“Engh, Ridan? Emh ….”
Vela kesulitan bernapas. Sang suami seakan tidak ingin lepas dari bibirnya. Sudah beberapa menit kedua insan itu bergelut di atas ranjang, Eridan masih belum memberi istrinya kesempatan untuk bicara.
“Ridan!” pekik Vela sembari memalingkan wajahnya yang sudah memerah. Dengan tergesa-gesa, wanita itu memaksa paru-parunya untuk memompa lebih banyak udara.
Sadar bahwa sang istri sudah kewalahan, sang pria pun bergerilya menuruni Vela. Tanpa memberi jeda, ia terus menghujani tubuh wanita itu dengan kemesraan.
“Ah … Ridan ....” Vela mencengkeram kepala yang sedang menaklukkan puncak bukitnya. Perempuan itu sama sekali tidak sadar bahwa gaun tidurnya sudah mendarat di atas lantai.
“Kamu menikmatinya, kan?” bisik Eridan ketika kembali menyejajarkan pandangan. Akal sehatnya telah tertutupi kepulan hasrat. Belum sempat istrinya menjawab, sang pria sudah kembali membungkam mulut manis it
“Eridan, kamu sudah pulang? Bagaimana tadi? Lancar?” sambut Vela ketika suaminya tiba di teras rumah. Senyum manis telah melengkapi tatapan hangatnya.“Lancar,” angguk Eridan seadanya.Sadar akan sikap dingin suaminya, bibir sang istri sontak mengerucut. Setelah memutar otak sejenak, mulutnya kembali terbuka. “Malam ini, kamu jadi mengantarku? Ada sesi les dua jam,” tanya Vela dengan nada pelan. Ada keraguan terselip di antara kata-kata.Selang beberapa detik, sang suami belum juga menjawab. Vela pun memberanikan diri untuk lanjut bicara. “Kalau bisa, kita berangkat lebih awal, ya. Soalnya, ini pertemuan pertama. Jadi, kita harus mencari alamatnya dulu.”Tiba-tiba, Eridan menarik napas panjang. “Maaf, Vel. Kamu pesan ojek online saja, ya. Aku capek banget,” tolaknya tak terduga. Laki-laki itu belum pernah mengingkari kata-katanya.“Oh … oke,” sahut Vela menyembunyikan kecewa. Lengkung bibirnya yang
Mau tidak mau, Vela meraih ponselnya di bawah selimut. Dengan tangan kiri yang masih mulus, ia menyerahkan benda itu kepada sang suami.“Loh? Kenapa HP-mu retak?” selidik Eridan dengan sebelah alis melengkungkan tanya.Perasaan Vela mendadak menjadi sedikit lega. Pria di hadapannya ternyata belum mengetahui kecelakaan itu. Bukankah itu berarti, si perempuan masih memiliki harapan untuk menutupi rahasianya?“T-tadi, enggak sengaja jatuh,” jawab Vela dengan bola mata terus berputar.Tanpa menaruh curiga, sang pria mulai memeriksa isi ponsel istrinya. Beberapa detik kemudian, dengan rahang mengeras, ia menunjukkan layar yang retak itu kepada Vela.“Kenapa kamu enggak bilang kalau Cassie masih mengganggu kamu?” tanya Eridan dengan penekanan. Mata sang istri pun terbelalak.“O-oh, itu ….” Vela hampir
