Share

Bab 6. Kangen, Dek

Penulis: Lentera Jingga
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-25 23:02:33

Aku menghela napas berulang kali, mengenyahkan perasaan gugup dan kesal yang tiba-tiba mendera. Sadar jika saat ini adalah jam kerja. Dia adalah nasabahku, dan aku tentu harus profesional melayaninya dengan sepenuh hati.

“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, Pak.” Aku menyapanya dengan ramah dan penuh sopan santun seperti aku menyapa nasabahku pada umumnya.

“Siang juga.” Mas Ravi membalasnya lalu menegapkan badannya. “Kebetulan saya ingin membuat deposito. Bisakah Nona Thalita membantu saya?”

“Bisa. Apakah sudah tahu persyaratannya?”

“Tentu saja.” Mas Ravi mengeluarkan dokumen yang sudah ia bawa. “Kebetulan saya juga belum mempunyai rekening bank ini. Jadi, harus buat rekening dulu kan?”

“Iya, Pak.”

Aku menyiapkan beberapa formulir yang harus ia isi. Sejujurnya, jika hanya ingin rekening aku yakin ia pun tahu dan paham jika semua itu bisa dilakukan online, tapi aku tidak ingin tahu hal itu. Aku tetap melayaninya seperti pada umumnya. Menunjukkan apa saja yang harus ia isi serta persyaratannya. Seharusnya di jam ini aku sudah mulai bersiap untuk membereskan meja kerjaku, menyimpan data kerjaku, namun karena di jam akhir mendapatkan nasabah yang seperti akhirnya waktunya molor. Apalagi aku menggunakan laptop milik Pak Yusuf.

“Aku baru tahu kamu kerja di sini, Ta?” kata Mas Ravi.

“Oh iya.”

“Kantorku ada di sebrang itu, Ta. Gedung yang baru buka Minggu kemarin.”

Aku menoleh ke arahnya dengan kening mengerut. “Bukankah itu mall baru?”

“Iya. Aku bekerja di kantornya, lantai 26.” Mas Ravi terkekeh kecil sambil menatapku geli. “Ya barangkali kamu mau mengantarkan makan siang gitu kan, sudah tahu letaknya gitu,” sambungnya membuatku melongo, mengapa mendadak jadi sepercaya diri itu dirinya.

“Itu tidak mungkin, Mas.” Aku kembali memfokuskan diri menatap ke arah laptopku. Buru-buru menyelesaikan semuanya.

“Kenapa?”

“Aku tidak ingin menyulut api,” jawabku dengan sedikit kesal mengingat kejadian di gembira loka zoo. Aku ingat sekali perkataan mantan istrinya yang menyalahkan diriku atas gagalnya rumah tangganya. Padahal aku sama sekali tidak tahu apapun. “Kamu pasti mengerti maksudku, Mas.”

Mas Ravi menghela napasnya dengan kasar. “Jangan masukan hati ucapan mantan istriku itu, Ta.”

Aku hanya diam melirik ke arahnya sejenak. Sebelum kemudian kembali menyodorkan formulir yang harus ia tanda tangani untuk deposito. “Tolong tanda tangan di atas materai ini,” tunjukku. Dia pun menuruti perintahku. Setelah selesai aku mulai melanjutkan pekerjaanku dengan cepat. Aku sungguh ingin segera dia pergi.

Hampir satu jam lebih aku melayaninya, dan akhirnya bisa selesai. Aku menghela napas sangat lega. “Sudah selesai semua, dan terima kasih untuk semua.”

“Iya sama-sama.” Dia beranjak dari tempat duduknya. Aku langsung memutar papan tulis close di atas mejaku. “Pulang jam berapa, dek?” lanjutnya bertanya ku kira dia sudah pergi, ternyata dia masih berdiri di ambang pintu. Panggilannya itu tentu saja membuat rekan kerjaku menoleh ke arahnya. Bahkan Pak Yusuf yang tengah berdiri di depan meja teller langsung menatap ke arahku penuh selidik.

“Aku bawa motor sendiri, Mas.”

