Seketika keringat membasahi pelipisnya. Tangannya mengepal kuat-kuat, seakan-akan ia siap meninju seseorang yang ada di depannya. Ya, sekarang papanya sedang berdiri tegak di hadapan sambil menatap sendu.
Zhafran tetap diam di tempatnya berdiri. Namun, sorot matanya memperhatikan penampilan gadis yang ada di depannya. Ia melihat anaknya dari atas sampai bawah dengah raut wajah tak percaya. Pria itu pun mengeluarkan suara untuk memecah keheningan.
"Nak, kok kamu jadi begini? Mana kerudung kamu? Terus, ini baju kenapa pendek? Itu juga, kok roknya pendek banget?" tanya Zhafran sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah rambut, baju, dan rok anaknya secara bergantian.
Namun, Sasya hanya menatap dingin Sang Papa tanpa berniat menjawab rangkaian pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Ia mulai melangkah meninggalkan sang Papa yang mematung di sana.
***
SMA Negeri Graha Gemilang, biasa disingkat menjadi SMA GG, merupakan salah satu sekolah favorit di daerah Jakarta. Sekolah bergengsi yang hanya bisa disinggahi oleh siswa-siswi berprestasi, baik dalam bidang akademik maupun non-akademik.
Tampak gedung bertingkat dua berwarna putih dan bergaris abu-abu yang berjejer di sana. Tersedia pula, gazebo yang luas di halaman depan sekolah. Di sekitar gazebo, terdapat tanaman hias berwarna-warni yang menambah keindahan sekolah itu. Tak lupa, pepohonan kecil di pinggir gazebo yang menambah keasrian SMA GG. Gazebo dibangun guna membantu siswa-siswi agar lebih dekat dengan alam.
Gadis itu hanya menatap datar bangunan tinggi yang ada di hadapannya sekarang. Ia telah sampai di sekolah beberapa menit yang lalu. Sedari tadi, ia hanya mematung di depan gerbang SMA GG.
Gadis itu melewati gerbang dengan raut muka datar. Apakah ia tak terkejut sama sekali dengan keindahan sekolah itu? Atau ... ia hanya menjaga image agar tak terkesan norak? Ya, mungkin hanya dia dan Allah yang tahu jawabannya.
Sasya menghentikan langkahnya tepat di bawah lorong sekolah. Ia mengeluarkan ponsel berwarna hitam yang sedari tadi berada di dalam tasnya. Lalu, ia menekan tombol on di sisi kiri benda pipihnya tersebut. Ia menatap layar yang menampilkan gambar anak kecil berhijab cokelat susu, wanita paruh baya dengan hijab marun yang melekat di tubuhnya, dan pria paruh baya tengah merangkul pundak kedua perempuan itu.
"Baru jam setengah 7," gumam Sasya.
Sasya mulai melangkah meninggalkan lorong itu. Tak lupa, ia memasukkan kembali ponsel yang sempat ia keluarkan tadi. Seketika ia menghentikan langkahnya saat ada gelombang suara yang masuk ke dalam telinganya.
"Perhatian! Perhatian! Kepada seluruh peserta MPLS agar segera memasuki lapangan sekolah karena Apel Pembukaan MPLS akan dilaksanakan pada pukul 7 tepat. Untuk pembagian gugus, sudah kami beritahu lewat e-mail 2 hari yang lalu. Jadi, bagi peserta yang masih kesulitan menemukan kelasnya, harap datang ke sumber suara!" Sasya segera melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda.
***
"Gugus 5," gumam Sasya saat membaca kertas pengumuman yang menempel di pintu kelas.
Cklek!
Sasya menyapu pandangannya ke dalam ruangan yang ia singgahi sekarang. "Hmmm ... lumayan."
Di sana tampak tiga meja ke samping kiri dan lima meja ke belakang yang berbaris teratur. Terdapat beberapa tas yang ikut tersusun rapi di atas meja. Ia berjalan melewati dua meja yang terletak di samping pintu itu. Lalu, ia menghentikan langkahnya di pinggir meja ketiga dan menaruh tas di atas meja tersebut.