Eridan mengunci pintu dengan raut datar. Tamunya baru saja pulang, meninggalkan kesan misterius yang menyuburkan tanda tanya dalam benaknya. “Jadi, apa yang sebenarnya disembunyikan oleh Vela?” gumamnya. Sambil menerka-nerka, pria itu berjalan masuk ke kamar.Belum semenit Eridan kembali di depan laptop, suara khas dari tuas pintu kamar lamanya terdengar. “Hm? Vela keluar kamar?”Selama beberapa detik, sang pria memutar otak. “Benar juga. Hari ini, dia hanya keluar setiap aku masuk kamar.” Setelah celingak-celinguk mencari ide, tangannya pun meraih botol minum. Seperti orang kehausan, ia menenggak habis sisa air yang ada.Dengan berpura-pura santai, Eridan berjalan memasuki dapur. “Kamu enggak mengajar malam ini?” tanyanya sembari menghampiri galon.Vela yang sedang berdiri di depan bak pencucian piring pun terperanjat. Tanpa menoleh, perempuan itu menjawab, “Enggak.”“Kenapa?”“Aku
Vela meletakkan sepiring nasi goreng ke atas meja. Sambil mengingat-ingat kejadian semalam, ia mengunyah makanannya dengan kasar seolah-olah itu Eridan.“Dasar semena-mena!” umpatnya dalam hati. “Padahal, dia dulu yang memintaku untuk tidak mencampuri urusannya. Lalu, kenapa dia malah sok peduli padaku? Apa dia mau membuatku menjadi sosok istri yang jahat?”Sekali lagi, Vela memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut. “Awas saja kalau dia menarik ucapan kemarin. Pokoknya, aku enggak bakal memberi bantuan ataupun perhatian lagi, sekecil apa pun itu.”Tatapan Vela beralih ke arah jam dinding. Selang satu kedipan, sendok di tangannya kembali mengantar nasi ke depan mulut meskipun suapan sebelumnya masih dikunyah. “Aku harus cepat. Jangan sampai dia masuk dapur sebelum aku selesai makan,” batinnya.“Wah, ada nasi goreng!” seru Eridan tanpa terduga. Mata si wanita pun terbelalak. Detik berikutnya, dengan tatapan heran, Vela m
“Kenapa kamu ikut masuk? Keluar!” pekik Vela ketika lengan Eridan mulai melingkari dirinya.“Aku juga takut, Vel. Biarkan aku bersembunyi di sini,” ujar sang pria sembari memantapkan posisi menjiplak pose istrinya. Tubuh mereka kini sudah tidak lagi berjarak.“Bohong! Kamu kan suka petir,” protes Vela sambil mendorong tangan Eridan menjauhinya.“Bukan petir, Vel, tapi kesempatan ini. Aku takut melewatkan kesempatan untuk berbaikan denganmu,” bisik sang suami sambil menempelkan bibir di cuping telinga si wanita. Kerut alis Vela pun bertambah dalam.“Bohong! Kamu pasti mau mengambil kesempatan dalam kesempitan,” tuduh perempuan yang masih berjuang mengendurkan pelukan suaminya. Akan tetapi, tenaga Eridan bukanlah tandingannya.“Kalau itu sih tergantung dirimu, Vel. Kalau kamu terus bergerak-gerak, aku bisa saja mengambil kesempatan,” ancam sang pria secara tidak langsung.“Ih … lepas!
