Mentari tak malu-malu menyengatkan sinarnya, hingga menembus jendela-jendela kelas SMA Negeri Graha Gemilang. Namun, tak tampak rasa gerah menyelimuti siswa-siswi di ruangan itu. Bahkan, hawa sejuk menerpa tubuh mereka yang dibalut seragam putih abu-abu. Tampaknya, pendingin ruangan di sana bekerja dengan baik.
Hari kedua Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah belum usai terlaksana. Buktinya, para peserta itu masih setia berada di dalam ruangannya. Sekitar 10 menit yang lalu, mereka kembali memasuki kelas setelah mengisi stamina tubuh di kantin tadi.
Ari bangkit dari duduknya. "Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 tepat. Artinya, langsung aja kita mulai game-nya, ya."
Sebagian peserta tersenyum senang. "Horeeeeee!"
Suara riuhan tepuk tangan menggema di kelas itu. Suara gelak tawa pun terdengar hebat kala seorang pemuda terjatuh dari tempat duduknya. Ia berdiri sambil mengusap pelan bokongnya yang sempat mencium lantai tadi. Lalu, ia kembali duduk di tempatnya dengan ekspresi wajah yang menahan malu.
"Jadi, game-nya seperti ini. Nanti Kakak akan berkeliling dan menepuk meja kalian. Nah, nanti kalian semua tutup mata, jangan ada yang melek! Habis itu, Kakak akan menyebutkan udara, darat, dan laut. Misalnya, Kakak berhenti di meja kamu," jelas Ari sambil mengarahkan telunjuknya pada gadis yang duduk tepat di depannya.
"Terus Kakak sebut darat, maka kamu harus menyebutkan 2 ekor hewan yang ada di darat, ya."
"Mengerti?" tanya Ari dengan suara tegas.
"Siap. Mengerti, Kak," jawab para peserta itu.
"Tapi," kata Ari, "Kalau ada yang salah, dihukum. Hukumannya sesuai kesepakatan kita bersama."
Penghuni kelas itu mengangguk pertanda setuju. Ari mulai melangkah menuju meja paling depan dari sisi pintu.
"Udara, darat, laut, udara, darat, laut ...." Ari menghentikan langkahnya.
Gadis itu mendongak. "Mmmm ... i–i–kan sa–sa–ma ... ubur-ubur, Kak."
Ari menyipitkan mata untuk membaca name tag gadis itu. "Bagus, In–tan Mar–wangi."
Intan mengulum senyum sambil mengangguk. Ari menyunggingkan senyumnya dan kembali melanjutkan langkahnya.
"Lanjuuut ...!"
"Udara, darat, laut, udara, darat ...."
Langkah Ari terhenti di meja paling depan pada barisan ketiga. Bukannya menjawab, lelaki yang terpilih itu malah berdiri dan sukses menjadi pusat perhatian semua penghuni kelas tersebut.
"Sebelum menjawab, alangkah baiknya kita kenalan dulu. Kenalin nama gue Rendy Al-Farizi. Panggil aja Babang Rendy."
Rendy tersenyum penuh percaya diri sembari meletakkan dagu di antara ibu jari dan jari telunjuk. Ari tertawa kecil melihat perilaku adik kelasnya yang satu ini. "Wah! Penerus gue, nih," pikir Ari. Ari mengangkat alis kanannya sebagai isyarat bertanya 'Apa jawabannya?'
Rendy mengangguk paham. "Jadi, jawabannyaaaaaa ... jawabannyaaaaaaa ...."
Rendy tersenyum meledek. "Nungguin, yaaa?"
Sontak penghuni kelas itu geram atas perilaku Rendy saat ini. Mata mereka melotot sebagai tanda permusuhan. Sedangkan yang dipelototi hanya cengengesan dan mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke udara sebagai tanda damai.
Rendy menyengir kuda. "Jawabannya ... sapi dan kerbau."
Ari menahan tawanya. "Lo, yang jatuh tadi, 'kan?"
Rendy menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Hehehe. Iya, Kak."
Satu ....
Dua ....
Tiga ....
"Wahahahahaha ...."
Tawa yang ditahan tadi pun meledak seketika. Ada yang tertawa terpingkal-pingkal, ada yang tersenyum, ada yang tertawa sambil memukul lengan temannya, dan ada juga yang asik bergulat dengan pikirannya sendiri. Siapa lagi kalau bukan Sasya?