Mendengar jawabanku dia justru tertawa. “Mas kan cuma bertanya. Kau pasti berpikir kalau aku mau ajak kamu pulang bareng ya.”

Jawabannya tentu membuatku melotot ke arahnya. Dan ia justru tertawa geli, aku memberi kode padanya untuk segera pergi, sungguh aku malu menjadi tontonan rekan kerjaku. “Tapi, kalau kamu mau boleh sih.”

“Mas,” panggilku penuh tekanan.

“Oke-oke. Aku pergi.”

Aku menghela napas lega melihatnya benar-benar keluar.

“Panas... Panas... Badan ini pusing... Pusing...” Terdengar suara Gunawan berdendang menyanyikan sebuah lirik lagu. “Butuh adem sari gak Pak? Biar gak panas dalam gitu,” tawarnya pada Pak Yusuf.

“Mulut kamu memang minta di sumpal pakai koran ya, Gun.”

Gunawan langsung menutup mulutnya sambil tertawa. Membuat yang lainnya cekikikan.

“Ciee udah ada yang manggil Mas dan adek. Haduh itu nasabah baru, apa gebetan baru Ta? Akrab benar.” Mela menghampiri meja kerjaku seraya menggoda.

“Emm itu tadi sebenarnya...”

“Iya, siapa?” Riska ikut menimpali. “Calon Papanya Hira ya?” lanjutnya terus mencecarku. Membuat aku yang tengah merapikan data nasabah itu tidak bisa konsentrasi.

“Kalian ngapain justru gangguin Lita. Kembali ke meja masing-masing dan lanjutkan pekerjaan kalian sebelum pulang,” omel Pak Yusuf membuat rekan kerjaku yang semula berkumpul di depan mejaku pun berlalu. “Kamu juga lanjutkan pekerjaanmu, Ta.”

“Iya, Pak.”

Aku menghela napas lega melihat atasanku itu akhirnya masuk ke ruangannya. Rekan kerjaku berbisik-bisik membicarakan sikap Pak Yusuf yang dinilai berlebihan.

“Orang kalau cemburu tuh dari mata kaki sampai ujung rambut panas semua ya jadi kebakar dan meledak,” bisik Gunawan terkikik geli.

**

Pada pukul lima sore hari, aku baru keluar kantor. Menuju parkiran aku bergegas pulang, baru mau menyalakan mesin Pak Yusuf sudah berdiri di hadapanku.

“Sore, Pak.”

“Sore juga Lita.” Dia menjawab sapaanku, namun pandangannya tetap tertuju padaku seolah ada yang ingin ia tanyakan. Namun, aku tak ada niat bertanya. “Laki-laki tadi siapa kamu, Ta? Benar calon ayahnya Hira?”

Keningku mengerut mendengar pertanyaanku. “Nasabah baru kan,” jawabku polos.

“Tapi kamu seperti sudah akrab seperti itu kok.”

Aku tersenyum menanggapinya. “Saudaraku, Pak.”

Terdengar helaan napas lega darinya. Ah, dia kenapa sih. Ah sudahlah tanpa menunggu perkataannya aku langsung berpamitan pulang. Aku harus menjemput Hira lebih dulu. Jika sampai telat, anak itu bisa-bisa marah. Sebenarnya, jarak tempat tinggal ku ke tempat kerjaku lumayan jauh. Baru lima belas menit aku melajukan motorku tiba-tiba mesin motorku mati begitu saja. Mendorongnya ke pinggir, aku berkali-kali mencoba menghidupkannya. Namun, hasilnya nihil. Dengan rasa kesal bercampur malas aku mendorong menuju bengkel.

“Wah ini rusaknya cukup parah, Kak. Sepertinya harus full service ni.”

“Lama gak, Pak?” tanyaku. Jujur saja aku sedang terburu-buru ingin segera sampai rumah.

“Lumayan sih. Soalnya saya juga lagi ngerjakan yang lain. Ditinggal dulu saja ya, Kak. Besok baru diambil,” tawarnya.