Eridan mengerutkan alis dengan tatapan terkunci pada Vela. Perempuan itu terus-menerus mendesah dengan bola mata bergerak tak tentu arah.“Vel,” panggil sang pria seraya mengusap pundak istrinya. Vela hanya melirik sekilas sebelum tertunduk menatap lantai yang baru kali ini ia pijak. Sentuhan Eridan tak mampu mengangkat beban yang merenggut keceriaannya.Ting! Pintu lift pun terbuka. Tanpa mengucap kata, perempuan itu bergegas keluar disusul oleh sang suami. Ketika mereka berbelok mengikuti anak panah bertuliskan VVIP, Tante Helena pun terlihat. Wanita itu sedang duduk dengan tangan terlipat di depan dada. Begitu menyadari kedatangan keponakannya, ia langsung berdiri sambil mengangkat tas kecilnya.“Bagaimana keadaan Oma—““Kenapa kalian lama sekali baru sampai?”Mata Vela sontak terbelalak. “Apa terjadi sesuatu dengan Oma?” t
“Astaga, Oma? Apa yang terjadi, Vir?” seru Vela ketika mendapati sang nenek sudah berlutut di lantai. Sepupunya yang terlalu kurus itu sedang berjuang mati-matian untuk menahan tubuh Oma Stela agar tidak mendarat sepenuhnya.“Oma mau ke toilet. Tapi tiba-tiba, jatuh begini,” terang Virgo dengan napas terengah-engah. Ketika Vela dan Eridan mengambil alih beban di tangannya, barulah perempuan itu membebaskan udara. “Ah, sakit pinggangku. Oma berat sekali.”“Kenapa enggak panggil aku saja kalau kamu enggak kuat?” tanya Vela dengan kerut alis cemas.“Mana kutahu kalau Oma bisa jatuh seperti itu? Kamu jangan cuma bisa menyalahkanku saja. Dari tadi, aku sudah menjaga Oma, sedangkan kamu asyik bermesraan di luar.”Sadar bahwa ribut tidak akan menyelesaikan masalah, Vela pun mengabaikan ocehan sepupunya. Dengan hati-hati, ia membantu Eridan membawa sang nenek ke ranjang.”Iiuuuh … disgusting!” guma
“Bagaimana hari ini, Vel? Apakah Virgo mengganggumu lagi?” tanya Eridan ketika mereka sedang makan bersama. Wanita yang sedang memutar-mutar sendoknya di atas nasi pun melirik sejenak.“Enggak,” sahutnya singkat. Ia enggan membahas tentang Sagita, khawatir jika air mata tidak mampu lagi dibendung.“Lalu, kenapa kamu murung? Dari tadi, kamu belum makan satu suap pun, sedangkan aku sudah hampir habis.”“Aku enggak lapar.”Napas Eridan pun berembus cepat. Setelah meletakkan kotak nasinya di atas meja, ia mengambil jatah Vela dan langsung menyuapinya. “Aaak ….”Vela menggeleng lalu menunduk, menyembunyikan mata merah di bawah bayang-bayang wajahnya.“Kamu marah karena aku baru datang jam tujuh malam?”“Enggak,” sahut sang istri datar. Getar suaranya tak mampu lagi ditutupi.“Kalau begitu, ada apa?”Tidak ada jawaban yang terdengar. Sang
“Kamu tunggu di sini, ya. Aku cari dulu di mana mainannya. Carina pasti meletakkannya sembarangan,” perintah Vela saat ia dan Eridan masuk ke rumah.“Oke! Jangan lama-lama, ya!”Anak laki-laki itu pun menurut dan langsung duduk di ruang tamu. Sambil celingak-celinguk, ia mengetuk-ngetuk jari pada batas celana merahnya di lutut.“Mainan ular yang seperti asli? Seperti apa bentuknya?” gumam bocah itu seraya mengingat penjelasan Vela tadi pagi. Selang beberapa detik, ia pun berteriak. “Sudah ketemu belum, Vel?”“Belum! Sabar!”Eridan kecil pun berdecak dan melangkah masuk ke ruang tengah. Ketika ia melewati lemari TV, kakinya berhenti. Matanya tertuju pada ular kecil berwarna hijau yang melintang di dekat kaki lemari.“Loh? Ini mainannya. Vel, sudah ketemu. Ada di sini.” Dengan berani, Eridan mencengkeram ekor ular dan membawanya menemui Vela.Di saat yang hampir bersamaan, gadis kecil itu menghampiri dengan senyum semringah. Tangannya sedang m