"Sudah, sudah," pinta Ari.
Ari menatap gadis bermata sipit tengah mengangkat tangan kanannya ke udara. "Iya, kenapa?"
Ana menurunkan tangannya. "Maaf, Kak. Ana izin ke toilet."
Ari tersenyum dan mengangguk sebagai tanda mengizinkan gadis itu pergi ke toilet.
"Terima kasih, Kak," lembut Ana.
Ana menoleh. "Gue ke toilet dulu, ya."
Sasya mengangguk menanggapi ucapan Ana. Ana pun segera bangkit dari duduknya dan bergegas menuju toilet.
"Oke. Lanjut gak, nih?" tanya Ari kepada para penghuni kelas itu.
"Lanjuttt ...!"
Ari mulai berjalan. "Udara, darat, laut, udara, darat, laut, udara, darat, laut, udara, darat, laut, udara ...."
Ari menyudahi langkahnya tepat di samping meja ketiga dari sisi pintu. Ia kembali menepuk meja itu dengan tenaga yang lebih kuat agar gadis di hadapannya menoleh.
Duk!
Gadis itu tersentak kaget. "Eh ... pesawat!"
Gelak tawa kembali hadir di kelas itu. Semuanya tertawa, kecuali gadis yang sedang ditertawakan. Ia berdeham beberapa kali untuk menetralkan ekspresi malu yang tersirat di wajahnya.
Ari menghentikan tawanya. "Mana ada pesawat jadi hewan. Kamu kenapa, sih?"
"Anu ... anu ...," jawab Sasya terbata-bata.
Sasya menunduk cepat. Ari mengulurkan tangannya tepat di hadapan gadis bermata cokelat gelap itu. Sebenarnya, Sasya melihat jelas tangan itu. Namun, Sasya tetaplah Sasya, ia tak ingin membalas uluran tangan Ari.
Ari menghela napas. Ia menarik lembut tangan lawan bicaranya. Para penghuni kelas menjerit heboh. Ada yang menangis sambil bernyanyi lagu patah hati, ada yang tersenyum kecut, dan ada juga yang bertepuk tangan.
Lebay!
Ari menggengam erat jari jemari Sasya. Tubuh Sasya menegang sesaat kala menyadari sentuhan lembut yang mendarat tepat di tangan kanan miliknya. Ari menarik pelan tangan Sasya untuk beranjak ke depan kelas. Sasya terpaksa mengikuti langkah panjang milik Ari.
"Ayo, perkenalkan namamu," suruh Ari saat sudah sampai di depan kelas.
Sasya menatap malas tangannya yang masih digenggam oleh Ari. Ari bingung. "Kenapa diam?" tanya Ari di dalam hati.
Mengurungkan banyak pertanyaan yang mulai muncul dalam benaknya. Ari pun mengikuti arah pandang Sasya. Tersadar atas kesalahannya, Ari langsung melepas genggaman tangannya.
"Ck! Modus," lirih Sasya yang terdengar jelas di telinga Ari.
Ari menyengir kuda. "Maaf, yah. Kakak lupa. Habisnya terlalu nyaman. Hehe."
Sasya memutar bola mata jengah dan berdeham pelan untuk merespons kakak kelasnya itu.
"Et dah, dingin amat, Neng," gumam Ari yang masih terdengar jelas oleh gendang telinga Sasya.
Sasya membulatkan kedua matanya. "Apa?"
"Ehh ... eng–enggak, kok. Kamu cantik, maksud Kakak. Hehe," elak Ari.
Ari mengusap pelan wajah tampannya untuk menghilangkan rasa canggung yang muncul. Jantungnya pun ikut berdetak lebih cepat dari biasanya. Buliran bening mulai menetes dari pelipisnya. Ia memejamkan mata sementara untuk menormalkan kembali sistem kerja jantungnya. Satu menit telah berlalu, ia kembali membuka kedua matanya.
"Hufft! Ayo, perkenalkan namamu sekarang." Ari kembali tersenyum menatap Sasya, hingga tercetak lesung di pipi kirinya.
"Sasya," katanya dengan nada malas.