Sasya mengambil ponsel dari dalam tas dan menaruhnya ke saku kiri rok yang ia kenakan. Kemudian, ia segera bergegas menuju lapangan sekolah.
***
Sasya mengedarkan pandangannya ke arah kanan dan kiri secara bergantian. Ia melihat banyak orang yang mengenakan seragam persis seperti dirinya. Beberapa dari mereka ada yang berlari kencang dan ada yang berlari-lari kecil untuk menuju lapangan. Ia juga melihat beberapa orang yang berjalan santai dengan pandangan mata tak lepas dari ponsel.
Sasya hanya menatap datar orang-orang tersebut. Tak sedikit pun senyum terlukis di wajah cantiknya. Tak ingin berlama-lama, ia segera memasuki lapangan yang hampir dipenuhi oleh para peserta MPLS itu.
"Ehm ... selamat pagi!" sapa Ari yang tengah menggenggam mikrofon.
Seketika, para peserta memusatkan pandangannya pada pria yang berdiri membelakangi tiang bendera itu.
"Pagi, Kak!" balas segerombolan gadis yang berada di tengah lapangan sambil memasukkan ponsel ke dalam saku baju mereka.
Ari cemberut. "Kok cuma sedikit, sih, yang jawab?"
"Ulangi lagi, ya," pinta Ari.
"Selamat pagi!" ulang Ari dengan suara yang sedikit meninggi agar semua peserta dapat mendengar suaranya.
"Pagi, Kak!" jawab para peserta MPLS.
Ari mengangguk. "Oke, terima kasih atas perhatiannya. Pukul 7 tepat, bel sekolah akan berbunyi. Apel Pembukaan MPLS akan dilaksanakan setelah bel sekolah berbunyi. Jadi, segera masuk ke barisan sesuai gugusnya, ya!"
***
Pemuda berjas biru dongker mengambil alih mikrofon. "Seluruh peserta MPLS segera memasuki aula di samping perpustakaan!"
"Baik, Kak," jawab sebagian peserta MPLS.
Ari menepuk bahu tegap milik pemuda itu. "Udah, Bro?"
Pemuda itu mengangguk. Ia mengembalikan mikrofon kepada petugas pengurus audio di dekat sumber suara. Lalu, ia melenggang pergi menuju aula. Ari pun berlari kecil untuk menyamakan langkahnya karena tinggi badan Ari hanya sebatas telinga lelaki itu.
Sesampainya di depan aula, mereka mendudukkan bokongnya di atas bangku panjang. Lelaki pemilik netra cokelat terang itu mengambil benda pipih dari saku jasnya dan mulai hanyut ke dalam dunia maya.
"El, gue pergi ke kantin dulu, ya. Perut gue gak bisa diajak kompromi, nih. Lo mau ikut gak?" tanya Ari kepada El yang sedang fokus pada benda pipihnya.
El mendongak dan menggeleng sebagai jawaban. Ari membuang napas gusar sambil berjalan menuju kantin.
Mengapa sahabatnya ini selalu hemat bicara? Apakah ada tagihan menanti saat El berbicara? Atau ... El bisu? pikir Ari. Oh, tentu tidak. Tadi, El sempat mengucapkan sembilan kata di lapangan, sanggah Ari di dalam hati.
***
Sasya berjalan menuju aula yang terletak di samping perpustakaan. Sesampainya di ambang pintu aula, ia hanya melihat beberapa peserta yang sedang duduk di sana.
Sasya mengarahkan langkahnya menuju pojok kiri aula paling belakang. Lalu, ia mendudukkan tubuhnya dan mengeluarkan benda persegi panjang dari saku kiri roknya.
Sasya mulai fokus berselancar di akun media sosial miliknya. Sampai lupa, bahwa sekarang ia sedang berada di dunia nyata.
"Hai! Nama gue Zelda Alviana. Biasa dipanggil Ana," sapa gadis bertubuh ramping.
Ana mengulurkan tangan kanannya ke depan wajah Sasya karena posisinya sedang membungkuk di hadapan gadis itu. Ia berharap agar tangannya disambut hangat oleh gadis yang sedang duduk di hadapannya.
