Ridwan melirik ke arahku, ada raut tidak enak setelah mendengar pengakuan dari anak-anaknya.
"Anak-anak, masuk dulu ke dalam ya, nanti Papa menyusul," ucap Ridwan lembut pada anak-anaknya.
"Tapi Papa nanti masuk, ya?" ucap anak perempuan berambut seperti Dora.
"Iya, Jane, Sayang. Nanti Papa masuk menyusul."
Jadi anak perempuan berambut seperti kartun Dora itu, bernama Jane. Dia paling ramping dan putih dibanding tiga saudaranya.
Anak-anak itu menurut dan berlarian ke ruangan dalam rumah.
"Maafkan ulah anak-anak ya, Rosi." Ridwan menatap ke arahku dengan mata menyesal.
Aku mencoba tersenyum. Berusaha maklum, meskipun hatiku ciut dan serasa teriris. Kesan pertama diperlihatkan anak-anaknya Ridwan, seperti rasa takut padaku. Anggapan Ibu tiri yang jahat.
Ada racun yang ditanamkan dalam pikiran anak-anak yang masih polos itu. Entah dari mana, dugaanku kuat itu Joana, dan itu merupakan tantangan tersendiri buatku, jika ingin menikah dengan Ridwan. Aku harus bisa juga meraih hati amak-anaknya.
",Momi Jo itu, apakah Joana?" tanyaku hati-hati
"Ya." Ridwan mengangguk lemah. "Entah apa maksudnya."
Aku mengembuskan napas kasar. sudah kuduga, itu Joana, penyebar racun. Aku harus hati-hati dan waspada sekarang.
"Kita masuk dulu yuk, Rosi. Pelan-,pelan saja, ya, mendekati anak-anak. Semoga nanti hati mereka bisa berubah dan tidak takut lagi," ujar Ridwan, berusaha memberi semangat padaku.
"Iya. tak apa, Mas. Namanya juga anak-anak," sahutku berusaha tersenyum dan memaklumi. Aku harus bisa memahami posisi Ridwan, yang berperan sebagai ayah, juga calon suamiku.
Aku mengikuti langkah Ridwan memasuki ruangan dalam rumahnya yang luas. Setelah melewati ruang tamu, dengan sofa berwarna coklat tua, lalu masuk ke ruang tengah.
Ruangan itu luas. Ada tiga sofa jumbo dengan bantall-bantal empuk. Empat orang anak tengah asyik bercanda sambil nonton film kartun di televisi lebar, selebar setengah pintu.
Aku tersenyum sendiri. Terdengar tawa mereka berderai, ketika melihat adegan yang lucu. Ada dua wanita dewasa sedang duduk santai di dekat anak-anak.
Ridwan meraih tanganku dan mendekat ke arah dua wanita dewasa itu.
"Mbak Meyda dan Airin. Kenalin, ini Rosi," ucap Ridwan mengenalkan aku. Dua wanita dewasa itu serempak menoleh ke arahku yang berdiri di sisi Ridwan.
"Mbak Meyda adalah baby sitter si kembar dari lahir hingga sekarang. Panggilannya Mbak Mey." Ridwan menunjuk ke seorang wanita berambut panjang, sepertinya usianya sebaya denganku. Ia melihat ke arahku seraya tersenyum tipis.
"Oh, Mbak Mey. Salam kenal, saya Rosi." Aku berusaha bersikap ramah mengenalkan diri sendiri seraya tersenyum.
Mbak Mey hanya tersenyum tanpa memperlihatkan gigi, dan tanpa menjawab sapaanku.
"Dan itu Airin. Adikku. Masih kuliah tingkat tiga." Ridwan menunjuk seorang gadis, berambut sebahu, berkulit putih dan berwajah cantik mirip Ridwan.
"Hallo Airin, kenalkan, saya Rosi."
Aku menyodorkan tangan mengajak salaman. Airin nampak tersenyum tipis dan menyambut uluran tangan, bersalaman. Airin juga sama membisu, tanpa menjawab sapaan, hanya mengulas senyum tipis ketika bersalaman.
Perasaanku merasa tidak enak. Sikap awal mereka tidak bersahabat denganku. Tak ada balasan dari sapaanku. Aku merasa sok akrab sendiri.
Namun, biarlah! Yang penting aku menunjukkan itikad baik, berusaha ramah pada mereka.
