanyanya."Oh, nggak Fatma. Alhamdulillah dibantu Bulek jadi ada yang bantu diemin. Oya, apa tadi hujan? Kenapa kerudung kamu basah, Fat?""Oh, ini. Aku keringetan aja Mbak. Muter-muter pasar. Hehe." Wanita itu memegangi kerudungnya.Aku manggut-manggut. "Syukurlah. Aku takut kamu sakit karena keh
Kenapa ini sangat kebetulan. Mas Sabil dan Fatma datang hampir berbarengan dan dua-duanya ... memiliki keanehan. Sama-sama basah. Ish, mikir apa sih, aku?Dua-duanya orang baik. Mana mungkin pria yang memiliki idealisme seperti Mas Sabil berkhianat? Apalagi kondisi istrinya sakit setelah melahirkan caesar."Kamu udah makan?" tanya Mas Sabil, seolah tengah mengalihkan perhatian.Kuanggukkan kepala pelan. Tentu saja aku sudah makan, ada Bulek yang sangat telaten memasak untukku.Hanya saja aku tak fokus pada pertanyaan itu, pikiranku masih terganggu oleh kebetulan-kebetulan tadi. Sikap pria ini juga aneh. Dia jadi kalem begini. Atau mungkin karena tak sesetres biasa saat pulang.Dalam seminggu ini, Mas Sabil saat pulang dari toko, biasa disambut dengan tangisan bayi, popok kotor yang menumpuk. Belum lagi makan seadanya yang dibeli di luar. Juga ditambah membantuku ke kamar mandi.Yah, tentu saja lelahnya berlipat-lipat. Aku tahu bagaimana pekerjaan di toko. Satu-satunya peninggalan Bapa
"Waalaikumsalam." Suara berat seorang pria terdengar di ujung telepon."Masnya ada Mbak?""Mas Sabil?""Benar. Eh, ya bukan, ya. Tadi yang ketemu sama saya di pasar." Pria itu menyambung ragu. Mungkin pelanggan Mas Sabil yang baru. Makanya nomornya belum sempat disimpan juga."Oh ya, benar berarti," sahutku. "Ada yang bisa saya bantu? Suami saya ada di belakang, apa perlu saya panggilkan?""Oh, istrinya? Saya pikir Kakaknya soalnya suaranya beda dengan yang tadi.""Hah?" Ada sesuatu yang menyentakku. Berbeda dengan yang tadi? Apa maksudnya? Kami kan tadi tidak ketemu.Sabar, Halimah. Ini pasti ada kesalahan. "Nggak usah dipanggil, Mbak. Mungkin Masnya sibuk, tolong disampein saja. Begini, Mbak. Tolong kasih tahu. Nomor rekening yang tadi saya kasih, salah. Itu rekening istri saya, masalahnya saya sudsh pisah rumah dengannya," jelasnya. "Hem?" Aku kembali terhenyak mendengar berita itu.Ada-ada saja. Kenapa aku harus mendengar hal seperti ini? Aku paling benci perceraian. Benci pela
"Halimah! Apa yang kamu lakukan?!" Mas Sabil datang merebut ponsel di tanganku."Apa itu, Mas? Untuk siapa kamu menyewa rumah? Kenapa tak membicarakannya denganku? Lalu siapa wanita yang tadi katanya bareng Mas Sabil?" tanyaku tegas tanpa basa-basi. AkuDi waktu yang sama, suara piring pecah yang jatuh di lantai terdengar. Saat itulah, aku dan Mas Sabil yang sedang bersitegang menoleh ke sana. Aku memperhatikan seorang gadis yang seketika berjongkok membersihkan pecahan piring di lantai. Puding buatan Bulek yang sepertinya akan diberikan padaku berserakan di sana.Bulek sangat tahu kalau aku menyukai makanan itu. Dia pasti ingin membuatku senang dan menghilangkan stress yang melanda pasca melahirkan. Wanita paruh baya itu, banyak tahu medis karena dulu saat muda sempat bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Fatma ke kamar kami pasti ingin mengantarkan kue itu.Tapi ... kenapa piringnya pecah? Apa dia terkejut karena semua kebohongannya dengan Mas Sabil akan terbongkar?"Ah
Mobil yang dikendarai Javier terus melaju menuju bandara. Walau pun, belum dapat kepastian, apakah mereka bisa bertemu, sebab nomor Dokter Rendra belum aktif dan ia belum mendapatkan balasan tadi, untuk saling memberi tahu di mana lokasi mereka akan bertemu. Seperti yang dipesankan oleh sang Mama bahwa ia tak boleh terlambat. Tak enak rasanya pada pria yang bertanggung jawab dan banyak membantu sang Mama dalam proses penyembuhan. Jika sampai ia membuat pria itu tak nyaman sebab menunggu terlalu lama.Sekitar setengah jam memacu mobil dengan kecepatan lebih dari biasa, akhirnya mobil sport berwarna silver milik Javier memasuki area Bandara. Ia kemudian mencari tempat parkir yang kosong untuk menepikan mobilnya. Begitu mobil itu berhenti dan Javier mematikan mesin, ia pun bergegas ke luar menuju lobi Bandara di mana kebanyakan pengunjung menunggu di sana.Merasa ini sudah lebih dari waktu pesawat landing seperti yang Mamanya –Rania katakan, Javier kemudian mengeluarkan ponselnya sembar