Ari mengangguk. "Hmm ... karena tadi Sasya gak bisa jawab nama hewan yang ada di udara, sesuai kesepakatan kita bersama, Sasya harus dihu–"
"Lo harus dihukum!"
Para penghuni kelas itu pun mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Mereka mengangguk setuju atas perkataan Rendy tadi, kecuali Sasya. Sasya menatap tajam manik hitam milik Rendy.
Sasya tersenyum sinis pada Rendy. "Gue gak takut."
"Gimana, Guys? Hukuman yang cocok buat Sasya apa, nih?" tanya Ari.
"Nyanyi, Kak," usul gadis yang ada di pojok kelas.
"Joget, Kak," timpal salah satu pemuda di sana.
Sasya menatap nyalang lelaki yang memberi usulan itu. Sedangkan sang empu hanya mampu menyengir untuk menutupi rasa takutnya saat ini.
"Suruh dia senyum, Kak!"
Penghuni kelas itu menatap lekat netra milik Rendy. Sasya menahan emosinya yang hampir meledak.
"Lo ada masalah apa, sih, sama gue?"
"Yaelah senyum doang apa susahnya, sih, Sya? Senyum itu kan ibadah."
Sasya menghela napas jengah. Ia malas berdebat dengan makhluk satu ini. Tenaganya akan habis, jika ia meladeni ucapan Rendy. Tanpa basa-basi, ia langsung tersenyum lebar, hingga terlihat jelas gigi gingsul yang bertengger di gusi sebelah kanan. Lima detik berjalan, ia kembali menormalkan ekspresi wajahnya, datar.
"Wih! Cantik banget kalau senyum."
"Aaaaa! Senyuman yang spesial. Pasti buat gue."
"Gebet, yok! Gebet, kuy!"
"Bidadari turun dari layangan. Eh, maksudnya kayangan. Maafin Abang, Neng."
"Halah! Sok cantik aja bangga."
"Iya, tuh. Cantikan juga elo, Mar!"
"Heh! Cantikkan juga dia kali daripada elo."
"Ck! Kejam banget lo sama adik sendiri. Puji aja terus si Sasya. Pas pulang gue aduin ke Mami."
"Eh, jangan, dong! Cantikkan elo, kok. Jangan diaduin, ya, Marissa yang cantik."
Sasya mendengkus kesal saat mendengar pujian dan cibiran yang dilontarkan kepadanya. Waktunya habis hanya untuk mendengar hal-hal yang sangat tidak bermutu.
Rasanya hari ini merupakan hari Selasa terpanjang bagi hidup Sasya. Sebenarnya, ia sangat malas sekali menjalani hukuman seperti itu. Namun, ia tetap menjunjung tinggi harga diri.Tak mungkin ia lari dari kenyataan yang menyapanya. Gengsi-lah yang membuat Sasya bersedia menuntaskan hukuman itu, walau dengan sedikit rasa malas menguasai tubuhnya.Sasya berusaha menulikan pendengarannya saat penghuni kelas itu tak henti-hentinya memuji dan mencibir dirinya. Ingin sekali ia pulang ke apartemen untuk mengerjakan hal-hal yang lebih bermanfaat dibanding mendengarkan celotehan mereka.Rasa bosan perlahan menghampiri dirinya. Akhirnya, ia menyenggol pelan lengan Ari, hingga sang empu menoleh dan mengangkat sebelah alisnya sebagai isyarat bertanya 'ada apa?'."Udah?" tanya Sasya kepada Ari.Sasya bingung kala melihat Ari malah mengarahkan pandangannya kepada semua peserta yang ada di hadap