“Ridan, kamu masih berutang penjelasan kepadaku!” desak Vela ketika suaminya masuk ke dalam kamar. Ia bahkan tidak membiarkan pria itu mengenakan baju terlebih dulu.“Penjelasan apa sih, Vel?” desah Eridan seraya menarik celana dari lemari dan mengenakannya.“Kamu jangan pura-pura lupa, deh. Tentang ciuman pertama kita. Kenapa kamu menjawab di perpustakaan?”“Kalau aku jujur, kamu bakal marah, enggak?” tanya sang pria dengan sebelah alis terangkat. Dengan langkah santai, ia menghampiri istrinya yang duduk di ranjang.“Tergantung,” sahut Vela seraya mengangkat sebelah bahu.Dengan senyum misterius, Eridan ikut duduk di atas kasur. Sambil menatap istrinya lekat-lekat, ia pun memulai cerita. “Dulu itu, kita sering belajar di perpustakaan, kan? Tempatnya sepi, cocok untuk belajar tapi bikin mengantuk.”Mulut Vela tiba-tiba menganga tanpa suara. Setelah mengangguk-angguk, barulah perempu
“Ridan ... kamu harus membayar berapa untuk menyewa tempat ini?” bisik Vela ketika sang suami menarik tangannya memasuki sebuah gedung mewah. Dengan sudut bibir terangkat misterius, pria berkemeja merah itu mendekat ke telinga istrinya.“Tidak mahal, kok. Aku dapat diskon karena pemilik gedung ini berteman dekat dengan Roger.” Setelah mengedipkan sebelah mata, ia membawa istrinya masuk ke lift.“Terima kasih, ya, Ridan. Kamu sudah melakukan banyak hal untukku,” tutur sang wanita selagi lantai yang mereka pijak bergerak naik.“Vela, pesta bahkan belum dimulai, tapi kamu sudah berterima kasih kepadaku? Bagaimana kalau kamu simpan rasa syukurmu itu sampai tiga minggu lagi,” tutur Eridan seraya mengangkat alis. Dengus napas langsung berembus dari hidung istrinya.“Sampai kita boleh berhubungan, maksudmu?”“Tepat sekali
“Loh, Pa? Sepatu siapa ini?” tanya Nyonya Aster begitu mendapati sepatu asing di samping tempat anak bungsunya meletakkan sepatu.“Bukan sepatu Carina?” celetuk sang suami dengan raut tak acuh.“Bukan dong, Pa. Ukurannya saja besar begini,” terang sang istri heran.“Mama,” sapa seorang anak kecil berambut panjang. Mata bingung sang wanita sontak berubah hangat. “Eh, Carina ... kamu lagi apa?”“Nonton TV.”“Sama Kakak?” tanya sang ibu sambil menghampiri.“Sendiri.”“Tumben? Kakakmu mana?” tanya Nyonya Aster seraya membelai rambut putrinya.“Di kamar. Katanya mau mengerjakan tugas bareng teman.”“Teman?” Mata Nyonya Aster terbelalak. Setelah berkedip-kedip cepat, wanita
“Aku pergi ke bar itu karena Roger memintaku untuk menemaninya,” jawab Eridan seraya merapikan rambut Vela yang menutupi leher.“Kenapa dia mau ditemani? Apakah dia mau memperkenalkanmu kepada seseorang?” terka perempuan itu asal. Tanpa terduga, pria yang sedang duduk di tepi ranjang mengangguk dengan tampang datar. “Siapa?” Mata Vela otomatis membulat.“Orang tuanya.”Kerut alis si wanita sontak bertambah dalam. “Orang tuanya? Tapi, kenapa memilih tempat di bar?”“Karena bar itu milik orang tua Roger.”Mulut Vela spontan menganga. “Seorang pengacara memiliki bar?”Tawa kecil pun berembus dari mulut Ridan. “Bukan orang tua angkat Roger, Vel, tapi orang tua kandungnya.”Sang istri seketika berkedip-kedip heran. “Tunggu dulu. Jadi, Roger itu anak angkat?”Eridan kembali mengangguk. “Ya. Aku tidak bisa menceritakan secara rinci, tapi intinya, Roger dul