“Ya sudah deh. Saya naik taksi saja.” Aku berlalu mengambil ponsel berniat memesan taksi online. Bisa saja milih ojek online, hanya saja aku merasa tubuhku sedikit lelah. Kalau pakai mobil lumayan bisa bersandar dan sedikit istirahat.

Sebuah mobil Avanza berhenti tepat di depan bengkel itu. Yang aku yakini itu taksi pesananku. Aku segera keluar dari bengkel membuka pintu mobil bagian penumpang dan duduk di sana.

“Dengan Mbak Thalita?”

“Iya, Pak. Alamatnya sudah sesuai aplikasi ya, Pak.”

“Baik, dek.”

Tunggu.

Kenapa aku merasa tidak asing dengan suara itu. Aku yang semula menatap ke arah jendela langsung menatap ke arah spion, betapa terkejutnya aku melihat Mas Ravi yang mengemudi. Bagaimana bisa? Pikirku. Aku langsung mengecek ponselku memastikan jenis mobilnya, sama.

“Kenapa terkejut gitu?” tanyanya setengah tertawa. “Pasti gak nyangka kan, kalau aku jadi sopir.”

“Iseng banget sih, Mas.” Aku mengomel antara rasa kesal dan penasaran. Kesal karena kerap bertemu dengannya, penasaran kenapa ia bisa jadi sopir taksi.

“Iseng gimana sih, Dek?” tanyanya setengah menggoda seakan-akan ia begitu menikmati raut wajah kesalku. “Demi menyambung hidup, ya harus begini.”

Ck! Aku berdecak mendengarnya. Menyambung hidup katanya. Dia itu bekerja di kantor yang notabenenya perusahaan besar, masih saja kekurangan.

“Cari nafkah, Dek. Buat modal masa depan kita,” lanjutnya membuat kedua mataku melotot dan ia terbahak. “Eh maksudku buat modal masa depan anakku,” ralatnya kemudian.

Bab terkait

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 7. Karena Kamu, Mas

    POV Thalita“Omonganmu itu loh, Mas!” sergahku dengan kesal. Namun, bukannya merasa bersalah Mas Ravi justru tersenyum menatapku dari balik spionnya. “Mas serius.”Aku menghela napas dengan panjang, memilih untuk bersikap abai. Selama ia terus melajukan mobilnya. Tiba-tiba lelaki itu memutar sebuah lagu Jawa dengan judul **Kelingan Mantan** *_Dek koe mbiyen janji ro aku. Nglakoni tresna suci iklhas tekan mati. Neng nyatane ngapusi, cidro ati Iki. Netes eluhku deres mili di pipi_Mendengar lirik lagu itu seketika membuat aku merasa Dejavu. Merasa jika mas Ravi tengah menyindirku. Dulu kami memang pernah saling berjanji akan terus bersama memperjuangkan cinta kita. Namun, nyatanya takdir berkata lain. Saat cinta itu terhalang restu keluarga, aku bisa apa? Selain mengalah, memilih meninggalkannya. Ibunya bilang itu demi kebahagiaannya. Ya, aku lakukan itu demi dirinya. Dan sekarang kami dipertemukan dalam status yang tak lagi sama seperti dulu. Apa yang harus ku lakukan? Sudah berusa

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-26
  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 8. Hanya Demi Ibu

    POV Aravi Monumen Nasional masih meninggalkan sejarah. Ya, sejarah aku dan kamu.Aravi***Namaku Aravi Kurniawan, merupakan anak pertama dari ketiga saudara. Adikku yang pertama bernama Rahman Kurniawan yang kini sudah menikah dengan orang Wonosobo. Sedangkan adik bungsuku Ria Tria Kurniawan juga sudah menikah dengan lelaki yang berasal dari Magelang. Ya, kami semua sudah memiliki keluarga masing-masing. Punya kesibukan masing-masing. Namun, Jalan cintaku tak semulus kedu adikku. Enam tahun yang lalu aku diputuskan oleh kekasihku — Thalita dengan alasan kami masih saudara. Aku sempat membencinya karena hal itu. Ia mengingkari janjinya untuk memperjuangkan cinta kami. Hatiku rasanya hancur mengingat betapa dalamnya rasa cintaku. Kenapa? Apa yang terjadi? Apakah dia meragukan cintaku? Padahal aku berjanji akan sekuat tenaga membahagiakan dirinya. Itulah pikiran negatif ku saat tiba-tiba ia memutuskan ku. Monumen nasional atau yang biasa disebut Monas akan menjadi sebuah sejarah yang m

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-28
  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 9. Ceraikan Aku, Mas.