"Kamu duduk dulu, Rosi. Biar kuambilkan minum dulu," ucap Ridwan yang membuatku mengerutkan kening.
Kenapa Ridwan sendiri yang ambil minum? Bukankah di sini ada dua wanita dewasa yang bisa dimintai tolong mengambil minum?
"Gak usah, Mas. Tunjukkan saja dapurnya di mana, biar nanti aku ambil minum. Sekalian Mas mau minum apa? Biar aku buatkan," tawarku sambil berusaha memindai ruangan tengah, mencari arah dapur.
"Ikuti aku saja," ucap Ridwan yang malah menuntunku ke arah dapur.
Di ruangan dapur yang luas, ada kitchen set, Ridwan membuka lemari panjang atas, yang berisi perabotan dapur termasuk gelas, cangkir dan piring.
Tanpa sungkan dan kaku, Ridwan mengambil gelas dan cangkir, lalu menyodorkannya padaku.
"Aku tak tahu kamu mau teh atau kopi, atau jus. Pilih saja sendiri," ujarnya seraya tersenyum.
"Aku pengen teh campur madu, di sore begini, rasanya segar," jawabku
Aku segera mengambil cangkir, menuang air panas dari dispenser dan teh celup.
"Madunya di lemari es," seru Ridwan.
Aku bergerak ke arah lemari es di sudut ruangan.
"Kamu mau dibuatkan apa, Mas?" tawarku.
"Sama. Teh madu juga."
"Ish...ikut-ikutan aja," godaku. Ridwan hanya tersenyum.
Aku segera membuat teh madu dua cangkir.
"Kita duduk di teras belakang, menikmati udara sore." ajak Ridwan.
Aku menurut, membawa nampan berisi dua cangkir teh, mengikuti langkah Ridwan ke teras belakang.
"Ini tempat favoritku, sambil membaca dan melihat anak-anak bermain di taman atau berenang. Usia lima tahun, masih TK, udah pada pinter berenang. Aku mengajari mereka," ucap Ridwan bangga.
Aku hanya menanggapinya dengan senyum. Ada rasa risih. Anak TK saja jago berenang. Lha, aku? Jago gaya batu. Nyemplung langsung tenggelam. Apa kata anak-anak Ridwan kalau tahu ibu tirinya seperti batu? Aku menghela napas panjang.
Ridwan menuju ke arah kursi teras dari rotan,. Depan teras ada taman dengan rumput hijau yang luas, tanaman bunga, ada kolam renang juga di sisi kiri taman. Indah. Asri. Apalagi pinggir-pinggirnya ditanami pohon-pohon.
Aku merasakan hembusan angin, segarnya rumput hijau, daun-daun tanaman, bunga dan pohon. Pantas kalau ini tempat favorit Ridwan. Suasananya nyaman.
Namun, tidak dengan penghuninya. Aku melihat wajah perang di dua wanita tadi. Baby sitter dan adik Mas Ridwan sepertinya tak menyukaiku.
Apakah kehadiranku di rumah ini mengusik ketenangan mereka? Nanti kalau sudah menikah dengan Ridwan, otomatis aku jadi nyonya di rumah ini. Apakah mereka mau menerimaku?
Aku menghela napas lagi. Dadaku terasa sesak. Kesan pertama ternyata jauh dari perkiraan.
"Kenapa?" tanya Ridwan melihatku berkali-kali menghela napas.
"Apa adikmu dan baby sitter itu tak menyukaiku ya, Mas?" keluhku. "Mereka tak membalas sapaanku tadi. Diam saja."
Ridwan menatap mataku dalam. "Mereka belum mengenalmu, Rosi," ujarnya seraya tersenyum menenangkan. "Mungkin masih sungkan saja."
"Semoga begitu." Aku tersenyum kecut. "Apa ada orang lain lagi di rumah ini? Siapa yang masak, mencuci dan pekerjaan rumah tangga lainnya? Tadi kamupun buat minum sendiri."
"Ada Bik Nur, tapi sedang pulang kampung dulu nengok anaknya. Untuk sementara, digantikan tetangga dulu, datang pagi pulang sore. Ada pak Ahmad, sopir antar jemput anak merangkap tukang kebun," papar Ridwan.
