Sasya mengerjapkan mata untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Ia mencoba mengingat apa yang telah ia lakukan sebelumnya. Ia menatap bingung kala seragam sekolah masih melekat pada tubuhnya.
Sasya menutup mulut dengan telapak tangan. "Hooaaaam! Astagfirullah, kok, ketiduran?"
Sasya langsung mendudukan tubuh yang mirip buah pir itu. Ia menggeleng pelan guna mengembalikan seluruh kesadaran. Setelah sadar hampir seratus persen, ia segera melangkah menuju kamar mandi.
Setelah 15 menit lamanya, pintu berwarna merah muda itu terbuka. Menampakkan gadis cantik dengan baju santai berwarna hijau daun yang sangat cocok di tubuh pirnya. Ia mengarahkan kakinya menuju meja belajar untuk mengambil mukena hitam bercorak abu-abu. Kemudian, ia menunaikan kewajiban salat Asar.
Setelah selesai shalat, Sasya tak sengaja mendengar suara ponsel yang berdering-dering. Dengan segera, ia melipat mukenanya dan menggapai benda pipih yang terletak di atas meja belajar tersebut.
"Halo, My Boss!"
"Hm."
"Gue ada kabar baik, Boss. Pasti lo seneng dengernya."
"Cepet ngomong!"
"E-e-iya, Boss. Ketua geng Dangerous ngajak lo tanding lagi."
"Ck! Mereka belum kapok ternyata," gumamnya yang tak terdengar siapa pun.
"Kapan?"
"Nanti malam, Boss. Jam 11 di tempat biasa."
"Oke."
Sasya segera mematikan panggilan telepon tersebut. Senyum indah terpatri di wajahnya. Ia sangat senang lantaran mendapat kabar dari anggotanya.
***
"Makasih, Pak," ucap Sasya seraya menyodorkan selembar uang sepuluh ribu rupiah dan lima ribu rupiah kepada pengemudi ojek online yang mengantarnya tadi.
Sasya melenggang pergi menuju kelas yang kemarin ia datangi. Seperti biasa, ia hanya memandang lingkungan sekolah dengan raut wajah datar.
Sesampainya di sana, ia mengedarkan pandangannya ke kanan dan kiri secara bergantian. Berbagai pertanyaan muncul di dalam benaknya. Namun, ia urungkan saat pundaknya ditepuk oleh seseorang.
Pelaku itu melambaikan tangan kanannya. "Hai! Ketemu lagi kita."
Sasya menatap bingung gadis yang ada di hadapannya sekarang. Ia merasa tak kenal dengan gadis itu, tetapi sikap gadis itu seolah-olah sudah pernah kenal dengan Sasya.
Tak ingin larut dalam pemikiran yang tak ada ujungnya. Sasya menaikkan sebelah alisnya pertanda bertanya. Gadis itu mengangguk sebagai tanda mengerti.
Ia menarik paksa tangan kanan Sasya untuk bersalaman dengannya. "Kenalan ulang, ya. Inget, nama gue Zelda Alviana, biasa dipanggil Ana. Orang yang duduk di samping lo waktu MPLS kemarin."
Sasya hanya mengangguk. Ia tak berniat untuk senyum sama sekali kepada Ana. Ia melepaskan tangan kanannya yang ditarik paksa oleh Ana. Kemudian, gadis bertubuh sedang itu melangkah masuk menuju ruangan yang ada di hadapan. Namun, baru saja ia melangkah, tangannya dicekal oleh Ana.
Sasya menepis kasar cekalan tangan Ana. "Apalagi?"
"Ehehehe. Mmm ... lo duduk di sebelah gue, ya, ya, ya?" mohon Ana.
Ana menarik paksa tangan kiri Sasya dan berjalan memasuki ruangan itu. Sasya hanya pasrah menerima perlakuan temannya ini. Apakah ia berhak menyebutnya teman? Padahal, ia baru bertemu dengan Ana kemarin dan sekarang.
"Nah, lo duduknya di kursi dekat tembok. Enak tuh bisa senderan di tembok," kata Ana dengan mengarahkan jari telunjuknya tepat pada meja ketiga dari sisi pintu.
