Ridwan tampak kaget. Aku juga sama. Kedua tubuh ini segera merenggang. Pipiku memanas. Aku dan Ridwan hampir terlena terbawa suasana hati.
“Maaf...” bisik Ridwan.
Aku mengangguk. Mencoba mengerti bahwa Ridwan hanya terbawa suasana. Apalagi dia telah lama tidak tersentuh kehangatan. Seperti yang aku dengar. 2 tahun. Bukan waktu yang sebentar. Untung kami segera tersadar.
"Iya, Jane. Kita pulang sekarang!" Ridwan akhirnya beranjak ke arah anak-anak. "Ayo, anak-anak, kita bersiap pulang!"Si kembar satu persatu berdiri, dan mulai bersiap pulang. Ridwan mematikan televisi dan DVD player.
"Kita pulang, Rosi." Ridwan menoleh ke arahku. "Kita belum bisa menginap di sini. Nanti kalau sudah resmi, kamu boleh tidur di sini sepuasnya!"
Ada senyum penuh arti di bibir Ridwan, membuatku grogi
Duda Beranak EmpatPart 9 ** "Airin, Mas bertanya padamu. Apa yang barusan kamu ucapkan?" desak Ridwan. "Mas ...salah dengar, kali!" Airin berkelit gugup. Wajahnya merah, kuning, ijo bergantian. "Telinga Mas masih normal dan sehat." Ridwan kukuh. "Mas menganggap kamu itu adik kandung. Apalagi Mas anak tunggal. Jadi rasanya aneh kalau barusan dengar, kamu menganggap Mas bukan kakak ...tetapi pria dewasa yang kamu cintai. Sadar, Airin. Sejak kapan kamu punya pikiran seperti itu? Dari kecil Mas sudah biasa anggap kamu itu adik kecil, Mas." Airin menunduk. "Sejak Mas bercerai dari Joana, aku ingin mengganti posisi dia, Mas. Aku kasihan Mas kerepotan mengurus si kembar. Mas lelaki yang baik, tidak genit meskipun cakep. Aku suka itu ..." Ungkapan jujur Airin, membuat Ridwan menggelengkan kepala. "Itu salah, Airin. Jangan punya pikiran seperti itu pada Mas. Anggap Mas kakakmu seperti biasa."
"Valentina Rosi, memang hobinya nyalip!" gerutu Ruri begitu aku menjejakkan kaki di kantor."Lho, ada apa ini?" tanyaku bingung melihat wajah Sida dan Ruri yang serius."Ada bakwan...udang...tempe..tahu.." ucap Sida konyol sambil mulutnya mengerucut."Cmiw!""Kenapa nggak bilang bahwa kamu ini calon istri si investor ganteng itu?" cetus Ruri dengan muka ditekuk. "Gue kira dia free. Free style. Freedom. Pokoknya free choice. Ternyata udah ada cap di jidatnya. Yang ngasih capnya elu lagi, Rosi!"Aku kaget juga Ruri tahu tentang aku dan Ridwan."Sejak kapan kamu jadi calon istri mas Anang eh mas duda ganteng itu?"Aku serasa didemo dan dinterogasi pagi-pagi begini di kantor. Dua makhluk ceriwis ini beneran demo besar-besaran. Sampai pintu ruanganku diboikot, dihalangi tubuh mereka yang pendekar. Pendek dan kekar. Hampir satu strip pendeknya sama aku. Hihi."Kamu
** Aku ambil ponsel, tapi sebelum telpon tersambung, ada ide yang tiba-tiba melintas di otak. Aku harus pancing Joana alasan dia mau mengambil hak asuh. Aku yakin niatnya tidak tulus demi anak-anak. Namun, demi memiliki Ridwan lagi. "Katamu dulu malas mengurus anak-anak, cape dan memilih untuk hidup bebas. Kenapa sekarang jadi ribet ingin mengasuh anak-anak?" pancingku sambil pura-pura menekan nomor ponsel Ridwan. Padahal menekan tombol record juga. Joana menyeringai. "Kamu pintar. Aku tak mau