Aku lihat hidup Ridwan makmur dan nyaman, kenapa Joana bilang bangkrut? Mungkin perusahaannya pernah kena krisis seperti kata pa Abda, tapi berhasil bangkit lagi dan jauh lebih kuat dari sebelumnya. Mungkin itulah kenapa Joana selalu rese merecoki kalau Ridwan mau serius menikah.
"Papa!" Anak-anak kembali berlarian menghampiri Ridwan.
"Hei, anak-anak. Sekarang tidak takut lagi pada Tante Rosi, kan?" tanya Ridwan lagi. "Tante Rosi baik, kok. Papa juga sayang padanya. Kalian harus sayang juga, ya?" bujuk Ridwan lembut sambil berjongkok di depan anak-anaknya.
Ada semburat rasa hangat di pipi mendengar ucapan Ridwan.
Ya, Tuhan, Ridwan barusan bilang dia sayang padaku? Dia menyuruh anak-anak ikut juga sayang padaku.
Ada yang berdesir di hati ini. Tenggorokanku serasa tercekat haru. Tak salah emak pilihkan jodoh untukku. Meskipun dia duda empat anak, aku lihat Ridwan seorang family man. Pria yang mencintai anak dan keluarganya. Dia berusaha agar anaknya mau menerimaku.
Jadi aku juga harus berjuang keras menjadi istri dan ibu yang baik bagi mereka. Aku harus singkirkan segala rasa gengsi, sungkan dan rasa tidak enak lainnya.
***
"Jangan dulu pulang, ya. Kita makan malam dulu di sini," ajak Ridwan. "Aku mau pesan makanan online saja."
"Jangan! Biar aku yang masak!" cegahku.
"Apa kamu bisa masak?" tanya Ridwan sangsi.
"Bisa, dong! Emak mengajariku dari gadis harus bisa jadi ibu rumah tangga. Bisa masak, beberes rumah. Meskipun pendidikan tinggi, pada dasarnya kodrat wanita tetap dapur, sumur, ka,---" Aku menghentikan ucapan dengan muka merah. Keceplosan mau bilang 'kasur'
"Apa tuh...terusin!" Ridwan malah menggoda. "Kasur, kan?" Tawanya langsung berderai, membuatku salah tingkah.
"Sudah, ah. Aku mau masak buat makan malam." Aku segera melengos karena malu.
"Anak-anak mau dimasakin apa? Tante Rosi bisa jadi koki kayak di restoran, lho!" Aku berusaha mendekat ke arah anak-anak.
"Steak!" teriak Zidan
"Pizza, bulgel!" teriak Ziyan, anak lelaki kedua."Aku steak juga sama bulgel!" Dua anak perempuan menjawab serempak.
Aku tertegun sejenak. Pizza lama bikinnya. Burger harus ada rotinya. Aku terus putar otak. Ah, ya, kenapa aku tak bikin semuanya dari nasi. Pizza dan burger nasi. Emak pernah membuatnya dulu ketika aku masih kecil dan rewel. Semoga aku juga bisa sekarang.
Emak pernah mengatakan, cinta bisa datang melalui perut, lalu naik ke hati.
Aku akan coba menaklukan hati anak-anak itu, dengan membuat perut mereka kenyang dan ketagihan masakanku.
Untuk Ridwan? Sama juga bisa merasakan hasil olahan tanganku. Semoga duda ganteng itu makin meleleh hatinya. Uhuy...
Masakan itu enak rasanya, karena ada bumbu cinta dalam proses pembuatannya.
Kali ini aku akan jadi ratu bucin yang menebar racun cinta. Hehe.
Ketika tengah sibuk memasak, Airin mondar mandir ke dapur. Tadinya aku cuekin, tapi lama-lama terasa mengganggu konsentrasi sedang masak.
"Ada apa, Airin?" Akhirnya aku tak tahan juga bertanya.
"Maksudnya apa ya, baru datang langsung cari muka?" tanyanya sinis.
"Cari muka? Hallo...adik sayang, saya tak cari muka. Itu abangmu dan ponakanmu kelaparan pengen makan. Masa tega membiarkan mereka pesan makan online? Padahal di rumah kan ada manusia berjenis kelamin wanita. Kenapa dianggurin?" sahutku sedikit menyindir.
Wajah Airin terlihat memerah, merasa tersindir. Dia melengos pergi sambil mendengkus.
Skak mat!
Siapa suruh mengusik seorang Rosi? Tiba-tiba menuduh cari muka segala?