Sasya segera menduduki kursi yang ditunjuk oleh Ana tadi. "Ini mah tempat gue taruh tas kemarin," batin Sasya. Kemudian, Ana pun ikut menjatuhkan bobot tubuhnya di sebelah tempat duduk teman barunya itu.
Ana menoleh. "Hmmm ... kok, belum mulai acaranya, yah?"
Sasya hanya mengedikkan bahunya tak acuh sebagai jawaban. Ana membuang napas gusar atas perlakuan teman barunya itu.
Ana mengangguk. "Oh, oke."
Ana tersenyum lebar hingga menampilkan lesung di pipi kanannya. Sasya menatap sekilas wajah Ana. Lalu, ia kembali fokus pada ponsel hitam yang ada di tangan.
Seketika penghuni ruangan itu berlarian menuju tempat duduk mereka saat suara bel masuk terdengar jelas di telinga mereka. Sasya segera memasukkan ponselnya ke dalam tas.
Sedari tadi, netra Ana tak lepas dari gerak-gerik yang dilakukan oleh Sasya. Sasya menatap heran gadis yang ada di sampingnya. "Ini orang ngapain liatin gue mulu, ya?" tanyanya dalam hati.
Ana mengalihkan pandangannya ke depan saat terdengar suara ketukan pintu kelas. Ia menyipitkan mata kala melihat seorang pemuda yang sedang berjalan menuju meja guru. Tanpa sadar, mulutnya terbuka lebar melihat ketampanan paras lelaki tersebut.
Sasya mengerutkan dahinya kala melihat ekspresi aneh Ana. "Ini orang kenapa, ya? Stres kali," tebak Sasya dalam hati. Ia mengikuti arah pandang gadis di sampingnya itu.
Pandangan mata mereka bertemu. Suara seseorang memanggil pun tak mereka dengar. Dunia seakan milik mereka berdua.
Sasya memperhatikan dengan jelas setiap inci wajah milik pemuda itu. Sungguh, Sasya sudah tak asing lagi melihat wajahnya. Ia mencoba mengingat siapa sebenarnya lelaki tersebut. Sepertinya, memori otak menolak untuk mengingat.
"Orang itu siapa, sih?" gumamnya.
Tiba-tiba ada telapak tangan menepuk pelan bahu milik pemuda berhidung mancung tersebut. Seakan tersadar, ia segera memutuskan kontak matanya dengan gadis pemilik mata sayu itu. Ia menghadap seseorang yang menepuk bahunya tadi.
"El, lo kenapa? Gue panggil dari tadi juga. Lo kenapa bengong?" tanya Ari dengan nada suara panik.
Tampak tak ada tanda-tanda jawaban dari si pemilik nama. Ari dibuat semakin panik dengan tingkah sahabatnya ini.
"El, lo kenapa?" tanya Ari lagi dengan nada sedikit tinggi.
El tersadar dari lamunannya. "Hah! Kenapa emangnya?"
Ari mengernyitkan dahi kala mendengar respon yang keluar dari mulut temannya itu. "Gue nanya malah nanya balik," gerutu Ari dalam hati.
Ari memutar bola mata jengah. "Ck! Dahlah lupakan!"
Mendengar pernyataan Ari, El hanya mengangkat bahu dan memutar tubuhnya untuk menghadap peserta MPLS yang sedari tadi memperhatikan tingkahnya.
Lelaki itu menetralkan detak jantung yang terus menerus berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Ia berdeham pelan untuk menyembunyikan rasa gugup itu.
"Maaf, ada sedikit kesalahan teknis tadi," ucap Ari dengan senyuman manis andalan miliknya, sehingga menampakkan lesung yang timbul di pipi kirinya itu.
"Udah, Kak. Jangan senyum, bahaya. Jantung Ana serasa ingin lari dari tempatnya," gumam Ana dengan pandangan tak lepas dari netra abu-abu milik Ari.
Ana melepas tangan yang sedari tadi digunakan untuk menopang dagu. Ia segera menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang ia duduki sekarang.
"Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh." El tersenyum tipis, sangat tipis, sehingga tak terlihat bahwa ia sedang tersenyum kepada penghuni kelas tersebut.
"Senyum, El, Senyum," bisik Ari.
"Gue udah senyum," protes El dengan nada pelan agar tak terdengar adik-adik kelasnya.
"Waalaikumussalam Warohmatullohi Wabarokatuh!" balas semua peserta MPLS dengan nada bersemangat.