    POV ARAVISetelah kejadian itu rumah tanggaku semakin terasa dingin. Sikap Adiba yang begitu sinis, dan selalu menaruh rasa curiga padaku, mengira jika aku selingkuh darinya. Aku berusaha untuk meminta maaf adanya, dengan mengatakan jika aku hanya salah sebut. Namun, perempuan itu tetap tak percaya padaku. Meski aku sudah berjanji akan memperbaiki semuanya. Tiga bulan kemudian, saat aku tengah sibuk bekerja di ruang tengah dengan laptopku. Dia datang tiba-tiba melemparkan sebuah amplop padaku. “Apa yang kamu lakukan?!” teriakku sedikit marah.“Buka amplop itu, Mas!” Dia menggertak berbalik marah, sambil melipatkan tangannya di dada. “Ini apa?" tanyaku.“Buka saja.” Karena desakannya aku pun membuka amplop itu yang ternyata berisi foto-foto kebersamaan ku dengan Lita. Aku tampak terkejut melihatnya, lalu beralih menatap ke arah Adiba yang kini menatapku dengan sinis. “Ini....”“Kenapa? Kamu kaget, aku bisa menemukan dan tahu siapa perempuan itu?” Aku menghela nafasnya. “Untuk apa k

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-30
  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 10. Cukup Sampai Di Sini

    “Kenapa?” tanyaku berusaha santai.Adiba mendongak menatapku dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca. Namun, sepertinya ia sudah berada di ambang batas kesabaran. “Jangan tanyakan kenapa, Mas? Kamu juga tahu alasannya. Rumah tangga kita memang tidak baik-baik saja. Sudah tak bisa terselamatkan,” sahutnya menatapku dengan sendu.Aku mendesis, merasa ingin memaki dalam hati. Agar kemarahan ini bisa terurai. “Empat tahun bukankah waktu cukup lama untuk kita bisa saling memahami. Tetapi, semua seperti berjalan dengan sia-sia. Rumah tangga yang kita jalani, hanya sebuah kepalsuan. Dan kini... Kenapa aku tidak menemukan kenyamanan apapun dalam dirimu. Aku justru menemukan kenyamanan itu pada orang lain,” sambung Adiba membuatku ingin kembali memaki dalam hati. Saat bayangan canda dan tawa Adiba pada seorang dokter muda di rumah sakit, serta cafe itu terlintas dalam otaknya. Seketika aku paham, jika istriku itu tengah membandingkan ku dengan dengan lelaki itu. “Aku terlalu bodoh selama

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-30
  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 11. Dia Sudah Bahagia

    'Kau berikan sejuta harapan. Indahnya bersamamu. Membuat aku terlena. Hanyut dalam asmara.'“Cih..” Aku berdesis malas mendengar lirik lagu Melayu yang dinyanyikan band cafe itu. Ya, demi mengusir kebosanan yang mendera dalam diriku. Pada malam Minggu aku mengajak Ari dan Mas Pram ke sebuah cafe dan restoran. Ya itung-itung nongkrong untuk melupakan permasalahan yang sempat terjadi. “Jadi, sudah resmi jadi duda ni,” kata Mas Pram padaku.Aku menyesap kopi di hadapanku, sambil memandang ke arah panggung di mana ada penyanyi cafe yang tengah menyanyikan sebuah lagu Melayu. “Begitulah.”“Menyedihkan sekali hidupmu. Jadi, duda perkara masa lalu yang belum usai,” timpal Ari.“Benar. Seharusnya kau sudah move on. Empat tahun loh, itu bukan waktu yang singkat.” Mas Pram ikut menimpali membuat aku mendengus, andai kata semua semudah itu. “Adiba itu kurang apa? Cantik, mandiri, berpendidikan, dan satu lagi sayang sama ibu kamu.”“Ya itulah kebodohanku.” Aku mengakui kebodohanku dalam hal ini.