Sasya mendongak. "Sasya."
Sasya tak berniat sedikit pun membalas uluran tangan Ana. Setelah menyebutkan namanya secara singkat, ia kembali memusatkan perhatiannya pada benda pipih yang tengah ia genggam.
Gadis berambut hitam kecokelatan itu pun tersenyum. Lalu, ia mendudukkan tubuh rampingnya di samping Sasya. Ia berusaha membuang rasa sedikit kecewa yang hadir di dalam hatinya.
Tak ada satu pun yang mengeluarkan suara di antara mereka berdua. Hingga suara mikrofon dari depan aula memecah kecanggungan dua gadis tersebut.
"Ehmm ... ehem ... cek, cek ... satu, dua, tiga ... oke, bagus."
"Assalamualaikum, Adek-Adek!" sapa Ari bersemangat diiringi senyuman manis yang selalu menghiasi wajah tampannya.
"Wa'alaikumussalam, Kakak-Kakak." Ari tertawa kecil mendengar ucapan adik kelasnya itu.
"Sebelumnya, Kakak ucapkan terima kasih kepada kalian semua yang sudah hadir di sini. Perkenalkan nama Kakak, Ari Adrian Akbar. Biar akrab panggil aja Kak Ari atau Kakak ganteng," canda Ari sambil menyapu rambutnya ke belakang dengan tangan kanannya.
"Huuuuuuuuu ...!" sorak beberapa orang yang ada di situ.
Ari menggaruk leher belakangnya yang tak gatal. "Hehe, maaf, maaf. Tadi Kakak cuma bercanda. Tapi, kalau mau serius juga gak papa, sih. Hehehe."
Ari menormalkan mimik wajah gugupnya itu. "Di sini, Kakak menjabat sebagai wakil ketua OSIS."
"Oke, tak perlu basa-basi lagi, langsung saja kita mulai MPLS hari ini," imbuh Ari sambil menepukkan kedua tangannya.
Seluruh peserta ikut menepukkan kedua tangan mereka, sehingga menciptakan suasana meriah di dalam aula tersebut. Namun, hal itu tak berlaku bagi Sasya. Ia hanya berdecak kesal, kenapa semua penghuni aula ini sangat norak?
"Baik, acara pertama adalah sambutan dari Kepala Sekolah SMA Negeri Graha Gemilang. Kepadanya kami persilakan," sorak Ari yang disusul riuhan tepuk tangan penghuni aula.
***
Hari pertama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah berjalan dengan lancar. Tak terasa, jam dinding sudah menunjukkan pukul 12 siang. Bel pulang pun sudah berbunyi, menandakan bahwa acara hari ini sudah selesai.
"Alhamdulillah, MPLS hari ini berjalan dengan lancar. Besok kegiatannya hampir sama seperti tadi, ya, tapi ada sedikit games dari kami. Cukup sekian, mohon maaf atas segala kekurangannya. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh," jelas Ari.
"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh." Suara menggema di dalam aula.
Semua penghuni aula segera pergi meninggalkan tempat itu.
***
El sedang berjalan ke arah parkiran sekolah untuk mengambil motor kesayangan. Jari telunjuk remaja itu terus memutar-mutarkan gantungan kunci motor miliknya. Tiba-tiba ....
Bruk!
Badan El terhuyung ke depan, hingga kedua telapak tangan dan lutut kirinya mencium tanah. El mendongak ingin melihat siapa yang menabraknya, hingga jatuh seperti ini. Remaja itu melihat gadis cantik, bertubuh sedang, bermata cokelat, dan rambut sebahu sedang mengulurkan tangan kanan di hadapan wajahnya.
El tak menyambut uluran tangan gadis putih itu. Ia berusaha untuk bangkit sendiri sambil membersihkan pakaian yang sedikit kotor. El melangkah menuju parkiran. Tak disangka, sudut kanan bibirnya terangkat, hingga membentuk bulan sabit.
"Sorry," gumam Sasya saat menatap datar punggung El yang mulai menjauh dari hadapannya.