Tentu saja mereka sangat bersemangat hari ini karena kedua lelaki tampan yang ada di hadapan mereka akan menjadi pembimbing selama acara MPLS dan kepramukaan berlangsung.
"Gue El, Ketos di SMA GG. Kami berdua dari kelas XII IPA 3," tutur El.
El mengangkat sudut kanan bibirnya kala melihat mata sayu gadis yang duduk di meja ketiga dari sisi pintu. Namun, sang empu hanya bersandar pada dinding kelas dengan raut wajah datar.
"Waah! Kakak ganteng ternyata Ketos. Aaaa! Makin meleleh, deh, Eneng."
"Kak, udah punya pacar belum?"
"Kak, tanggal lahirnya kapan? Aku mau kasih kado, nih. Hehe."
"Wah! Kak Ari juga gak kalah ganteng, kok. Aku berpihak padamu, Pangeran tamvanku, Ari." Ari tertawa kecil saat mendengarnya.
"Ck! Gantengan Kak El."
"Kak, suka makan apa? Nanti aku traktir di kantin, deh."
"Aaaa! Mamaaa! Calon menantumu ada di sini."
"Hah, hah, hah, aduh! Aku kehabisan oksigen. Kak Ari, jangan senyum, dong! Bisa-bisa aku mati di sini lihat senyum Kak Ari!" teriak salah satu gadis, hingga pemilik nama menoleh dan semakin melebarkan senyumannya.
Begitulah beberapa celotehan dan pujian dari penghuni ruangan itu untuk dua lelaki tampan yang setia berdiri di hadapan mereka. Lain Ari, lain juga El.
Senyum manis milik Ari tak pernah luntur dari wajah tampannya. Lesung di pipi kirinya menambah kadar ketampanan lelaki yang dijuluki Pangeran oleh adik kelasnya tadi.
El hanya memasang raut wajah datar dan dingin yang menjadi andalan. El memutar bola mata malas kala mendengar celotehan yang menurutnya sangat tak bermutu untuk didengarkan.
Sasya mengetuk pelan meja. "Ck! Lebay."
Hanya kalimat itu yang keluar dari bibir tipis milik Sasya. Sedari tadi ia hanya berdecak kesal melihat teman-teman di kelasnya memuji dan terus memuji El dan Ari.
Ana? Ia setia memandang pemuda di samping El itu. Ia senantiasa melontarkan pujian dari bibir merah muda alami miliknya. Betapa indahnya ciptaan Engkau, Ya Allah. Seperti itulah kalimat yang keluar dari bibirnya.
Lagi-lagi El tersenyum tipis kala netra cokelat terangnya berpapasan dengan netra cokelat gelap milik gadis itu. Sedangkan gadis itu langsung mengalihkan pandangannya pada wajah cantik Ana. Unik, satu kata yang tercetak di benak El saat ini.
"Ehm ... udah selesai mujinya?" tanya Ari untuk memecah keriuhan yang terdengar di kelas itu.
"Sudah, Kak," jawab sebagian dari mereka.
Ari mengangguk. "Oke, langsung aja, ya. Dari jam 08.00-09.30, kami akan memberi materi mengenai SMA GG ini. Habis itu, istirahat dulu 30 menit. Lalu, dilanjut pukul 10.00-12.00, kita main game, setuju?"
Ari menyapu pandangannya ke seluruh peserta MPLS itu. Ari melihat mereka menggangguk sebagai isyarat setuju.
"Oke, dikarenakan sekarang masih jam 8 kurang 15 menit, ada 15 menit untuk kalian bersiap-siap. Jangan lupa keluarkan buku catatan, pulpen, tipe-x. Jangan lupa juga, matikan handphone kalian atau silent aja karena ini merupakan salah satu sikap menghargai seseorang. Paham?"
❄
Para cacing di perut mereka seperti sedang mengadakan konser dangdut. Meronta-ronta minta diisi oleh si pemilik tubuh.
Tak beda jauh dari mereka, para penghuni gugus 5 pun ikut meramaikan surga dunia bagi para pelajar itu. Mereka sedikit berlari lantaran waktu istirahat hanya sampai 30 menit saja. Jadi, mereka harus memanfaatkan waktu tersebut dengan sebaik-baiknya.