Ternyata aku harus hati-hati, belum apa-apa sudah menemukan rival dari adiknya Ridwan. Emak bilang dia adik tiri. Pantas beda sifat dengan kakaknya. Ridwan dewasa dan bijak. Adiknya cantik tapi terkesan jutek, sekilas malah sombong.
Bagaimana dengan baby sitter? Dia juga membawa anak-anak buru-buru menjauh, ketika mereka ingin mendekat ke arahku. Seolah takut anak-anak akan jadi tunduk padaku.
Fix. Ridwan bisa kuraih hatinya. Hanya penghuni rumahnya yang belum. Itu pe-er yang harus dihadapi seorang Rosi sekarang. Yang kata Sida, Valentina Rosi selalu siap bertarung.
***
"Makasih buat semuanya, Rosi." ucap Ridwan ketika mengantarku kembali ke rumah. "Anak-anak suka sekali masakan buatanmu. Kamu pintar bikin pizza dan burger nasi."
Aku tersenyum senang mendengar pujian Ridwan.
"Ah, syukurlah kalau mereka suka," ucapku lega. Jurus pertama meraih hati anak-anak lewat makanan, yes... berhasil!
Ridwan tiba-tiba sedikit mendekat ke arahku. Kepalanya menunduk, mendekat ke arah pipi.
"Eh..m-mau apa, Mas?" tanyaku gugup. Jantungku langsung berdentum hebat. Napas terasa sesak. Mataku mengerjap tak karuan.
"Ada sisa saos di pipimu," ucap Ridwan, lalu tangannya mengusap membersihkan pipi.
Kakiku terasa lemas. Pipiku terasa panas. Kirain Ridwan....ah!
Malu sekali rasanya, pikiranku sempat melayang nggak karuan.
Oalah...Rosi! Jangan geer, lu! Teriakku dalam hati.
"Aku pulang dulu, Rosi," pamit Ridwan. "Lain kali aku bawa anak-anak keluar bersama, ya! biar makin dekat."
Aku mengangguk seraya tersenyum. Menatap Ridwan yang masuk ke mobilnya,
Aku mengembuskan napas kencang.
Drama keluarga baru saja dimulai. Seorang Rosi harus bisa menghadapinya.****
**Aku memandangi terus mobil Ridwan, sampai hilang di belokan jalan.Jantungku masih gedebak-gedebuk tak karuan, setelah barusan ada sedikit salah curiga.Aku kira Ridwan...Pipiku memanas. Aih, kenapa pula pikiranku jadi belok begini? Aku menoyor kepalaku sendiri.Rosi, jangan piktor, pikiran kotor!Segera aku berbalik dan masuk ke rumah setelah mengucap salam."Uhuk...uhuk...ngga jadi adegan delapan belas plus-plus-nya?" goda Risa sambil tergelak.Semvlak! Rupanya Risa ngintipin aku tadi."Eh, anak ingusan dilarang ngintip, bintitan tingkat menteri nanti!" gerutuku antara sebal dan malu."Anak ingusan juga bentar lagi kawin, Mbak e!""Lu ngikut mulu kayak gerbong kereta."Risa semakin jahil tertawa. "Mbak kan locomotifnya, gue gerbongnya, haha. Dimana-mana adek itu ngikut kakaknya."Risa langsung ngacir ke kamar, ketika aku sudah siap meny
Duda Beranak EmpatPart 6***Sampai rumah aku melihat mobil Ridwan terparkir di depian. Rupanya Ridwan lebih dulu datang, sebelum aku pulang. Gara-gara Joana, aku jadi terlambat pulang tiga puluh menit."Assalamualaikum." Aku mengucap salam dengan tak bersemangat."Waalaikumsalam." Ibu dan Ridwan serempak menjawab salam.Dengan langkah gontai aku masuk ke ruang tamu."Kenapa wajahmu lesu amat, Rosi? Tumben juga telat?" tanya Emak beruntun."Gak apa, Ma. Cuma lelah," sahutku memaksakan senyum. "Tadi dihadang dulu satpol PP, jadi telat.""Satpol PP, kenapa?" Kali ini Ridwan yang kaget."Razia orang cantik!" jawabku ngawur.Ridwan tertawa tertahan. Tidak berani keras, kayaknya melihat tampangku yang lesu.Masih teringat ucapan Joana, wanita sinting itu, akan terus mengawasiku.Dasar, wanita sakit jiwa!Tak tahu malu, masih juga rese pada mantan. &nb