_______________ Akan tetapi, dengan cepat pula Deandra mengingatkan dan meyakinkan kemenangan pada dirinya sendiri.‘Tak apa Dee, ini baru dimulai. Perjuangan masih panjang. Kamu bahkan belum tahu bagai mana aslinya Javier seperti apa? Bagai mana juga perasaannya terhadapmu. Masih banyak waktu untuk belajar. Lagi pula ... bukankah kamu bilang tidak menginginkan hal lebih ... jadi jangan memaksakan waktu untuk mengubah semuanya. Kamu harus ikhlas jika kelak, Javier tak menginginkan hal lebih selain sekadar status pernikahan.’“Oh ya, untuk ke depan, selama aku belum ada pekerjaan baru di kota, mari kita berbagi tugas. Bergantian memasak.” Javier membuat sebuah gagasan untuk meringankan beban Deandra.“Ah, itu tak perlu Jav, aku akan melakukannya. Itu bukan hal yang berat.” Deandra menyahut. “Lagian aku merasa bingung sendiri jika tak ada pekerjaan.” Deandra menyahut. Dia bahkan sudah berhenti bekerja. Kalau di rumah juga dikurangi pekerjaannya, dia akan jadi pengangguran dan tidak tah
Azalia dan Afif telah kembali dari hotel. Sebenarnya jatah menginap mereka ada tiga hari. Akan tetapi, sepasang suami istri itu bersepakat, bahwa mereka ingin pulang lebih dulu dan hanya mneghabiskan waktu bermalam satu hari saja. Pagi hari ke duanya sudah berada di rumah Afif yang dulu sempat Azalia tinggali juga dengan Kania. Pada siang hari tanpa diduga, orang tua Afif datang berkunjung ke rumah mereka, begitu tahu kalau Azalia dan Afif sudah berada di rumah.“Mereka ini apa –apaan? Padahal dapat jatah tinggal tiga hari dan gratis malah disia –siakan. Ckck. Mbak Rania bisa kecewa kalau tahu.” Mama Afif bicara selagi berjalan seiringan dengan sang suami ke luar dari mobil menuju rumah yang anak mereka tinggali.Tidak tahu kenapa, rasanya ia ingin terus mengomel sepanjang hari ini. Ada saja hal yang membuat wanita paruh baya itu merasa kesal.“Kalau begitu jangan sampai Mbak Rania tahu,” jawab suami enteng. Kakinya terus melangkah tanpa beban. “Barang kali, Azalia merasa tidak enak b
“Ehm, saya sebenarnya terkejut saat Afif mengatakan harus bertanggung jawab pada seorang gadis yang dia hamili.” Suara Mama Afif menciptakan ketegangan di antara empat orang yang saling dekat karena anak –anak mereka terikat dalam hubungan pernikahan.Wajah –wajah yang tadi dihiasi senyum kini dalam sekejap berubah masam. Begitu juga Papa Afif yang kemudian menggenggam tangan sang istri, agar mengendalikan diri. Karena tak enak pada tuan rumah yang sudah menerima mereka dengan baik, bahkan menyuguhkan makanan dan minuman. Dari awal hingga akhir, bahkan dalam obrolan, orang tua Azalia tidak sekali pun bersikap memuakkan sebagai wali, membahas dan menuntut kehidupan seorang istri pada suaminya.Ibu Afif menoleh sesaat pada sang suami. Ia paham maksud pria itu. itu juga kenapa Ibu Afif kemudian menatap ke arah pria itu dengan anggukan kecil. Bahwa semua akan baik-baik saja. itu yang dia ingin katakan. Dia tahu apa yang dia lakukan. Dan tak akan membuat suaminya malu.Bukankah dia orang
“Dokter Rendra sudah di Bandara, Dek!” Suara mantan Ibu mertua Azalia menghentikan gerakan tangan mengaduk kopi yang akan disuguhkan untuk suami, Ibu dan Bapak mertua Azalia.Bagaimana tidak? Nama yang disebut wanita paruh baya itu adalah nama lelaki yang dulu sempat merusak masa depan dan impian Ibu Azalia.“O ya, apa aku perlu menjemput, Mbak?!” tanya Bapak Afif yang mendekatkan kepala ke arah ponsel yang dipegang sang istri dengan antusias.Bapak Amir, bahkan tak menatap ke arah sang istri meski nama mantan kekasih istrinya diteriakkan di depan mereka. Yah, Mas pria itu mana tahu hati sang istri dan rasa sakit yang pernah didapat dari pria itu dulu. Dia memang tak pernah ingin peduli dengan itu. Bahkan suaminya itu tidak tahu seperti apa wajah pria bernama Rendra itu.Bapak Amir masih tersenyum. Dia tidak tahu, apakah Rendra, dokternya Rania dan Rendra mantan kekasih Fatma adalah pria yang sama. Meski penasaran, ia memiliih menahan diri untuk bertanya dan mencari tahu. Pikir Dendi,
Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengandung Kania dulu.“Aku tidak sepayah itu.” Azalia membantah pemikiran suami tentangnya.Melihat bagaimana Azalia protes, Afif hanya tersenyum sembari terus melangkah. Namun, belum lagi langkah pria itu mencapai kamar mandi hotel, panggilan lembut dari wanita yang bersamanya di kamar hotel tersebut menghentikan langkah Afif.“Mas Afif.”“Ya?” Afif menoleh dengan raut wajah dipenuhi tanya. “Kamu memerlukan sesuatu?” tanyanya lagi.Azalia tersenyum kecil. Lalu menggeleng pelan. “Makasih, ya, Mas.”Ia tak tahu bagaimana nasibnya pasca tahu bahwa suami sebelumnya adalah kakak kandungnya dan mereka terpaksa bercerai. Mana ada laki –laki baik dan dari keluarga baik –baik mau menerima seorang janda, hamil pula. Afif juga seorang pemuda yang memiliki pendidikan yang baik.Karena per
Di kamar Azalia dan Afif ....“Kita sholat dulu, ya.” Afif mengucap lembut begitu masuk ke dalam kamar.“Nggak bongkar koper dulu?” tanya Azalia lemah. Perempuan ayu itu melepas kerudungnya perlahan. Ia jadi ingat bagaimana dulu melewati malam pertama dengan Javier, mereka tak sempat saling berjauhan seperti pernikahannya dengan Afif sekarang. Sangat berbeda. Karena bahkan, Javier lah yang melepaskan kerudungnya pertama kali dan melihat auratnya.‘Apa karena ini pernikahan ke dua. Jadi begini rasanya. Berbeda dengan pernikahan dengan Mas Javier yang terus dipenuhi debar –debar. Semua rasanya B aja.’“Biar aku saja nanti yang membongkar dan merapikannya.” Afif menyahut selagi langkahnya bergerak ke arah kamar mandi. Ia perlu untuk membersihkan diri, dan kemudian berwudhu. Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengan
“Fatma.” Suara berat seorang pria nyaris membuat jantungnya copot.“Mas.” Suara Fatma tercekat.“Kamu masih cantik seperti dulu.” Rendra tersenyum tipis menatap ke kedua mata Fatma yang sayu karena usia."Rendra?!" Mata Fatma membulat. Nyaris saja dia pingsan karena syok. Untungnya ada Amir yang dengan sigap menangkap tubuh sang Ibu yang oleng."Bu, ada apa?" tanya anak bungsu Fatma.Wanita itu lekas menggeleng. "Ah, Ibu nggak papa." Fatma berbohong dan lekas memperbaiki posisi. Dia harus berusaha keras mengendalikan diri, agar Amir tidak tahu kalau pria yang berdiri di depannya, adalah seseorang yang datang dari masa lalunya.“Benar kah, Bu?” Amir tak percaya. Menatap ke arah Ibunya secara intens lalu pada pria yang memiliki tatapan nakal pada Fatma di depan mereka.“Anda siapa?” tanyanya pada pria yang Amir yakini jadi sebab ibunya bertingkah seperti sekarang.Rendra kemudian tersenyum. “Kenalkan. Saya Rendra. Dokter Rendra. Dokter yang ditunjuk untuk merawat Ibu Rania.”Mata Fatma
“Ada apa?” Deandra memberanikan diri bertanya pada pria tampan yang kini tengah duduk di sampingnya sebagai mempelai pria. Ia tak tahan melihat bagaimana Javier menatap ke arah Azalia dengan cinta, padahal sudah sangat jelas kalau mereka tidak akan pernah bisa bersatu. Dan sekarang, sudah ada yang menggantikan posisi Javier di sisi Azalia serta menjaganya. Juga sudah ada Deandra yang kini bersamanya menggantikan kedudukan Azalia. “Ah, ya?” Javier menoleh, ia terlalu fokus pada hal lain sampai –sampai tak memahami ketika Deandra mengajaknya bicara. “Aku ... baik –baik saja.”“Heh.” Deandra tersenyum miris. “Aku tidak sedang menanyakan keadaan kamu, Jav.” Perempuan yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih tulang itu menggumam. Namun, gumaman itu terdengar di telinga Javier meski pun pelan. Javier menarik salah satu sudut bibirnya mendengar itu. Tampaknya Deandra mulai bosan menghadiri pernikahan ini.‘Jadi, apa sebenarnya dia juga terpaksa untuk menikah dan tidak bahagia menikah