Lain halnya dengan Sasya. Ia tak perlu pusing-pusing lagi mengantri di kantin sekolah. Cacing di perutnya masih bisa diajak kompromi. Kenapa bisa? Karena ia masih kenyang setelah memakan nasi goreng buatannya di apartemen tadi pagi.
Sekarang, hanya tersisa Sasya di kelasnya. Teman-teman yang lain sudah pergi ke kantin barusan. Kini, hanya kesepian yang menemaninya.
Apakah Sasya harus protes?
Tidak!
Sasya sangat senang kesunyian. Ia tak perlu repot-repot mengeluarkan tenaga untuk mendengar celotehan-celotehan yang tidak berfaedah dari orang lain.
Tampaknya Sasya tak sadar bahwa ia sedang diperhatikan oleh pemuda yang berdiri di bibir pintu kelas tersebut. Sudah sedari tadi, pemuda itu memperhatikan gerak-gerik Sasya.
Lelaki berjas biru itu memasang baik-baik indra pendengarannya. Ia siap mendengarkan percakapan Sasya dengan seseorang melalui via telepon.
"... "
"Iya, gue berhasil ngalahin dia."
"..."
"Cuma lecet doang. Udah gue bawa ke bengkel."
"..."
"Sore."
"..."
"Sorry, gue gak bisa dateng. Lo urus Cafe TSG dulu. Gue mau cek ke bengkel."
"..."
"Hmm ... iya, iya, bawel."
"..."
Pemuda tersebut mengerutkan keningnya mendengar percakapan Sasya di telepon. Ia tak berhasil mendengar jelas semuanya. Hanya ucapan Sasya yang berhasil ditangkap oleh kedua telinganya.
"Ngomongin apaan, sih?" tanyanya dalam hati.
"Kayak ada yg merhatiin," gumam Sasya.
Sasya berdiri dan menyusuri setiap sudut kelas tersebut untuk membuktikan keganjalan itu. Ia tak melihat seseorang pun dari dalam kelas. Ia mengedikkan bahunya tak peduli dan melanjutkan aktivitas bermain ponsel.
Fyuh!
"Untung gak ketauan." Lelaki itu menyandarkan punggungnya di balik dinding tempat Sasya bersandar.
"Kalo ketauan, bisa dicap sebagai tukang nguping, nih."
Tarik napas ... buang.
Tarik napas ... buang.
Tarik lagi ....
"El ... lo ngapain di situ?"
Degh!
"Mati lo, El!" batinnya merutuki diri sendiri.
Mentari tak malu-malu menyengatkan sinarnya, hingga menembus jendela-jendela kelas SMA Negeri Graha Gemilang. Namun, tak tampak rasa gerah menyelimuti siswa-siswi di ruangan itu. Bahkan, hawa sejuk menerpa tubuh mereka yang dibalut seragam putih abu-abu. Tampaknya, pendingin ruangan di sana bekerja dengan baik.Hari kedua Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah belum usai terlaksana. Buktinya, para peserta itu masih setia berada di dalam ruangannya. Sekitar 10 menit yang lalu, mereka kembali memasuki kelas setelah mengisi stamina tubuh di kantin tadi.Ari bangkit dari duduknya. "Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 tepat. Artinya, langsung aja kita mulai game-nya, ya."Sebagian peserta tersenyum senang. "Horeeeeee!"Suara riuhan tepuk tangan menggema di kelas itu. Suara gelak tawa pun terdengar hebat kala seorang pemuda terjatuh dari tempat duduknya. Ia berdiri sambil mengusap pelan bokongnya yang se
Rasanya hari ini merupakan hari Selasa terpanjang bagi hidup Sasya. Sebenarnya, ia sangat malas sekali menjalani hukuman seperti itu. Namun, ia tetap menjunjung tinggi harga diri.Tak mungkin ia lari dari kenyataan yang menyapanya. Gengsi-lah yang membuat Sasya bersedia menuntaskan hukuman itu, walau dengan sedikit rasa malas menguasai tubuhnya.Sasya berusaha menulikan pendengarannya saat penghuni kelas itu tak henti-hentinya memuji dan mencibir dirinya. Ingin sekali ia pulang ke apartemen untuk mengerjakan hal-hal yang lebih bermanfaat dibanding mendengarkan celotehan mereka.Rasa bosan perlahan menghampiri dirinya. Akhirnya, ia menyenggol pelan lengan Ari, hingga sang empu menoleh dan mengangkat sebelah alisnya sebagai isyarat bertanya 'ada apa?'."Udah?" tanya Sasya kepada Ari.Sasya bingung kala melihat Ari malah mengarahkan pandangannya kepada semua peserta yang ada di hadap