“Kamu sedang apa, Vel? Bukankah dokter bilang kamu enggak boleh melakukan aktivitas berat dulu?” tanya Eridan ketika mendapati istrinya sedang mencuci beras.“Memasak bukan aktivitas berat, Ridan.”“Tetap saja, kamu mengeluarkan energi ketika memasak,” protes pria yang berkacak pinggang di samping istrinya.“Bernapas juga mengeluarkan energi. Jadi, aku enggak boleh bernapas?” celetuk Vela menggemaskan. Sang suami langsung terpancing untuk mengecup bibirnya yang mengerucut.“Apa kamu lupa? Ada urusan penting yang harus kita selesaikan,” tutur Eridan seraya menaikkan alis.“Tunggu sampai aku selesai memasak, ya,” timpal Vela tanpa perlu mengingat-ingat. Hal itu sudah memenuhi otaknya sejak tadi malam, saat orang-orang yang menjenguknya sudah pulang.“Tidak usah memasak, Vela. Kita pes
“Kenapa Oma bertanya seperti itu?” selidik Vela tak langsung memberikan jawaban.“Karena saat bertemu dengan Ares, dia mengatakan seperti itu. Kalau memang benar demikian, maka pernikahan kalian tidak seharusnya dilanjutkan. Oma tidak akan memaksamu dengan pria mana pun lagi.”Deg! Jantung Vela sontak memompa darah lebih kencang. Ia tidak menyangka jika topik tentang perceraian kembali mencuat. “M-maksud Oma?” tanyanya pura-pura tak mengerti.“Ya, kalau memang benar itu alasan pernikahan kalian, maka sekarang kalian harus bercerai. Bukankah keadaan sudah berubah. Kamu tidak perlu seseorang untuk dijadikan tameng dari perjodohan.”Helaan napas pun berembus samar. Udara di sekitar Vela mendadak beku, sama dengan raganya yang mematung. Otaknya terlalu sibuk mencerna perintah neneknya.“Kenapa? Kamu tidak mau menceraikan Eridan?” tukas sang nenek sukses menarik kembali perhatian cucunya. Alis Vela kini
“Vela ..., ini aku, Vel. Eridan,” ucap sang pria dengan suara lembut dan pelan.Bukannya sadar, Vela malah semakin menunduk, menyembunyikan setengah wajah di balik lipatan tangan. Ketika sang suami melangkah maju, ia bahkan bergeser menjauh tanpa peduli batas kasur.“Vel, jangan takut ...” bisik Eridan yang terus berjalan. Sebelah tangannya pun terangkat perlahan, mencoba menaklukan kekalutan sang istri. Akan tetapi, semakin pendek jaraknya dengan pundak Vela, semakin gemetar tubuh wanita itu.“Vel,” panggil pria itu lembut. Tangannya telah berhasil menyentuh sang istri. Namun, belum sempat ia lanjut bicara, suara tangis sudah lebih dulu pecah.“Jangan takut, Vel. Ada aku di sini. Hm?” ucap Eridan ketika menyejajarkan pandangan. Alih-alih menjawab, perempuan itu hanya menggeleng-geleng tanpa kata.“Vela, tatap mataku,” pinta sang pria sembari memindahkan tangannya dari pundak menuju pipi sang istri.
“Kau yakin itu tidak apa-apa?” tanya pria yang mengernyit melihat darah di celana Vela. Tampangnya seperti baru saja memakan lemon yang sangat masam.“Astaga, Res. Kenapa kau pengecut sekali, sih? Itu cuma darah menstruasi. Tidak apa-apa. Kita saja pernah melakukannya ketika aku sedang dalam periode.”Selang keheningan sejenak, pria itu kembali menggeleng. “Tidak mungkin. Dia enggak memakai pembalut. Pasti itu bukan darah menstruasi.”Cassie pun menggaruk-garuk kepala tak habis pikir. “Jadi, sekarang, kau mau menyia-nyiakan semua usaha kita? Kau tinggal sedikit lagi mendapatkan Vela, Res. Come on!”“Tapi tidak dalam kondisi seperti ini, Cas. Kalau seandainya terjadi apa-apa pada Vela, bagaimana? Aku tidak mau dituduh sebagai pembunuh.”Helaan napas lelah kini berembus dari mulut si pencetus ide. “Ares, dar