Sekarang gantian aku yang kaget. Point 3 katanya pointn merampok, menurut Ridwan?
Sembarangan!
"Siapa yang mau merampok, Mas? Apa aku ada tampang merampok?" Aku balik memelototkan mata ke arah Ridwan. Membalas matanya yang hampir loncat menggelinding
"I-itu kenapa pointnya seperti itu?" protes Ridwan yang wajahnya terlihat ngeri.
"Kenapa?;terlalu sedikit ya, buat harga kesetiaan. Aku naikkan jadi 10 milyar, gimana?"
"Apa?" Ridwan bukan hanya melotot, tapi keningnya sekarang berkerut dalam. "Yang benar saja, Rosi!"
"Oke..oke .aku jabarkan kenapa ada point' tiga absurd itu." Akhirnya aku mengalah. Aku akan jelaskan, kenapa membuat point' tiga itu, yang membuat Ridwan seperti kebakaran jenggot.
"Kesetiaan itu mahal harganya, Mas. Uang satu milyar atau berapapun, tidak bisa menggantikannya." Aku menghela napas sejenak. "Kesetiaan sangat langka di zaman seperti sekarang ini."
Ridwan kali ini terdiam, seperti tengah berpikir dengan ucapanku.
"Kamu pernah di khianati?" Ridwan malah balik bertanya.
"Sering." Aku tersenyum kecut. "Bukan hanya pengkhianatan, tapi orang yang mendekat ke arahku hanya ingin numpang hidup. Lelaki kere, yang pengen hidup enak, tanpa capek, karena aku wanita pekerja."
Hening.
Tidak ada sahutan dari Ridwan. Hanya terdengar bunyi mendesis dari masakan yang sedang disiapkan di dapur kafe.
Mata Ridwan beralih menatapku sangat lekat
"Jadi itulah...kenapa kamu sampai sekarang belum menikah?" tanyanya hati-hati
"Iya," jawabku jujur. Biarlah, tak ada yang aku tutupi sekarang, biar Ridwan mengerti aku sebelum melangkah jauh.
"Baiklah, aku mengerti." Ada senyum di bibir Ridwan. "Aku juga dikhianati Joana. Mungkin perasaan kita hampir sama."
Aku tersenyum lega. Baru saja hendak ku ceklis point' tiga, tetapi..
"Point' itu juga berlaku untukmu, kan?" tanya Ridwan buru-buru. "Termasuk... jika kamu selingkuh, denda juga satu milyar. Begitu ya, Rosi?"
Aku mengangguk. "Ya. Karena aku orangnya adil. Tidak mau enak sendiri."
Ridwan manggut-manggut. "Deal!" ucapnya sambil tersenyum.
Aku menghela napas panjang. Ternyata memang tak mudah berhadapan dengan perjanjian pra-nikah ini. Aku juga dituntut konsisten, tunduk pada yang telah kutuliskan.
Dengan berdoa, kuceklis point' tiga. Done!
"Perjanjian ini sengaja kubuat rangkap tiga, tolong tanda tangani!" Aku menyodorkan tiga lembar kertas.
"Rangkap tiga? Banyak sekali. Buat siapa aja?" Ridwan mengerutkan kening sambil menerima kertas itu.
"Aku satu, kamu satu. ..."
"Satu lagi siapa? Ibumu?" sela Ridwan tak sabar
"Bukan, pengacara. Biar ada pihak netral yang menyimpannya."
Ridwan menggelengkan kepalanya. "Kamu teliti sekali, Rosi. Semua disiapkan matang, seolah begitu genting dan penting sekali," komentarnya.
"Iya, maaf, Mas. Saya hanya berjaga. Sedia payung sebelum hujan."
Ridwan tak lagi protes, langsung mengambil pulpen yang kusodorkan dan menanda tangani tiga berkas itu.
Done!
Akhirnya perjanjian itu telah resmi ditanda tangani oleh aku dan Ridwan.
Tak berapa lama, pesanan makanan tersedia. Ridwan terlihat makan dengan lahap. Kali ini wajahnya tenang. Aku perhatikan secara diam-diam. Dalam hati bertanya, lelaki seperti apa jodohku ini?
Tiga point' perjanjian yang bagi orang lain mungkin nyebelin, bikin darting, dia terima, meskipun semuanya ditanyakan dulu alasannya padaku. Aku bisa menjelaskan semua alasannya dengan tidak mengada-ada. Masuk akal.
Diam-diam ada rasa kagum dalam hati. Usia muda, tapi pemikirannya sangat dewasa, malah terkesan bijak. Kenapa isterinya sampai bisa meninggalkannya seperti itu? Jarang ada tipe lelaki smart tapi hatinya baik seperti dia.
"Makan saja, gak usah sambil diam-diam lihatin gitu," celetuk Ridwan, membuatku hampir keselek.
Glek! Ketahuan deh aku memerhatikannya diam-diam! Rasanya pengen nyelam ke dasar tanah. Malu. Salting jadinya.