ribet ngurus anak, tapi aku mau Ridwan balik padaku!" ucapnya lugas. Bingo! Aku berseru puas dalam hati. Pasti Ridwan mendengar ucapan Joana dan sudah kurekam. "Hallo, Iya, Rosi Ada apa ini?" terdengar sapaan dari seberang telepon. Karena aku menekan loudspeaaker jadi suara Ridwan didengar Joana. "Iya, Mas. Bisa kita ketemu sekarang? Ada hal penting yang harus dibi
"Kenapa menikahnya lebih cepat lagi? Udah kayak kereta api super ekspress!" ucap Emak ketika Ridwan mengantarku pulang ke rumah. "Emak harus siapkan makanan buat menjamu tamu dulu nanti." "Gak usah, Mak. Saya sudah pesan online dari restoran berikut kue-kue," ucap Ridwan sambil tersenyum. "Maaf mendadak, Mak. Karena ini darurat. Joana bermaksud menggagalkan pernikahan. Dan takut membawa kabur si kembar!" "Joana sudah seperti demit saja. Kadang ngilang, kadang muncul!" gerutu Emak. "Dia tidak kasihan apa, sama anak-anak diambil gitu saja kayak barang!" Ridwan menghela napas. "Seperti itulah Joana asli, Emak. Saya juga tidak menyangka sifatnya." "Ya, sudah. Kamu pulang dulu ke rumah. Jagain si kembar dulu!" "Iya, Mak. Tadi saya sudah suruh satpam kantor berjaga di depan rumah." "Genting banget, ya. Kayak ada serangan rudal jahat!" celetuk Rasya yang ikut menyimak. "Serangan kolong Wewe yang gondol anak!" Risa ikut nim
*** Akhirnya emak juga menyuruhku ikut Ridwan malam itu. Jantung seakan berlomba lari marathon. Pontang panting dan gedebukan tak karuan. Membayangkan ini malam pertamaku dengan Ridwan. Ya, Ampuun! Aku pulang terpisah di mobilku, yang di setiri Ridwan. Ada si kembar empat di jok belakang, yang terkantuk-kantuk seperti biasa. Baby sitter aku suruh di mobil rombongan satu lagi yang mengangkut banyak keluarga. Malas rasanya, dari tadi melihat wajahnya ditekuk kayak onta. Apa Meyda itu cemburu, aku menikah dengan bapaknya si kembar? Dia mengaku sudah berkorban merawat si kembar dari bayi. Mungkin Meyda menghalu dirinya jadi ibu beneran si kembar. Pukul 11 malam, aku sudah sampai di rumah Ridwan. Kali ini Ridwan tidak menggendong si kembar. Mereka bisa bangun sendiri, ketika terdengar pintu mobil dibuka. "Kamu bisa berganti baju di kamarku, Rosi," ucap Ridwan melihatku masih berkebaya. "Aku sudah siapkan
** Ketika aku sudah pasrah dan tubuhku makin lemas, tiba-tiba badanku ada yang memeluk dan serasa tertarik ke atas. Antara sadar dan tidak sudah ada di daratan"Rosi, bangun! Buka matamu!" Tubuhku serasa di tepuk bagian punggung. Lalu tubuh lemas ini dibaringkan, terasa dadaku ditekan hingga memuntahkan air yang diminum. Dada yang sesak serasa lega kembali. Aku bisa bernapas tanpa berat lagi. Perlahan tubuh ini di dudukkan, lalu direngkuh dalam pelukan. "Syukurlah, kamu tak apa-apa, Rosi." Aku menikmati irama detakan jantung tempatku menyandarkan kepala. Terasa nyaman. Lalu pelukannya terurai dan wajahku ditangkup dua tangan"Kenapa bisa jatuh ke kolam? Untung aku bisa menemukanmu dan menyelamatkan tepat waktu." Ada kecemasan yang sangat di mata itu. Aku menggeleng pelan, karena aku juga bingung bisa terdorong jatuh ke kolam.