Sebuah ruangan dengan nuansa hitam putih menambah kesan simple ruangan itu. Di sana terdapat kasur yang terbalut seprai bola dengan didominasi warna hitam dan putih. Lemari kaca yang dipenuhi oleh piala-piala dan medali-medali juga tersedia disana.Ruangan yang tampak bersih, tanpa ada sedikit pun sampah yang berceceran. Berbagai buku pelajaran tersusun rapi di meja belajar. Sepertinya, pemilik kamar itu termasuk orang yang apik.Tampak seorang laki-laki berkacamata sedang berkutat dengan laptop-nya. Ia mengamati satu per satu data peserta Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah di SMA GG tahun ini. Aktivitasnya terhenti kala ia melihat salah satu foto peserta yang wajahnya tak asing."Finally ... Maesya Apriliana Zhafran."Decitan pintu terdengar jelas di telinga lelaki itu. Ia menoleh ke arah pintu. Senyumnya terpancar kala melihat wajah menenangkan dari Bunda tercinta. Ia segera melep
Cerahnya mentari menghiasi lapangan luas SMA Negeri Graha Gemilang. Banyak remaja berseragam putih abu-abu yang duduk memenuhi setengah lapangan itu. Mereka sedang bercengkerama satu sama lain. Tampaknya, acara hari ini membuat para peserta MPLS semakin akrab. Demo ekskul. Mereka sangat antusias dengan acara ini. Tentu saja, mereka akan disuguhi penampilan spektakuler dari kakak-kakak ekskul di SMA GG. Tujuannya agar siswa-siswi baru itu tertarik dan ingin bergabung dengan ekskul kesukaannya. Rupanya, SMA GG sangat layak dijuluki sebagai 'sekolah favorit' di kota ini. Bukan hanya dapat ditempati oleh siswa-siswi berprestasi saja, tetapi ekstrakurikuler disana pun banyak dan tentunya menjadi kebanggaan sekolah itu. Satu per satu pembawa acara menyebutkan ekstrakurikuler yang akan tampil. Mulai dari basket, voli, futsal, silat, paskibra, badminton, kabaret, art and design, KIR atau Karya Ilmiah Remaja, pramuka, w
Seorang gadis sedang berjalan santai menyusuri perumahan cluster yang berada di pusat kota Jakarta. Bangunan-bangunan bertingkat yang berhimpitan satu sama lain, memiliki gaya minimalis dan modern.Sasya mengenakan busana hitam yang dipadu dengan warna putih. Kaos hitam kebesaran yang sengaja ia masukkan ke dalam celana kulot hitamnya, hingga menciptakan penampilan yang kasual dan minimalis.Tampilannya semakin modis dengan sneaker putih yang melekat di kedua kakinya. Ia menyematkan topi putih di kepalanya dan menyampirkan tas selempang hitam di bahunya yang menambah kesan elegan dan juga modern.Terdapat beberapa sub-kompleks dengan desain rumah yang berbeda-beda, tetapi tak ada satu pun pagar yang berdiri di depan rumah itu. Hanya terdapat satu gerbang utama yang dijaga ketat oleh satpam.Sasya menghentikan langkahnya tepat di depan rumah nomor sepuluh dari gerbang kom
Suara azan Magrib mendengung di seluruh penjuru SMA Negeri Graha Gemilang. Kaum Adam berbondong-bondong memasuki area masjid di dalam sekolah. Mereka berlarian untuk berwudu dan menduduki saf paling pertama.Seiring waktu berjalan, setiap saf mulai ditempati para jemaah laki-laki. Muazin pun mulai mengumandangkan ikamah. Mereka berdiri dan bersiap untuk menunaikan salat berjemaah.Durasi yang terbilang cukup singkat, mereka telah selesai menjalankan kewajiban sebagai umat muslim. Satu per satu, mereka meninggalkan area masjid dengan candaan dan tawaan yang mengiringi langkah mereka.Beramai-ramai, mereka menelusuri koridor sekolah yang sedikit terang. Langit yang gelap dan suara merdu jangkrik menjadi pelengkap kebersamaan mereka.Mereka mengarahkan langkahnya menuju kawasan khusus laki-laki. Perlahan, gerombolan laki-laki itu menghilang dari koridor. Mereka semua memasuki baraknya masing-masing.