"Uhuk..uhuk..." Aku jadinya terbatuk-batuk.
Ridwan mengangsurkan es jeruk. "Minum dulu," katanya sambil tersenyum.
Aku segera meraih gelas, meminumnya agak banyak, sambil rasa tersedak hilang.
Gara-gara dia, aku jadi terlihat konyol. Dasar, Rosi! Kok, bisa malu-,maluin gini?
"Jadi bagaimana? Kita sudah fix jadi menikah, kan?" tanyanya lagi memastikan.
"Iya!" Aku mengangguk, sambil kerepotan mengatur ritme jantungku yang berdebar tak karuan.
"Kalau sudah fix, aku akan kenalkan kamu pada si kembar empat."
Nah, ini dia ujianku yang sebenarnya. Harus bisa jadi ibu tiri yang baik untuk empat anak kembar.
Apa aku bisa?
"Rosi!" panggil Ridwan sebelum masuk ke mobilnya untuk pulang.
"iya, Mas?" Aku melihat ke arahnya.
"Kamu memang merampok, kok!"
"Hah?" Aku kembali melotot ke arah Ridwan.
"Merampok hatiku!"
Aw...tubuhku serasa naik roll coaster. Melayang, merinding, dan ingin menjerit kaget. Namun, buru-buru kutahan dan pasang muka biasa saja.
'Mas ... bisa aja!"
Ridwan tersenyum lalu masuk ke dalam mobil. Aku juga masuk ke mobilku.
Uhuy ... jantungku serasa meletup-letup hendak loncat.
Oh...cinta, inikah rasanya?
***
Aku terburu-,buru kembali ke kantor, setelah waktu istirahat habis.
"Adu..duh, Valentina Rosi. Jalan tuh pakai mata!" teriak Sida, yang tubuhnya hampir bertubrukan denganku di pintu masuk kantor."Jalan tuh pakai kaki, bukan mata!" balasku sambil ngeloyor masuk ruangan. Sida misuh-misuh sendiri. Sobatku di kantor itu, sudah biasa melihatku yang kadang jalan serampangan. Namun, tetap saja keki kalau bertubrukan kayak barusan.
Aku segera berjalan ke ruanganku. Jabatanku di kantor masuk kategori penting. Manajer penjualan. Berkaitan sekali dengan marketing.
"Rosi, dipanggil Pak Abda. Semua manajer dan kepala bagian, harus kumpul di ruang meeting!" Kepala Adi terjulur di pintu ruangan. Dia pegang personalia.
"Sekarang?"
"Iya, sekarang, jangan nunggu lebaran monyet.'
Aku mendengkus. Dasar, Adi. Seenaknya saja nyeletuk.
Aku melangkahkan kaki ke arah ruang meeting. Sudah ada beberapa orang yang duduk menunggu.
Setelah para manajer dan kepala bagian hadir semua, Pak Abda--CEO perusahaan--memulai meetingnya.
"Akan ada investor baru di perusahaan ini. Sekarang orangnya sedang di jalan menuju ke sini. Kalian bersiap-siap, ya menyambut," ucap Pak Abda. "Tunjukkan kinerja kalian yang baik. Terutama Rosi, manager penjualan dan marketing, harus bisa menunjukkan prestasi lebih lagi biar investor puas!"
Aku menganggukkan kepala mendengar titah Pak Abda. Hati ini penasaran juga dengan sosok investor ini. Semoga saja tidak banyak aturan yang memberatkan perusahaan.
"Kayak gimana orangnya, ya? Kok, disambit, eh...disambut istimewa begini?" Ruri si accounting penasaran.
"Meneketehe!" Aku menggedikan bahu.
Ruangan hening beberapa menit, sampai akhirnya Pak Abda berbicara lagi tentang latar belakang investor itu.
Perusahaannya sudah lama berdiri, pernah kena badai krisis tapi bisa bangkit lagi, malah lebih kuat dari sebelumnya. Investor itu melirik ke perusahaan ini, karena dilihat potensial bisa kerjasama dengan perusahaannya.
Tengah asyik menyimak, terdengar ketukan di pintu.
"Masuk!" seru Pak Abda.
"Tamu yang ditunggu sudah datang, Pak," ujar Yesi sang sekretaris.
"Suruh masuk!"
Akhirnya seluruh mata memandang ke arah pintu, semua penasaran dengan sosok investor yang dari tadi dibicarakan.
Mataku melotot, seolah melihat hantu!
Sesosok tubuh gagah berdiri di ambang pintu, bibirnya menyunggingkan seulas senyum.
"Silakan masuk, Pak Ridwan!" Pak Abda menyambut sambil berdiri.
Seluruh peserta meeting berdiri ikut menyambut, termasuk aku, yang kaget dan terbengong sendiri. Lidahku terasa kelu. Jadi...investor itu Ridwan? Alamaak...ini bukan mimpi 'kan?