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-31
  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 12. Masih Adakah Kesempatan?

    Setelah hari-hari itu, aku menjalani rutinitas ku seperti biasa. Ada jadwal tersendiri ketika aku ingin menemui Aksa. Kabar bahagia ku dapatkan setelah masa Iddah Adiba selesai. Ya, mantan istriku itu akhirnya dipinang oleh seorang lelaki yang bergelar seorang dokter juga , ia bernama Shaki Ramdhani. Aku turut bahagia mendengarnya, karena ia tak larut dalam luka yang ku ciptakan. Mungkin karena satu profesi dan satu tempat, jadi Adiba mudah akrab dengannya. Apapun itu aku ikut bahagia mendengarnya.Satu bulan kemudian aku datang ke acara pernikahan Adiba dan Shaki. Di tengah kerumunan orang-orang aku sesekali menatap ke arah kedua pengantin baru yang berdiri di atas panggung. Mereka tampak serasi bahagia. Baik mempelai wanita maupun laki-laki. Senyumnya benar-benar tulus, tiada kepura-puraan seperti yang saat itu aku lakukan saat menikahi Adiba. “Papa...” Tiba-tiba Aksa menghampiriku. Entah sejak kapan anak itu turun dari panggung. Mungkin karena aku terlalu larut dalam pemikiranku.

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-01
  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 13. Duda Genit

    Pov ThalitaAku menghela napas kasar, berkali-kali membuang pandangan ke arah lain, demi menghindari tatapan Mas Ravi. Inilah yang aku takutkan jika makan di restoran di mall di mana tempat Mas Ravi bekerja. Jika saja bukan karena paksaan Pak Yusuf selaku atasanku. Aku tentu akan menolak makan di sini. Karena dia akhirnya kami berada di sini. Restoran yang menyajikan makanan khas Jepang menjadi pilihan kami. Katanya mumpung baru gajian. Semua teman-temanku asyik menikmati makanan. Sementara aku merasa canggung, karena sejujurnya sedikit terpaksa. Tak jauh dari meja kami, ada Mas Ravi dan teman-temannya yang juga tengah makan bersama. Padahal selama ini aku berusaha untuk menghindari dirinya, sekalipun ia kerap mengirim pesan terus saja ku abaikan. Meski begitu tak jarang Mas Ravi kerap mengirimkan makan siang ke tempat kerjaku. Hal yang tentu mengundang perhatian teman-temanku. “Ta.. Ta....”Aku berjingkrak kaget saat Mela memanggil namaku.“Hey iya apa?” jawabku secara spontan bahk

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-01
  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 14. Terjebak Hujan

    Pada pukul lima sore aku baru keluar dari kantor. Dengan membawa tentengan ku letakkan di gantungan motor depan. Karena bujukan Mela akhirnya aku pun belanja di supermarket. Memang kebetulan persediaan bulanan di rumah sudah habis, aku pun ikutan kalap. “Duluan, Ta.” Teman-temanku berteriak sambil melambaikan tangannya, ada berkendara sendiri, ada yang dijemput kekasihnya, ada juga suaminya. Lalu aku? Apakah jika aku menikah dengan Mas Ravi. Aku akan diantar jemput olehnya, mengingat tempat kerja kami sangat dekat. “Astaghfirullah....” Spontan aku menyebut seraya mengusap dadaku, berusaha untuk sadar diri, jika apa yang aku pikirkan itu sama sekali tidak pantas. “Ada apa, Ta?” Pak Yusuf yang baru keluar dari kantor tampak terkejut melihatku. “Enggak apa-apa, Pak.”“Kirain ada apa? Kamu tampak terkejut gitu.”Aku terkekeh memasang helm kemudian naik ke motor. “Saya duluan ya, Pak." Pamitku sebelum menghidupkan motor.“Hati-hati, Ta."Aku mengangguk seraya berlalu meninggalkan area