Gadis yang tak sengaja menabrak El adalah Sasya. Saat berjalan menuju gerbang sekolah, ia sengaja memainkan ponsel agar mengusir rasa bosan yang melanda. Maka dari itu, Sasya tidak memperhatikan sesuatu yang ada di depannya. Ia hanya fokus menunduk dan menatap benda pipih itu.
Sasya menurunkan tangannya yang disia-siakan oleh pemuda itu. "Cowok tadi siapa, ya?"
"Sumpah ... gue gak asing sama mukanya."
"Kayanya pernah ketemu. Tapi ... di mana?" Sasya berpikir sambil mengetuk-ngetuk jari telunjuk di dagunya.
"Ini, nih. Kekurangan gue dari dulu, kagak pernah berubah."
"Beginilah nasib orang pelupa. Ck! Sabar, sabar!" Sasya mengusap-usap dadanya.
Gadis berpipi chubby itu melenggang pergi menuju gerbang depan sekolah. Ia kembali mengotak-atikkan ponsel saat sampai di sana.
"Neng Sasya, ya?" tanya pengemudi ojek online kepada gadis yang ada di hadapannya.
Gadis itu hanya menggangguk dan segera mengempaskan bobot tubuhnya di jok motor bagian belakang milik pengemudi ojek online tersebut.
"Sudah, Pak," ucap Sasya yang hanya dibalas anggukan oleh si pemilik motor itu.
Perlahan, motor yang Sasya tumpangi mulai menjauh dari gedung tingkat berwarna putih dan bergaris abu-abu itu.
Sasya mengerjapkan mata untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Ia mencoba mengingat apa yang telah ia lakukan sebelumnya. Ia menatap bingung kala seragam sekolah masih melekat pada tubuhnya. Sasya menutup mulut dengan telapak tangan. "Hooaaaam! Astagfirullah, kok, ketiduran?" Sasya langsung mendudukan tubuh yang mirip buah pir itu. Ia menggeleng pelan guna mengembalikan seluruh kesadaran. Setelah sadar hampir seratus persen, ia segera melangkah menuju kamar mandi. Setelah 15 menit lamanya, pintu berwarna merah muda itu terbuka. Menampakkan gadis cantik dengan baju santai berwarna hijau daun yang sangat cocok di tubuh pirnya. Ia mengarahkan kakinya menuju meja belajar untuk mengambil mukena hitam bercorak abu-abu. Kemudian, ia menunaikan kewajiban salat Asar. Setelah selesai shalat, Sasya tak sengaja mendengar suara ponsel
Mentari tak malu-malu menyengatkan sinarnya, hingga menembus jendela-jendela kelas SMA Negeri Graha Gemilang. Namun, tak tampak rasa gerah menyelimuti siswa-siswi di ruangan itu. Bahkan, hawa sejuk menerpa tubuh mereka yang dibalut seragam putih abu-abu. Tampaknya, pendingin ruangan di sana bekerja dengan baik.Hari kedua Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah belum usai terlaksana. Buktinya, para peserta itu masih setia berada di dalam ruangannya. Sekitar 10 menit yang lalu, mereka kembali memasuki kelas setelah mengisi stamina tubuh di kantin tadi.Ari bangkit dari duduknya. "Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 tepat. Artinya, langsung aja kita mulai game-nya, ya."Sebagian peserta tersenyum senang. "Horeeeeee!"Suara riuhan tepuk tangan menggema di kelas itu. Suara gelak tawa pun terdengar hebat kala seorang pemuda terjatuh dari tempat duduknya. Ia berdiri sambil mengusap pelan bokongnya yang se
Rasanya hari ini merupakan hari Selasa terpanjang bagi hidup Sasya. Sebenarnya, ia sangat malas sekali menjalani hukuman seperti itu. Namun, ia tetap menjunjung tinggi harga diri.Tak mungkin ia lari dari kenyataan yang menyapanya. Gengsi-lah yang membuat Sasya bersedia menuntaskan hukuman itu, walau dengan sedikit rasa malas menguasai tubuhnya.Sasya berusaha menulikan pendengarannya saat penghuni kelas itu tak henti-hentinya memuji dan mencibir dirinya. Ingin sekali ia pulang ke apartemen untuk mengerjakan hal-hal yang lebih bermanfaat dibanding mendengarkan celotehan mereka.Rasa bosan perlahan menghampiri dirinya. Akhirnya, ia menyenggol pelan lengan Ari, hingga sang empu menoleh dan mengangkat sebelah alisnya sebagai isyarat bertanya 'ada apa?'."Udah?" tanya Sasya kepada Ari.Sasya bingung kala melihat Ari malah mengarahkan pandangannya kepada semua peserta yang ada di hadap