Ridwan menghalangi dengan badannya. "Jangan sembarangan ambil anak-anak, Joana! Mereka tanggung jawabku. Kamu sudah meninggalkan mereka dulu. Ingat?" tegas Ridwan. Aku segera membawa si kembar ke teras belakang. Mereka nampak ketakutan melihat pertengkaran orang tuanya. "Meyda! Bantu jaga si kembar! Jangan sampai melihat orang bertengkar!";titahku pada Meyda yang diam terpaku di ambang pintu ruang makan. "Bawa si kembar ke gazebo belakang supaya aman!" Aku segera berjalan dan mengawasi Ridwan yang bersikeras supaya dua orang pria yang dibawa Joana tidak masuk. Muncul ide untuk memberi bukti jika sesuatu terjadi nanti. Ridwan nampak kewalahan didorong dua pria berotot itu. Tenaganya kalah dengan dua pria tadi. Ridwan sampai jatuh terjengkang karena didorong. Dua pria tadi merangsek maju mencari si kembar. Aku segera menghampirinya. "Hei, kalau kalian masuk tanpa permisi di sini, kalian
Hari menjelang sore saat beres acara barbeque dengan anak-anak. Aku membereskan bekas peralatan masaknya. Lumayan juga berkeringat.Saat Ridwan dan si kembar istirahat karena kekenyangan, ponselku terus berbunyi. Beberapa motif pesan terus masuk.Tumben juga banyak pesan masuk, pikirku. Namun, aku belum bisa membuka pesannya karena harus membereskan dulu peralatan bekas pesta barbeque anak-anak.Ada yang lucu. Bikin pesta barbeque kok siang hari. Namun, biarlah, itu cara Ridwan bikin senang anak-anakSetelah beres mencuci peralatan, segera aku membuka ponsel.Mataku membulat membaca pesan dari Sida dan Ruri yang isinya hampir sama.[Rosi lihat di beranda FB-mu. Kamu disebut pelakor oleh wanita bernama Joana]Segera aku membuka aplikasi berwarna biru itu. Kembali mataku terbelalak dengan postingan Joana yang mengetag namaku dan mencantumkan fotoku.Judulnya besar-besar caps
Mas Duda"Kamu yakin. Rosi?" tanya Ridwan. "Dulu di perjanjian pra-nikah, kamu tidak bisa berhenti bekerja karena punya tanggungan Ibumu. Sekarang kalau berhenti bekerja, biar aku yang akan membantu Ibu."Aku menatap suamiku dengan hati penuh syukur. Dia memang pria yang sangat baik dan pengertian. Dia juga teguh memegang janjinya untuk patuh pada perjanjian pra-nikah ku dulu.Kenapa aku harus kuatir punya imam yang baik seperti itu? Bahkan bersedia membantu Ibuku tanpa syarat dan aku minta."Aku yakin, Mas ...." ucapku mantap. "Aku akan punya usaha di rumah saja. Sama aja kan menghasilkan?"Ridwan tersenyum mendengar ucapanku. "Tentu ... Kalau butuh modal, aku akan bantu ..." tawarnya manis."Gak usah, Mas. Aku punya tabungan." Aku balas tersenyum."Sekarang kita pulang dulu saja, kasihan bayi Robi juga si kembar.""Baiklah ..." Akhirnya aku pun menurut. Aku memang lelah. L
Ridwan ternyata sudah ada di kantorku. Dia lebih dulu tahu bayi kembar hilang dan bergegas menjemput ke kantor. "Bagaimana bisa begini, Kajol?" tanya Ridwan cemas begitu sampai rumah. "Maafkan saya, Tuan. Tadi ada Nona Vina yang kemarin ke sini. Tadinya dia baik dan tidak macam-macam. Dia minta minum ke saya. Alya, sedang tidur di kamarnya. Ketika saya balik, Nina Vina tak ada dan aku lihat Alya juga tidak ada di kamarnya. Hanya ada Robi," tutur Kajol yang terlihat panik. "Ma-maafkan saya, Tuan, Nyonyah ..." Kajol terlihat sedih dan ketakutan. Ridwan dan aku jadi tak tega memarahinya. Toh, dia juga tak menyangka bakal kejadian seperti ini. "Ayo, kita ke rumah Vina!" ajak Ridwan tanpa buang waktu lagi berlari ke mobilnya. "Kajol titip anak-anak dan jaga rumah!" pesanku pada Kajol sebelum berlari menyusul Ridwan dengan perasaan tak karuan. Sungguh, aku tak menyangka Vina yang kemarin memint