Mbak Mey, anak-anak akan saya bawa pergi ke luar, ya. Sudah pada mandi, kan?" tanya Ridwan pada Meyda, si baby sitter. "Sudah, Pak." Wajah Meyda mendadak berseri. Sepertinya dia berharap ikut diajak keluar juga. "Saya bawa anak-anak, ya. Mbak Mey tunggu saja di rumah. Ada Bu Rosi yang nanti ikut jagain anak-anak." Wajah Meyda yang tadi berseri, langsung masam mendengar ucapan Ridwan, yang menyuruhnya tunggu di rumah. Aku pura-pura tidak melihat, padahal dalam hati ingin tertawa melihat reaksi Meyda. Habisnya, sebagai baby sitter kegeeran banget pengen diajak ikut. "Rosi, tunggu sebentar, ya. Saya ke kamar dulu. Ada sesuatu yang ketinggalan," ucap Ridwan, bergegas melangkah ke kamarnya. "Anak-anak, nanti di sana hati-hati, ya. Jangan makan sembarangan, nanti sakit perut," ucap Meyda sambil melirik ke arahku ketika Ridwan sudah masuk kam
Kita mau ke mana?" tanyaku ketika sudah di jalan. "Ke suatu tempat rahasia. Pasti kamu suka." Ridwan tersenyum sambil menyetir. Aku lantas terdiam. Mencoba mengira-ngira, Ridwan membawa ke mana, kalau tidak mall, bisa restauran Namun, mobil bukannya mengarah ke pusat kota, tetapi berbelok ke jalan yang arahnya menuju luar kota. Dahiku mengernyit bingung. Apa Ridwan akan membawa kita piknik? Aku tak berani bertanya. Takut dibilang bawel. Padahal sih iya, dalam hati terus bawel bertanya sendiri. Apa dibawa ke hutan? Ke gunung? laut? Ke...villa? Aih...jawaban terakhir membuat jantung gedebak-gedebuk tak karuan. Mobil terus meluncur melewati batas kota. Memasuki wilayah kabupaten, berbelok kanan dari jalan raya besar, masuk jalan kecil. Di sisi kiri kanan ada sawah dan rumah yang jaraknya agak berjauhan. "Papa kok, kita ke hutan?" tanya Zidan. "Iya. Ada kol
"Papa! Jane ngantuk!" Terdengar teriakan Jane.Ridwan tampak kaget. Aku juga sama. Kedua tubuh ini segera merenggang. Pipiku memanas. Aku dan Ridwan hampir terlena terbawa suasana hati.“Maaf...” bisik Ridwan.Aku mengangguk. Mencoba mengerti bahwa Ridwan hanya terbawa suasana. Apalagi dia telah lama tidak tersentuh kehangatan. Seperti yang aku dengar. 2 tahun. Bukan waktu yang sebentar. Untung kami segera tersadar."Iya, Jane. Kita pulang sekarang!" Ridwan akhirnya beranjak ke arah anak-anak. "Ayo, anak-anak, kita bersiap pulang!"Si kembar satu persatu berdiri, dan mulai bersiap pulang. Ridwan mematikan televisi dan DVD player."Kita pulang, Rosi." Ridwan menoleh ke arahku. "Kita belum bisa menginap di sini. Nanti kalau sudah resmi, kamu boleh tidur di sini sepuasnya!" Ada senyum penuh arti di bibir Ridwan, membuatku grogi
Duda Beranak EmpatPart 9 ** "Airin, Mas bertanya padamu. Apa yang barusan kamu ucapkan?" desak Ridwan. "Mas ...salah dengar, kali!" Airin berkelit gugup. Wajahnya merah, kuning, ijo bergantian. "Telinga Mas masih normal dan sehat." Ridwan kukuh. "Mas menganggap kamu itu adik kandung. Apalagi Mas anak tunggal. Jadi rasanya aneh kalau barusan dengar, kamu menganggap Mas bukan kakak ...tetapi pria dewasa yang kamu cintai. Sadar, Airin. Sejak kapan kamu punya pikiran seperti itu? Dari kecil Mas sudah biasa anggap kamu itu adik kecil, Mas." Airin menunduk. "Sejak Mas bercerai dari Joana, aku ingin mengganti posisi dia, Mas. Aku kasihan Mas kerepotan mengurus si kembar. Mas lelaki yang baik, tidak genit meskipun cakep. Aku suka itu ..." Ungkapan jujur Airin, membuat Ridwan menggelengkan kepala. "Itu salah, Airin. Jangan punya pikiran seperti itu pada Mas. Anggap Mas kakakmu seperti biasa."