Sebuah ruangan dengan nuansa hitam putih menambah kesan simple ruangan itu. Di sana terdapat kasur yang terbalut seprai bola dengan didominasi warna hitam dan putih. Lemari kaca yang dipenuhi oleh piala-piala dan medali-medali juga tersedia disana.Ruangan yang tampak bersih, tanpa ada sedikit pun sampah yang berceceran. Berbagai buku pelajaran tersusun rapi di meja belajar. Sepertinya, pemilik kamar itu termasuk orang yang apik.Tampak seorang laki-laki berkacamata sedang berkutat dengan laptop-nya. Ia mengamati satu per satu data peserta Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah di SMA GG tahun ini. Aktivitasnya terhenti kala ia melihat salah satu foto peserta yang wajahnya tak asing."Finally ... Maesya Apriliana Zhafran."Decitan pintu terdengar jelas di telinga lelaki itu. Ia menoleh ke arah pintu. Senyumnya terpancar kala melihat wajah menenangkan dari Bunda tercinta. Ia segera melep
Cerahnya mentari menghiasi lapangan luas SMA Negeri Graha Gemilang. Banyak remaja berseragam putih abu-abu yang duduk memenuhi setengah lapangan itu. Mereka sedang bercengkerama satu sama lain. Tampaknya, acara hari ini membuat para peserta MPLS semakin akrab. Demo ekskul. Mereka sangat antusias dengan acara ini. Tentu saja, mereka akan disuguhi penampilan spektakuler dari kakak-kakak ekskul di SMA GG. Tujuannya agar siswa-siswi baru itu tertarik dan ingin bergabung dengan ekskul kesukaannya. Rupanya, SMA GG sangat layak dijuluki sebagai 'sekolah favorit' di kota ini. Bukan hanya dapat ditempati oleh siswa-siswi berprestasi saja, tetapi ekstrakurikuler disana pun banyak dan tentunya menjadi kebanggaan sekolah itu. Satu per satu pembawa acara menyebutkan ekstrakurikuler yang akan tampil. Mulai dari basket, voli, futsal, silat, paskibra, badminton, kabaret, art and design, KIR atau Karya Ilmiah Remaja, pramuka, w
Seorang gadis sedang berjalan santai menyusuri perumahan cluster yang berada di pusat kota Jakarta. Bangunan-bangunan bertingkat yang berhimpitan satu sama lain, memiliki gaya minimalis dan modern.Sasya mengenakan busana hitam yang dipadu dengan warna putih. Kaos hitam kebesaran yang sengaja ia masukkan ke dalam celana kulot hitamnya, hingga menciptakan penampilan yang kasual dan minimalis.Tampilannya semakin modis dengan sneaker putih yang melekat di kedua kakinya. Ia menyematkan topi putih di kepalanya dan menyampirkan tas selempang hitam di bahunya yang menambah kesan elegan dan juga modern.Terdapat beberapa sub-kompleks dengan desain rumah yang berbeda-beda, tetapi tak ada satu pun pagar yang berdiri di depan rumah itu. Hanya terdapat satu gerbang utama yang dijaga ketat oleh satpam.Sasya menghentikan langkahnya tepat di depan rumah nomor sepuluh dari gerbang kom
Suara azan Magrib mendengung di seluruh penjuru SMA Negeri Graha Gemilang. Kaum Adam berbondong-bondong memasuki area masjid di dalam sekolah. Mereka berlarian untuk berwudu dan menduduki saf paling pertama.Seiring waktu berjalan, setiap saf mulai ditempati para jemaah laki-laki. Muazin pun mulai mengumandangkan ikamah. Mereka berdiri dan bersiap untuk menunaikan salat berjemaah.Durasi yang terbilang cukup singkat, mereka telah selesai menjalankan kewajiban sebagai umat muslim. Satu per satu, mereka meninggalkan area masjid dengan candaan dan tawaan yang mengiringi langkah mereka.Beramai-ramai, mereka menelusuri koridor sekolah yang sedikit terang. Langit yang gelap dan suara merdu jangkrik menjadi pelengkap kebersamaan mereka.Mereka mengarahkan langkahnya menuju kawasan khusus laki-laki. Perlahan, gerombolan laki-laki itu menghilang dari koridor. Mereka semua memasuki baraknya masing-masing.