Sebuah ruangan dengan nuansa hitam putih menambah kesan simple ruangan itu. Di sana terdapat kasur yang terbalut seprai bola dengan didominasi warna hitam dan putih. Lemari kaca yang dipenuhi oleh piala-piala dan medali-medali juga tersedia disana.Ruangan yang tampak bersih, tanpa ada sedikit pun sampah yang berceceran. Berbagai buku pelajaran tersusun rapi di meja belajar. Sepertinya, pemilik kamar itu termasuk orang yang apik.Tampak seorang laki-laki berkacamata sedang berkutat dengan laptop-nya. Ia mengamati satu per satu data peserta Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah di SMA GG tahun ini. Aktivitasnya terhenti kala ia melihat salah satu foto peserta yang wajahnya tak asing."Finally ... Maesya Apriliana Zhafran."Decitan pintu terdengar jelas di telinga lelaki itu. Ia menoleh ke arah pintu. Senyumnya terpancar kala melihat wajah menenangkan dari Bunda tercinta. Ia segera melep
Cerahnya mentari menghiasi lapangan luas SMA Negeri Graha Gemilang. Banyak remaja berseragam putih abu-abu yang duduk memenuhi setengah lapangan itu. Mereka sedang bercengkerama satu sama lain. Tampaknya, acara hari ini membuat para peserta MPLS semakin akrab. Demo ekskul. Mereka sangat antusias dengan acara ini. Tentu saja, mereka akan disuguhi penampilan spektakuler dari kakak-kakak ekskul di SMA GG. Tujuannya agar siswa-siswi baru itu tertarik dan ingin bergabung dengan ekskul kesukaannya. Rupanya, SMA GG sangat layak dijuluki sebagai 'sekolah favorit' di kota ini. Bukan hanya dapat ditempati oleh siswa-siswi berprestasi saja, tetapi ekstrakurikuler disana pun banyak dan tentunya menjadi kebanggaan sekolah itu. Satu per satu pembawa acara menyebutkan ekstrakurikuler yang akan tampil. Mulai dari basket, voli, futsal, silat, paskibra, badminton, kabaret, art and design, KIR atau Karya Ilmiah Remaja, pramuka, w
Seorang gadis sedang berjalan santai menyusuri perumahan cluster yang berada di pusat kota Jakarta. Bangunan-bangunan bertingkat yang berhimpitan satu sama lain, memiliki gaya minimalis dan modern.Sasya mengenakan busana hitam yang dipadu dengan warna putih. Kaos hitam kebesaran yang sengaja ia masukkan ke dalam celana kulot hitamnya, hingga menciptakan penampilan yang kasual dan minimalis.Tampilannya semakin modis dengan sneaker putih yang melekat di kedua kakinya. Ia menyematkan topi putih di kepalanya dan menyampirkan tas selempang hitam di bahunya yang menambah kesan elegan dan juga modern.Terdapat beberapa sub-kompleks dengan desain rumah yang berbeda-beda, tetapi tak ada satu pun pagar yang berdiri di depan rumah itu. Hanya terdapat satu gerbang utama yang dijaga ketat oleh satpam.Sasya menghentikan langkahnya tepat di depan rumah nomor sepuluh dari gerbang kom
Suara azan Magrib mendengung di seluruh penjuru SMA Negeri Graha Gemilang. Kaum Adam berbondong-bondong memasuki area masjid di dalam sekolah. Mereka berlarian untuk berwudu dan menduduki saf paling pertama.Seiring waktu berjalan, setiap saf mulai ditempati para jemaah laki-laki. Muazin pun mulai mengumandangkan ikamah. Mereka berdiri dan bersiap untuk menunaikan salat berjemaah.Durasi yang terbilang cukup singkat, mereka telah selesai menjalankan kewajiban sebagai umat muslim. Satu per satu, mereka meninggalkan area masjid dengan candaan dan tawaan yang mengiringi langkah mereka.Beramai-ramai, mereka menelusuri koridor sekolah yang sedikit terang. Langit yang gelap dan suara merdu jangkrik menjadi pelengkap kebersamaan mereka.Mereka mengarahkan langkahnya menuju kawasan khusus laki-laki. Perlahan, gerombolan laki-laki itu menghilang dari koridor. Mereka semua memasuki baraknya masing-masing.