"Valentina Rosi, memang hobinya nyalip!" gerutu Ruri begitu aku menjejakkan kaki di kantor."Lho, ada apa ini?" tanyaku bingung melihat wajah Sida dan Ruri yang serius."Ada bakwan...udang...tempe..tahu.." ucap Sida konyol sambil mulutnya mengerucut."Cmiw!""Kenapa nggak bilang bahwa kamu ini calon istri si investor ganteng itu?" cetus Ruri dengan muka ditekuk. "Gue kira dia free. Free style. Freedom. Pokoknya free choice. Ternyata udah ada cap di jidatnya. Yang ngasih capnya elu lagi, Rosi!"Aku kaget juga Ruri tahu tentang aku dan Ridwan."Sejak kapan kamu jadi calon istri mas Anang eh mas duda ganteng itu?"Aku serasa didemo dan dinterogasi pagi-pagi begini di kantor. Dua makhluk ceriwis ini beneran demo besar-besaran. Sampai pintu ruanganku diboikot, dihalangi tubuh mereka yang pendekar. Pendek dan kekar. Hampir satu strip pendeknya sama aku. Hihi."Kamu
** Aku ambil ponsel, tapi sebelum telpon tersambung, ada ide yang tiba-tiba melintas di otak. Aku harus pancing Joana alasan dia mau mengambil hak asuh. Aku yakin niatnya tidak tulus demi anak-anak. Namun, demi memiliki Ridwan lagi. "Katamu dulu malas mengurus anak-anak, cape dan memilih untuk hidup bebas. Kenapa sekarang jadi ribet ingin mengasuh anak-anak?" pancingku sambil pura-pura menekan nomor ponsel Ridwan. Padahal menekan tombol record juga. Joana menyeringai. "Kamu pintar. Aku tak mau ribet ngurus anak, tapi aku mau Ridwan balik padaku!" ucapnya lugas. Bingo! Aku berseru puas dalam hati. Pasti Ridwan mendengar ucapan Joana dan sudah kurekam. "Hallo, Iya, Rosi Ada apa ini?" terdengar sapaan dari seberang telepon. Karena aku menekan loudspeaaker jadi suara Ridwan didengar Joana. "Iya, Mas. Bisa kita ketemu sekarang? Ada hal penting yang harus dibi
Mas Duda"Kamu yakin. Rosi?" tanya Ridwan. "Dulu di perjanjian pra-nikah, kamu tidak bisa berhenti bekerja karena punya tanggungan Ibumu. Sekarang kalau berhenti bekerja, biar aku yang akan membantu Ibu."Aku menatap suamiku dengan hati penuh syukur. Dia memang pria yang sangat baik dan pengertian. Dia juga teguh memegang janjinya untuk patuh pada perjanjian pra-nikah ku dulu.Kenapa aku harus kuatir punya imam yang baik seperti itu? Bahkan bersedia membantu Ibuku tanpa syarat dan aku minta."Aku yakin, Mas ...." ucapku mantap. "Aku akan punya usaha di rumah saja. Sama aja kan menghasilkan?"Ridwan tersenyum mendengar ucapanku. "Tentu ... Kalau butuh modal, aku akan bantu ..." tawarnya manis."Gak usah, Mas. Aku punya tabungan." Aku balas tersenyum."Sekarang kita pulang dulu saja, kasihan bayi Robi juga si kembar.""Baiklah ..." Akhirnya aku pun menurut. Aku memang lelah. L
Ridwan ternyata sudah ada di kantorku. Dia lebih dulu tahu bayi kembar hilang dan bergegas menjemput ke kantor. "Bagaimana bisa begini, Kajol?" tanya Ridwan cemas begitu sampai rumah. "Maafkan saya, Tuan. Tadi ada Nona Vina yang kemarin ke sini. Tadinya dia baik dan tidak macam-macam. Dia minta minum ke saya. Alya, sedang tidur di kamarnya. Ketika saya balik, Nina Vina tak ada dan aku lihat Alya juga tidak ada di kamarnya. Hanya ada Robi," tutur Kajol yang terlihat panik. "Ma-maafkan saya, Tuan, Nyonyah ..." Kajol terlihat sedih dan ketakutan. Ridwan dan aku jadi tak tega memarahinya. Toh, dia juga tak menyangka bakal kejadian seperti ini. "Ayo, kita ke rumah Vina!" ajak Ridwan tanpa buang waktu lagi berlari ke mobilnya. "Kajol titip anak-anak dan jaga rumah!" pesanku pada Kajol sebelum berlari menyusul Ridwan dengan perasaan tak karuan. Sungguh, aku tak menyangka Vina yang kemarin memint