Terlihat Ridwan meghunjamkan tatapannya padaku seraya tersenyum semakin lebar. Apa ini bentuk balas dendam karena perjanjian pra-nikah tadi? Dia jadi investor dan bisa menekan bosku menuruti perintahnya.
Aku menelan ludah yang terasa pahit. Semoga Ridwan tidak sepicik itu pikirannya.
"Amboii...gantengnya!" bisik Ruri sambil menyikut lenganku. Matanya menatap tak berkedip ke wajah Ridwan yang sedang tersenyum. "Gue kira investornya sudah peot, ubanan atau kepalanya botak!" Ruri mengikik pelan.
Aku mendelik sebal ke arah Ruri. Belum apa-apa, Ridwan sudah dapat fans berat ini. Alamat...point' tiga cepat kesampaian. Aku bisa tajir...dong,!
Eh...ngga ding, aku malah berharap pernikahanku langgeng nanti, tanpa ada huru-hara. Aku harus bisa bersikap biasa, jangan sampai ada yang tahu....calon suamiku investor di sini.
Ridwan berjalan pelan ke arah Pak Abda yang dari tadi berdiri.
"Apa kabar, Pak Ridwan? Senang Anda bisa datang secepat ini," sambut Pak Abda sambil mengulurkan tangan untuk berjabatan.
"Kabar baik, Pak," balas Ridwan sambil membalas jabatan tangan Pak Abda.
"Saudara...saudari... Ini Pak Ridwan, investor baru kita, yang tadi kita bahas. Beliau akhirnya datang lebih cepat dari perkiraan." Pak Abda mengenalkan Ridwan.
"Selamat siang, semua. Saya Ridwan Ramdani. Senang bertemu dengan para manager dan kepala divisi di perusahaan ini," sapa Ridwan seraya tersenyum.
Matanya menyapu ke semua orang yang hadir, bahkan lebih lama menatap ke arahku tanpa bicara. Aku kelimpungan sendiri, tak berani balas menatap matanya. Jantungku terdengar gedebak-gedebuk tak karuan.
Dia nampak tenang dan kharismatik.. Tubuhnya dibalut kemeja navy tadi ketika ketemu dan jas hitam. Nampak resmi dan gagah.
Meeting akhirnya berjalan. Rasanya lama sekali. Waktu satu jam serasa setahun. Omegot!
***
Ketika meeting berakhir, peserta sudah keluar. Menyisakan aku, Ridwan dan Pak Abda di ruangan.
"Rosi!" panggil Ridwan pelan. Rupanya dia sudah ada di belakangku, yang sedang bersiap meninggalkan kursi.
"I-iya,?" sahutku gugup. Kulirik ke arah Pak Abda yang melihat ke arahku. Apa dia tahu tentang Ridwan dan aku?
"Sepulang kerja nanti, aku ke rumahmu. Untuk membawamu berkenalan dengan si kembar," bisiknya hati-hati. "Aku tadi lupa bilang di kafe."
Biar tidak mengobrol panjang, aku segera mengangguk setuju.
"Jangan takut, semua pegawai dan Pak Abda tidak ada yang tahu hubungan kita."
Rupanya Ridwan mengerti sotuasi dan memilih menutup rapat hubunganku dengannya.
Aku menghela napas lega.
"Baik. Terima kasih. Permisi, Pak. Saya pamit," ucapku pura-pura, menghindari kecurigaan Pak Abda.
Ridwan mengangguk seraya kembali tersenyum. Lesung pipinya terlihat manis. Aku segera melangkah keluar ruangan, sebelum jantungku rontok lagi.
"Investor tadi, ulala...cakep, bo! jantungku gedebag- gedebug gini," ucap Ruri heboh di ruangan karyawan.
"Masa, sih?" tanya Sida, staf marketing, yang juga sobatku, ikut antusias.
"Iya, kamu suka nonton drakor Crash Landing on you? Persis dia tuh, cowoknya!"
"Wow...keren, dong!" Mata Sida berbinar. "Dia udah punya isteri belum, ya?"
"Ehem!" Aku merasa gatel ingin protes . Gawat, mereka jadi ikut terpesona pada Ridwan.
"Naaah...apa si Valentina Rosi, bakal ikut kesengsem juga sama tuh investor?" ledek Sida.
Aku diam. Hanya bisa tersenyum kecut.
Tahukah kalian? Makhluk Tuhan yang kalian rumpiin itu, bakal jadi jodohku? Ingin sekali.teriak seperti itu, tapi hanya bisa dalam hati saja!
Rasanya mulut ingin teriak jujur. Hanya status Ridwan yang investor perusahaan, itulah yang jadi alasan pertimbanganku.
Aku takut, nanti malah jadi masalah, atau malah merubah kebijakan atau aturan di perusahaan. Jadi untuk sementara waktu, terpaksa diam dulu. Bertindak secara profesional kerja dulu. Urusan nanti...biarlah gimana nanti.