Tak terasa 4 bulan terlewati. Bayi kembarku semakin besar. Mulai berguling bahkan bergerak dan merangkak. Yang kerepotan pasti si Kajol. Dia sering berteriak sendiri mengagetkan semua orang di rumah. "Nyonyah ... Alya merangkak ke dapur!" pekiknya mengagetkan. Si kembar kakaknya yang empat, mendengar teriakan itu, langsung berlarian ke arah dapur dan menggendong, membawa adiknya ke ruangan tengah tempat bersantai. Ridwan hanya tertawa kecil sambil menggeleng melihat tingkah si kembar empat, kakaknya yang mengasuh adik-adik bayinya. Mereka, si kembar empat, Zidan, Ziyan, Jihan dan Jane beranjak besar. Tingkah mereka juga sekarang sedikit disiplin. Bisa disuruh menjaga adik bayinya yang kembar. Aku sering lucu melihat tingkah mereka dan merasakan kebahagiaan yang luar biasa bertambah di rumah ini. ** Namun yang namanya hidup, ada pasang surut. Ada bahagia juga
"Hallo, Sayang." Joana menyapa si kembar yang berjalan mendekat. Satu persatu diciumi pipinya. "Mama kenalin pada calon Papa baru kalian. Ini orangnya." Joana mengenalkan calon suaminya yang bernama Randi. Si kembar tidak rewel, mereka satu per satu mencium tangan calon papanya itu. Ridwan nampak tersenyum lega. Aku juga sama ikut lega. Badai masalah yang sering dibuat oleh Joana selama ini, mulai tenang dan berakhir. Joana telah sadar dan menemukan pasangan hidupnya kembali. Semoga Joana juga bisa menemukan ketenangan hidup, sehingga tidak membuat masalah lagi nanti. "Mas dan Rosi, aku pamit, ya. Sebentar lagi kami menikah dan berangkat ke luar negeri. Mas Randi punya bisnis di Singapore. Mungkin lama di sana. Titip si kembar, ya," ucap Joana ketika sudah kenyang bercengkrama dengan si kembar. "Aku berjanji akan hidup lebih baik lagi dan meraih kebahagiaan seperti kalian."Joana menyunggingkan senyum manis yang s
Mobil sampai depan rumah, Ridwan buru-,buru turun dan berlari ke dalam rumah. Aku yang pegang setir bingung melihat tingkahnya. Ada apa lagi dengan si Cinta? Pelan aku pun turun dari mobil, berjalan memasuki rumah, mencari keberadaan Ridwan. Huwek ..! Huwek..! Terdengar bunyi orang muntah dari arah kamar mandi. Astaga! Aku menggosok hidung yang tak gatal. Ridwan kembali muntah-muntah! Lama-lama kasihan juga. Kenapa yang hamil aku, malah Ridwan yang payahnya? Aku tunggu Ridwan selesai muntahnya, sambil menyiapkan teh manis hangat, biar tubuh Ridwan nanti bisa segeran. "Nyonyah, Tuan Ridwan kenapa, huwek..huwek, mulu?" tanya Kajol yang sama ikut keheranan melihat keadaan Ridwan. "Lagi ngidam, Kajol." sahutku. "Apa? Emang bisa Tuan Ridwan hamil?" Kajol melongo. "Yang hamil aku, Kajol. yang ngidamnya Tuan Ridwan." "Oo.." Kajol manggut-manggut sambil mulutny