Hari Minggu merupakan hari yang paling ditunggu-tunggu kehadirannya oleh kebanyakan orang. Hari yang digunakan untuk beristirahat sejenak selepas melakukan aktivitas rutin di hari kerja.Tak bisa dipungkiri, anak sekolah pun ikut menuntut kebebasan di hari yang spesial itu. Walaupun, hanya sekadar menjernihkan otak usai menggarap ilmu yang tak sedikit di sekolah.Buktinya, seorang pemuda tengah duduk bersantai di atas sofa sambil menonton acara televisi kesukaannya. Sesekali, ia tertawa saat menyaksikan adegan lucu dari televisi itu.Seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster kekinian, menghampiri pemuda tersebut. Ia terus menerus memanggil nama pemuda itu. Namun, tak terdengar sahutan dari sang empu. Mungkin, pemuda itu tak mendengar panggilannya, pikir wanita itu.Sesampainya di sana, wanita itu langsung duduk di samping pemuda tersebut. Merasa ada pergerakan di sofa, pemuda itu menoleh dan mendapa
Tap, tap, tap! Seorang pria berpakaian dinas sedang berjalan di koridor lantai dasar SMA Negeri Graha Gemilang. Ia menyapa setiap orang yang tak sengaja berpapasan dengannya. Senyuman manis senantiasa terlukis di pipinya yang sedikit gembul. Derap langkahnya terhenti di depan pintu kelas X IPA 7. Ia mengetuk pelan pintu yang menjulang tinggi di hadapannya. Merasa tak ada respon dari dalam, ia membuka pintu itu dan melangkah masuk ke dalam kelas tersebut. Ia duduk di kursi guru. "Assalamualaikum ... selamat pagi, murid-muridku tercinta." "Waalaikumussalam, bapak guruku tercinta," balas semua murid dengan tersenyum kikuk, kecuali seorang gadis yang duduk sendiri di pojok kelas. "Sudah masuk semua? Atau ... masih ada yang di luar?" tanya pria itu dengan nada lembut. Semua murid saling pandang, kecuali gadis itu. Mereka bertanya melalui kode mata. Selam
"Diharap perwakilan dari setiap kelas X untuk segera berkumpul di ruangan OSIS!"Suara itu kembali terdengar untuk kedua kalinya di seluruh penjuru SMA GG. Semua murid yang ada di kelas melirik pemuda yang sedang menelungkupkan kepala di atas lipatan kedua tangannya.Mereka tersenyum licik menatap satu sama lain. Kemudian, mereka kembali melirik pemuda yang sedang tertidur pulas itu. Bagaimana tidak disebut pulas? Suara pengumuman tadi saja, tak mampu mengganggu ketenangannya."Satu.""Dua.""Tiga."Duk, duk, duk, brak, duk, brak, duk, duk, brak, duk, brak!"Rendy! Bangun, oy!" teriak mereka sembari memukul dan menggebrak meja untuk membangunkan Rendy."Allahu Akbar!" pekik Rendy, ia terlonjak kaget dan refleks membuat matanya yang tertutup menjadi terbuka lebar."Wahahahaha ...." Mereka tertawa terpingkal-pingkal
Siapa yang tidak bahagia memiliki saudara kembar yang identik?Semua orang pasti menjawab, "Ya, aku bahagia. Bahkan, sangat bahagia."Memang benar memiliki saudara kembar identik itu sangat menyenangkan. Ke mana-mana selalu berdua. Mengerjakan PR selalu bersama. Bahkan, sering kali mereka tidur dalam satu kamar.Akan tetapi, bagaimana rasanya jika suatu saat dibanding-bandingkan dengan kembarannya?Apa rasanya jika kasih sayang yang diberikan tidak seimbang?Pedih, perih, dan sakit. Mungkin ketiga kata itulah yang paling cocok untuk perasaan Arshad sekarang.Arshad tak minta dilahirkan ke dunia, tetapi Tuhan telah menakdirkan kehadirannya di sini, di dunia yang amat kejam baginya, di dunia yang penuh tekanan dan cacian untuknya.Terlahir dari keluarga kaya raya tak membuat hidupnya sedikit pun disinggahi kata damai. Hidup bergelimang harta tak membuat kese