Tak terasa 4 bulan terlewati. Bayi kembarku semakin besar. Mulai berguling bahkan bergerak dan merangkak. Yang kerepotan pasti si Kajol. Dia sering berteriak sendiri mengagetkan semua orang di rumah. "Nyonyah ... Alya merangkak ke dapur!" pekiknya mengagetkan. Si kembar kakaknya yang empat, mendengar teriakan itu, langsung berlarian ke arah dapur dan menggendong, membawa adiknya ke ruangan tengah tempat bersantai. Ridwan hanya tertawa kecil sambil menggeleng melihat tingkah si kembar empat, kakaknya yang mengasuh adik-adik bayinya. Mereka, si kembar empat, Zidan, Ziyan, Jihan dan Jane beranjak besar. Tingkah mereka juga sekarang sedikit disiplin. Bisa disuruh menjaga adik bayinya yang kembar. Aku sering lucu melihat tingkah mereka dan merasakan kebahagiaan yang luar biasa bertambah di rumah ini. ** Namun yang namanya hidup, ada pasang surut. Ada bahagia juga
"Hallo, Sayang." Joana menyapa si kembar yang berjalan mendekat. Satu persatu diciumi pipinya. "Mama kenalin pada calon Papa baru kalian. Ini orangnya." Joana mengenalkan calon suaminya yang bernama Randi. Si kembar tidak rewel, mereka satu per satu mencium tangan calon papanya itu. Ridwan nampak tersenyum lega. Aku juga sama ikut lega. Badai masalah yang sering dibuat oleh Joana selama ini, mulai tenang dan berakhir. Joana telah sadar dan menemukan pasangan hidupnya kembali. Semoga Joana juga bisa menemukan ketenangan hidup, sehingga tidak membuat masalah lagi nanti. "Mas dan Rosi, aku pamit, ya. Sebentar lagi kami menikah dan berangkat ke luar negeri. Mas Randi punya bisnis di Singapore. Mungkin lama di sana. Titip si kembar, ya," ucap Joana ketika sudah kenyang bercengkrama dengan si kembar. "Aku berjanji akan hidup lebih baik lagi dan meraih kebahagiaan seperti kalian."Joana menyunggingkan senyum manis yang s
Mobil sampai depan rumah, Ridwan buru-,buru turun dan berlari ke dalam rumah. Aku yang pegang setir bingung melihat tingkahnya. Ada apa lagi dengan si Cinta? Pelan aku pun turun dari mobil, berjalan memasuki rumah, mencari keberadaan Ridwan. Huwek ..! Huwek..! Terdengar bunyi orang muntah dari arah kamar mandi. Astaga! Aku menggosok hidung yang tak gatal. Ridwan kembali muntah-muntah! Lama-lama kasihan juga. Kenapa yang hamil aku, malah Ridwan yang payahnya? Aku tunggu Ridwan selesai muntahnya, sambil menyiapkan teh manis hangat, biar tubuh Ridwan nanti bisa segeran. "Nyonyah, Tuan Ridwan kenapa, huwek..huwek, mulu?" tanya Kajol yang sama ikut keheranan melihat keadaan Ridwan. "Lagi ngidam, Kajol." sahutku. "Apa? Emang bisa Tuan Ridwan hamil?" Kajol melongo. "Yang hamil aku, Kajol. yang ngidamnya Tuan Ridwan." "Oo.." Kajol manggut-manggut sambil mulutny