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-02

Bab terbaru

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 34. Last Chapter

    Jakarta, lima tahun kemudian.“Saya pikir yang seperti ini lebih baik, Pak.”“Coba ku lihat.” Mas Ravi mengambil dokumen dari rekannya, menelitinya. “Oh oke, aku setuju."“Baiklah kalau Pak Ravi setuju.” Laki-laki itu mengambil kembali dokumennya. “Saya permisi ya, Pak.”“Lho kok buru-buru? Istri saya sedang masak.”Laki-laki itu tertawa kecil. “Haduh sebelumnya terima kasih banyak, Pak. Tadi saya sudah janji mau makan bareng sama istri di rumah. Nanti kalau saya sudah kenyang kasihan dia menunggu.”“Aku mengerti.”Sepeninggal lelaki itu, aku melanjutkan langkahku mengantarkan minuman jahe pada suamiku. “Ini, Pa. Segera diminum ya. Nanti keburu dingin gak enak.”Dia mengambil alih gelas dari tanganku, lalu menyesapnya pelan. “Gak ada yang gak enak kalau disentuh kamu. Karena sudah ditambah bubuk cinta.”“Gombal!” selorohku mencubit perutnya, membuat ia meringis pelan. “Sudah tua masih suka gombal.”“Lho lho... Usia itu hanyalah angka. Soal stamina masih okelah. Kamu gak boleh meraguk

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 33. Rindu Dua Buah Hati Yang Di Surga

    “Sudah dari tadi, Diba?” tanya mertuaku begitu tiba rumah. “Oh belum, Bu. Kamu baru tiba.” Perempuan berparas cantik itu berdiri menghampiri ibu, menyalaminya dengan takjim. “Ibu apa kabar?” lanjutnya bertanya.“Allhamdulilah baik nak.” Ibu mengusap pundak mantan menantunya itu. “Udah ayo duduk. Dinikmatin ya kue-kuenya.”Adiba mengangguk. “Aku senang mendengar Ibu sekarang jauh lebih sehat.”“Iya, karena sekarang ibu jadi rutin kontrol. Apalagi menantu ibu juga seorang dokter, jadi seperti terpantau sekali, nak Diba.” Ibu melirik ke arah Pandu — suaminya Ria.“Oh iya aku lupa.” Adiba beralih menatap Khanza yang tampak. “Apa sayang?” tawarnya ketika putrinya itu menunjuk ke arah makanan. “Mamamam...”“Oh maem. Bunda ambillah ya.” Dia mengambil satu kue kering diberikannya pada Khanza.“Sudah besar ya Khanza. Sama nenek mau tidak.” Ibu mengulurkan tangannya menggendong Khanza. Tampak wajahnya berbinar terang, ia terlihat begitu bahagia. Ada rasa haru yang ku lihat. Berkali-kali ku l

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 32. Kerinduan Hadirnya Sang Buah Hati

    Yogyakarta, 3 tahun kemudian.Gema takbir berkumandang memenuhi langit malam. Orang-orang saling sibuk mempersiapkan diri menyambut hari lebaran yang telah tiba. Begitupula dengan keluarga besar Mas Ravi, saat ini kami semua telah selesai berbuka puasa bersama. Usai melangsungkan sholat Maghrib berjamaah kamu berkumpul di ruang keluarga sambil menonton televisi. Beberapa kue juga sudah tersaji di atas meja. “Mba, jadi gak ke rumah Mbah Sukro.” Budhe Darti — Kakak kandung ibu mertuaku tiba-tiba menyongsong masuk.“Jadi, sebentar.” Ibu berlalu masuk ke dalam kamarnya mengganti pakaian. Aku masih duduk santai di sisi Mas Ravi. Sementara sebelahnya lagi ada Rahman dan Yeni istrinya, sedangkan Ria tengah menyuapi putrinya yang baru berusia setahun, sementara suaminya ada piket malam karena agar besok bisa mengambil libur. Anak-anak bermain-main di ruang keluarga. Aksa belum tiba masih di rumah Adiba. Ku lihat ekor mata Budhe Darti menyusuri ruangan dan terhenti padaku. “Kamu lagi hamil y