**"Ridwan berjalan menghampiri Arian di mejanya. Aku berusaha menjejeri langkahnya. "Mas, tolong jangan emosi," bisikku di telinga Ridwan, karena terlihat wajah Ridwan mengeras, seperti tersulut emosi. Ridwan tak menjawab. Dia semakin mendekat ke arah Arian. Arian sendiri wajahnya pucat. Mungkin dia tak menyangka bakal bertemu lagi dengan orang yang telah jadi korban ayahnya "Aku pinjam dulu lelaki ini, ya." ucap Ridwan pada Sida dan Ruri yang nampak melongo melihat Ridwan, lalu mereka beralih menatapku dengan bingung. Aku memberi isyarat pada keduanya supaya mengangguk. Tanpa dikomando duo absurd itu mengangguk bersamaan, persis boneka yang disetel manggut-manggut di mobil. "Kamu masih ingat aku, kan?" tanya Ridwan langsung pada Arian yang sedang terpaku menatapnya. "I-iya .." sahutnya gugup.Matanya terlihat gelisah. "Ini suamiku..." Aku langsung ikut bicara yang ditujukan pada Arian
"Gimana sudah mengerti, kan?" tanyaku mengakhiri penjelasan produk knowledge di perusahaan tempat kerjaku, target pasar dan cakupan distribusinya. Pokoknya yang berkaitan dengan penjualan sudah kupaparkan pada meeting kecil-kecilkan, antara aku, kamu dan dia eh..Pak Abda dan Arian."Gimana pak Arian?" Pak Abda menoleh pada Arian minta kepastian. "Sekarang sudah ada gambaran kan bagaimana kualitas produk kami di perusahaan ini, pasar dan distribusinya sudah hampir go internasional.'"Mmm..." Arian mengangguk. "Bisa lebih rinci lagi next time? ada banyak pertanyaan nanti yang akan kuajukan." Arian menatapku dengan senyum menggoda.Aku menghela napas pelan. Feelingku mengatakan Arian mulai mencari cara supaya terus bisa berkomunikasi denganku, dengan cara pura-pura banyak pertanyaan."Boleh, Nex time silakan berunding di ruangan Rosi saja, kebetulan saya ada jadwal meeting di luar hari ini." Pak Abda cepat menjawab sebel
Rupanya Ridwan mengerti bahwa anak-anak sudah kena toxic Joana. "Zidan, Ziyan, Jihan dan Jane," panggil Ridwan lembut. "Apa selama ini Tante Rosi jahat pada kalian?" Zidan dan adik-adiknya terdiam. "Apa selama ini, Tante Rosi sering marahi kalian? Atau memukul dan mencubit kalian?" tanya Ridwan lagi. "Nggak, Pa," sahut Zidan pelan. "Tante Rosi selalu baik sama kita." "Tante Losi juga pintal masak enak," celetuk Jane. "Tante Losi juga suka sayang Papa, beliin makanan," timpal Jihan. "Tante Rosi suka becanda dan ngajak ke Mall." Ziyan ikutan nyeletuk. "Nah, kenapa kalian takut Tante Rosi jahat kalau punya anak? Itu bakal jadi adik kalian nanti. Ada bayi lucu nanti yang bisa kalian sayang-sayang, gemes-gemesin," terang Ridwan seraya tersenyum. "Kayak boneka ya, Pa?" celetuk Jihan. "Lucu, ya?" Jane ikutan bersuara. "Boneka hidup yang lucu dan meng
Sebulan telah berlalu. Sungguh menyenangkan karena tidak ada lagi gangguan yang datang. Rupanya semua usaha kita untuk menyadarkan Joana juga Vina mulai membuahkan hasil. Selama sebulan lebih ini, hidupku bersama Ridwan mulai tenang. Hari pun berganti menjadi minggu. Dua Minggu terlewati, dan menginjak Minggu ketiga, aku heran. Sudah dua Minggu lebih tamu bulananku tidak hadir. Ini bulan kedua aku menjadi istri Ridwan. Heran, tak pernah biasanya aku telat haid. Biasanya kalau pun telat, itu hanya bergeser kurang dari seminggu. Ini sudah dua Minggu telat. Namun, aku belum berpikir serius. Mungkin siklusnya sedang telat, karena bulan kemarin banyak masalah dan banyak pikiran dari mantan-mantan Ridwan yang mengganggu. Biasanya itu berakibat juga pada emosi kita. Haid pun mungkin telat. Aku berusaha fokus mengurus si kembar dan Ridwan, selain bekerja. Aku juga sekarang sedang membantu adikku, Risa, yang mau menika