Matahari tampak jelas semakin menjauh dari penglihatan seorang gadis cantik bernama Sasya. Rona merah jingga mulai menyelimuti langit ibukota Indonesia. Embusan angin sejuk terus menerpa tubuhnya. Dedaunan pohon menari-nari kala angin meniupnya.Sasya melirik jam yang ada si ponselnya. Sudah pukul 17.00 WIB rupanya. Ia telat pulang karena harus menghadiri rapat di ruangan OSIS tadi. Ini semua gara-gara Rendy. Sasya terus saja mencibir Rendy yang selalu lari dari tanggung jawabnya."Ish, ini kenapa pada di-cancel semua, sih?" gerutu Sasya saat melihat pesanan ojek online-nya kembali dibatalkan.Ini sudah yang kelima kalinya. Kenapa selalu ditolak? Sasya mencoba untuk memesan ojek online lagi. Ia berharap semoga ini menjadi kereta yang mengantarkannya pulang ke apartemen.Sasya mengusap kasar wajahnya. Ia mengentak kesal dengan keadaan. Lagi-lagi pesanannya ditolak. Benar-benar tak ada yang mengerti Sasya sekarang. Ia sudah lelah dan ingin segera reba
Selepas melaksanakan salat Zuhur, Dara dan Alma langsung menduduki sofa empuk di ruang keluarga rumah mewah milik Azhar. Mereka menonton televisi sambil berbincang-bincang untuk mengisi waktu luang mereka hari ini. Tak lupa juga keripik singkong balado sebagai pengganti pop corn seperti di bioskop-bioskop pada umumnya.Saat sedang tegang-tegangnya, acara sinetron itu bergeser menjadi penawaran sabun cuci piring yang terkenal di Indonesia. Dara menggeram kesal. Ia sedang asyik-asyiknya menonton, tiba-tiba berganti menjadi iklan seperti itu. Tak beda jauh dari Dara, Alma juga menggerutu tidak jelas sambil mencibir channel televisi yang sedang ditonton mereka sekarang.Saking emosinya, Dara sampai meninju-ninju bantal sofa yang ia letakkan di pangkuannya. Alma bergidik ngeri melihat kelakuan anaknya. Kesal boleh, tapi jangan sampai seperti itu juga kali, pikir Alma. Alma memperingatkan Dara supaya tenang dan tidak bertingkah aneh seperti tadi. Ia takut anaknya menjadi str
"Lo berdua mau pesen apa? Biar gue pesenin," ucap Ana saat baru sampai di kantin. Belum ada jawaban yang keluar dari bibir Sasya dan Tisa. Mereka sedang sibuk mencari tempat duduk yang kosong supaya bisa ditempati oleh ketiganya."Gue mie ayam sama es teh manis aja, deh," jawab Tisa sembari menarik tangan Sasya dan Ana untuk berjalan menuju pojok kantin. Hanya tersisa satu meja kosong yang bisa mereka tempati. Mereka duduk dengan posisi Ana berhadapan dengan Sasya dan Tisa."Gue pesen jus jeruk aja, ya," timpal Sasya dengan senyuman manisnya."Oke. Pake uang gue dulu. Jangan lupa ganti." Ana terkekeh. Sasya dan Tisa mengangguk. Ana melenggang pergi untuk memesan makanan dan minuman kepada Bu Endah, pemilik kantin.Sepeninggal Ana, Sasya dan Tisa tak henti-hentinya saling menyalurkan kerinduan. Mulai dari berpelukan, berbincang-bincang, tertawa, dan juga menangis karena bahagia. Sasya senang sekali bisa dip
"Ini sebenernya yang anak Bunda siapa, sih?" tanya El yang sudah jemu melihat kebersamaan Sasya dan Alma. Ia menatap jengkel Dara yang terus saja menertawakan nasibnya kali ini."Ututu ... anak Bunda yang satu ini lagi ngambek, toh." Tangan Alma terus saja menyisiri rambut hitam Sasya. Ia mulai mengepangi rambut Sasya seperti model daun.El melirik jam di pergelangan tangannya. "Sya, cepetan! Gue sebagai Ketos harus memberi contoh yang baik. Gak boleh telat.""Eh, kamu makan dulu, Arsa!" kata Alma sembari mengikat ujung rambut Sasya yang sudah dikepang. El melirik hidangan yang ada di hadapannya. Sedari tadi, ia hanya duduk di kursi tanpa tertarik untuk mencicipi masakan yang dibuat oleh Alma."Arsa gak nafsu, Bun," sahut El yang cemburu melihat kedekatan Sasya dan Alma.Arsa? Bukannya nama dia Kak El, ya? Ouh, mungkin Arsa itu nama panggilannya di rumah. Oh, iya. Tadi juga Kak Dara dipanggilnya Milka. Sasya membatin.
Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di tepi jalan raya. Kedua pintu mobil terbuka bersamaan. Menampilkan seorang lelaki dan perempuan dengan pakaian seiras yang melekat di tubuh keduanya. Ya, mereka El dan Dara. El yang berwajah datar itu mengitari mobil dan menghampiri Dara. Mereka berdua berjalan santai memasuki sebuah kedai bakso yang berada tepat di seberang apartemen terkenal di kota itu. Kedai Bakso Pak Malih. Tulisan yang tertera jelas di spanduk yang menggantung tepat di hadapan gerobak bakso tersebut. Banyak pengunjung yang berlalu lalang memasuki area itu. Hampir semua tempat duduk yang disediakan, telah ditempati oleh para pelanggan Kedai Bakso Pak Malih. Meja kedua dari pojok kedai itu tampak segerombolan perempuan sedang tertawa menanggapi lawakan dari satu temannya. Tatapan matanya bagaikan melepaskan kerinduan yang amat mendalam. Sepertinya, baru kali ini mereka kembali bersua. El dan Dara tampak kebingung
Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di tepi jalan raya. Kedua pintu mobil terbuka bersamaan. Menampilkan seorang lelaki dan perempuan dengan pakaian seiras yang melekat di tubuh keduanya. Ya, mereka El dan Dara.El yang berwajah datar itu mengitari mobil dan menghampiri Dara. Mereka berdua berjalan santai memasuki sebuah kedai bakso yang berada tepat di seberang apartemen terkenal di kota itu.Kedai Bakso Pak Malih. Tulisan yang tertera jelas di spanduk yang menggantung tepat di hadapan gerobak bakso tersebut. Banyak pengunjung yang berlalu lalang memasuki area itu. Hampir semua tempat duduk yang disediakan, telah ditempati oleh para pelanggan Kedai Bakso Pak Malih.Meja kedua dari pojok kedai itu tampak segerombolan perempuan sedang tertawa menanggapi lawakan dari satu temannya. Tatapan matanya bagaikan melepaskan kerinduan yang amat mendalam. Sepertinya, baru kali ini mereka kembali bersua.El dan Dara tampak kebingungan m
Seperti yang diucapkan oleh Dara tadi sore, El dan Dara akan pergi berkencan, atau lebih tepatnya reunian di salah satu kedai bakso. Selepas salat Isya, kedua kakak-beradik ini tengah bersiap-siap di kamarnya masing-masing. Hampir setengah jam, mereka tak kunjung keluar dari ruang pribadinya. Entah apa yang mereka lakukan di dalam sana. Cklek! Kedua pintu kamar yang saling berhadapan, kini terbuka bersamaan. Sudah tentu, El dan Dara yang membukanya. Mereka saling pandang satu sama lain. El menyorotkan netranya pada gadis yang ada di hadapannya kini. Ia melihat penampilan lawan jenisnya dari atas kepala, hingga ujung kaki. Begitu pun sebaliknya. Tampaknya, mereka telah merencanakan pakaian yang mereka kenakan kali ini. Bagaimana tidak? Keduanya memakai busana yang berbau hitam dan putih. Sungguh, mereka sangat kompak malam ini. Baju atasan berwarna hitam dan putih, alias monokrom melekat indah di tubuh Dara yang tinggi bak seorang mod
"Assalamualaikum, Bunda," ucap Arsa saat menutup pintu rumahnya. "Bunda ...," panggil Arsa. Tak ada sahutan dari siapa pun. "Lah, ini pada ke mana? Rumah, kok, sepi kek kuburan," kata Arsa sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang tamu. Arsa berjalan melewati ruang tamu yang cukup luas itu. Ia terus saja melangkah sampai di ruang keluarga. Remaja bertubuh jangkung itu melihat Alma yang sedang bersandar di sofa sambil serius menonton sinetron di televisi. Tak lupa, camilan yang selalu Alma masukkan ke dalam mulutnya. Mungkin Alma tak menyadari kedatangan dirinya. "Bunda," panggil Arsa seraya berjalan mendekati Alma dan duduk di sampingnya. Alma menoleh. "Eh, si bungsu udah pulang." Arsa menyalimi tangan Alma. "Iya, Bun. Tumben di sini? Biasanya, kalo sore Bunda lagi berduaan sama laptop." "Kayak apa aja berduaan." Arsa menyengir kuda sembari menggaruk tengkuknya yang sedikit gatal.