Hari Minggu merupakan hari yang paling ditunggu-tunggu kehadirannya oleh kebanyakan orang. Hari yang digunakan untuk beristirahat sejenak selepas melakukan aktivitas rutin di hari kerja.Tak bisa dipungkiri, anak sekolah pun ikut menuntut kebebasan di hari yang spesial itu. Walaupun, hanya sekadar menjernihkan otak usai menggarap ilmu yang tak sedikit di sekolah.Buktinya, seorang pemuda tengah duduk bersantai di atas sofa sambil menonton acara televisi kesukaannya. Sesekali, ia tertawa saat menyaksikan adegan lucu dari televisi itu.Seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster kekinian, menghampiri pemuda tersebut. Ia terus menerus memanggil nama pemuda itu. Namun, tak terdengar sahutan dari sang empu. Mungkin, pemuda itu tak mendengar panggilannya, pikir wanita itu.Sesampainya di sana, wanita itu langsung duduk di samping pemuda tersebut. Merasa ada pergerakan di sofa, pemuda itu menoleh dan mendapa
Siapa yang tidak bahagia memiliki saudara kembar yang identik?Semua orang pasti menjawab, "Ya, aku bahagia. Bahkan, sangat bahagia."Memang benar memiliki saudara kembar identik itu sangat menyenangkan. Ke mana-mana selalu berdua. Mengerjakan PR selalu bersama. Bahkan, sering kali mereka tidur dalam satu kamar.Akan tetapi, bagaimana rasanya jika suatu saat dibanding-bandingkan dengan kembarannya?Apa rasanya jika kasih sayang yang diberikan tidak seimbang?Pedih, perih, dan sakit. Mungkin ketiga kata itulah yang paling cocok untuk perasaan Arshad sekarang.Arshad tak minta dilahirkan ke dunia, tetapi Tuhan telah menakdirkan kehadirannya di sini, di dunia yang amat kejam baginya, di dunia yang penuh tekanan dan cacian untuknya.Terlahir dari keluarga kaya raya tak membuat hidupnya sedikit pun disinggahi kata damai. Hidup bergelimang harta tak membuat kese
Matahari tampak jelas semakin menjauh dari penglihatan seorang gadis cantik bernama Sasya. Rona merah jingga mulai menyelimuti langit ibukota Indonesia. Embusan angin sejuk terus menerpa tubuhnya. Dedaunan pohon menari-nari kala angin meniupnya.Sasya melirik jam yang ada si ponselnya. Sudah pukul 17.00 WIB rupanya. Ia telat pulang karena harus menghadiri rapat di ruangan OSIS tadi. Ini semua gara-gara Rendy. Sasya terus saja mencibir Rendy yang selalu lari dari tanggung jawabnya."Ish, ini kenapa pada di-cancel semua, sih?" gerutu Sasya saat melihat pesanan ojek online-nya kembali dibatalkan.Ini sudah yang kelima kalinya. Kenapa selalu ditolak? Sasya mencoba untuk memesan ojek online lagi. Ia berharap semoga ini menjadi kereta yang mengantarkannya pulang ke apartemen.Sasya mengusap kasar wajahnya. Ia mengentak kesal dengan keadaan. Lagi-lagi pesanannya ditolak. Benar-benar tak ada yang mengerti Sasya sekarang. Ia sudah lelah dan ingin segera reba