Aku segera ngeloyor ke ruangan, tanpa menjawab ledekan Sida. Menenangkan hati yang mulai bergejolak tak karuan.
"Si Rosi kenapa, tuh, diam melulu?" tanya Ruri.
"Lagi pe em es, kali..." terdengar Sida ngikik geli.
Aku pura-pura tidak dengar. Apa aku cemburu, Ridwan di gilai teman-teman kantorku?
Entahlah ...
***
Sore itu, sesuai janji, Ridwan datang ke rumah, dan meminta izin pada emak membawaku ke rumahnya, untuk berkenalan dengan calon anak sambungku yang berjumlah empat.
Keringat dingin serasa mengucur di punggung, padahal ada AC, saat aku sudah duduk dalam mobil, bersebelahan dengan Ridwan yang pegang setir. Seumur-umur, aku belum pernah grogi separah ini. Biasanya, aku malah terkesan cuek pada lelaki. Akan tetapi, kenapa sekarang malah belingsatan tak karuan?
Tuhan...inikah jatuh cinta yang dalam? Belum apa-apa, rasanya aku sudah mati kutu duluan. Point-point perjanjian pra-nikah yang kubuat seakan mengejekku.
Nah, rasain lu, Rosi. Kamu kelilipan cinta sebelum waktunya, kan?
"Kenapa wajahmu tegang seperti itu?" tanya Ridwan, tiba-tiba.
"Tidak apa-apa," sahutku.sambil berusaha melawan grogi. "Hanya bingung, Mas tidak bermaksud balas dendam kan, jadi investor di tempat kerjaku?"
"Ya, tidaklah! Niat itu ada, sebelum kita dijodohkan. Baru ada waktu sekarang, untuk meetingnya. Aku juga kaget, kamu ternyata kerja di perusahaan Pak Abda," ungkap Ridwan tenang.
Aku terdiam, sekuat tenaga membuang rasa sungkan dan grogi yang bercokol di hati. Semoga, memang ini hanya kebetulan semata, Ridwan jadi investor di perusahaan. Bukan settingan.
Tak berapa lama, mobil memasuki sebuah rumah bercat putih, dengan taman asri di depannya.
"Sengaja ada space taman luas di sekitar rumah, biar si kembar bisa bebas bermain," ucap Ridwan ketika mataku mengagumi taman indah itu.
Aku tersenyum. Ridwan sungguh pengertian dan perhatian pada perkembangan buah hatinya.
Pelan mobil berhenti di paving blok depan rumah. Ridwan turun dan membukakan pintu mobil untukku. Aku kembali tersenyum, merasa tersanjung diperlakukan istimewa.
Kaki ini akhirnya melangkah, mengikuti tubuh tinggi Ridwan ke arah pintu rumah.
Ketika pintu terbuka, mataku terbelalak kaget, karena empat orang anak berlari menyerbu Ridwan.
"Papa..papaa!"
Teriakan bersahut-sahutan keluar dari mulut-mulut mungil itu.
Empat anak lucu, berkulit kuning, nampak berebutan bergelayut di tangan Ridwan. Dua di tangan kiri dan dua di kanan,
"Hallo...anak papa, pada kangen, ya?" sapa Ridwan sambil menciumi satu persatu anaknya.
"Iyaa...yuk, Papa. Kita masuk!"
Mereka berebutan menarik tangan Ridwan masuk ke dalam rumah.
"Eh, nanti dulu, kenalin dulu sama Tante ini ya, anak-anak!"
Ridwan menarik lenganku. "Ini bakal jadi mama kalian nanti, ya. Ayo, cium tangan!"
Keempat anak berwajah lucu itu menatap ke arahku. Mata-mata bening itu mengerjap tidak percaya.
"Ini nanti yang jadi mama Jihan?" celetuk salah satu dari mereka, anak perempuan berbadan paling montok.
"Iya. Ini kenalin...namanya Mama Rosi." Ridwan tersenyum sambil mengenalkan. "Ayo, Jihan, Jane, Zidan dan Ziyan, salaman dan cium tangan Mama Rosi!"
Keempat anak itu hanya menatapku tak berkedip. Wajah mereka terlihat ragu.
"Lho...kenapa pada diam?" tanya Ridwan heran.
"Ini bakal jadi mama tiri ya, Papa? Katanya mama tiri itu jahat, suka merebus anak tirinya," celetuk anak lelaki yang terlihat paling tua.
Aku terperanjat. Mataku membulat sempurna, hampir meloncat jatuh karena kaget tak kepalang.
Merebus anak? Dari mana mereka dapatkan ajaran buruk itu?
"Zidan, siapa yang bilang begitu? Tidak semua mama tiri itu jahat. Ada yang baik," sergah Ridwan buru-buru.
"Momi Jo yang bilang, kemarin telepon melalui Mbak Mey ke Zidan dan adik-adik," sahut Zidan polos.