Hari Minggu merupakan hari yang paling ditunggu-tunggu kehadirannya oleh kebanyakan orang. Hari yang digunakan untuk beristirahat sejenak selepas melakukan aktivitas rutin di hari kerja.Tak bisa dipungkiri, anak sekolah pun ikut menuntut kebebasan di hari yang spesial itu. Walaupun, hanya sekadar menjernihkan otak usai menggarap ilmu yang tak sedikit di sekolah.Buktinya, seorang pemuda tengah duduk bersantai di atas sofa sambil menonton acara televisi kesukaannya. Sesekali, ia tertawa saat menyaksikan adegan lucu dari televisi itu.Seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster kekinian, menghampiri pemuda tersebut. Ia terus menerus memanggil nama pemuda itu. Namun, tak terdengar sahutan dari sang empu. Mungkin, pemuda itu tak mendengar panggilannya, pikir wanita itu.Sesampainya di sana, wanita itu langsung duduk di samping pemuda tersebut. Merasa ada pergerakan di sofa, pemuda itu menoleh dan mendapa
Tap, tap, tap! Seorang pria berpakaian dinas sedang berjalan di koridor lantai dasar SMA Negeri Graha Gemilang. Ia menyapa setiap orang yang tak sengaja berpapasan dengannya. Senyuman manis senantiasa terlukis di pipinya yang sedikit gembul. Derap langkahnya terhenti di depan pintu kelas X IPA 7. Ia mengetuk pelan pintu yang menjulang tinggi di hadapannya. Merasa tak ada respon dari dalam, ia membuka pintu itu dan melangkah masuk ke dalam kelas tersebut. Ia duduk di kursi guru. "Assalamualaikum ... selamat pagi, murid-muridku tercinta." "Waalaikumussalam, bapak guruku tercinta," balas semua murid dengan tersenyum kikuk, kecuali seorang gadis yang duduk sendiri di pojok kelas. "Sudah masuk semua? Atau ... masih ada yang di luar?" tanya pria itu dengan nada lembut. Semua murid saling pandang, kecuali gadis itu. Mereka bertanya melalui kode mata. Selam
Siapa yang tidak bahagia memiliki saudara kembar yang identik?Semua orang pasti menjawab, "Ya, aku bahagia. Bahkan, sangat bahagia."Memang benar memiliki saudara kembar identik itu sangat menyenangkan. Ke mana-mana selalu berdua. Mengerjakan PR selalu bersama. Bahkan, sering kali mereka tidur dalam satu kamar.Akan tetapi, bagaimana rasanya jika suatu saat dibanding-bandingkan dengan kembarannya?Apa rasanya jika kasih sayang yang diberikan tidak seimbang?Pedih, perih, dan sakit. Mungkin ketiga kata itulah yang paling cocok untuk perasaan Arshad sekarang.Arshad tak minta dilahirkan ke dunia, tetapi Tuhan telah menakdirkan kehadirannya di sini, di dunia yang amat kejam baginya, di dunia yang penuh tekanan dan cacian untuknya.Terlahir dari keluarga kaya raya tak membuat hidupnya sedikit pun disinggahi kata damai. Hidup bergelimang harta tak membuat kese
Matahari tampak jelas semakin menjauh dari penglihatan seorang gadis cantik bernama Sasya. Rona merah jingga mulai menyelimuti langit ibukota Indonesia. Embusan angin sejuk terus menerpa tubuhnya. Dedaunan pohon menari-nari kala angin meniupnya.Sasya melirik jam yang ada si ponselnya. Sudah pukul 17.00 WIB rupanya. Ia telat pulang karena harus menghadiri rapat di ruangan OSIS tadi. Ini semua gara-gara Rendy. Sasya terus saja mencibir Rendy yang selalu lari dari tanggung jawabnya."Ish, ini kenapa pada di-cancel semua, sih?" gerutu Sasya saat melihat pesanan ojek online-nya kembali dibatalkan.Ini sudah yang kelima kalinya. Kenapa selalu ditolak? Sasya mencoba untuk memesan ojek online lagi. Ia berharap semoga ini menjadi kereta yang mengantarkannya pulang ke apartemen.Sasya mengusap kasar wajahnya. Ia mengentak kesal dengan keadaan. Lagi-lagi pesanannya ditolak. Benar-benar tak ada yang mengerti Sasya sekarang. Ia sudah lelah dan ingin segera reba