Selepas melaksanakan salat Zuhur, Dara dan Alma langsung menduduki sofa empuk di ruang keluarga rumah mewah milik Azhar. Mereka menonton televisi sambil berbincang-bincang untuk mengisi waktu luang mereka hari ini. Tak lupa juga keripik singkong balado sebagai pengganti pop corn seperti di bioskop-bioskop pada umumnya.Saat sedang tegang-tegangnya, acara sinetron itu bergeser menjadi penawaran sabun cuci piring yang terkenal di Indonesia. Dara menggeram kesal. Ia sedang asyik-asyiknya menonton, tiba-tiba berganti menjadi iklan seperti itu. Tak beda jauh dari Dara, Alma juga menggerutu tidak jelas sambil mencibir channel televisi yang sedang ditonton mereka sekarang.Saking emosinya, Dara sampai meninju-ninju bantal sofa yang ia letakkan di pangkuannya. Alma bergidik ngeri melihat kelakuan anaknya. Kesal boleh, tapi jangan sampai seperti itu juga kali, pikir Alma. Alma memperingatkan Dara supaya tenang dan tidak bertingkah aneh seperti tadi. Ia takut anaknya menjadi str
"Lo berdua mau pesen apa? Biar gue pesenin," ucap Ana saat baru sampai di kantin. Belum ada jawaban yang keluar dari bibir Sasya dan Tisa. Mereka sedang sibuk mencari tempat duduk yang kosong supaya bisa ditempati oleh ketiganya."Gue mie ayam sama es teh manis aja, deh," jawab Tisa sembari menarik tangan Sasya dan Ana untuk berjalan menuju pojok kantin. Hanya tersisa satu meja kosong yang bisa mereka tempati. Mereka duduk dengan posisi Ana berhadapan dengan Sasya dan Tisa."Gue pesen jus jeruk aja, ya," timpal Sasya dengan senyuman manisnya."Oke. Pake uang gue dulu. Jangan lupa ganti." Ana terkekeh. Sasya dan Tisa mengangguk. Ana melenggang pergi untuk memesan makanan dan minuman kepada Bu Endah, pemilik kantin.Sepeninggal Ana, Sasya dan Tisa tak henti-hentinya saling menyalurkan kerinduan. Mulai dari berpelukan, berbincang-bincang, tertawa, dan juga menangis karena bahagia. Sasya senang sekali bisa dip
"Ini sebenernya yang anak Bunda siapa, sih?" tanya El yang sudah jemu melihat kebersamaan Sasya dan Alma. Ia menatap jengkel Dara yang terus saja menertawakan nasibnya kali ini."Ututu ... anak Bunda yang satu ini lagi ngambek, toh." Tangan Alma terus saja menyisiri rambut hitam Sasya. Ia mulai mengepangi rambut Sasya seperti model daun.El melirik jam di pergelangan tangannya. "Sya, cepetan! Gue sebagai Ketos harus memberi contoh yang baik. Gak boleh telat.""Eh, kamu makan dulu, Arsa!" kata Alma sembari mengikat ujung rambut Sasya yang sudah dikepang. El melirik hidangan yang ada di hadapannya. Sedari tadi, ia hanya duduk di kursi tanpa tertarik untuk mencicipi masakan yang dibuat oleh Alma."Arsa gak nafsu, Bun," sahut El yang cemburu melihat kedekatan Sasya dan Alma.Arsa? Bukannya nama dia Kak El, ya? Ouh, mungkin Arsa itu nama panggilannya di rumah. Oh, iya. Tadi juga Kak Dara dipanggilnya Milka. Sasya membatin.
Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di tepi jalan raya. Kedua pintu mobil terbuka bersamaan. Menampilkan seorang lelaki dan perempuan dengan pakaian seiras yang melekat di tubuh keduanya. Ya, mereka El dan Dara. El yang berwajah datar itu mengitari mobil dan menghampiri Dara. Mereka berdua berjalan santai memasuki sebuah kedai bakso yang berada tepat di seberang apartemen terkenal di kota itu. Kedai Bakso Pak Malih. Tulisan yang tertera jelas di spanduk yang menggantung tepat di hadapan gerobak bakso tersebut. Banyak pengunjung yang berlalu lalang memasuki area itu. Hampir semua tempat duduk yang disediakan, telah ditempati oleh para pelanggan Kedai Bakso Pak Malih. Meja kedua dari pojok kedai itu tampak segerombolan perempuan sedang tertawa menanggapi lawakan dari satu temannya. Tatapan matanya bagaikan melepaskan kerinduan yang amat mendalam. Sepertinya, baru kali ini mereka kembali bersua. El dan Dara tampak kebingung
Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di tepi jalan raya. Kedua pintu mobil terbuka bersamaan. Menampilkan seorang lelaki dan perempuan dengan pakaian seiras yang melekat di tubuh keduanya. Ya, mereka El dan Dara.El yang berwajah datar itu mengitari mobil dan menghampiri Dara. Mereka berdua berjalan santai memasuki sebuah kedai bakso yang berada tepat di seberang apartemen terkenal di kota itu.Kedai Bakso Pak Malih. Tulisan yang tertera jelas di spanduk yang menggantung tepat di hadapan gerobak bakso tersebut. Banyak pengunjung yang berlalu lalang memasuki area itu. Hampir semua tempat duduk yang disediakan, telah ditempati oleh para pelanggan Kedai Bakso Pak Malih.Meja kedua dari pojok kedai itu tampak segerombolan perempuan sedang tertawa menanggapi lawakan dari satu temannya. Tatapan matanya bagaikan melepaskan kerinduan yang amat mendalam. Sepertinya, baru kali ini mereka kembali bersua.El dan Dara tampak kebingungan m
Seperti yang diucapkan oleh Dara tadi sore, El dan Dara akan pergi berkencan, atau lebih tepatnya reunian di salah satu kedai bakso. Selepas salat Isya, kedua kakak-beradik ini tengah bersiap-siap di kamarnya masing-masing. Hampir setengah jam, mereka tak kunjung keluar dari ruang pribadinya. Entah apa yang mereka lakukan di dalam sana. Cklek! Kedua pintu kamar yang saling berhadapan, kini terbuka bersamaan. Sudah tentu, El dan Dara yang membukanya. Mereka saling pandang satu sama lain. El menyorotkan netranya pada gadis yang ada di hadapannya kini. Ia melihat penampilan lawan jenisnya dari atas kepala, hingga ujung kaki. Begitu pun sebaliknya. Tampaknya, mereka telah merencanakan pakaian yang mereka kenakan kali ini. Bagaimana tidak? Keduanya memakai busana yang berbau hitam dan putih. Sungguh, mereka sangat kompak malam ini. Baju atasan berwarna hitam dan putih, alias monokrom melekat indah di tubuh Dara yang tinggi bak seorang mod
"Assalamualaikum, Bunda," ucap Arsa saat menutup pintu rumahnya. "Bunda ...," panggil Arsa. Tak ada sahutan dari siapa pun. "Lah, ini pada ke mana? Rumah, kok, sepi kek kuburan," kata Arsa sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang tamu. Arsa berjalan melewati ruang tamu yang cukup luas itu. Ia terus saja melangkah sampai di ruang keluarga. Remaja bertubuh jangkung itu melihat Alma yang sedang bersandar di sofa sambil serius menonton sinetron di televisi. Tak lupa, camilan yang selalu Alma masukkan ke dalam mulutnya. Mungkin Alma tak menyadari kedatangan dirinya. "Bunda," panggil Arsa seraya berjalan mendekati Alma dan duduk di sampingnya. Alma menoleh. "Eh, si bungsu udah pulang." Arsa menyalimi tangan Alma. "Iya, Bun. Tumben di sini? Biasanya, kalo sore Bunda lagi berduaan sama laptop." "Kayak apa aja berduaan." Arsa menyengir kuda sembari menggaruk tengkuknya yang sedikit gatal.