Momi Jo? Keningku berkerut, apa dia itu Joana, mamanya si kembar yang meracuni pikiran anak-anaknya?
***
Ridwan melirik ke arahku, ada raut tidak enak setelah mendengar pengakuan dari anak-anaknya."Anak-anak, masuk dulu ke dalam ya, nanti Papa menyusul," ucap Ridwan lembut pada anak-anaknya."Tapi Papa nanti masuk, ya?" ucap anak perempuan berambut seperti Dora."Iya, Jane, Sayang. Nanti Papa masuk menyusul."Jadi anak perempuan berambut seperti kartun Dora itu, bernama Jane. Dia paling ramping dan putih dibanding tiga saudaranya.Anak-anak itu menurut dan berlarian ke ruangan dalam rumah."Maafkan ulah anak-anak ya, Rosi." Ridwan menatap ke arahku dengan mata menyesal.Aku mencoba tersenyum. Berusaha maklum, meskipun hatiku ciut dan serasa teriris. Kesan pertama diperlihatkan anak-anaknya Ridwan, seperti rasa takut padaku. Anggapan Ibu tiri yang jahat.Ada racun yang ditanamkan dalam pikiran anak-anak yan
**Aku memandangi terus mobil Ridwan, sampai hilang di belokan jalan.Jantungku masih gedebak-gedebuk tak karuan, setelah barusan ada sedikit salah curiga.Aku kira Ridwan...Pipiku memanas. Aih, kenapa pula pikiranku jadi belok begini? Aku menoyor kepalaku sendiri.Rosi, jangan piktor, pikiran kotor!Segera aku berbalik dan masuk ke rumah setelah mengucap salam."Uhuk...uhuk...ngga jadi adegan delapan belas plus-plus-nya?" goda Risa sambil tergelak.Semvlak! Rupanya Risa ngintipin aku tadi."Eh, anak ingusan dilarang ngintip, bintitan tingkat menteri nanti!" gerutuku antara sebal dan malu."Anak ingusan juga bentar lagi kawin, Mbak e!""Lu ngikut mulu kayak gerbong kereta."Risa semakin jahil tertawa. "Mbak kan locomotifnya, gue gerbongnya, haha. Dimana-mana adek itu ngikut kakaknya."Risa langsung ngacir ke kamar, ketika aku sudah siap meny
Duda Beranak EmpatPart 6***Sampai rumah aku melihat mobil Ridwan terparkir di depian. Rupanya Ridwan lebih dulu datang, sebelum aku pulang. Gara-gara Joana, aku jadi terlambat pulang tiga puluh menit."Assalamualaikum." Aku mengucap salam dengan tak bersemangat."Waalaikumsalam." Ibu dan Ridwan serempak menjawab salam.Dengan langkah gontai aku masuk ke ruang tamu."Kenapa wajahmu lesu amat, Rosi? Tumben juga telat?" tanya Emak beruntun."Gak apa, Ma. Cuma lelah," sahutku memaksakan senyum. "Tadi dihadang dulu satpol PP, jadi telat.""Satpol PP, kenapa?" Kali ini Ridwan yang kaget."Razia orang cantik!" jawabku ngawur.Ridwan tertawa tertahan. Tidak berani keras, kayaknya melihat tampangku yang lesu.Masih teringat ucapan Joana, wanita sinting itu, akan terus mengawasiku.Dasar, wanita sakit jiwa!Tak tahu malu, masih juga rese pada mantan. &nb
Mbak Mey, anak-anak akan saya bawa pergi ke luar, ya. Sudah pada mandi, kan?" tanya Ridwan pada Meyda, si baby sitter. "Sudah, Pak." Wajah Meyda mendadak berseri. Sepertinya dia berharap ikut diajak keluar juga. "Saya bawa anak-anak, ya. Mbak Mey tunggu saja di rumah. Ada Bu Rosi yang nanti ikut jagain anak-anak." Wajah Meyda yang tadi berseri, langsung masam mendengar ucapan Ridwan, yang menyuruhnya tunggu di rumah. Aku pura-pura tidak melihat, padahal dalam hati ingin tertawa melihat reaksi Meyda. Habisnya, sebagai baby sitter kegeeran banget pengen diajak ikut. "Rosi, tunggu sebentar, ya. Saya ke kamar dulu. Ada sesuatu yang ketinggalan," ucap Ridwan, bergegas melangkah ke kamarnya. "Anak-anak, nanti di sana hati-hati, ya. Jangan makan sembarangan, nanti sakit perut," ucap Meyda sambil melirik ke arahku ketika Ridwan sudah masuk kam