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 31. Biar Kaya Orang Pacaran

    POV THALITASelama masa pemulihan aku benar-benar diminta bed rest total oleh Mas Ravi. Padahal di rumah ada ibu mertua dan anak sambungku. Jadinya, makanan yang selalu tersaji itu ibu yang masak terkadang Mas Ravi memilih membeli dari luar. Untuk beres-beres dan mencuci pakaian semua Mas Ravi yang kerjakan. Kadang ia kerjakan setelah pulang kerja, atau kadang sebelum berangkat. Aku kasihan sekali melihatnya. Beberapa hari lalu aku mendengar Mas Ravi menerima telpon. Ia menolak untuk diminta tugas kunjungan ke Bandung lagi, karena kondisiku. Hal itu membuat aku merasa bersalah, padahal aku merasa sudah baik-baik saja. Mas Ravi yang terlalu cemas. Fisikku baik-baik saja, hanya terkadang aku merasa masih berduka karena harus kehilangan calon buah hati kamu yang belum sempat lahir ke dunia ini. Pagi-pagi sekali aku sudah berkutat di dapur membuat sarapan. “Lho Ibu sedang apa?” suara Aksa membuatku menoleh. Tampak anak itu mengerutkan keningnya bingung, melihat aku pagi-pagi sudah di d

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 30. Semua Hanya Titipan, Sayang

    POV ThalitaKarena Mas Ravi masih ada di Bandung, dan kebetulan hari ini ada pengambilan raport Hira. Aku memutuskan untuk mengambilnya sendiri, mungkin aku akan ijin beberapa jam sebelum masuk kantor. Tidak masalah nanti di jam istirahat aku akan bekerja. Sejujurnya aku bisa saja meminta tolong tetangga yang aku percaya menjemput Hira. Tapi, aku tidak mau Hira berkecil hati. Teman-temannya datang dengan Ayah atau ibunya, dan dia masa haru sama orang lain. Tentu saja sebelumnya aku sudah mengantongi ijin Mas Ravi. Meski Hira itu darah dagingku sendiri, tapi Mas Ravi itu suamiku, yang sudah sepatutnya harus ku hormati. Kumpulan wali murid terlaksana lancar, dan lagi aku merasa lega karena SPP Hira memang sudah aku lunasi berikut dengan biaya raportnya. Keluar dari gedung sekolah, aku melirik arloji di tanganku, masih ada waktu lumayan. “Bu, aku pengen ice cream di taman.” Hira menggoyangkan lenganku membuat aku menoleh ke arahnya. “Iya.”“Ayo, Bu. Makan ice cream di sana.” Hira menu

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 29. I'ill Come Papa

    POV Thalita'Mau ke surga bareng aku gak?'Aku menatap penampilanku di cermin sambil tersenyum mengingat pertanyaan Mas Ravi, yang pada akhirnya kini ia berhasil membuat aku berubah. Ya aku memutuskan untuk berhijab saat keluar apalagi saat bekerja. Tentu saja keputusan itu di dukung penuh oleh suamiku. “Mas aku mau ayam yang ada di piring kamu itu loh,” pintaku tiba-tiba. Saat ini kami tengah sarapan bersama sebelum melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Beberapa hari ini merasa sangat aneh dengan diriku, selalu ingin dekat dengan suamiku. Bahkan aku selalu merasakan rindu yang menggebu-gebu. Lebih anehnya lagi aku selalu menyukai makanan apapun yang telah dimakan suamiku. “Ini ada loh, sayang. Masih banyak.” Mas Ravi menunjuk ke arah piring di mana di sana masih ada ayam goreng yang tadi aku masak. Aku mengerti maksud Mas Ravi, ia hanya menunjukkan makanan yang jelas masih utuh. Tapi, aku merasa enggan menyentuhnya.“Aku gak mau itu, Mas.”Kening Mas Ravi mengerut bingu