**"Ridwan berjalan menghampiri Arian di mejanya. Aku berusaha menjejeri langkahnya. "Mas, tolong jangan emosi," bisikku di telinga Ridwan, karena terlihat wajah Ridwan mengeras, seperti tersulut emosi. Ridwan tak menjawab. Dia semakin mendekat ke arah Arian. Arian sendiri wajahnya pucat. Mungkin dia tak menyangka bakal bertemu lagi dengan orang yang telah jadi korban ayahnya "Aku pinjam dulu lelaki ini, ya." ucap Ridwan pada Sida dan Ruri yang nampak melongo melihat Ridwan, lalu mereka beralih menatapku dengan bingung. Aku memberi isyarat pada keduanya supaya mengangguk. Tanpa dikomando duo absurd itu mengangguk bersamaan, persis boneka yang disetel manggut-manggut di mobil. "Kamu masih ingat aku, kan?" tanya Ridwan langsung pada Arian yang sedang terpaku menatapnya. "I-iya .." sahutnya gugup.Matanya terlihat gelisah. "Ini suamiku..." Aku langsung ikut bicara yang ditujukan pada Arian
"Gimana sudah mengerti, kan?" tanyaku mengakhiri penjelasan produk knowledge di perusahaan tempat kerjaku, target pasar dan cakupan distribusinya. Pokoknya yang berkaitan dengan penjualan sudah kupaparkan pada meeting kecil-kecilkan, antara aku, kamu dan dia eh..Pak Abda dan Arian."Gimana pak Arian?" Pak Abda menoleh pada Arian minta kepastian. "Sekarang sudah ada gambaran kan bagaimana kualitas produk kami di perusahaan ini, pasar dan distribusinya sudah hampir go internasional.'"Mmm..." Arian mengangguk. "Bisa lebih rinci lagi next time? ada banyak pertanyaan nanti yang akan kuajukan." Arian menatapku dengan senyum menggoda.Aku menghela napas pelan. Feelingku mengatakan Arian mulai mencari cara supaya terus bisa berkomunikasi denganku, dengan cara pura-pura banyak pertanyaan."Boleh, Nex time silakan berunding di ruangan Rosi saja, kebetulan saya ada jadwal meeting di luar hari ini." Pak Abda cepat menjawab sebel
Rupanya Ridwan mengerti bahwa anak-anak sudah kena toxic Joana. "Zidan, Ziyan, Jihan dan Jane," panggil Ridwan lembut. "Apa selama ini Tante Rosi jahat pada kalian?" Zidan dan adik-adiknya terdiam. "Apa selama ini, Tante Rosi sering marahi kalian? Atau memukul dan mencubit kalian?" tanya Ridwan lagi. "Nggak, Pa," sahut Zidan pelan. "Tante Rosi selalu baik sama kita." "Tante Losi juga pintal masak enak," celetuk Jane. "Tante Losi juga suka sayang Papa, beliin makanan," timpal Jihan. "Tante Rosi suka becanda dan ngajak ke Mall." Ziyan ikutan nyeletuk. "Nah, kenapa kalian takut Tante Rosi jahat kalau punya anak? Itu bakal jadi adik kalian nanti. Ada bayi lucu nanti yang bisa kalian sayang-sayang, gemes-gemesin," terang Ridwan seraya tersenyum. "Kayak boneka ya, Pa?" celetuk Jihan. "Lucu, ya?" Jane ikutan bersuara. "Boneka hidup yang lucu dan meng
Sebulan telah berlalu. Sungguh menyenangkan karena tidak ada lagi gangguan yang datang. Rupanya semua usaha kita untuk menyadarkan Joana juga Vina mulai membuahkan hasil. Selama sebulan lebih ini, hidupku bersama Ridwan mulai tenang. Hari pun berganti menjadi minggu. Dua Minggu terlewati, dan menginjak Minggu ketiga, aku heran. Sudah dua Minggu lebih tamu bulananku tidak hadir. Ini bulan kedua aku menjadi istri Ridwan. Heran, tak pernah biasanya aku telat haid. Biasanya kalau pun telat, itu hanya bergeser kurang dari seminggu. Ini sudah dua Minggu telat. Namun, aku belum berpikir serius. Mungkin siklusnya sedang telat, karena bulan kemarin banyak masalah dan banyak pikiran dari mantan-mantan Ridwan yang mengganggu. Biasanya itu berakibat juga pada emosi kita. Haid pun mungkin telat. Aku berusaha fokus mengurus si kembar dan Ridwan, selain bekerja. Aku juga sekarang sedang membantu adikku, Risa, yang mau menika