Kita mau ke mana?" tanyaku ketika sudah di jalan. "Ke suatu tempat rahasia. Pasti kamu suka." Ridwan tersenyum sambil menyetir. Aku lantas terdiam. Mencoba mengira-ngira, Ridwan membawa ke mana, kalau tidak mall, bisa restauran Namun, mobil bukannya mengarah ke pusat kota, tetapi berbelok ke jalan yang arahnya menuju luar kota. Dahiku mengernyit bingung. Apa Ridwan akan membawa kita piknik? Aku tak berani bertanya. Takut dibilang bawel. Padahal sih iya, dalam hati terus bawel bertanya sendiri. Apa dibawa ke hutan? Ke gunung? laut? Ke...villa? Aih...jawaban terakhir membuat jantung gedebak-gedebuk tak karuan. Mobil terus meluncur melewati batas kota. Memasuki wilayah kabupaten, berbelok kanan dari jalan raya besar, masuk jalan kecil. Di sisi kiri kanan ada sawah dan rumah yang jaraknya agak berjauhan. "Papa kok, kita ke hutan?" tanya Zidan. "Iya. Ada kol
"Papa! Jane ngantuk!" Terdengar teriakan Jane.Ridwan tampak kaget. Aku juga sama. Kedua tubuh ini segera merenggang. Pipiku memanas. Aku dan Ridwan hampir terlena terbawa suasana hati.“Maaf...” bisik Ridwan.Aku mengangguk. Mencoba mengerti bahwa Ridwan hanya terbawa suasana. Apalagi dia telah lama tidak tersentuh kehangatan. Seperti yang aku dengar. 2 tahun. Bukan waktu yang sebentar. Untung kami segera tersadar."Iya, Jane. Kita pulang sekarang!" Ridwan akhirnya beranjak ke arah anak-anak. "Ayo, anak-anak, kita bersiap pulang!"Si kembar satu persatu berdiri, dan mulai bersiap pulang. Ridwan mematikan televisi dan DVD player."Kita pulang, Rosi." Ridwan menoleh ke arahku. "Kita belum bisa menginap di sini. Nanti kalau sudah resmi, kamu boleh tidur di sini sepuasnya!" Ada senyum penuh arti di bibir Ridwan, membuatku grogi
Duda Beranak EmpatPart 9 ** "Airin, Mas bertanya padamu. Apa yang barusan kamu ucapkan?" desak Ridwan. "Mas ...salah dengar, kali!" Airin berkelit gugup. Wajahnya merah, kuning, ijo bergantian. "Telinga Mas masih normal dan sehat." Ridwan kukuh. "Mas menganggap kamu itu adik kandung. Apalagi Mas anak tunggal. Jadi rasanya aneh kalau barusan dengar, kamu menganggap Mas bukan kakak ...tetapi pria dewasa yang kamu cintai. Sadar, Airin. Sejak kapan kamu punya pikiran seperti itu? Dari kecil Mas sudah biasa anggap kamu itu adik kecil, Mas." Airin menunduk. "Sejak Mas bercerai dari Joana, aku ingin mengganti posisi dia, Mas. Aku kasihan Mas kerepotan mengurus si kembar. Mas lelaki yang baik, tidak genit meskipun cakep. Aku suka itu ..." Ungkapan jujur Airin, membuat Ridwan menggelengkan kepala. "Itu salah, Airin. Jangan punya pikiran seperti itu pada Mas. Anggap Mas kakakmu seperti biasa."
"Valentina Rosi, memang hobinya nyalip!" gerutu Ruri begitu aku menjejakkan kaki di kantor."Lho, ada apa ini?" tanyaku bingung melihat wajah Sida dan Ruri yang serius."Ada bakwan...udang...tempe..tahu.." ucap Sida konyol sambil mulutnya mengerucut."Cmiw!""Kenapa nggak bilang bahwa kamu ini calon istri si investor ganteng itu?" cetus Ruri dengan muka ditekuk. "Gue kira dia free. Free style. Freedom. Pokoknya free choice. Ternyata udah ada cap di jidatnya. Yang ngasih capnya elu lagi, Rosi!"Aku kaget juga Ruri tahu tentang aku dan Ridwan."Sejak kapan kamu jadi calon istri mas Anang eh mas duda ganteng itu?"Aku serasa didemo dan dinterogasi pagi-pagi begini di kantor. Dua makhluk ceriwis ini beneran demo besar-besaran. Sampai pintu ruanganku diboikot, dihalangi tubuh mereka yang pendekar. Pendek dan kekar. Hampir satu strip pendeknya sama aku. Hihi."Kamu
Mas Duda"Kamu yakin. Rosi?" tanya Ridwan. "Dulu di perjanjian pra-nikah, kamu tidak bisa berhenti bekerja karena punya tanggungan Ibumu. Sekarang kalau berhenti bekerja, biar aku yang akan membantu Ibu."Aku menatap suamiku dengan hati penuh syukur. Dia memang pria yang sangat baik dan pengertian. Dia juga teguh memegang janjinya untuk patuh pada perjanjian pra-nikah ku dulu.Kenapa aku harus kuatir punya imam yang baik seperti itu? Bahkan bersedia membantu Ibuku tanpa syarat dan aku minta."Aku yakin, Mas ...." ucapku mantap. "Aku akan punya usaha di rumah saja. Sama aja kan menghasilkan?"Ridwan tersenyum mendengar ucapanku. "Tentu ... Kalau butuh modal, aku akan bantu ..." tawarnya manis."Gak usah, Mas. Aku punya tabungan." Aku balas tersenyum."Sekarang kita pulang dulu saja, kasihan bayi Robi juga si kembar.""Baiklah ..." Akhirnya aku pun menurut. Aku memang lelah. L