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 28. Look At Me And Trust Me

    POV Thalita“Sudah siap sayang?” tanya Mas Ravi membuka pintu kamarku. Hari ini kamu berencana menghadiri pernikahan Mela dan Pak Redi. “Sudah, Mas.” Aku tersenyum ke arahnya. Tampak ia menatapku tanpa berkedip, entah apa yang ada dalam pikirannya. Namun, ia tak henti tersenyum ke arahku. “Mas... Ngelamun sih,” kataku menepuk bahunya membuat ia tersentak.“Aku terpukau sayang. Kamu cantik banget, jadi sayang mau dibawa keluar.”Aku melongo ke arahnya. “Terus?”“Kurung aja di kamar ya,” selorohnya membuat aku tergelak.“Ngaco. Ayo berangkat.” Aku langsung menggandeng tangannya keluar. Jika dibiarkan bisa-bisa beneran ia mengurung diriku di kamar seharian. Apalagi sekarang Hira sudah memiliki teman di kompleks perumahan ini. Ya, aku sudah menemukan pengganti Budhe dalam mengasuh dan menjemur Hira saat pulang sekolah. Tetanggaku yang jarak rumahnya hanya dua rumah dari rumah kami. Jadi, sekarang aku lebih tenang meninggalkan Hira saat bekerja. “Hira beneran gak mau ikut ini sayang?” ta

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 27. Mau Ke Surga Bareng Aku Gak?

    POV ThalitaWaktu bergulir begitu cepat tak terasa masa cuti kamu sudah habis. Aku merasa senang karena akhirnya Hira tak lagi memusuhi Mas Ravi. Ya selama di Yogyakarta suamiku kerap membawa Hira jalan-jalan, memang pandai sekali ia mencuri hatinya. Bahkan Hira tak segan memanggilnya Papa. Aku tersenyum ketika mengingat cerita Mas Ravi tentang panggilan Hira padanya.‘Kemarin saat aku mengajak Hira ke Taman Pintar, aku bertanya padanya Hira kenapa memilih memanggil Papa kenapa tidak Ayah?’‘Karena Ayahku adalah Ayah Dani. Dan Papaku adalah Papa Ravi. Meski aku tak pernah berjumpa tapi ia selalu di sini,’ Dia menunjuk ke arah dadanya.Aku tersentuh tak mengira jika putriku bisa berpikir sejauh itu. Sampainya di Jakarta tak ada lagi waktu kami untuk bersantai. Kami langsung menempati rumah baru yang Mas Ravi beli. Sebelumnya kami juga mengajak Aksa. Namun, anak itu menolak dan mengatakan nanti saat liburan akan berkunjung. Ketika kembali menginjakkan kaki di rumah. Aku kembali terke

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 26. Apa Yang Enak Kalau Sepi?

    POV Thalita“Mas?” Aku tak pernah menyangka jika Mas Ravi akan mengajakku memasuki pintu yang dinding depannya bertuliskan Presidensial Suite. Tentunya membuatku tercengang saat ia membimbing bahuku berjalan melewati lantai marmer yang terasa licin saat diinjak.Mas Ravi tersenyum ke arahku. “Gimana? Suka gak?”Aku terdiam, tubuhku terasa lemas. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di lobi hotel ini aku sudah dibuat terkagum-kagum dengan kemewahan dan suasananya. Dan sekarang ia justru membawaku ke presidential suite? Ya Allah berapa banyak lagi uang yang telah ia keluarkan untuk diriku. Aku memang belum pernah menginap di sebuah hotel seperti ini. Tetapi, bukan aku tak tahu apa-apa. Aku jelas tahu seberapa mahalnya jenis kamar ini. Bahkan aku merasa lidahku terasa kaku untuk menjawab. “I—ini terlalu mewah, Mas.” Aku menjawab dengan rasa gugup yang tak terkira. Sebelumnya ia memang mengajakku menginap di sebuah hotel, mengingat saat di rumah Hira terus saja menempel padaku. Bukan M

DMCA.com Protection Status