Selepas melaksanakan salat Zuhur, Dara dan Alma langsung menduduki sofa empuk di ruang keluarga rumah mewah milik Azhar. Mereka menonton televisi sambil berbincang-bincang untuk mengisi waktu luang mereka hari ini. Tak lupa juga keripik singkong balado sebagai pengganti pop corn seperti di bioskop-bioskop pada umumnya.Saat sedang tegang-tegangnya, acara sinetron itu bergeser menjadi penawaran sabun cuci piring yang terkenal di Indonesia. Dara menggeram kesal. Ia sedang asyik-asyiknya menonton, tiba-tiba berganti menjadi iklan seperti itu. Tak beda jauh dari Dara, Alma juga menggerutu tidak jelas sambil mencibir channel televisi yang sedang ditonton mereka sekarang.Saking emosinya, Dara sampai meninju-ninju bantal sofa yang ia letakkan di pangkuannya. Alma bergidik ngeri melihat kelakuan anaknya. Kesal boleh, tapi jangan sampai seperti itu juga kali, pikir Alma. Alma memperingatkan Dara supaya tenang dan tidak bertingkah aneh seperti tadi. Ia takut anaknya menjadi str
"Lo berdua mau pesen apa? Biar gue pesenin," ucap Ana saat baru sampai di kantin. Belum ada jawaban yang keluar dari bibir Sasya dan Tisa. Mereka sedang sibuk mencari tempat duduk yang kosong supaya bisa ditempati oleh ketiganya."Gue mie ayam sama es teh manis aja, deh," jawab Tisa sembari menarik tangan Sasya dan Ana untuk berjalan menuju pojok kantin. Hanya tersisa satu meja kosong yang bisa mereka tempati. Mereka duduk dengan posisi Ana berhadapan dengan Sasya dan Tisa."Gue pesen jus jeruk aja, ya," timpal Sasya dengan senyuman manisnya."Oke. Pake uang gue dulu. Jangan lupa ganti." Ana terkekeh. Sasya dan Tisa mengangguk. Ana melenggang pergi untuk memesan makanan dan minuman kepada Bu Endah, pemilik kantin.Sepeninggal Ana, Sasya dan Tisa tak henti-hentinya saling menyalurkan kerinduan. Mulai dari berpelukan, berbincang-bincang, tertawa, dan juga menangis karena bahagia. Sasya senang sekali bisa dip
"Ini sebenernya yang anak Bunda siapa, sih?" tanya El yang sudah jemu melihat kebersamaan Sasya dan Alma. Ia menatap jengkel Dara yang terus saja menertawakan nasibnya kali ini."Ututu ... anak Bunda yang satu ini lagi ngambek, toh." Tangan Alma terus saja menyisiri rambut hitam Sasya. Ia mulai mengepangi rambut Sasya seperti model daun.El melirik jam di pergelangan tangannya. "Sya, cepetan! Gue sebagai Ketos harus memberi contoh yang baik. Gak boleh telat.""Eh, kamu makan dulu, Arsa!" kata Alma sembari mengikat ujung rambut Sasya yang sudah dikepang. El melirik hidangan yang ada di hadapannya. Sedari tadi, ia hanya duduk di kursi tanpa tertarik untuk mencicipi masakan yang dibuat oleh Alma."Arsa gak nafsu, Bun," sahut El yang cemburu melihat kedekatan Sasya dan Alma.Arsa? Bukannya nama dia Kak El, ya? Ouh, mungkin Arsa itu nama panggilannya di rumah. Oh, iya. Tadi juga Kak Dara dipanggilnya Milka. Sasya membatin.
Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di tepi jalan raya. Kedua pintu mobil terbuka bersamaan. Menampilkan seorang lelaki dan perempuan dengan pakaian seiras yang melekat di tubuh keduanya. Ya, mereka El dan Dara. El yang berwajah datar itu mengitari mobil dan menghampiri Dara. Mereka berdua berjalan santai memasuki sebuah kedai bakso yang berada tepat di seberang apartemen terkenal di kota itu. Kedai Bakso Pak Malih. Tulisan yang tertera jelas di spanduk yang menggantung tepat di hadapan gerobak bakso tersebut. Banyak pengunjung yang berlalu lalang memasuki area itu. Hampir semua tempat duduk yang disediakan, telah ditempati oleh para pelanggan Kedai Bakso Pak Malih. Meja kedua dari pojok kedai itu tampak segerombolan perempuan sedang tertawa menanggapi lawakan dari satu temannya. Tatapan matanya bagaikan melepaskan kerinduan yang amat mendalam. Sepertinya, baru kali ini mereka kembali bersua. El dan Dara tampak kebingung
Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di tepi jalan raya. Kedua pintu mobil terbuka bersamaan. Menampilkan seorang lelaki dan perempuan dengan pakaian seiras yang melekat di tubuh keduanya. Ya, mereka El dan Dara.El yang berwajah datar itu mengitari mobil dan menghampiri Dara. Mereka berdua berjalan santai memasuki sebuah kedai bakso yang berada tepat di seberang apartemen terkenal di kota itu.Kedai Bakso Pak Malih. Tulisan yang tertera jelas di spanduk yang menggantung tepat di hadapan gerobak bakso tersebut. Banyak pengunjung yang berlalu lalang memasuki area itu. Hampir semua tempat duduk yang disediakan, telah ditempati oleh para pelanggan Kedai Bakso Pak Malih.Meja kedua dari pojok kedai itu tampak segerombolan perempuan sedang tertawa menanggapi lawakan dari satu temannya. Tatapan matanya bagaikan melepaskan kerinduan yang amat mendalam. Sepertinya, baru kali ini mereka kembali bersua.El dan Dara tampak kebingungan m
Seperti yang diucapkan oleh Dara tadi sore, El dan Dara akan pergi berkencan, atau lebih tepatnya reunian di salah satu kedai bakso. Selepas salat Isya, kedua kakak-beradik ini tengah bersiap-siap di kamarnya masing-masing. Hampir setengah jam, mereka tak kunjung keluar dari ruang pribadinya. Entah apa yang mereka lakukan di dalam sana. Cklek! Kedua pintu kamar yang saling berhadapan, kini terbuka bersamaan. Sudah tentu, El dan Dara yang membukanya. Mereka saling pandang satu sama lain. El menyorotkan netranya pada gadis yang ada di hadapannya kini. Ia melihat penampilan lawan jenisnya dari atas kepala, hingga ujung kaki. Begitu pun sebaliknya. Tampaknya, mereka telah merencanakan pakaian yang mereka kenakan kali ini. Bagaimana tidak? Keduanya memakai busana yang berbau hitam dan putih. Sungguh, mereka sangat kompak malam ini. Baju atasan berwarna hitam dan putih, alias monokrom melekat indah di tubuh Dara yang tinggi bak seorang mod
"Assalamualaikum, Bunda," ucap Arsa saat menutup pintu rumahnya. "Bunda ...," panggil Arsa. Tak ada sahutan dari siapa pun. "Lah, ini pada ke mana? Rumah, kok, sepi kek kuburan," kata Arsa sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang tamu. Arsa berjalan melewati ruang tamu yang cukup luas itu. Ia terus saja melangkah sampai di ruang keluarga. Remaja bertubuh jangkung itu melihat Alma yang sedang bersandar di sofa sambil serius menonton sinetron di televisi. Tak lupa, camilan yang selalu Alma masukkan ke dalam mulutnya. Mungkin Alma tak menyadari kedatangan dirinya. "Bunda," panggil Arsa seraya berjalan mendekati Alma dan duduk di sampingnya. Alma menoleh. "Eh, si bungsu udah pulang." Arsa menyalimi tangan Alma. "Iya, Bun. Tumben di sini? Biasanya, kalo sore Bunda lagi berduaan sama laptop." "Kayak apa aja berduaan." Arsa menyengir kuda sembari menggaruk tengkuknya yang sedikit gatal.