Ridwan ternyata sudah ada di kantorku. Dia lebih dulu tahu bayi kembar hilang dan bergegas menjemput ke kantor. "Bagaimana bisa begini, Kajol?" tanya Ridwan cemas begitu sampai rumah. "Maafkan saya, Tuan. Tadi ada Nona Vina yang kemarin ke sini. Tadinya dia baik dan tidak macam-macam. Dia minta minum ke saya. Alya, sedang tidur di kamarnya. Ketika saya balik, Nina Vina tak ada dan aku lihat Alya juga tidak ada di kamarnya. Hanya ada Robi," tutur Kajol yang terlihat panik. "Ma-maafkan saya, Tuan, Nyonyah ..." Kajol terlihat sedih dan ketakutan. Ridwan dan aku jadi tak tega memarahinya. Toh, dia juga tak menyangka bakal kejadian seperti ini. "Ayo, kita ke rumah Vina!" ajak Ridwan tanpa buang waktu lagi berlari ke mobilnya. "Kajol titip anak-anak dan jaga rumah!" pesanku pada Kajol sebelum berlari menyusul Ridwan dengan perasaan tak karuan. Sungguh, aku tak menyangka Vina yang kemarin memint
Tak terasa 4 bulan terlewati. Bayi kembarku semakin besar. Mulai berguling bahkan bergerak dan merangkak. Yang kerepotan pasti si Kajol. Dia sering berteriak sendiri mengagetkan semua orang di rumah. "Nyonyah ... Alya merangkak ke dapur!" pekiknya mengagetkan. Si kembar kakaknya yang empat, mendengar teriakan itu, langsung berlarian ke arah dapur dan menggendong, membawa adiknya ke ruangan tengah tempat bersantai. Ridwan hanya tertawa kecil sambil menggeleng melihat tingkah si kembar empat, kakaknya yang mengasuh adik-adik bayinya. Mereka, si kembar empat, Zidan, Ziyan, Jihan dan Jane beranjak besar. Tingkah mereka juga sekarang sedikit disiplin. Bisa disuruh menjaga adik bayinya yang kembar. Aku sering lucu melihat tingkah mereka dan merasakan kebahagiaan yang luar biasa bertambah di rumah ini. ** Namun yang namanya hidup, ada pasang surut. Ada bahagia juga
"Hallo, Sayang." Joana menyapa si kembar yang berjalan mendekat. Satu persatu diciumi pipinya. "Mama kenalin pada calon Papa baru kalian. Ini orangnya." Joana mengenalkan calon suaminya yang bernama Randi. Si kembar tidak rewel, mereka satu per satu mencium tangan calon papanya itu. Ridwan nampak tersenyum lega. Aku juga sama ikut lega. Badai masalah yang sering dibuat oleh Joana selama ini, mulai tenang dan berakhir. Joana telah sadar dan menemukan pasangan hidupnya kembali. Semoga Joana juga bisa menemukan ketenangan hidup, sehingga tidak membuat masalah lagi nanti. "Mas dan Rosi, aku pamit, ya. Sebentar lagi kami menikah dan berangkat ke luar negeri. Mas Randi punya bisnis di Singapore. Mungkin lama di sana. Titip si kembar, ya," ucap Joana ketika sudah kenyang bercengkrama dengan si kembar. "Aku berjanji akan hidup lebih baik lagi dan meraih kebahagiaan seperti kalian."Joana menyunggingkan senyum manis yang s
Mobil sampai depan rumah, Ridwan buru-,buru turun dan berlari ke dalam rumah. Aku yang pegang setir bingung melihat tingkahnya. Ada apa lagi dengan si Cinta? Pelan aku pun turun dari mobil, berjalan memasuki rumah, mencari keberadaan Ridwan. Huwek ..! Huwek..! Terdengar bunyi orang muntah dari arah kamar mandi. Astaga! Aku menggosok hidung yang tak gatal. Ridwan kembali muntah-muntah! Lama-lama kasihan juga. Kenapa yang hamil aku, malah Ridwan yang payahnya? Aku tunggu Ridwan selesai muntahnya, sambil menyiapkan teh manis hangat, biar tubuh Ridwan nanti bisa segeran. "Nyonyah, Tuan Ridwan kenapa, huwek..huwek, mulu?" tanya Kajol yang sama ikut keheranan melihat keadaan Ridwan. "Lagi ngidam, Kajol." sahutku. "Apa? Emang bisa Tuan Ridwan hamil?" Kajol melongo. "Yang hamil aku, Kajol. yang ngidamnya Tuan Ridwan." "Oo.." Kajol manggut-manggut sambil mulutny
**"Ridwan berjalan menghampiri Arian di mejanya. Aku berusaha menjejeri langkahnya. "Mas, tolong jangan emosi," bisikku di telinga Ridwan, karena terlihat wajah Ridwan mengeras, seperti tersulut emosi. Ridwan tak menjawab. Dia semakin mendekat ke arah Arian. Arian sendiri wajahnya pucat. Mungkin dia tak menyangka bakal bertemu lagi dengan orang yang telah jadi korban ayahnya "Aku pinjam dulu lelaki ini, ya." ucap Ridwan pada Sida dan Ruri yang nampak melongo melihat Ridwan, lalu mereka beralih menatapku dengan bingung. Aku memberi isyarat pada keduanya supaya mengangguk. Tanpa dikomando duo absurd itu mengangguk bersamaan, persis boneka yang disetel manggut-manggut di mobil. "Kamu masih ingat aku, kan?" tanya Ridwan langsung pada Arian yang sedang terpaku menatapnya. "I-iya .." sahutnya gugup.Matanya terlihat gelisah. "Ini suamiku..." Aku langsung ikut bicara yang ditujukan pada Arian
"Gimana sudah mengerti, kan?" tanyaku mengakhiri penjelasan produk knowledge di perusahaan tempat kerjaku, target pasar dan cakupan distribusinya. Pokoknya yang berkaitan dengan penjualan sudah kupaparkan pada meeting kecil-kecilkan, antara aku, kamu dan dia eh..Pak Abda dan Arian."Gimana pak Arian?" Pak Abda menoleh pada Arian minta kepastian. "Sekarang sudah ada gambaran kan bagaimana kualitas produk kami di perusahaan ini, pasar dan distribusinya sudah hampir go internasional.'"Mmm..." Arian mengangguk. "Bisa lebih rinci lagi next time? ada banyak pertanyaan nanti yang akan kuajukan." Arian menatapku dengan senyum menggoda.Aku menghela napas pelan. Feelingku mengatakan Arian mulai mencari cara supaya terus bisa berkomunikasi denganku, dengan cara pura-pura banyak pertanyaan."Boleh, Nex time silakan berunding di ruangan Rosi saja, kebetulan saya ada jadwal meeting di luar hari ini." Pak Abda cepat menjawab sebel
Rupanya Ridwan mengerti bahwa anak-anak sudah kena toxic Joana. "Zidan, Ziyan, Jihan dan Jane," panggil Ridwan lembut. "Apa selama ini Tante Rosi jahat pada kalian?" Zidan dan adik-adiknya terdiam. "Apa selama ini, Tante Rosi sering marahi kalian? Atau memukul dan mencubit kalian?" tanya Ridwan lagi. "Nggak, Pa," sahut Zidan pelan. "Tante Rosi selalu baik sama kita." "Tante Losi juga pintal masak enak," celetuk Jane. "Tante Losi juga suka sayang Papa, beliin makanan," timpal Jihan. "Tante Rosi suka becanda dan ngajak ke Mall." Ziyan ikutan nyeletuk. "Nah, kenapa kalian takut Tante Rosi jahat kalau punya anak? Itu bakal jadi adik kalian nanti. Ada bayi lucu nanti yang bisa kalian sayang-sayang, gemes-gemesin," terang Ridwan seraya tersenyum. "Kayak boneka ya, Pa?" celetuk Jihan. "Lucu, ya?" Jane ikutan bersuara. "Boneka hidup yang lucu dan meng
Sebulan telah berlalu. Sungguh menyenangkan karena tidak ada lagi gangguan yang datang. Rupanya semua usaha kita untuk menyadarkan Joana juga Vina mulai membuahkan hasil. Selama sebulan lebih ini, hidupku bersama Ridwan mulai tenang. Hari pun berganti menjadi minggu. Dua Minggu terlewati, dan menginjak Minggu ketiga, aku heran. Sudah dua Minggu lebih tamu bulananku tidak hadir. Ini bulan kedua aku menjadi istri Ridwan. Heran, tak pernah biasanya aku telat haid. Biasanya kalau pun telat, itu hanya bergeser kurang dari seminggu. Ini sudah dua Minggu telat. Namun, aku belum berpikir serius. Mungkin siklusnya sedang telat, karena bulan kemarin banyak masalah dan banyak pikiran dari mantan-mantan Ridwan yang mengganggu. Biasanya itu berakibat juga pada emosi kita. Haid pun mungkin telat. Aku berusaha fokus mengurus si kembar dan Ridwan, selain bekerja. Aku juga sekarang sedang membantu adikku, Risa, yang mau menika